“Jujur gue masih nggak bisa sepenuhnya percaya. Ini terlalu nggak masuk akal. Nggak bisa diterima logika.” Walau telah memaksakan diri nyatanya Maria tidak bisa berhenti menggerundel.
Di sisi lain, Dion dan Raina hanya bisa terdiam.
Bukan hanya Maria, kedua orang di satu meja yang sama dengannya itu pun juga belum bisa sepenuhnya percaya, meskipun dalam kasus Raina, dia bisa melihat Randy dengan mata kepalanya sendiri. Akan tetapi, justru itu menjadi beban tersendiri karena kini dia menjadi satu-satunya orang yang akan diserang dan disalahkan kalau terjadi apa-apa di masa depan.
“Lagian, bisa-bisanya lo sama Randy menyembunyikan masalah sebesar itu dari gue, Kak Di.”
“Sudahlah, Mar, mending lo minum saja itu jus jeruk. Lama-lama bisa jadi teh kalau lo aduk terus-terusan.” Dion meraih gawai miliknya, menghubungi seseorang, tidak lama dia berkata pada sambungan telepon, “Kami sudah di sini, Pak. Anda di mana? Iya, iya, benar. Kami di Kafe Matahari. Langsung masuk saja.”
Meskipun berat, namun Dion tidak punya pilihan, terlebih kalau apa yang dikatakan Raina benar. Karena bagaimanapun juga nyawa Randy jauh lebih berharga ketimbang uang, Dion tidak mau dikatakan sebagai pembunuh karena dianggap menghalang-halangi sahabatnya membayar hutang. Pun memang sudah seharusnya, malah kalau bisa dari dulu, Randy memberikan hak Mona.
Tidak lama seseorang datang, Mona mendorong kursi roda adiknya mendekati meja tempat ketiganya duduk. “Halo, selamat siang?” sapanya dengan senyuman lebar.
Raina membalasnya menggunakan senyum kecil, Dion hanya mengangguk sementara Maria malah menghela napas pendek, tidak senang. Mereka sempat bersalaman sebelum Dion mempersilakan Mona untuk ikut duduk.
“Maaf aku terlambat karena masih harus antar adik ke dokter,” jelas Mona.
Dion memaklumi. “Dia masih terus terapi?”
“Supaya badannya nggak tambah parah.” Mona menggenggam tangan Dita, menandakan betapa bangga dia pada sang adik. “Oh iya, kamu mau pesan apa?”
Bocah itu menggeleng. “Aku mau baca buku saja, di sana!” Sambil menunjuk pojok kafe yang dipenuhi buku. Yang dengan senang hati langsung Mona turuti.
“Nyokap nggak ikut?” tanya Dion begitu Mona kembali.
“Beliau masih di rumah sakit.”
“Nyokap lo sakit?”
Mona mengangguk. “Sudah lama. Kanker. Tapi setelah kemo semakin membaik. Doakan saja.”
Sebagai mantan dan sahabat Randy, baik Mona maupun Dion tentu saling mengenal. Bahkan dulu mereka sering double date. Kalau saja Randy yang gila itu tidak membuat ulah, mungkin dia dan Mona sudah akan menikah dan membina keluarga juga.
Sayang seribu sayang, Randy terlalu kekanakan untuk perempuan seperti Mona. Bahkan bisa dibilang, Randy tidak pernah benar-benar pantas untuk perempuan baik mana pun. Baik di sini dalam artian tulus mencintainya dan bukan sekadar menghadapkan uang dan cinta semalam saja.
“Cinta tahi kucing!” Itulah yang selalu dikatakan oleh Randy setiap kali Dion menasehati, dulu. “Memang perempuan mau kalau gue nggak punya duit? Bukankah tujuan mereka mendekati gue hanya demi uang? Lagian, gue bukan lo, Yon, yang bisa hidup sama satu perempuan seumur hidup. Selamanya terlalu lama kalau hanya dihabiskan dengan orang yang sama.”
*_*
Pernikahan akan sangat menyenangkan bila berhasil mendapatkan pasangan yang tepat. Namun, bila tidak beruntung seseorang akan merasakan hidupnya terpenjara dalam neraka.
Rindu baru saja pulang bekerja di ladang, tubuhnya masih penuh lumpur dan belum sempat mencuci kaki saat suara teriakan anak bungsunya terdengar dari dalam rumah. Buru-buru wanita itu meletakkan ember di tangannya ke atas kursi bambu di depan rumah, lalu masuk ke dalam rumah kayunya yang reyot untuk memastikan.
Di sana lah Rindu melihat Julian kecil berdiri di samping ranjang sang mertua, sambil menunjuk-nunjuk pria tua renta itu, seolah hendak bicara sesuatu. Tubuh si bungsu gemetaran hebat.
Tanpa banyak bicara, Rindu mendekat untuk memastikan. Disentuhnya tubuh dingin sang mertua dan menyadari bahwa pria tua itu tidak sadarkan diri. “Ya Allah! Adik, cepat panggil tetangga!”
*_*
“Selamat siang, Pak Dion!”
“Apa kabar, Pak Bram? Bagaimana perjalanannya? Apakah macet?”
Basa-basi dari kedua pria itu membuat para perempuan yang berada di sana hanya tersenyum tipis, lalu turut menyalami pengacara Randy. Sebagai pihak yang bertanggung jawab dan dipercaya oleh Randy dalam permasalahan hukum, Dion berkewajiban menceritakan masalah yang mereka hadapi, tentu tanpa menyebutkan soal arwah gentayangan dan rencana balas dendam gila.
Dion tidak mau kalau dikemudian hari dirinya dituduh memanfaatkan sahabatnya yang koma. Pun orang tidak akan percaya kalau mereka bilang ini demi Randy sendiri. Arwah gentayangan tak cukup untuk dijadikan landasan hukum.
“Sebelumnya saya mohon maaf karena sepertinya ini tidak akan mudah,” kata Bram. “Karena bagaimanapun juga transaksi hanya bisa dilakukan setelah Pak Randy bangun. Saya butuh tanda tangan beliau. Atau kalau pun bisa, kita tetap memerlukan persetujuan dari keluarga serta ahli waris yang sah.”
“Ahli waris? Gue belum mati ya!” Randy angkat bicara, walau percuma. “Lagian itu kan duit gue. Suka-suka gue lah mau dikasih ke siapa.”
“Masalahnya kan lo nggak kelihatan!” Ucapan Raina spontan membuat seisi meja menoleh, terutama Bram yang keheranan. “Maaf, Pak. Saya lagi main sosmed,” lanjutnya kikuk sambil menunjukkan ponsel pintar di tangan.
“Bisa dilanjutkan saja?” Dion mencoba kembali mengalihkan pembicaraan.
Bram mengangguk setuju. “Seperti yang sudah saya katakan tadi, dikarenakan uang ini cukup banyak kita tidak bisa mengalihkannya begitu saja karena ditakutkan bila keluarga Pak Randy tidak menyetujuinya, maka akan dianggap sebagai penggelapan. Meskipun misalnya apa yang dikatakan Pak Dion benar, bahwa Pak Randy memiliki hutang terhadap Bu Mona, tetapi dalam hal ini sangat sulit dibuktikan karena tidak adanya kuitansi pembayaran.”
Mendengar hal tersebut keluar dari sang pengacara segera membuat Randy kecewa. Tanpa sepatah kata pun, meski sebenarnya tidak akan ada yang tahu juga, dia berdiri dari kursi lalu berjalan meninggalkan ruangan. Raina yang menyaksikannya pun hanya bisa terheran-heran, kemudian mengikutinya.
“Rain?”
“Aku ke toilet sebentar,” pamit Raina saat Maria bertanya. Namun, seperti yang terlihat dia justru menuju pintu keluar, berusaha menyusul Randy yang langkahnya lebar. “Ran! Randy!” panggil Raina. “Lo mau ke mana?”
Tidak langsung menjawab, pria itu bergeming.
“Pertemuannya belum selesai lho!” ujar Raina.
“Iya, gue tahu!”
“Terus kenapa lo malah pergi kayak begini? Nggak profesional banget!”
Pernyataan Raina seketik menghentikan langkah Randy, memaksanya berbalik. “Tahu apa lo soal profesional? Lo nggak tahu kan rasanya jadi gue? Gue sekarat.”
“Memang. Semua orang juga tahu.”
Randy menggeleng. “Nggak. Lo nggak tahu rasanya jadi orang sekarat.”
“Gue nggak pernah bilang kalau gue tahu rasanya sekarat! Gue hanya bilang kalau semua orang tahu bahwa lo sekarang sedang sekarat! Dan itu beda, Randy.”
Dilanda rasa malu, Randy yang mukanya memerah menjawab, “Ya intinya lo nggak tahu rasanya jadi gue, kan? Gue yang selama ini kerja keras buat menghasilkan duit, malah nggak bisa apa-apa saat butuh! Ternyata, selama ini yang berkuasa cuma badan gue. Tanpa badan, gue nggak lebih dari arwah gentayangan. Dan sebentar lagi gue bakal mati.”
“Tahu dari?”
“Ya ampun!” Randy mengacak rambunya sendiri saking kesalnya. “Lo sudah pikun atau bagaimana? Lo nggak dengar kemarin gue bilang apa? Malaikat Maut Sialan itu bilang kalau ..., ini hari ke sepuluh, Rain! Nanti malam gue bakal dijemput!
“Gue bakal dibawa ke neraka kalau tabung sialan ini,” dia mengeluarkan benda kecil yang dimaksud dari dalam saku dan menunjukkannya pada Raina, “tetap kosong! Lo lihat dong! Gue cuma punya waktu beberapa jam lagi tapi sampai sekarang —”
“Tunggu!” Raina menyipitkan alis, mencoba mengamati tabung di tangan Randy dengan saksama. “Itu memang ada garis merahnya ya?”
“Merah?” Randy yang kebingungan langsung mengikuti arah yang dimaksud, dan alangkah kagetnya dia saat mendapati tanda ditabung terisi oleh goresan merah. “Jangan-jangan?”
Tanpa aba-aba Randy kembali berlari mendekati kafe, yang lagi-lagi memaksa Raina untuk ikut. Akan tetapi, begitu mereka kembali pertemuan telah selesai. Bahkan Bram baru saja meninggalkan kafe.
“Kak Mona, mana?” Napas Raina terengah-engah.
Maria menunjuk ke salah satu sudut kafe, tempat Mona sedang menyuapi Dita dengan sepotong kue. “Lo kenapa sih? Kayak habis dikejar setan saja.”
Tak mengacuhkan cemoohan Maria, Raina langsung menghampiri Mona.
“Kak?”
Mona mengangkat kepalanya, menatap Raina bingung. “Ya?”
“Kenapa?”
Tatapan mata Raina sudah cukup membuat Mona paham. Perempuan itu tersenyum. “Bilang ke Randy, aku menunggunya bangun supaya bisa mendapatkan uang itu kembali. Jadi, cepatlah sembuh.”