Sisi kebahagiaan dan juga sisi keburukan yang saling berdampingan tidak pernah lepas dari kehidupan setiap makhluk yang ada. Keinginan tuk selalu berbahagia maka segala hal negatif pun juga turut mengikuti. Inilah yang paling menakutkan dari sebuah kehidupan.
Dia yang membenci hujan pun tahu bahwa ada kebahagiaan setidaknya sebelum kecelakaan itu terjadi.
***
Awan berubah menjadi gelap disertai guntur menyambar, hujan deras pun turun dalam sekejap. Mina, seorang gadis berusia 17 tahun berlari sekuat tenaga menuju ke suatu tempat di sekitar agar dapat meneduh untuk sementara waktu. Sekujur tubuhnya sudah basah kuyup tapi dia cukup beruntung karena mendapat tempat teduhan di dekat sini.
“Astaga, astaga, aku takut besok masuk angin,” ucapnya sembari memeluk diri sendiri yang gemetar kedinginan.
Selama beberapa hari ini cuaca terus memburuk bahkan hujan datang tanpa aba-aba sudah sering membuatnya kesal.
Setelah sekitar 1 jam lebih hujan pun reda. Mina bergegas pulang ke rumah.
Hari minggu, hari libur bagi para pekerja juga anak sekolah. Kemarin malam ayah dari gadis itu telah menjanjikan pergi berlibur di suatu tempat wisata yang akhir-akhir terkenal namanya.
“Ayah, apa nanti turun hujan?” tanya Mina.
“Seharusnya ya jangan. Kalau begitu libur kita bisa batal nanti,” jawab sang ayah.
Ibu tertawa mendengar percakapan mereka, lekas pergi menghampiri dari arah dapur sembari membawakan dua botol berisi teh hangat.
“Ibu sudah menyiapkan banyak hal jika benar-benar akan turun hujan nanti. Termasuk ini,” kata ibunya dengan bangga. Dia menunjukkan teh hangat itu dan menempelkannya ke wajah Mina.
Mina yang terkejut lantas meringis, dia merasa wajahnya panas lantas mengambil beberapa langkah mundur ke belakang dan menghindari ibunya yang jahil.
“Ibu, teh itu masih panas.”
“Ini hangat kok.”
Di dalam keluarga kecil ini tidak hanya ada ayah, ibu dan Mina melainkan juga ada si adik kecil yang masih berusia 10 tahun. Kegemarannya main game di ponsel telah melekat selama beberapa bulan ini. Terkadang ibunya juga mengambil paksa ponsel itu agar si adik tidak terlalu sering bermain ponsel.
“Hayo, jangan main lagi.”
Seperti sekarang ini. Ibu lagi-lagi mengambil ponsel dari genggaman tangan si adik. Jelas dia akan merajuk tetapi pada akhirnya kekesalan si adik perlahan runtuh saat diajak pergi jalan-jalan.
“Kenapa hanya Ema yang dimanjain? Aku juga mau,” gerutu Mina. Gadis ini mendengus seraya melipat kedua lengan ke depan dada.
Sang ayah mengelus pelan kepalanya lantas berkata, “Kamu sudah cukup dimanjakan saat masih kecil. Kamu nggak pernah mengingatnya.”
Apa yang dikatakan ayah benar. Mina menghela napas namun rasa cemburu terhadap Ema yang merupakan adiknya tidak pernah menghilang.
Pagi ini terlihat berawan. Tidak ada tanda-tanda hujan akan turun lagi. Mengingat hari kemarin yang secara mendadak hujan membuat satu keluarga berwaspada penuh. Segala hal sudah dipersiapkan, mulai dari payung, jas hujan, obat-obatan bahkan minuman hangat dari teh.
Itu semua ibu mereka yang menyiapkan.
“Mari kita pergi sebelum cuacanya berubah.”
Tempat wisata yang akan mereka kunjungi adalah sebuah kebun binatang. Tempat di sana menghadirkan banyak jenis binatang yang hampir penuh dan juga langka. Ada beberapa binatang yang sering ditemui juga hanya saja memang tidak semenarik dengan binatang langka seperti merak.
Mina menatapnya lebih lama karena merasa setiap bulu di ekornya sangat indah dan memanjakan mata. Seperti dilukis oleh pelukis terkenal, saat burung merak itu menggoyangkan tubuh bagian belakangnya maka ekor serba hijau itu akan terbuka bak tirai di hadapannya.
“Wah cantiknya. Dia mirip dengan sesuatu yang ada di film.”
“Film?”
“Iya ayah. Aku pernah melihat cerita di film yang unik, aku lupa tentang apa.” Mina lantas berjalan lagi ke arah selatan.
Merak bukan hanya satu-satunya yang termasuk langka untuk dilihat. Tempat ini juga menyediakan burung kakak tua putih dengan jambul kuning di kepalanya. Badannya juga cukup besar dan Ema yang geram berkata ingin mencabut jambulnya itu.
“Jangan!” sentak Mina seraya memukul pelan punggung tangan Ema. Dia memberi peringatan keras untuk tidak mengganggu burung itu.
“Ha, astaga, punya adik memang merepotkan.” Mina menggerutu.
“Ya udah sih,” sahut Ema kesal. Lantas berlari menuju ke ibunya dan mengadukan perbuatan Mina barusan.
Kebahagiaan ini memang sulit dicari, meskipun ada pertengkaran sedikit tapi hal-hal seperti itulah yang membuatnya rindu nanti. Mina memandang ke arah sungai kosong dengan tatapan seolah menyayangkan liburan ini.
“Kalau nanti hujan dan aku kehujanan, aku bakalan minta ijin nggak sekolah dengan alasan sakit, hehe.” Ternyata inilah yang dipikirkannya.
Besok adalah hari senin. Siapa yang tidak membencinya kecuali anak-anak sekolah yang semangat belajar. Tidak dengan Mina yang merasa enggan bersekolah di hari senin dan dia berbuat memanfaatkan hujan yang mungkin akan datang.
“Tapi kalau nggak hujan, apa aku harus pura-pura sakit perut lagi?”
Tampaknya itu bukan sekali dua kali Mina berpura-pura agar tidak bersekolah di hari senin meski ibunya terkadang mengetahui niat Mina yang begitu licik.
Selama berjam-jam mereka berkeliling di kebun binatang dan ke tempat sedikit hiburan yang ada di sana dengan menaiki perahu kecil dan berjalan di sungai. Di sini juga terdapat tempat peristirahatan dan makan. Cukup mengasyikkan.
“Setelah makan hari ini, teh hangat yang dibuat oleh ibu kalian memang sangat mantap!” seru sang ayah yang membiarkan Ema duduk di pangkuannya.
Mina memutar bola matanya dan menghela napas lalu mengalihkan pandangan dari mereka dengan kesal. Ibunya yang sadar lekas mengelus kepalanya dengan lembut.
Kemudian berkata, “Kakak Mina sudah besar. Pasti saat dewasa nanti, kakak bisa membantu banyak hal untuk ibu dan juga ayah.”
Sebagai anak sulung atau anak pertama, Mina sadar akan hal itu. Dia mulai beranjak dewasa meski saat ini masih terhitung remaja, dia pun harus melupakan hal sepele seperti cemburu terhadap perhatian ayah yang diberikan pada si adik.
Hari sudah sangat siang, terlihat ada perubahan cuaca dari awan bergumul gelap di atasnya. Selang beberapa saat turunlah hujan rintik-rintik. Namun setelah menunggu beberapa saat tidak lagi hujan rintik-rintik dan saat mereka masuk menaiki kendaraan beroda empat tuk bergegas pulang, barulah turun hujan yang sangat deras.
“Untungnya kita tidak perlu memakai jas hujan ataupun payung demi bisa sampai ke tempat parkiran,” kata ayah dengan perasaan bersyukur yang sangat besar.
“Tunggu ayah, ada seseorang di belakang.”
Mina melihat ada seorang anak kecil yang berdiri diam di belakang mobil, meski hanya sedikit bagian kepalanya yang terlihat.
“Bantu dia berjalan ke tempat yang aman. Ambil payung ini dan ayah akan menunggu di seberang jalan. Tidak masalah?”
Mina menganggukkan kepala dan bergegas memakai payung begitu keluar dari mobil dan segera membantu anak kecil itu menyingkir. Lalu di saat yang sama terdengar suara mengerikan berasal dari decitan sebuah kendaraan serta suara hantaman yang begitu keras.
Terkejut akan hal tersebut, spontan Mina menoleh ke belakang, ke arah jalan yang dilalui oleh kedua orang tuanya dan sangat terkejut saat melihat kendaraan milik ayahnya sudah ringsek di seberang jalan di sana.
Suara hantaman yang begitu keras mengejutkan beberapa orang di sekitar dan Mina. Gadis berambut pendek itu menoleh ke belakang, tidak menyangka telah terjadi kecelakaan pada kendaraan keluarganya yang kini sudah ringsek di seberang jalan.
Mina berdiri lama, terdiam di tempat sampai tidak sadar menjatuhkan payungnya dan membuat sekujur tubuhnya basah kuyup. Dia sudah terdiam cukup lama dengan pandangan yang tak pernah lepas dari sana.
Bekas ban mobil yang terseret tidak cukup jauh namun bagian depan mobil putih itu terbentur dinding hingga muncul asap hitam dari sana.
“Ibu, Ayah, Ema?”
Tanpa memperhatikan jalan di sebelah kanan ataupun kiri, Mina berjalan ke arah tengah jalan. Secara perlahan meningkatkan kecepatan langkahnya lalu berlari menghampiri secepat yang dia bisa agar bisa mengecek kondisi mereka yang masih berada dalam mobil.
“Ayah! Ibu! Ema!”
Berulang kali Mina memanggil mereka dengan suara kerasnya seraya menggedor kaca dan berusaha membuka pintu mobil yang macet. Tidak terlihat di bagian dalamnya karena memang desain kaca mobilnya yang dibuat agar tak terlihat dari luar.
Teriakan demi teriakan dari gadis itu hingga membuat suaranya serak namun tak pernah berhenti menggedor agar mereka yang berada di dalam segera sadarkan diri.
“Ayah, bangun! Ibu, Ema? Dengarkan suaraku!”
Langit semakin gelap, hujan semakin deras, guntur pun menggelegar kencang. Suara keras dari alam seolah menghalangi suara serta isak tangis gadis itu.
Tampak beberapa orang di sekitar yang menyadari adanya kecelakaan di jalan sepi itu membuat mereka bergegas menghampiri Mina.
“Nak! Menjauhlah dari sana!”
Mereka menyadari ada yang salah dengan mobil di sana. Asap hitam keluar namun tidak kunjung menghilang setelah diguyur oleh hujan deras. Seorang bibi yang merupakan pengunjung kebun binatang itu lantas menghampiri Mina lalu menepuk pundaknya.
“Nak, mobilnya mau meledak, ayo cepat pergi.”
“Nggak! Ayah, Ibu dan juga adikku masih ada di dalam!”
Mengetahui ada beberapa orang di dalam sana, lekas bibi itu pergi mencari bantuan. Sebelum pergi dia berusaha menyeret anak gadis itu pergi menjauh namun karena dia tidak mau, bibi itu pun terpaksa membiarkan dan segera mencari bantuan secepatnya.
Setelah itu beberapa pria datang dan berusaha memecahkan kaca mobil agar dapat menyelamatkan korban namun sayang seribu sayang waktunya sudah sangat terlambat.
Bagian depan mobil sudah tidak bisa bertahan. Selain asap hitam, seseorang menyadari adanya percikan api di bagian mesin dan begitu mereka berlari menjauh, mobil itu langsung meledak.
Serpihan-serpihan dari bagian mobil berterbangan, guntur sekali lagi menggelegar seakan menjadi pertanda akhir dari kebahagiaannya.
Mobil itu hangus terbakar yang juga membawa keluarganya pergi dari sisi gadis itu. Sama seperti hujan yang turun deras, teriakan sekaligus tangisan semakin keras dan tak tertahankan. Hatinya pun hancur seketika.
Kebahagiaan dan kesedihan silih berganti. Langit telah menjadi saksi. Kecelakaan tragis yang dialami oleh keluarga kecil Mina telah membuat hatinya yang dulu penuh dengan keceriaan berubah menjadi kehampaan.
“Aku tidak mau ini semua terjadi. Katakan ini mimpi, katakan ini mimpi. Ibu, ayah, dan Ema. Tolong.”
Rengekan seorang gadis itu terlihat seperti anak kecil yang masih menginginkan perhatian dari kedua orang tuanya. Dia sudah remaja, dia setidaknya bisa makan dan belajar sendiri tapi tanpa kehadiran mereka, dia langsung terpuruk seakan telah jatuh ke jurang yang begitu dalam.
Beberapa orang di sana bersimpati akan keadaan Mina begitu juga dengan seorang bibi yang pertama kali mendatanginya.
Mereka tidak berani angkat bicara apalagi sekadar menghiburnya dengan beragam kata-kata.
“Kelak, bagaimana aku bisa bertahan hidup tanpa kalian? Kenapa kalian malah meninggalkanku sendirian? Aku takut.”
Mina duduk di jalanan yang tergenang air, menundukkan wajah yang terus mengalirkan air mata. Gadis ini masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya tapi ini semua nyata dan fakta. Tidak bisa dibantah.
Setelah satu jam lamanya hingga satu persatu dari orang-orang sekitar pergi, bibi kembali mendatanginya lalu memayungi Mina yang terlihat menggigil kedinginan.
“Nak, mari kita berteduh. Bibi akan menyiapkan teh hangat dan beberapa jenis kue.”
Mendengar kata, "Teh hangat", sepintas ingatan muncul tentang ibunya yang gemar membuat teh hangat untuk liburan hari ini. Tangisan gadis itu berhenti lantas menengok ke belakang dengan tatapan sendu.
“Ayo ikut bibi.” Bibi tersenyum sembari mengulurkan tangan.
Awalnya dia ragu karena berinteraksi dengan orang asing yang harus diwaspadai namun dia tidak punya pilihan lain dan memilih menerima uluran tangan itu lalu pergi bersamanya.
Pergi meninggalkan mobil putih yang anehnya masih terbakar di tengah hujan deras.
***
Dua hingga tiga jam berlalu. Hujan tak kunjung reda dan Mina masih senantiasa terduduk diam di dalam rumah kayu yang terletak jauh di kedalaman kebun binatang. Tak banyak orang tersisa di dalam selain beberapa orang yang mengurus tempat ini termasuk bibi itu.
Mina memandang kejauhan dengan tatapan sendu namun juga hampa. Tatapannya sekilas seperti tatapan kosong yang tak tahu harus ke mana. Melihat hal itu, segelintir orang di sekitarnya merasa prihatin.
Kehilangan keluarganya saat akan pulang dari liburan, Mina tidak punya siapa pun lagi. Sanak saudaranya pun bertempat tinggal bahkan sangat jauh dan sulit dijangkau hanya dengan kendaraan pribadi.
“Bibi, apa tinggal di tempat ini?” tanya Mina.
“Iya, benar. Kalau kamu mau, kamu boleh tinggal di sini untuk sementara waktu.”
Mina menggelengkan kepala, menolak tawaran yang diberikan karena merasa enggan. Selain itu Mina juga tahu bahwa dia harus pulang dan mengurus semuanya.
“Ayah, Ibu dan adik kecilku sudah tiada. Saya hanya ingin segera pulang. Bolehkah saya meminta tolong?”
Bibi dengan jelas memahami apa maksud Mina barusan. Tidak menunggu begitu lama setelah hujan akhirnya reda di sore hari, bibi langsung membantu dengan mengumpulkan sisa-sisa tulang dan abu keluarga Mina yang berada dalam mobil yang hangus itu.
Beruntungnya hujan yang mengguyur mobil itu telah memadamkan apinya meskipun sepertinya membutuhkan waktu agak lama.
“Seharusnya sudah cukup lama mobil itu terbakar.”
“Hampir satu jam mobil itu meledak dan terbakar dan kami hanya bisa mengumpulkan sedikit sisa dari mereka.”
Bibi memberikan satu kendi berisi tulang dan abu mereka. Terlihat jelas yang dikumpulkan pun sangat sedikit.
“Terima kasih dan maaf telah merepotkan, bibi.”
Salah satu orang yang membawa kendaraan lekas mengantar Mina kembali ke rumahnya.
Kecelakaan tragis menimpa keluarga Mina yang membuatnya hampir menangis seharian. Kedua matanya membengkak dan memerah juga membuatnya kesulitan melihat. Selama perjalanan kembali ke rumah, Mina teringat dengan sebuah pesan dari ibunya untuk tetap tabah dalam menghadapi berbagai macam kesulitan yang menghadang.
Di lain sisi, setelah kepergian Mina, sosok lelaki misterius dengan payung terbuka menatapnya dari kejauhan dengan raut wajah tak bersahabat.