Loading...
Logo TinLit
Read Story - 40 Hari Terakhir
MENU
About Us  

 

Marah dan membiarkan sampai mati merupakan perkara yang berbeda, setidaknya begitulah menurut Mona. Meskipun untuk sampai di tahap ini tidaklah mudah, terlebih setelah apa yang dilakukan Randy padanya. Pun bukan hanya mengkhianati bisnis, pria itu juga telah menghancurkan cinta mereka.

“Lo yakin mau memaafkan dia?” reaksi tersebut diberikan oleh Tia saat Mona mengabarinya semalam, tepat sebelum pertemuan siang itu terjadi. Kebetulan, sang adik yang jarang pulang mendadak muncul di rumah, menghabiskan semangkuk es krim cokelat sambil menonton kakaknya bekerja via daring. “Itu cowok bajingan, lho.”

Tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer jinjingnya, Mona mengangguk setuju. “Meski nggak begitu yakin, tapi nggak ada salahnya kasih dia kesempatan. Siapa tahu setelah bangun dia bakal berubah.”

“Sayangnya, kayak yang lo bilang barusan, siapa yang tahu? Siapa yang bakal jamin dia bisa menjadi orang bener?” Tia menyendok isi mangkuk dengan kasar, lalu mengangkat bongkahan es krim sebelum memasukkan ke dalam mulut. “Bukan apa-apa, gue juga nggak mau nyetanin lo, tapi mengharapkan orang kayak mantan lo berubah dalam sekejap itu sama saja kayak bermimpi Indonesia bakal bisa lepas dari hal mistis.”

“Maksud lo?”

Tia kedinginan, bersusah payah mengunyah es krim di mulutnya. “Ya kayak yang lo lakukan sekarang ini. Di tengah zaman modern yang serba canggih, bisa-bisanya lo percaya sama arwah gentangan? Tapi karena ini Randy, gue agak percaya sih. Orang jahat biasanya kan memang nggak gampang mati. Malah, kalau di sinetron disertai azab dulu.”

“Mulut lo ya, Tia!” Mona memukul lengan sang adik gemas. “Dia memang sudah nipu gue, tapi mungkin lo lupa kalau saat menjalankan bisnis butik dulu gue sendiri nggak pernah benar-benar membantu dia menjalankan pekerjaan. Gue lebih banyak bersenang-senang karena merasa semua bakal aman. Sampai tanpa sadar Randy mengambil langkah sendiri. Gue akui dia punya inisiatif, meskipun nggak semua orang harusnya cukup percaya diri buat mengambil keputusan.”

“Jadi?”

“Jadi apanya?”

“Lo masih suka sama Randy?”

“Ngawur! Gue memang mau memaafkan dia tapi bukan berarti mau balikan sama dia. Kita nggak harus balikan sama mantan, kan, buat berbuat baik? Lagian kayaknya dari semua mantan yang dia punya, hanya gue yang bakal memaafkan kesalahannya.”

“Karena lo baik?”

Mona menggeleng. “Karena gue yang paling mendingan dalam artian nggak dia sakiti. Seenggak-enggaknya, kami pernah bahagia. Dan gue bisa dibilang satu-satunya perempuan yang nggak dia permainkan.”

“Dia selingkuh, ingat?”

“Kalau itu sih memang tabiatnya si Randy. Nggak bisa diubah.”

_*_

“Kalau perkembangannya terus begini, kami yakin dalam waktu dekat pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan biasa secepatnya.”

Randy melonjak kegirangan saat mendengar penjelasan dokter, menyusul senyum lebar dari kedua kawannya. Antara percaya tak percaya, yang saat pada saat itu dirasakan oleh Dion dan Maria tidak lain dan tidak bukan hanyalah rasa lega, senang dan terharu. Karena setelah berhari-hari kritis, Randy akhirnya ada perkembangan.

“Entah ini beneran ada hubungannya dengan yang cewek itu bilang atau nggak,” Maria menjeda ucapannya demi menyeka air mata di pipinya, “yang jelas, gue sampai nggak bisa berkata apa-apa. Kak Dion, Kak Randy bakal sembuh!”

Dion mengangguk-anggukkan kepalanya, sama seperti temannya itu dia pun ikut menangis. “Berarti lo setuju kalau misi itu dilanjutkan?”

“Kalau memang bisa bikin Kak Randy kembali, kenapa nggak?”

Namun, kegembiraan keduanya tidak serta merta dirasakan oleh Raina. Bukan karena dia tidak senang karena tubuh Randy memberikan respons baik, melainkan karena Raina sendiri punya masalah yang lebih besar. Mengingat, hingga hari itu Leon belum juga menghubunginya, bahkan panggilan-panggilan Raina juga tidak ada satu pun yang direspon. Seolah Leon sengaja menghilang, ditelan bumi.

*_*

“Rin ..., Rin ....”

Mendengar rintihan sang mertua, Rindu yang sedang berada di kamar mandi buru-buru menyudahi aktivitasnya. Dia mencuci tangannya sebentar sebelum akhirnya keluar dan menghampiri pria tua yang kini terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus terpasang di pergelangan tangan kiri. Dengan lembut Rindu bertanya, “Kenapa, Pak? Ada yang sakit?”

Parjan menunjuk sebotol air di atas meja. “Minum. Haus.”

“Sebentar ya, saya ambilkan.” Rindu mengambil gelas plastik yang dia simpan di dalam tas, lalu mengisinya menggunakan air mineral tersebut sebelum akhirnya disuapkannya pada Parjan, namun baru saja sampai di dekat bibir, pria tua berkepala botak itu malah menutup mulutnya rapat-rapat. “Lho, kenapa? Tadi katanya haus.”

“Panas. Aku mau air panas.”

“Air panasnya tidak ada, Pak. Sekarang minum ini dulu ya? Nanti sore Nasya ke sini buat bawakan air panas.”

“Nggak mau! Aku mau air panas!”

Rindu menarik kembali segelas air itu dan meletakkannya ke atas meja. Sebenarnya, dia bisa saja membeli air panas di kantin puskesmas tetapi masalahnya Rindu sama sekali tidak punya uang sekarang. Semua uangnya habis untuk melunasi tunggakan BPJS milik mertuanya.

Sebetulnya, Rindu selalu menyisihkan uang untuk membayar asuransi kesehatan keluarganya, termasuk orang tua adan mertuanya. Namun, Rindu tidak tahu bahwa selama ini, Siswoyo yang dia percaya justru menggelapkan uang yang harusnya dibayarkan. Padahal Rindu selalu memberi pria itu uang, terlepas dari uang jajan dan rokok.

Kalau saja mertuanya tidak sakit, Rindu tak mungkin tahu bila tunggakan asuransi kesehatan mertuanya begitu banyak. Akhirnya, supaya Parjan yang terkena stroke cepat ditangani, Rindu dengan sangat berat hati harus segera melunasi seluruh kekurangannya. Meskipun artinya seluruh tabungan, termasuk tabungan sekolah anak-anak ikut terpakai. Bukan karena terlalu mahal, melainkan karena Rindu yang terlalu miskin.

Uang segitu mungkin tak berharga buat orang lain, akan tetapi untuk seorang perempuan miskin yang menanggung seluruh beban di pundaknya seperti Rindu, jelas itu tak main-main.

“Mbak, mau pakai air saya saja?” Seorang perempuan paruh baya yang keluarganya dirawat tepat di samping Parjan menepuk bahu Rindu. “Kasihan bapaknya.”

“Nggak apa-apa, Mbak?”

“Iya. Ambil saja,” lanjutnya sembari menyodorkan termos air berukuran besar kepada Rindu. “Namanya orang tua ya begitu, Mbak. Kadang menyebalkan. Tapi insya allah kalau kita sabar akan diganti pahala oleh Yang di Atas.”

Rindu hanya menanggapi dengan senyuman penuh basa-basi. Sebab, ucapan seperti ini sudah menjadi makanannya sehari-hari. Malah, Rindu ingat betul dari dia kecil sampai setua itu, belum pernah dia absen mendengarnya keluar dari mulut kedua orang tua kandungnya. Pun itu jugalah alasan Rindu mau menikah dengan Siswoyo, karena dia percaya pada pilihan orang tuanya. Apa pun yang bapak dan ibunya katakan sudah pasti yang terbaik untuknya, karena semua orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Hanya saja, kalau dia berkesempatan melihat anak-anaknya besar nanti, Rindu tidak akan pernah merasa se-sok-tahu itu. Itulah kenapa dia pada akhirnya membebaskan Raina memilih jalannya sendiri.

Raina gadis yang cerdas. Dia seharusnya bisa berkuliah, kalau saja Siswoyo tidak mencuri uang pendaftaran kuliahnya dahulu.

Seolah terkoneksi, tepat setelah Rindu memberi minum si mertua, ponsel pintarnya berdering, menampilkan nama sang putri. Dia mengangkatnya. “Halo, Nak? Apa kabar?”

 “Baik, Bu.”

Tangan Rindu meraih pinggiran kasur tempat kakek dari anaknya tidur, lalu duduk di lantai di bawahnya. “Kenapa? Tumben nelpon? Nggak kerja?”

“Ibu nggak senang aku telepon?”

“Ya senang lah, Raina. Maksud Ibu, ini kan masih jam kerja.” Rindu menengok ke arah jam dinding yang terdapat di atas pintu kamar ruang perawatan, yang jarumnya baru menunjukkan pukul lima sore. “Nanti kamu dimarahi bosmu lho.”

“Nggak. Ini sudah mau pulang. Lagi tunggu bus.”

“Oh. Leon nggak jemput?”

“Nggak. Dia banyak kerjaan.”

“Syukurlah. Ibu senang dengarnya.”

Sebagai seorang ibu, tidak ada yang lebih menyenangkan bagi Rindu selain mendengar kabar baik dari anaknya. Terlebih selama ini ada Leon yang senantiasa menjaga Raina.

Sungguh senang hati Rindu kalau pemuda itu nantinya bisa menjadi pasangan Raina. Paling tidak, Raina tak akan mendapatkan suami kejam seperti ayahnya.

“Semua sehat kan, Bu?”

Tak mau membuat anaknya cemas, Rindu pun memutuskan berbohong. “Alhamdulillah semua di sini sehat. Kamu juga di sana jaga kesehatan ya? Makan yang cukup. Nggak usah pikirkan Ibu.”

*_*

Seberapa dewasa pun usia manusia, akan selalu butuh ibu dalam hidupnya. Kalimat tersebut juga berlaku bagi Raina.

Tidak peduli seberapa benci dia pada sikap sang Ibu yang terlalu baik hati, sehingga bisa dengan mudah dimanfaatkan oleh orang lain, tetapi sejujurnya dia pun selalu mengagumi Rindu melebihi apa pun.

Bagi Raina, sang ibu ialah perempuan terhebat di dunianya. Tidak sekalipun Rindu pernah mengeluh dalam membesarkan Raina dan adik-adiknya. Bahkan dalam kondisi sakit, Rindu tetap bekerja demi bisa memenuhi kebutuhan mereka.

Raina ingin menjadi seperti ibunya dalam artian semangat dan kerja kerasnya, tidak dengan kemalanganya.

“Dari tadi dicariin ternyata malah di sini.” Randy yang tiba-tiba muncul membuat Raina terkejut. Refleks dia mengayunkan tas jinjingnya ke udara, berniat memukul Randy meski percuma. “Santai! Santai!”

“Bisa nggak kalau muncul jangan ngagetin? Gue bisa-bisa jantungan.”

Randi nyengir. “Maaf. Habisnya, lo balik nggak ngomong dulu.”

“Idih!” Raina mengerutkan kening, menatap Randy jijik. “Memang lo pikir lo siapa? Gue nggak punya kewajiban ya buat selalu laporan tiap mau ngapain saja.”

“Bukan begitu, Rain.” Randy berniat merangkul pundak gadis itu meskipun sia-sia. “Anak-anak lagi nyariin lo itu di dalam.”

“Anak-anak? Anak siapa?”

“Dion dan Maria, maksud gue.”

“Ada apa?”

“Mau ngomongin gue lah, apa lagi?”

Raina menghela napas panjang. “Sudah deh. Besok saja lagi. Gue capek. Ingin pulang. Istirahat.”

“Jangan begitu dong! Waktu gue hanya sedikit lho.” Randy merengek. “Masih banyak lho ini yang perlu didatangi.”

“Makanya, lo itu jadi orang jangan banyak nyakitin perempuan! Kalau sudah begini, baru tahu rasa.”

“Kenapa lo malah maki-maki gue?” Randy yang tidak terima membalas ketus. “Tugas lo hanya buat bantun gue, bukan menilai kelakuan gue. Lagian, benar atau salah itu kan relatif.”

“Ya sudah! Iya!”

Begitulah kemudian Raina akhirnya bisa berada satu meja dengan Dion dan Maria. Ketiganya duduk di salah satu meja di kantin rumah sakit, memesan secangkir kopi dan dua gelas es kapucino serta beberapa makanan ringan. Sementara Randy yang tidak mendapat jatah hanya bisa menatap makanan-makanan tersebut  dengan perasaan iri.

“Jadi, besok kita harus ke mana?” Maria membuka pembicaraan.

Raina mengeluarkan buku yang dia simpan di dalam tas dan diletakkannya ke atas meja. “Kalau menurut catatan yang sudah gue bikin bareng Randy, harusnya kita bisa lebih mudah menentukan.”

Dion dan Maria mencondongkan tubuhnya, mencoba membaca apa yang Raina tulis di sana. “Livia saja dulu, bagaimana?” celetuk Maria. “Gue tahu kok alamat barunya.”

“Atau Milly saja?” Dion menyahut. “Dosa Randy ke dia kayaknya lumayan besar.”

“Tapi kalau kesalahan besar begini takutnya nggak gampang memaafkan,” jelas Maria. “Daripada buang-buang waktu mending kita cari dulu yang gampang-gampang. Jasmin kayaknya cocok kita pilih jadi tujuan berikutnya.”

“Bukannya dia sudah pindah ke Ausie?”

“Memang iya?” Maria malah balik bertanya. “Kok gue malah baru tahu? Sejak kapan, Kak Di?”

“Tiga tahun lalu, kalau nggak salah. Dia kan nikah sama orang sana dan sudah punya anak juga. Gue pernah lihat video Tiktok-nya melintas di fyp.”

“Atau begini saja,” Raina yang sejak tadi diam akhirnya buka suara, “bagaimana kalau khusus yang lokasinya jauh, kita minta maafnya via daring saja?”

“Maksudnya?”

“Ya, kita kirimi mereka pesan via sosmed atau email.”

“Iya kami paham, tapi apa itu tetap bisa diterima?”

Raina menoleh pada Randy, yang langsung membuat pria itu gelagapan. “Kayaknya sih bisa. Malaikat itu hanya bilang supaya gue minta maaf, dan nggak ada peraturan kalau harus secara langsung.” Yang kemudian disampaikan ulang oleh Raina kepada dua lainnya.

“Tapi buat jaga-jaga, untuk yang terjangkau kita harus menemuinya langsung. Takut kalau-kalau malaikat itu berubah pikiran. Kayak yang lo bilang kemarin, dia tiba-tiba saja mengubah peraturan soal batas waktu. Bukan nggak mungkin ke depannya itu malaikat bakal melakukan hal yang sama juga.”

“Kak Dion benar.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My Doctor My Soulmate
120      107     1     
Romance
Fazillah Humaira seorang perawat yang bekerja disalah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Fazillah atau akrab disapa Zilla merupakan seorang anak dari Kyai di Pondok Pesantren yang ada di Purwakarta. Zilla bertugas diruang operasi dan mengharuskan dirinya bertemu oleh salah satu dokter tampan yang ia kagumi. Sayangnya dokter tersebut sudah memiliki calon. Berhasilkan Fazillah menaklukkan...
Premium
Adopted
2563      1149     1     
Romance
Yogi Ananda dan Damar Raditya dua pemuda yang terlihat sempurna dan mempunyai keluarga yang utuh dan bahagia. Mereka bertemu pertama kali di SMA dengan status sebagai kakak dan adik kelas. Terlahir dengan wajah tampan, dikaruniai otak cerdas, memiliki perangai baik sehingga banyak orang menyukai mereka. Walau berasal dari orang tua kalangan kelas menengah tidak menghentikan langkah mereka untuk m...
MAKE ME NEGATIVE THINGKING
1834      782     4     
Humor
Baru tahun ini aku mengalami hari teristimewa yang membuatku merasa bahagia beralih kesifat P E S I M I S. kalian ingin tahu kenapa?
Chapter Dua – Puluh
3804      1534     3     
Romance
Ini bukan aku! Seorang "aku" tidak pernah tunduk pada emosi. Lagipula, apa - apaan sensasi berdebar dan perut bergejolak ini. Semuanya sangat mengganggu dan sangat tidak masuk akal. Sungguh, semua ini hanya karena mata yang selalu bertemu? Lagipula, ada apa dengan otakku? Hei, aku! Tidak ada satupun kata terlontar. Hanya saling bertukar tatap dan bagaimana bisa kalian berdua mengerti harus ap...
Janji-Janji Masa Depan
15713      3627     12     
Romance
Silahkan, untuk kau menghadap langit, menabur bintang di angkasa, menyemai harapan tinggi-tinggi, Jika suatu saat kau tiba pada masa di mana lehermu lelah mendongak, jantungmu lemah berdegup, kakimu butuh singgah untuk memperingan langkah, Kemari, temui aku, di tempat apa pun di mana kita bisa bertemu, Kita akan bicara, tentang apa saja, Mungkin tentang anak kucing, atau tentang martabak mani...
Ginger And Cinnamon
7721      1709     4     
Inspirational
Kisah Fiksi seorang wanita yang bernama Al-maratus sholihah. Menceritakan tentang kehidupan wanita yang kocak namun dibalik itu ia menyimpan kesedihan karena kisah keluarganya yang begitu berbeda dari kebanyakan orang pada umumnya itu membuat semua harapannya tak sesuai kenyataan.
Alpha Romeo
69      63     0     
Romance
Dean kehilangan calon pengantinnya beberapa bulan sebelum pernikahan. Dean mengetahui bahwa Selina terlibat dalam kasus kematian Alana. Alana dan Selina mengalami kecelakaan di hari yang sama. Selina selamat dari kecelakaan tersebut, namun dia tidak mengingat apapun. Dean merasa terpukul dan berniat membalas dendam pada Selina yang merupakan tunangan dari sahabatnya, Nicholas. Tidak peduli deng...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1320      785     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
HEARTBURN
396      291     2     
Romance
Mencintai seseorang dengan rentang usia tiga belas tahun, tidak menyurutkan Rania untuk tetap pada pilihannya. Di tengah keramaian, dia berdiri di paling belakang, menundukkan kepala dari wajah-wajah penuh penghakiman. Dada bergemuruh dan tangan bergetar. Rawa menggenang di pelupuk mata. Tapi, tidak, cinta tetap aman di sudut paling dalam. Dia meyakini itu. Cinta tidak mungkin salah. Ini hanya...
A Missing Piece of Harmony
302      233     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...