Semakin hari semakin lama, perasaan itu muncul seiring waktu berjalan. Hendrik menyukainya dan tak tahu harus apa, begitu juga dengan Mina.
Hendrik yang pada awalnya tidak menaruh curiga kini mulai merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
Mina tidak pernah sekalipun bercerita tentang kedua orang tuanya bahkan tidak pernah membicarakan rumah atau seseorang yang berharga baginya. Setiap kali mereka bertemu hanya sekadar membahas tentang diri masing-masing.
Hingga suatu hari Hendrik mencoba untuk mencari alamat rumahnya. Ketika saling bertukar pesan, dari situlah Hendrik bisa menemukannya. Dia menerobos masuk ke dalam rumah, tapi pada akhirnya ketahuan oleh seseorang.
Semenjak kejadian itu dia menjadi sangat yakin bahwa Mina adalah gadis yang menjadi targetnya.
***
Pesan e-mail dari seseorang yang mengundang Mina sempat membuat heboh. Nindia enggan jika harus membawa Mina ke tempat itu, tapi mereka tidak punya pilihan.
[Angka-angka dan sedikit huruf ini adalah lokasinya. Aku mengundangmu.]
Berupa titik koordinat yang sepertinya itu bukan sebuah tempat. Terkadang titik koordinat itu berubah-ubah. Guntur dibuat kebingungan karena pada akhirnya tidak bisa menemukan mereka pada dua bulan ini.
Stasiun kereta api yang sepi pada pukul 3 dini hari. Mina menunggu kedatangan keretanya sambil duduk dan tak lama keretanya pun datang. Segera dia naik tanpa perlu menunggu siapa pun.
Earphone nirkabel yang terpasang di kedua telinganya mendapat sinyal, seseorang menghubunginya dan Mina lekas mengangkat panggilan tersebut.
["Mina, hubungi bibi jika ada sesuatu yang terjadi. Jangan gegabah."]
“Baik, bibi.” Mina menjawab panggilan dari Nindia.
Dia pergi sendirian bukan tanpa sebab. Lantaran titik koordinat itu selalu berubah jika orang lain yang mencoba mencari keberadaan tiga orang itu. Namun lain cerita saat Mina yang pergi sendirian.
Guntur mengatakan bahwa titik koordinatnya tidak berubah. Namun, mereka menyesal karena membiarkan gadis itu pergi sendirian tanpa ada yang menemani. Lantas Mina pun berwaspada akan sekitar.
Di sepanjang gerbong yang sepi hanya nampak segelintir orang di dalamnya. Situasi yang hening terasa menyeramkan meskipun lampu di setiap gerbong sangat terang. Mina menghela napas sejenak sebelum akhirnya melangkah ke satu gerbong ke gerbong lainnya.
Dari pesan, Guntur memberi tahu bahwa posisinya begitu dekat dengan titik koordinat itu. Baik itu Guntur dan Nindia, keduanya telah bergegas menyusul ke stasiun berikutnya agar dapat berpartisipasi.
Langkah demi langkah yang pelan tetap terdengar lantang di gerbong yang sepi. Pakaian serba panjang dan berwarna gelap yang dipakainya hampir menutupi seluruh tubuh Mina.
Di tengah-tengah kesibukannya yang hendak menemukan Hendrik, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Karena tidak mengenali itu siapa, Mina lekas mengambil ponsel dari dalam sakunya.
“Ini ponsel yang baru saja dibelikan oleh paman dan bibi. Seharusnya tidak semua orang bisa menghubungiku saat ini.”
Mina berpikir jika itu adalah Hendrik. Namun, dia begitu terkejut setelah mengangkat panggilannya, dia justru mendengar suara perempuan.
["Mina, kamu di mana? Kenapa malah tiba-tiba ijin?"]
“Lia? Kenapa malah kamu yang menelepon? Membuatku takut saja,” ucap Mina dengan suara yang sangat pelan.
Dia memang sudah menyimpan nomor kontak sahabatnya itu, hanya saja tidak menyangkan akan dihubungi di situasi seperti sekarang ini. Dia pun mengobrol panjang lebar dengan Lia sambil melanjutkan pencariannya ke gerbong lain. Kereta sudah mulai bergerak kembali dan itu membuatnya sedikit kesusahan berjalan karena tidak stabil.
Berjalan di gerbong yang sepi hampir seperti berjalan masuk ke dalam gua. Sunyi seolah-olah memang tidak ada siapa pun di sini. Setidaknya suara roda yang menggesek rel kereta api tidak membuatnya merasa sepi.
Sampai lah Mina menuju ke gerbong ke-2, dia melewati seseorang yang duduk di kursi bagian tengah. Mina yang asik menelepon hampir tidak menyadarinya, tepat di depan pintu menuju gerbong paling depan Mina pun berhenti.
["Mina, apa kamu dengar aku? Jangan pulang terlalu lama. Aku nggak mau kalau absenmu penuh diisi karena alasan sakit, ijin, apalagi alfa."]
Suara Lia yang mendengung seperti nyamuk sungguh membuat keheningan ini pecah. Tanpa merespon perkataan Lia lagi, Mina segera menutup panggilan dan mengganti mode ponselnya menjadi mode hening.
Mina menengok ke belakang dan melihat adanya seorang pria yang tetap duduk di kursinya dengan tenang. Lantas Mina menghela napas sejenak, berbalik badan lalu pergi menghampirinya dengan langkah cepat.
Suara dari sepatu yang dia gunakan akhirnya menjadi pusat perhatian pria itu. Keduanya saling bertukar tatap satu sama lain dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Pakaian yang hampir seiras, outer berwarna gelap dengan baju berlengan pendek dan celana panjang. Selain jenis kelamin, penampilan yang membedakan mereka hanya satu, yaitu, aksesori dan sepatu.
“Seorang pria mengenakan gelang?” sindir Mina.
Pria itu tersenyum sesaat lantas berkata, “Ini gelang yang aku buat sendiri dari benang. Orang-orang bilang katanya bisa jadi penangkal.”
“Orang sepertimu takut dengan hantu?”
“Bukan.” Pria itu menggelengkan kepala lantas berdiri dari tempat duduknya. Dengan sedikit menunduk, dia berbisik, “Bukan untuk menangkal hantu melainkan untuk menangkal jenis perempuan sepertimu.”
Sindiran yang biasa dia lakukan tidak pernah sekalipun membuat gadis itu tidak tersenyum. Mina sedikit tertawa lalu mengambil langkah kecil ke belakang dengan niat menghindar.
“Aku jadi heran kenapa ada orang sepertimu? Itu aneh bagiku,” pikir Mina.
“Kalau begitu jangan dipikirkan lagi. Itu akan membuatmu pusing, Mina.”
Pria ini masih sama saja. Setelah semua yang terjadi mereka masih bisa mengobrol dengan santai. Memang seperti inilah Hendrik, wajahnya bagaikan rembulan yang sedang tersenyum. Dia tampan dan juga manis tetapi memiliki sifat yang licik. Namun, itu tidak jauh berbeda dengan Mina.
Keduanya saling memahami satu sama lain, karena mereka memiliki pemikiran yang sama sehingga mereka bisa bertemu di dalam gerbong kereta.
Hendrik melihat Mina secara seksama, tidak mendapati barang bawaan milik gadis itu.
“Kamu datang tanpa membawa barang-barangmu?” tanya Hendrik.
“Sebelum bertanya begitu, alangkah baiknya kalau kakak bercermin.” Mina menunjuk ke arah Hendrik yang juga tidak membawa barang apa pun.
“Kalau aku sih nggak masalah, tapi kamu berbeda.”
Perjalanan ini akan menjadi sangat panjang. Belasan gerbong kereta yang tidak memiliki satu pun penumpang selain mereka kini lebih terlihat seperti sedang disabotase oleh seseorang.
“Seharusnya kamu membawa semua barangmu. Lalu berpisah dengan sahabatmu baik-baik sebelum pergi. Dengan begitu, semuanya akan merasa tenang.”
Kemudian Hendrik kembali duduk di kursinya lalu berdeham dan kembali berkata, “Karena di tempat ini akan menjadi tempat kuburanmu.”
Mina berjalan mendekat pria itu lalu membalas perkataannya dengan ketus, “Belum tentu. Ini bisa jadi bukan tempatku, melainkan tempat kuburanmu.”
Setiap kata yang terucap dengan penuh kelembutan terkesan mengintimidasi. Aura yang ada pada gadis ini tidak seperti gadis pada umumnya, dia terlihat lebih dewasa dibandingkan sebelumnya.
Hendrik terdiam dengan bulu kuduk merinding. Lantas tertawa bahak-bahak sambil menatap tajam pada gadis yang sedang diincarnya. Kalau pada saat itu Hendrik mengincarnya demi menjadikannya sebagai kekasih. Namun, tidak untuk sekarang. Hendrik mengincar nyawanya kali ini.
“Pintar sekali bicara,” ucap Hendrik dengan pelan. Arah pandangnya tidak pernah lepas dari sosok gadis itu.
Mina menanggapi itu dengan tersenyum senang meskipun mungkin tidak dengan hatinya yang kelabu. Tentu saja itu hanya di bagian luar saja, karena sebenarnya Mina pun merasa takut saat berhadapan dengan Hendrik.
“Terima kasih atas pujiannya, kak Hendrik. Ngomong-ngomong hubungan kita bagaimana ya?”
“Bagaimana apanya?” Hendrik seolah enggan menjawab.
“Dua bulan yang lalu, kita berdua saling mengungkapkan jati diri masing-masing. Kemudian aku pergi karena merasa terancam, tapi kita berdua belum memutuskan hubungan ini. Aku benar 'kan?”
Mina duduk di kursi seberangnya. Tetap menghadap pria yang pernah dicintainya, dia menunggu jawaban pasti dengan sebuah harapan yang tinggi.
“Benar. Kita saling mengungkap diri masing-masing tapi bukan berarti kita berdua putus hubungan.”
Percakapan ini sejujurnya tidak ada gunanya. Mina dan Hendrik pun memikirkan hal yang sama bahwa semua pembicaraan ini hanyalah dalih tuk saling mengingat kerinduan yang dalam. Kepercayaan yang sempat dibangun susah-payah telah runtuh, telah hancur berantakan hingga tidak ada yang tersisa sedikit pun.
Terutama Mina yang merasa dikhianati, tapi di sisi lain juga tidak sebab sejak awal dia pun berencana memanfaatkan pria itu.
Saat ini, pada pukul 5 pagi. Sudah dua jam berlalu. Sebentar lagi akan sampai ke stasiun berikutnya.
Mina berhadapan dengan pria—pelaku yang menghabisi keluarganya pada hari itu, seorang diri. Tanpa ada yang menemani, Mina pun dengan sengaja memutus koneksi jaringan agar tidak ada yang mengganggu.
“Jadi kamu mau bagaimana?”
“Aku juga nggak tahu mau bagaimana lagi. Ini semua sudah terlanjur terjadi. Kak, mungkinkah kita harus memutus hubungan kita berdua?”
“Kok malah balik tanya? Aku sendiri juga bingung.”
Hendrik sekali lagi tertawa. Sejak tadi entah apa yang sebenarnya dia tertawakan. Sementara Mina hanya bisa diam tanpa ekspresi. Menatap wajah bahagia seorang pria yang telah melakukan dosa besar.
Begitu mengingat kematian keluarganya, Mina mengubah ekspresinya tanpa sadar. Keningnya berkerut, kedua alisnya hampir menyatu dan dia menggigit bibir bagian bawah dengan kuat sampai terluka. Ini bukan pertama kalinya dia melukai bibirnya sendiri karena amarah yang ada pada dirinya.
“Kalau begitu kita putus hubungan saja. Sekarang.”
Mina menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa pun lagi. Selain ekspresi yang berubah dan kedua tangannya yang mengepal kuat terlihat seperti akan menghajar orang itu.
“Kalau begitu lakukan sebelum aku yang melakukannya. Aku bukan orang yang ramah dan sabar menunggu kamu sampai bergerak dari sana,” tutur Hendrik dengan tegas.
Mulai detik ini keduanya saling berhadapan bukan untuk melepaskan kerinduan, melainkan sebagai musuh dan akan saling berbalas dendam.
Hendrik beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri Mina yang masih terduduk di kursi sambil menatapnya tajam.
“Baiklah, aku akan melakukannya sebelum kamu!”seru Mina seraya mengeluarkan sesuatu dari saku balik lengannya.