"ANDRA AND THE GENG!!! MASUK KE SEKOLAH SEKARANG!!" teriak Bu Sesil—guru BK dari kejauhan.
Melihat anak-anak yang belum kunjung masuk Sesil pun segera pergi ke sebuah warung dekat sekolah yang sudah diyakini di mana anak-anak SMA Adhikari berada.
Mendengar teriakan Bu Sesil yang sangat melengking, mereka pun berlarian menuju sekolah. Ada yang hampir tersedak bakso karena terburu-buru, ada yang berusaha diam-diam mematikan rokok yang di sembunyikan dan ada yang harus kalah bermain games karena harus segera ke sekolah.
"STOP BERHENTI DI SANA KALIAN DILARANG MASUK KELAS!" ucap Pak Bara—guru olahraga yang sudah menunggu kedatangan Andra dan kawan-kawan. Mereka semua pun tiba-tiba terdiam.
"BENTUK BARISAN VERTIKAL SEKARANG!"
Banusastra, Reandra, Arghani, Janu, Ganendra, Kenzie. Nama-nama itu yang saat ini terkena masalah.
BRAK!!
PLAK!! PLAK!!
"SIAPA YANG SURUH KALIAN NGEROKOK?!!" teriak Pak Bara lantang membuat yang mendengar terkejut sekaligus menciut nyala nya.
PLAK!!
Bunyi pengaris papan tulis yang dipukulkan di atas meja piket. Tidak ada yang berani menjawab mereka hanya mampu menundukkan kepala dan saling sikut antara satu dengan yang lain.
"SAYA MINTA ORANG TUA MASING-MASING DARI KALIAN KE SEKOLAH! SUPAYA TAHU KELAKUAN ANAKNYA!"
"SUDAH SEKARANG KALIAN IKUT SAYA KE LAPANGAN LARI 50 KALI!"
***
"PASTI KAMU KAN MAS YANG AJARIN ANDRA NGEROKOK!"
"KETERLALUAN BANGET KAMU MAS! ANDRA MASIH PUNYA MASA DEPAN. JANGAN AJARIN ANDRA NGEROKOK, MAS!"
"KAMU MEMPERMALUKAN SAYA, MAS!"
Andra sejak tadi hanya terdiam. Entah ia harus bersedih atau bahagia. Karena ini pertama kalinya dalam hidup Andra kedua orangtuanya bisa sigap datang ke sekolah. Harapan yang Andra ingin kan sejak dulu.
Ketika Andra jarang masuk karena tidak masuk sekolah dan wali kelas serta guru BK meminta orang tua Andra untuk datang ke sekolah mereka tidak datang, kemudian ketika Andra mendapatkan penghargaan juara lomba futsal atau skateboard mereka pun juga tidak datang.
"STOP MARA! STOP!"
"LO BISA DIAM GAK! ATAU GUA TURUNIN SEKARANG!" Bara berteriak tidak suka mendengarkan Mara—mantan istrinya berbicara yang tidak-tidak.
"ASAL LO TAU, YA! GUA GAK PERNAH MENGAJARKAN ANDRA UNTUK NGEROKOK! ANDRA ANAK COWOK, JADI PASTI TANPA DIAJARKAN GUA, DIA PASTI AKAN NGEROKOK!"
"KARENA LINGKUNGAN ANAK COWOK ITU IDENTIK DENGAN ROKOK!" jelas Bara.
"HALAH! LO GAK USAH NGELAK DEH! LO PASTI YANG NGAJARIN KAN! KARENA SAAT ANDRA TINGGAL SAMA GUA, ANDRA GAK PERNAH KENA MASALAH KAYA GINI!"
Bara mencengkeram stir mobil menahan amarah yang memuncak. Ia mengacak rambut asal, tidak tahu harus berkata apalagi. Karena mau menjelaskan bagaimana pun Mara tidak akan mau mengerti dan ingin selalu benar. Sementara itu, Andra lagi-lagi hanya terdiam menghela nafas panjang memilih untuk bersandar di pintu mobil menatap jalanan.
Perjalan hampir satu jam menuju rumah Mara. Mara pun turun dengan wajah kesal tanpa mengucapkan kata terima kasih pada Bara yang sudah mengantarkannya pulang ke rumah.
'Bersatu kita teguh, bercerai itu kisah ortu gua.' monolog Andra dalam hati.
Usai mengantarkan Mara. Bara langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah seperti orang kesetanan. Sampai-sampai detak jantung Andra berpacu dengan cepat dan kedua tangan Andra berpegangan pada handle Hand grip yang berada di dalam mobil.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai rumah hanya dengan dua puluh menit mereka pun sudah sampai di rumah. Dan ketika mobil telah terparkir serta mesin mobil sudah mati. Bara turun dari mobil. Berjalan membuka pintu untuk Andra. Bara pun menarik tangan Andra dengan kasar untuk keluar dari mobil.
BRAK!!
Bara menutup pintu mobil dengan kencang usai Andra keluar dari mobil. Kemudian ia menarik lengan baju Andra dengan bengis.
BUGH!
Bara mendaratkan pukulan tepat di pipi kanan Andra, lalu mendorong tubuh Andra yang masih merasa kesakitan akibat pukulan di pipi kanannya. Belum sempat Andra berdiri mengubah posisinya. Bara sudah kembali memukulnya. Bukan hanya itu ia pun melepas ikat pinggang yang ia kenakan dan melayangkan ikat pinggang pada tubuh Andra.
PLAK!!
Satu pukulan
Dua pukulan
Hingga tidak terhingga
Hingga Bara menghentikan sendiri ketika amarahnya sudah mereda. Tangan Bara tidak bisa diam ia terus melayangkan ikat pinggang itu. Andra hanya bisa meringis menahan rasa sakit tanpa membalas perlakuan Ayahnya.
"Ayah, maaf.."
"GAK ADA KATA MAAF BUAT ANAK GAK TAU DIUNTUNG KAYAK LO!"
"BISANYA CUMA BUAT MASALAH!"
"MALAS-MALASAN SEKOLAH!"
"BISANYA CUMA BUAT ULAH DAN MEMPERMALUKAN ORANG TUA!"
Bara tiba-tiba menghentikan pukulan nya untuk yang terakhir saat ia telah marah-marah dengan Andra. Dan saat kepala mulai terasa pusing.
"Bangun!"
Andra tertatih untuk bangkit dari lantai. Belum sempat ia mengembangkan tubuh. Bara sudah menarik lengan bajunya kembali. Menariknya menuju lantai dua berjalan dengan cepat hingga Andra kewalahan untuk menyeimbangkan langkah. Ketika sudah sampai di depan kamar Andra. Bara membuka pintu dan kembali mendorong tubuh Andra dengan kasar dan tubuh Andra lagi-lagi mencium dinginnya lantai kamar. Serta tubuhnya terasa sakit.
Selepas mendorong tubuh Andra. Bara pun langsung menutup pintu dengan kencang. Dan mengunci pintu kamar Andra supaya anak itu tidak pergi bermain keluar. Dan Bara pun pergi meninggalkan Andra di dalam rumah untuk menenangkan pikirannya.
Di dalam kamar yang terkunci dengan sisa tenaganya Andra bangun untuk menuju tempat tidur. Ingin merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk supaya sedikit meringankan rasa sakit pada tubuhnya. Kemudian tanpa disadari ia memejamkan mata untuk tidur karena sudah sangat lelah dengan semua yang terjadi hari ini.
***
Sementara itu, di tempat lain hal yang sama terjadi pada Banu. Nasib yang tidak jauh berbeda dengan Andra, ia dipukuli oleh orang tua.
"Bunda, ampun.."
"Banu bisa jelasin.."
"Banu gak ngerokok... Banu cuma ada di tempat yang salah."
"Teman-teman Banu aja yang ngerokok. Banu udah engga, Bun.." lirih Banu.
BUGH!
Harsana kembali memukul tubuh Banu menggunakan kayu rotan yang kencang. Dipukulnya kayu rotan itu tepat di punggung anak laki-lakinya. Banu meringis menahan rasa sakit.
"Bunda kecewa sama kamu, Banu!" teriak Harsana bergetar.
"Kamu malu-maluin Bunda!"
"Pasti Pak Rafli mencap Bunda sebagai orang tua yang gak bisa mendidik anak!"
"Bunda cape, Banu! Terus-terusan dapat kabar jelek tentang kamu!"
"Bunda, kan Banu udah minta supaya Banu gak sekolah di sekolah itu. Tapi bunda gak dengerin. Kata bunda sekolahan itu yang terbaik." ujar Banu berusaha menjelaskan. Banu sedikit menarik napas sebelum melanjutkan perkataannya.
"Ia Banu tau sekolah itu dulu tempat bunda ngajar. Tapi teman-teman bunda toxic. Selalu banding-bandingan Banu sama anaknya atau bahkan sama orang lain. Ngehasut bunda supaya Banu dimarahin."
"Terbaik menurut bunda belum tentu yang terbaik buat Banu."
Harsana kembali emosi mendengar ucapan Banu. Ia pun kembali memukul kan rotan pada tubuh Banu.
"CUKUP BANU!"
"BUKAN MEREKA YANG TOXIC. TAPI KAMU YANG TERLALU KEBANYAKAN MAIN. DAN GAK BISA MEMENUHI EKSPEKTASI BUNDA!"
BUGH!!
"Sayang..."
"Udah..udah..."
Pradipta memeluk tubuh Harsana dari belakang. Berusaha menenangkan istrinya. Harsana membalik tubuh untuk memeluk tubuh Pradipta. Ia menangis di pelukan tubuh hangat Pradipta. Hingga baju yang digunakan Pradipta basah.
"Masuk kamar," ujar Pradipta pada Banu yang masih terduduk di lantai.
Banu mengangguk mengerti. Ia pun bangun dan mengambil tasnya dan terlempar di dekat pintu. Kemudian ia berjalan tertatih menuju kamar.