“Lo nggak pulang berhari-hari, nggak ngirim kabar tapi masih bertanya-tanya kenapa Raina jadi aneh dan suka ngomong sendiri?” Lia menggeleng-gelengkan kepalanya, diikuti oleh Yoga dan Yunus yang berdiri tepat di belakangnya. “Leon, Leon. Lo itu hampir bikin semua orang kebingungan berhari-hari.”
“Kami bahkan berpikir lo diculik,” tambah Yunus. “Organ dalam lo dijual dan diganti pakai gulungan kain. Lalu, mayat lo dibuang ke sungai dan baru akan ditemukan beberapa bulan kemudian. Sayangnya, karena sudah terlalu busuk, maka akan sangat sulit dikenali sehingga kami nggak akan tahu kalau itu jenazah lo.”
Ucapan Yunus seketika membuat suasana di dalam kedai ayam goreng sepi, semua orang termasuk Ida dan Yoga yang sedang memasak di dapur ikut menoleh, seolah tak percaya kalau kalimat itu benar-benar meluncur dari mulut manusia.
“Bisa diam, nggak!” Lia membentak sang suami sebelum pria itu bicara semakin ngawur. “Yon,” dia kembali mengalihkan pandangan pada sang adik yang masih terduduk lemas di bangku nomor 12. Leon bahkan tidak mengangkat kepala, meletakkannya di atas meja lengkap dengan kedua tangan terlipat sebagai bantalan. “Gue itu sayang sama kalian berdua. Kalau ada masalah jangan dipendam sendiri. Kita ini keluarga.”
“Iya, maaf, Mbak. Bukan maksud gue mau main rahasia-rahasiaan, masalahnya kan gue nggak tahu kalau bakal kecopetan.”
“Masih untung si Raina nggak gila gara-gara nyariin lo,” lanjut Lia dengan tangan sibuk mengelap permukaan piring makan. “Pokoknya, mulai sekarang nggak ada acara pergi tanpa ngabarin. Kalau perlu bikin buku telepon manual sehingga kalau terjadi hal kayak begini lagi gampang, lo bisa minta tolong orang untuk menghubungi orang rumah.”
*_*
“Gue sudah coba ngirim pesan ke beberapa mantan Randy sejak semalam tapi sampai sekarang belum ada satu pun yang ngasih respon,” jelas Maria. “Kalau berbekal catatan yang diberikan oleh Raina, ada beberapa mantan yang sama sekali nggak ada kontaknya, bahkan setelah gue ngubek-ngubek ponselnya Kak Randy.”
Dion yang sedang duduk di samping ranjang menoleh ke atas ranjang tempat tubuh Randy terbaring, meskipun sudah berhasil keluar dari ICU nyatanya sahabatnya itu masih belum bisa lepas dari aneka selang dan kabel penunjang hidup. “Lo sudah coba ngecek buku catatan atau apa pun yang memungkinkan? Maksud gue, siapa tahu dia nyimpan catatan soal mereka di suatu tempat. Kan lo tahu sendiri Randy kayak bagaimana, saking banyaknya mantan dia bahkan bisa lupa nama cewek yang dia kencani.”
Maria tersenyum kecil mendengar ucapan Dion, perkataan itu agaknya juga tak berlebihan mengingat Maria ingat betul kalau beberapa tahun yang lalu Randy pernah digampar oleh seorang perempuan di sebuah pesta hanya karena dia menyebut nama yang salah ketika berkencan. Meskipun tidak sampai masuk ke pemberitaan media, tetapi sisa tamparannya meninggalkan bekas memerah di pipi, menyebabkan Randy harus mengurung diri di rumah selama beberapa hari karena paham bahwa jika publik mengetahuinya, maka itu akan menjadi masalah besar. Sudah cukup citranya sebagai playboy mengudara, tidak perlu baginya menambah-nambahi lagi atau para penggemar akan benar-benar membencinya.
“Sudah, Kak, tapi sejauh ini belum ada.” Maria menjawab, lalu mengambil segelas air mineral yang ada di atas meja samping komputer jinjingnya diletakkan. “Omong-omong Raina mana? Kok belum ke sini? Padahal tadi dia bilang bakal balik sebelum magrib.”
“Mungkin kerjaannya memang masih belum selesai.” Dion menengok jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Tunggu sebentar lagi. Lima atau sepuluh menit. Kalau dalam waktu itu dia belum datang juga, baru kita telepon.”
“Oke lah. Oh iya, habis ini kita beneran mau ke tempat Kak Milly?”
“Mau ke mana lagi? Cuma alamat Milly yang kita tahu,” ungkap Dion. “Lagi pula, melihat rekam jejak hubungannya dengan Randy, kayaknya dia cukup mudah buat diambil hatinya.”
“Kakak benar. Kak Milly kan bucin abis ke Kak Randy.”
“Dia bahkan rela melakukan apa saja demi Randy.”
Di tempat yang sama, pemilik cerita hanya bisa nyengir saat Dion dan Maria membicarakan kisah cintanya. Karena di samping sosok Milly yang cerdas serta cantik, tentu saja, nyatanya menjalin asmara dengan wanita itu tidak semudah yang dipikirkan orang-orang. Malah, begitu nama itu disebut yang dirasakan oleh Randy ialah merinding, seluruh bulu kuduknya meremang, seolah-olah baru saja melihat hantu masa lalu.
Randy ingat betul pertemuan pertamanya dengan Milly dimulai dua belas tahun yang lalu, lebih tepatnya saat dia masih berkuliah di salah satu universitas swasta tempat Milly mengajar. Akan tetapi, keduanya baru menjalin hubungan beberapa tahun belakangan, lebih tepatnya sebelum dia menjalin asmara dengan Joana Dane.
Pada awalnya, bisa dibilang Randy sangat mengagumi Milly, sama seperti kebanyakan orang akan langsung memuja gadis itu saat melihatnya. Sebab Milly Asmara Dewi memang memiliki paras yang luar biasa cantik, tubuhnya tinggi semampai dengan kulit putih dan pipi kemerah-merahan, bibirnya mungil, matanya lebar dengan iris kebiruan, warisan dari sang ayah yang seorang Belanda. Pun dengan profesi mentereng sebagai pengajar membuat nilainya bertambah.
Namun, semua tidak berlangsung lama karena begitu menjadi kekasih, bagi Randy, Milly tidaklah lebih dari gadis penganggu yang meminta kabar dua puluh empat jam non stop. Milly bahkan tidak sungkan menulis status galau di media sosial pribadinya jika Randy tidak membalas pesan, yang otomatis membuat para penggamar menjadikannya bahan perbincangan. Bahkan selama dua tahun keduanya berpacaran, hampir setiap hari Randy harus berurusan dengan wartawan, yang alih-alih mewawancarainya untuk kebaikan, justru menghujaninya dengan pertanyaan seputar isu perselingkuhan. Memang, publikasi tetaplah publikasi, tetapi kalau kebanyakan, tidak bagus juga, kan?
Tidak lama, pintu ruang VIP tempat mereka berada diketuk. Raina muncul dengan mengenakan kaos lengan panjang berwarna biru bergambar Minion, serta membawa tote bag di tangan kanan. “Maaf, tunggu lama ya, Kak?”
“Nggak apa-apa,” jawab Dion. “Kita mau langsung saja atau –?”
“Kalau memang sudah siap sekarang nggak apa-apa.” Raina menoleh ke pojok ruangan, tempat arwah Randy berada. “Lo kenapa? Bukannya senang mau ketemu mantan.”
“Nggak usah meledek!” Bibir Randy cemberut.
Maria yang melihat hal tersebut menoel lengan Raina. “Kak Randy?” Yang langsung dijawab anggukan yakin oleh Raina. “Kenapa dia?”
“Nggak tahu. Aneh. Padahal sebelumnya dia bersemangat banget waktu mau ke rumah Kak Mona. Sekarang malah layu. Kayak sayur kelamaan disimpan.”
“Sembarangan ini anak kalau ngomong!” Randy yang kesal berjalan cepat ke arah Raina, lalu mengayunkan tangannya ke atas kepala gadis itu, meskipun sia-sia tetapi secara alami Raina mundur, mencoba menghindar.
“Nggak kena!” ledek Raina. “Ya sudah, Kak Dion, Kak Maria, sekarang ya? Mumpung masih sore. Soalnya, kalau terlalu malam nanti gue ditungguin orang rumah.”
*_*
“Aku kan sudah bilang kalau nggak mau makan sayur bayam! Kamu ini budek atau bagaimana?”
Nasya hanya bisa menunduk dalam-dalam saat pria tua dihadapannya berteriak setelah membanting senampan makan malam yang dia sajikan. Membuat nasi dan lauk-pauk yang sebenarnya sangat terbatas itu berserakan di atas lantai, sementara dari balik pintu dapur yang tertutup dia tahu bahwa kedua adiknya tengah menguping ketakutan.
Sebagai anak tertua di rumah, Nasya mau tak mau harus mengambil peran saat ibu dan kakaknya tidak ada. Bertanggung jawab bukan hanya pada Andi dan Julian, melainkan juga ketiga orang tua jompo yang ada di sana.
“Kamu pikir kami nggak tahu kalau Rindu ngasih kamu uang?” Tuti, alias sang nenek menyahut dari dalam kamar. “Anak kecil sudah berani nilep duit, kalau sudah besar mau jadi apa? Koruptor?”
“Tapi kan uang harus dihemat, Ti? Kita nggak tahu Kakek sampai kapan di rumah sakit, kalau semua dibelanjakan besok mau makan apa?” jawab Nasya tergagap.
“Alasan!” Joko kembali mengintimidasi sang cucu, matanya mendelik seram. “Itu kan urusan ibumu. Kami ini orang tuanya. Memang sudah jadi tugasnya buat cari uang. Dan urusanmu sekarang hanya buatkan kami makanan yang enak. Paham?”
“Kalau tidak paham juga, apa perlu kupingmu kami jewer?” Ancaman Tuti dilengkapi dengan pemandangan jempol dan telunjuk yang bersiap beraksi.
Nasya spontan menutup kedua telinganya menggunakan telapak tangan. “Ya sudah, Mbah Kung sama Uti mau makan apa?”
“Ayam goreng!” jawab Joko cepat.
Tuti menambahkan, “Belikan kami ayam kampung goreng di dekat pasar. Jangan lupa dengan lalapannya sekalian. Mintakan juga ekstra sambal. Aku dan mbah kungmu sudah lapar, jadi cepat.”
“Tapi sebelum itu, bereskan semua ini dulu!” Joko menunjuk lantai rumah dengan kakinya, lantas mengalihkan pandangannnya ke layar televisi.
Sudah tidak terhitung berapa kali Nasya ingin pergi dari rumah, menyusul sang kakak. Kalau tak ingat dia masih sekolah dan kasihan pada sang ibu, sudah pasti Nasya akan melarikan diri, meninggalkan segala macam kekacauan di rumah kecil mereka sendirian. Namun sekali lagi, dia pun tidak bisa membayangkan akan seburuk apa hidup Rindu bila dia tidak ada di sana. Bisa-bisa, ibunya yang baru sembuh TBC itu mati berdiri.
Dengan air mata berlinang Nasya memunguti nasi dan sayur bayam di lantai, lalu mengepelnya dengan pakaian bekas. Mereka bahkan tidak punya cukup uang untuk membeli alat pel, tapi selera makan kedua orang tua di hadapannya benar-benar tak bisa diatur. Seolah mereka sengaja memperlakukan Rindu seperti mesin menghasil uang.
“Kak?” Julian memanggil saat Nasya kembali ke dapur.
Buru-buru gadis remaja itu menyeka air matanya. “Iya, Yan? Kenapa? Kamu lapar ya?”
Mata besar Julian menatapnya dalam. “Aku juga mau ayam goreng.”
Nasya berjongkok, membelai kepala bocah kecil itu lembut. “Jangan sekarang ya? Julian makan ayamnya tunggu Ibu pulang ya?”
“Uangnya nggak cukup ya?”
Pertanyaan Julian nyatanya mampu menghancurkan dinding pembatas yang sedari tadi Nasya tahan. Dia memeluk tubuh kurus Julian erat, lalu menangis tersedu-sedu.
Di sudut lain dapur, Andi memperhatikan kedua saudaranya dengan muka memerah, kedua tangannya mengepal menggambarkan begitu banyak amarah yang dia pendam. Andai saja dia lebih besar, sudah pasti dia bisa berkontribusi untuk keluarga ini. Bukan hanya menjadi bayang-bayang di balik kakak-kakaknya.
“Le?”
Suara lemah Nur membuyarkan lamunan Andi. Dia berbalik, menoleh pada perempuan tua renta yang terbaring di atas kasur di kamar yang berada di belakangnya.
“Kamu yang sabar ya, Nak.”
Andy bergeming.
“Namanya juga orang tua, kadang memang menjengkelkan.”
“Nenek nggak.”
“Kan orang beda-beda.” Bibir kering Nur tersenyum. “Mbah Kakung dan Mbah Uti wataknya memang keras, tapi sebenarnya mereka sayang kok sama kalian.”
Walau tidak percaya tetapi Andi memilih tidak menanggapi, dia mengalihkan pandangan kembali pada kedua saudaranya. Julian duduk di lantai memangku nasi berlauk sayur bening bayam, sedangkan Nasya tampak mengeluarkan sepeda dari pintu belakang.
*_*
Seolah gayung bersambut, kedatangan Dion dan kawan-kawan disambut langsung oleh Milly.
Wanita itu baru saja hendak keluar dari rumah saat mobil mereka datang. “Kalau saja kalian terlambat dua menit saja, sudah pasti kita tidak akan bertemu.”
“Kami memang sengaja,” jawab Dion basa-basi. “Oh iya, apa kamu sibuk?”
Milly yang memang ramah malah tertawa kecil. “Hanya acara makan malam biasa dengan para kolega. Ada apa?”
“Bisa kita bicara di dalam?” Maria menyela.
Dan begitulah akhirnya mereka bisa duduk berempat, atau sebenarnya berlima, di ruang tamu rumah Milly yang lenggang. Sebagaimana Randy kenal dahulu, Milly memang menerapkan gaya hidup minimalis. Bahkan saking parahnya, dia tidak segan membiarkan ruangan sebesar itu hanya diisi meja kayu kecil saja. Yang untungnya, sekarang sudah diberi karpet sebagai alas duduk.
“Dulu lebih parah lagi,” jelas Randy pada Raina. “Sudah gue kasih duit buat beli karpet pun dia nggak mau. Katanya, buat apa? Nggak bakal ada tamu juga.” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak habis pikir. “Inilah kenapa kami nggak cocok sama sekali.”
Raina mencoba menahan diri untuk tidak bereaksi berlebihan, memberi kesempatan pada Maria dan Dion untuk menjelaskan duduk perkaranya pada Milly. Dan sesuai dugaan, tidak seperti Mona yang diawali keraguan, Milly bahkan tidak merasa curiga. Malah, perempuan kepala tiga itu menangis, tersedu-sedu.
“Ya ampun, aku nggak nyangka kalau Randy masih ingat padaku.” Milly menutup wajah menggunakan sebelah tangan. “Kupikir selama ini dia sudah melupakan aku. Ternyata, di saat koma pun dia masih memikirkanku.”
Randy dan Raina saling menoleh satu sama lain.
“Ini orang beneran suka sama lo,” bisik Raina.
“Gue juga tahu kalau itu. Masalahnya kan memang bukan itu.”
“Apa?”
“Lo lihat sendiri deh.”
Mona mengeluarkan sapu tangan dari dalam tas jinjingnya untuk menyeka air mata. “Aku boleh nggak ketemu sama Randy?”
“Bagaimana?”
“Aku mau lihat dia secara langsung, Dion. Sudah lama kami tidak berjumpa, siapa tahu kalau maaf ini kuberikan secara langsung akan bisa membuatnya semakin bersemangat untuk hidup. Maksudku, cinta ini harus kukatakan secara langsung dan tidak bisa diwakilkan.”