Seluruh kota rata dengan tanah. Puluhan hingga ratusan rumah hancur menjadi abu tak meninggalkan sisa kenangan. Tak terhitung jumlah korban yang berjatuhan karena peperangan yang memperebutkan segala hal di sana.
Tidak ada matahari, sedikit cahaya pun sirna. Hanya awan bergumul pekat nampak gelap dan suram. Di hari yang tidak tahu ini pagi atau malam, sesosok anak kecil terbaring lemah hanya ditemani dengan abu yang bertebaran di langit.
Pakaian lusuh, tubuh yang kotor, wajah yang suram penuh dengan kesedihan. Anak itu terlihat sendirian menghadapi semua ini, dalam pandangannya yang redup tetap mendambakan kebahagiaan sempurna namun keinginannya menjadi lenyap begitu sekumpulan orang membawanya secara paksa.
“Hei, kenapa?” Aldi bertanya pada Hendrik yang tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya dalam keadaan panik.
Terlihat wajah Hendrik yang pucat, napasnya terdengar berat dan tidak stabil. Dia berkeringat dingin setelah memimpikan masa lalunya yang sudah berlalu.
“Aku hanya ...bermimpi,” jawab Hendrik sambil melihat telapak tangan kirinya yang gemetar.
Aldi memeriksa keadaannya dari kening yang basah karena keringat, tidak terasa panas melainkan dingin. Aldi tidak merasa bahwa Hendrik sedang sakit.
“Mimpi apa yang membuatmu jadi jelek begini?”
“Jangan mengejekku lagi. Dasar nggak punya perasaan.”
Sore ini mereka telah berangkat menuju ke kota lain dengan menaiki kereta api. Akibat terlalu lelah, Hendrik terlelap dan bermimpi buruk lagi. Setelah cukup tidur dia tidak merasa bugar kembali justru semakin lelah karena tekanan batin.
Hendrik menghela napas lantas meminum sebotol air putih yang baru saja disodorkan oleh Aldi. Sebotol itu habis diminum olehnya, tidak ada yang tersisa.
“Hati-hati kembung.”
“Aku haus.”
Mimpi buruk itu bukan sekadar mimpi biasa melainkan ingatan masa lalunya saat masih berusia 5 tahun. Mengingat masa lalu itu kembali, entah mengapa dia juga teringat dengan sosok Mina yang terlihat polos baginya.
“Kita pertama kali bertemu di mana?” tanya Hendrik tiba-tiba.
“Kau tidak ingat? Itu terjadi saat usiaku 4 tahun, kita bertemu di barak.”
Hendrik dibawa ke sebuah barak militer saat berusia 5 tahun, di sanalah dia bertemu dengan anak-anak yang usianya jauh lebih muda dan yang lebih tua darinya. Termasuk Albert dan Aldi yang satu tahun lebih muda dari Hendrik.
Hanya ada satu alasan mereka dibawa ke tempat itu, mereka semua yang sudah tidak punya keluarga dididik secara ketat lalu dipergunakan sebagai mata-mata yang dikirim ke berbagai negara asing.
Hal yang sulit dibayangkan oleh mereka, sebuah kedamaian tidak ada dalam diri mereka.
Setelah 5 tahun belajar pendidikan umum dan lainnya, Hendrik, Albert, dan Aldi dikirim ke negara, tempat lahir sekaligus tempat tinggal Mina saat ini.
Pada usia yang ke-10, Hendrik sedang menjelajahi bagian tempat pusat perbelanjaan, dan di saat itulah dia bertemu dengan seorang anak perempuan yang sedang berjalan sendirian tanpa pengawasan orang dewasa.
Anak perempuan itu tidak terlihat sedang menangis, justru asik berjalan-jalan tak menentu sambil melihat berbagai hal yang ada di dalam tempat ini dengan wajah ceria dengan giginya yang ompong.
“Anak hilang ya? Kasihan sekali.” Hendrik tersenyum, dia merasa terhibur sejenak karena anak itu.
Mereka sempat berinteraksi sebentar, Hendrik bahkan tidak ragu mengajaknya ke wahana permainan untuk sekadar menghibur gadis itu sampai bertemu kedua orang tuanya lagi.
“Ibu, Ayah, tadi ada kakak,” ucapnya sambil menunjuk ke belakang tapi Hendrik ternyata sudah pergi.
***
Menginjak usia ke-20, Hendrik kali ini bekerja sama dengan Aldi dan Albert tuk meruntuhkan sebuah pondasi sebuah organisasi dalam negeri ini.
Seseorang yang memberi perintah melalui rekaman video tersebut menuntut mereka untuk melakukannya dalam satu hari namun pada akhirnya gagal berulang kali hingga dua tahun pun berlalu.
Mereka bertiga telah menyiapkan rencana secara matang dan menunggu target lengah di hari liburnya bersama keluarga. Mereka mengintai keluarga mereka yang tengah berlibur di kebun binatang.
“Hari ini sudah lama aku tunggu. Tidak aku sangka kalian akan lengah, pasangan Code!”
Menggunakan mobil dengan plat nomor tidak terdaftar, dia menabrakkannya pada mobil target yang di mana mereka adalah Mahendra dan Deswita, kedua orang tua Mina. Ema pun ikut terlibat karena hal itu.
Hendrik segera pergi dari lokasi kejadian lalu melompat keluar dari mobil itu tepat sebelum dengan sengaja menjatuhkannya ke sungai. Sementara Aldi memastikan kematian orang dengan pasti, dia sudah menambahkan sebuah bubuk yang mudah terbakar ke dalam mobil sebelum insiden itu terjadi.
Itulah mengapa kendaraan milik ayah Mina meledak dan terbakar sampai berjam-jam lamanya setelah insiden tabrak lari.
Dan juga Aldi sadar ada satu anak dari keluarga itu masih lolos.
Setelah tugas diselesaikan dan sengaja meninggalkan sedikit jejak, gadis kecil yang sempat dilihat Hendrik mengingatkannya akan anak gadis yang pernah ditemuinya dulu.
Berpikir tidak akan pernah berjumpa lagi dengan anak gadis itu, namun takdir justru berkata lain. Mereka kembali bertemu di jalanan karena kucing hitam yang dipelihara oleh gadis itu.
Sudah bertahun-tahun lamanya dia menyusup ke dalam negeri ini dan tentunya dia sudah mengenal banyak orang tetapi anak laki-laki yang kini telah dewasa justru masih mengingat wajah anak gadis yang pernah ditemuinya dulu.
"Dia ...dia anak ompong waktu itu?" batin Hendrik yang kebingungan karena dia sendiri pun tidak tahu mengapa masih mengenal wajahnya hingga saat ini.
Dia tidak banyak bicara karena sibuk mengingat-ngingat sesuatu. Sementara kedua teman yang sudah dianggap sebagai sesama saudara justru berbincang dengan gadis itu, ramah dan juga santai seperti yang biasa mereka lakukan sebelum akhirnya Hendrik ikut nimbrung.
"Imutnya masih sama seperti dulu," batin Hendrik sambil tersenyum dan menatapnya.
Pada saat itu Hendrik belum sempat mengetahui namanya dan tidak berencana untuk mengenal dia lebih dalam lagi karena takut akan jadi lebih terikat.
“Bos ngirim informasi lagi. Kali ini dua nama yang katanya masih anak-anak.”
“Cuman nama? Fotonya?”
“Dia bilang tidak ada karena pasangan itu menyembunyikan identitas mereka.”
“Lalu siapa?”
Albert menjawab, “Mina dan Ema. Usia mereka terpaut 7 tahun. Yang paling dewasa berusia 17 tahun, Mina.”
Keinginan tuk tidak lagi berkaitan dengan gadis itu sama sekali tidak bisa dikehendaki. Dia selalu dipertemukan dengannya.
Meskipun gadis itu mengenakan pakaian dewasa dan menggunakan kacamata pun dari luar kafe pun tetap tahu itu adalah gadis yang sama. Hendrik melihatnya terlibat lagi dengan Aldi dan Albert.
Pria itu mengurungkan niat dan memilih untuk menunggu di gang kecil sampai gadis itu keluar lalu menghampirinya. Alih-alih kebetulan.
Sebuah fakta mengenai nama gadis itu pun akhirnya terkuak. Hendrik yang sangat terkejut tetap berwajah tenang dan berpikir dalam benak, "Nama Mina itu cukup banyak digunakan. Dia hanya salah satunya."
Namun pemikiran itu tidak bertahan lama dan akhirnya membuat rasa penasaran tentang Mina semakin membesar.
“Aku tadi lihat kalian berdua mendekati seorang wanita?” Setelah berkumpul lagi dengan kedua temannya, Hendrik bertanya.
“Ternyata kau tahu apa yang terjadi di dalam kafe. Ngomong-ngomong wanita itu tahu apa yang kami bicarakan, dan seperti biasa kami mengatakan bahwa itu hanya salah paham.” Aldi kemudian tertawa seolah sedang bercanda.
“Oh begitu rupanya.”