“Gue baru saja bunuh orang!”
Kaget adalah satu-satunya reaksi yang bisa diberikan oleh Dion saat mendengar pengakuan Maria. Tanpa banyak bicara, pria kepala tiga itu langsung bergegas meninggalkan rumah, melewatkan makan malam bersama istri dan kedua anaknya.
Begitu dia sampai di kediaman Randy, Dion langsung bisa melihat Maria. Gadis itu mondar-mandir di depan pintu, menggigiti kuku jari tangannya sendiri sebagai usaha meredam kepanikan. Dan begitu dia melihat mobil Dion berhenti, buru-buru Maria berlari menghampiri.
“Kak Dion, aku harus bagaimana? Aku nggak mau dipenjara!” katanya panik.
“Lo tenang!” Dion menepuk-nepuk bahu Maria pelan. “Kita masuk dulu ya. Nanti bicarakan di dalam.”
Manut, Maria pun menyeka air mata. Lalu, bersama-sama dengan Dion menghampiri pintu rumah yang dikunci. Maria sengaja melakukannya, takut kalau-kalau mendadak akan ada orang asing memaksa masuk dan akan menemukan tubuh gadis itu tergeletak di lantai. Meskipun agaknya ini berlebihan. Namun bukankah segala sesuatu mungkin terjadi? Setidaknya begitulah pikir Maria, sebagai seorang asisten selebriti seterkenal Randy, sudah terlalu banyak pengalaman tak masuk akal yang pernah dia temui. Dari hal receh seperti didatangi fans Randy tiba-tiba, sampai seperti malam ini, adanya fans yang masuk ke rumah untuk menyusup.
“Ini, Kak!” Maria menunjuk tubuh Raina yang masih terkulai tak berdaya, lengkap dengan pentungan baseball sebagai barang bukti. “Apa kita harus lapor polisi?”
Dion bergeming sebentar sebelum akhirnya menjawab yakin. “Jangan! Masalah kita sudah banyak, kalau sampai ada media yang mengendus bisa jadi masalah yang lebih besar.”
“Terus, ini dia kita apakah?”
“Bantu gue ambil plastik!”
“Buat?”
“Jangan bilang lo mau memutilasi dia?” Randy yang sejak tadi ada di sana akhirnya buka suara, tapi percuma.
Dion menjawab, “Membungkus barang bukti. Habis itu lo bantuin gue bawa mayat ini ke mobil, kita harus bawa dia ke klinik.”
Maria dan Randy seketika menghela napas lega.
Bersamaan dengan itu Dion berjongkok, mendekati tubuh Raina yang ternyata masih bernapas. “Dia hanya pingsan.”
“Masa?” Maria spontan ikut mencongdongkan tubuhnya ke arah Raina, dan berkata, “Syukurlah.”
*_*
Begitu membuka mata hal pertama yang Raina rasakan ialah rasa sakit, menjalar dari ujung kepala ke seluruh tubuh. Bersusah payah dia mencoba menggerakkan badan tetapi baru sadar bahwa kini dia diikat di sebuah kursi, sementara di hadapannya sepasang manusia menatapnya dengan tajam, seolah-olah dia adalah penjahat mengerikan.
“Gue kenapa?”
Mendengar pertanyaan disertai rintihan itu meluncur dari bibir mungil Raina, Maria menjawab, “Harusnya kami yang tanya, kenapa lo ada di sini?”
Ingin mengusap wajah tapi tak bisa, Raina pun hanya bisa mengedip-ngedipkan kelopak matanya berulang. Lantas, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, menatap rumah Randy yang besar dan didominasi warna putih.
“Mau maling lo ya?” Maria menuduh.
Sambil menahan rasa nyeri, Raina menggeleng lemah. “Gue disuruh.”
“Sama siapa?” Dion yang sejak tadi dududk diam di sofa akhirnya berdiri. “Media mana yang mengirim lo?”
“Bukan media.”
“Lalu, siapa? Joana?”
Raina lagi-lagi menggeleng.
“Terus siapa?”
“Jangan main-main! Kami bisa menjebloskan lo ke penjara karena dianggap melakukan penyusupan tanpa izin.”
Raina tentu panik mendengar ancaman tersebut. Dia ingin kabur, namun tidak mampu. Dion mengunci temali terlalu kuat. “Jangan dilaporin polisi, Kak! Jangan! Saya janji akan jelaskan semuanya tapi lepaskan dulu ikatannya.”
“Nggak! Kami nggak akan membebaskan lo sebelum membeberkan semuanya. Mengingat nggak ada jaminan kalau lo nggak bakal kabur.”
“Kak Dion benar!” Maria menyahut. “Jangan harap lo bisa lolos setelah masuk ke rumah orang tanpa izin! Sekarang jawab pertanyaan kami, siapa dan bagaimana bisa lo masuk ke rumah ini?”
Raina yang putus asa menengok ke anak tangga paling bawah, tempat Randy terduduk lemas menyaksikannya. “Gue harus apa?”
Alih-alih membantu, Randy malah menaikkan kedua bahunya bersamaan.
“Benar-benar lo ya! Ini kan ide lo!”
“Heh! Malah ngomong sendiri!” Maria membentak lalu menarik muka Raina dengan telunjuk. “Gila lo ya?”
“Maaf, Kak. Tapi, saya hanya disuruh.”
“Apa yang menyuruh juga lah yang ngasih kode rumah ke lo?” selidik Dion.
Lagi, Raina mengangguk. “Benar.”
“Siapa dia?”
Raina tahu bahwa sebentar lagi dia akan dianggap gila, sebagaimana sebelum-sebelumnya tapi tak punya pilihan, dia pun akhirnya berterus terang. “Randy. Randy yang nyuruh saya.”
“Randy?”
“Randy siapa?”
Gadis itu melanjutkan, “Randy Bagaskara.”
“Pemilik rumah ini?”
“Tepat sekali.”
PLAK!
Tamparan meluncur dari tangan Maria ke pipi halus gadis itu, membuat Raina kembali berkunang-kunang, juga membulatkan mata Dion dan Randy yang menyaksikan adegan tersebut.
“GUE SERIUS! NGGAK LAGI NGAJAK LO BERCANDA, ANJING!” Maria meninggikan suaranya. “Kalau mau bohong minimal pakai logika! Bagaimana bisa orang yang lagi koma nyuruh lo masuk ke rumahnya? Halu boleh tapi minimal tahu etika.”
“Mar ....”
“Orang kayak begini itu harus dikasih pelajaran, Kak Di, biar nggak tuman.”
“Tapi –” Baru saja mulut Raina hendak terbuka, langsung dibuat mingkem kembali oleh Maria.
“Tapi apa? Nggak usah banyak alasan! Sudah deh, Kak, mending kita laporin saja orang kayak begini ke polisi biar dipenjara.”
“HAH?”
“Maria, jangan!” Randy berlari menghampiri asistennya, berharap bisa didengar walau dia sendiri tahu hal itu mustahil. “Maria, dengarkan dulu dia ngomong apa! Dion, tolong! Hentikan dia!”
Sebagai satu-satunya pria berwujud manusia, Dion mencegah tangan Maria saat hendak meraih ponsel.
“Kenapa, Kak?”
“Tolong jangan dulu!” pinta Dion. “Seperti yang gue bilang tadi, ini terlalu berisiko. Mending kita dengarkan dia dulu.” Dia melepaskan tangan Maria, dan berbalik pada Raina yang masih ketakutan. “Barusan lo bilang disuruh sama Randy, kan?” Yang langsung dijawab anggukan oleh lawan bicaranya. “Kapan dia nyuruh lo? Sebelum kecelakaan?”
Raina menggeleng cepat.
“Beberapa bulan lalu?”
“Beberapa jam lalu.”
Maria dan Dion saling menatap satu sama lain, lalu dengan kompak menghela napas panjang.
“Gila ini orang!” ujar Maria.
Namun, Dion memilih kembali bertanya, “Maksudnya?”
Dari caranya menatap, Raina tahu kalau Dion sedang menganggapnya gila sekarang. Hanya saja, dia tak bisa melakukan apa pun selain menceritakan semuanya. Dari awal pertemuannya dengan arwah Randy, sampai rencana pria itu mengambil cek seharga lima ratus juta rupiah dari kamar. Yang tentu menuai kebingungan dari kedua orang di hadapannya tersebut.
Malah, Maria terang-terangan menuduhnya penipu. “Jadi, intinya lo mau uang?”
“Bukan saya, Kak, tapi Kak Mona.”
“Jadi, lo suruhan Mona?”
“Bukan. Saya disuruh Randy.”
“Cukup!” Maria mengacungkan telunjuk kirinya. “Lo pikir gue bisa ditipu? Gue kenal sama banyak konten kreator indigo, dan lo nggak akan bisa nipu gue kalau kebanyakan dari kalian itu penipu.”
“Saya nggak bohong, Kak.”
“Apa buktinya kalau lo nggak bohong?”
Raina pun mengusulkan cara yang sama dengan yang dia lakukan kepada Mona, tetapi menurut Maria itu terlalu berisiko. “Nggak! Bisa jadi ini sekadar akal-akalan lo supaya bisa menarik informasi dari kami berdua.”
“Gue setuju, Mon. Atau begini saja, kalau lo memang bisa bicara dengan Randy, lebih baik lo tanya ke dia tentang rahasia apa di antara kami bertiga yang hanya kami ketahui satu sama lain. Yakinkan kami dengan informasi yang lo ketahui.”
Tak mau buang kesempatan, Raina menyetujui dan langsung menoleh ke Randy.
“Apa?” Yang dimaksud malah berlagak polos, tak tahu apa-apa. “Pernyataan apa?”
“Lo jangan main-main!” Raina yang kesal mengayunkan kakinya ke udara, hendak menendang Randy meski sia-sia. “Masa depan gue ini jadi taruhan!”
“Iya, iya. Bentar, gue pikir dulu!”
“Cepat!” desak Raina saat menyaksikan pria transparan itu menempelkan tangan ke kening, seakan sedang berpikir keras. Dua detik berikutnya, dengan muka semringah Randy menyudahi aksinya. “Apa?”
Randy berdeham, lalu menoleh ke arah Dion. “Manusia ini suka banget sama kucing.”
“Semua orang juga tahu itu,” kata Dion begitu Raina menyampaikan pesan tersebut padanya dan Maria.
“Gue masih punya rahasia lagi,” tambah Randy. “Maria kalau tidur suka gigitin bantal.”
“MELEDEK LO!”
Hampir saja sebuah pukulan mendarat untuk ke sekian kalinya ke muka Raina, kalau saja Dion tidak menghentikan aksi Maria. “Jangan! Maria! Tahan diri!”
“Kalau bukan karena Kak Dion, sudah gue bikin babak belur lo.”
“Maaf, Kak!” pinta Raina. Lalu, dia menoleh pada Randy. “Serius! Gue sudah bonyok ini, Ran!” lanjutnya berkeluh. “Lagian lo mau hidup nggak sih?”
“Ya mau dong!”
“Ya sudah, buruan! Kalau gue mati, lo juga mati!”
Randy mengacak rambutnya sendiri dengan kasar, lalu menghela napas panjang. Sebagai orang yang sudah menghabiskan belasan tahun hidup bersama dengan Dion dan hampir sepuluh tahun dengan Maria, Randy harusnya punya banyak kartu kunci untuk dikatakan. Namun sayangnya, Randy sendiri bukan pengingat yang baik, atau lebih tepatnya kurang memperhatikan sekeliling. Dia menyesal untuk itu. Hidupnya selama ini hanya soal musik, uang, perempuan dan bersenang-senang. Padahal di saat sekarat, memang itu semua penting juga, tapi orang terdekat lebih dari itu.
Hingga kemudian Randy mengangkat kepalanya, menatap Dion dengan penuh sesal. “Gue tahu kita sudah sepakat untuk mengubur rahasia ini dalam-dalam, tapi gue nggak punya pilihan lain, Yon.
“Lo dan Karin,” dia menjeda kalimatnya sebentar untuk mengatur napas, “bayangkan apa yang akan dikatakan oleh nyokap dan bokap lo kalau tahu bahwa Karin nggak bisa punya anak? Mereka pasti akan meminta lo meninggalkannya, bukan?”
Dion yang mendengar perkataan Raina seketika membatu, sedangkan Maria di sebelahnya hanya bisa terheran-heran.
“Sebagai sahabat lo, gue nggak mungkin tega melihat lo kehilangan perempuan yang lo cintai, sebagaimana gue kehilangan orang yang sangat gue sayang. Rasanya nggak enak, Yon.
“Itulah kenapa atas ide gila dari gue, kita merencanakan semuanya dengan matang. Termasuk dari bagaimana Ayla dan Merida dihadirkan ke keluarga kalian. Ingat?”
Dion merasa sekujur tubuhnya dilucuti.
Air mata ayah dua anak itu luruh, mengingat kejadian sepuluh tahun lalu saat dia dan Karin baru saja menikah. Istrinya divonis kanker dan harus menjalani pengangkatan rahim, sedangkan di sisi lain kedua orang tua Dion menginginkan hadirnya cucu. Apa jadinya bila orang tuanya yang sejak awal tidak suka Karin mengetahui fakta tersebut?
Dion sudah pasti akan langsung diminta meninggalkan Karin. Dan jelas Dion tak akan mampu melakukannya. Dan jikalau dia memaksa memilih Karin serta meninggalkan orang tuanya, Dion lebih tidak sanggup lagi. Orang tuanya terlalu berkuasa, ayahnya yang anggota dewan bisa melakukan apa saja. Itulah kenapa, berbekal ide gila dari Randy mereka mendapatkan jalan pintas.
Randy mengambil tur sepanjang tahun, meminta Dion membawa serta istrinya. Mereka melakukan sandiwara kehamilan selama itu pula. Tentu, orang tua Dion sangat marah saat tahu menantunya yang hamil dibawa bepergian tapi Dion berhasil meyakinkan mereka bahwa Karin juga menginginkan hal tersebut.
Seorang bayi yang baru lahir dipilih untuk mereka akui begitu Karin siap, lebih tepatnya di saat usia kandungan Karin delapan bulan, seseorang datang kepada mereka. Bayi perempuanitu lah yang kini menjadi putri mereka. Dan anak keduanya pun Dion hadirkan dengan cara yang sama.
Cara gila, hadir dari orang paling gila.
“Omong kosong!” cemooh Maria. “Lo kalau ngomong jangan ngawur. Ya kali Kak Dion berbuat seperti itu. Jelas-jelas Ayla itu anak kandungnya Kak Dion dan –” Dia terhenti saat melihat Dion tersedu. “Kak?”
“Randy beneran ada di sini?” Suara Dion bergetar.
Raina mengangguk mantap. “Iya. Dia bersama kita.”