Setelah jam pelajaran selesai dan bel pulang telah berbunyi. Kala segera melangkah menuju halte sekolah yang berada tepat di depan sekolahnya. Kala duduk di bangku halte seraya meneguk air putih dalam botol yang ia bawa dari rumah.
'Abang mana, sih?' gumam Kala ketika Aksa—kakak laki-lakinya tidak kunjung datang untuk menjemput.
Kala menutup botol minum berwarna orange itu dan lantas memasukkan ke dalam tas. Ia mengambil ponsel dari saku rok nya. Kembali mengirim sebuah pesan menanyakan di mana keberadaan abangnya itu. Karena tidak seperti biasanya Aksa telat menjemputnya.
Kala menghela napas. Dipandangnya langit yang kini hampir mengelap karena mendung. Sekarang Kala hanya bisa berharap hujan tidak turun sebelum ia sampai di rumah.
Kala merogoh saku baju. Mengecek masih berapa jumlah uang yang ia punya. Namun, ia tiba-tiba lesu setelah mengetahui jika jumlah uang yang ia punya tinggal lima ribu rupiah.
"Ini mah gak cukup buat naik ojol." keluh Kala.
"Eh, apa pesen ojolnya sampai setengah jalan ke rumah aja ya? Terus sisanya jalan kaki?" tanya Kala pada dirinya sendiri.
"Tapi kalo cuma setengah jalan. Capek juga," tukas Kala. Ia mengecutkan bibir—bingung.
"Belum pulang?" tanya Banu pada Kala.
Banu menurunkan standar motornya. Ia masih duduk di atas motor mengamati Kala yang sibuk berbicara sendiri.
Kala masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Sehingga, seseorang yang baru saja bertanya pada Kala tidak digubris.
"Lo, kok belum pulang?" Banu mengulangi pertanyaan.
"Wey!"
Banu turun dari motor dan menyentil pelan dahi Kala. Sengaja, mungkin saja Kala kesabet setan halte. Sebab, suasana yang sudah sepi.
"Iiigh! Apa sih?!"
"Sakit tau!" keluh Kala.
Banu justru tertawa kecil. Mendengar keluhan Kala yang terdengar lucu sekaligus mengemaskan baginya.
"Lo kenapa sih?!" protes Kala.
Banu tersenyum simpul. Menimbulkan tanya besar di kepala Kala.
"Lo kok masih di sini?"
"Gak takut di culik apa? Atau gak takut di begal?"
Dahi Kala mengernyit. Kemudian mengelengkan kepala.
"Kenapa begitu? Atau lo yang mau nyulik sama begal gua ya?!" kelakar Kala yang terdengar panik. Kala pun sedikit menjauh dari Banu. Mengingat Banu pernah dengan seenaknya mengambil alih motor miliknya.
Banu menatap Kala dari ujung kaki hingga ujung kepala. Kemudian, kembali memberi hadiah sentilan kecil di dahi Kala. "Dih ogah! Rugi digua!"
Kala kembali meringis sakit. Merasa terusik Kala pun menatap nyalang Banu.
"L—lo apa sih ganggu aja!" cetus Kala ragu.
Lagi-lagi Banu hanya bisa tertawa. Ternyata cewek dihadapannya ini tidak sependiam yang ia kira.
"Lo kok belum pulang? Kenapa?"
"Motor lo juga ke mana?" tanya Banu berusaha mencairkan suasana yang mulai sunyi.
Kala menoleh ke arah Banu yang kini sudah duduk tepat di sampingnya.
"Gua nunggu dijemput abang."
Banu tidak menjawab justru ia hinya menganggukkan kepala.
"Terus motor lo?"
Kala sedikit menarik napas dengan sederet pernyataan dari Banu yang terbilang terlalu ingin tahu urusan orang lain.
"Gua gak punya motor. Itu motor abang gua."
Mereka pun terdiam setelah Kala menjawab pertanyaan dari Banu. Mereka sibuk mengamati awan yang sekarang sudah sangat mengelap.
"Mau gua anter pulang gak? Ini udah mendung banget. Mungkin bisa hujan deras?" usul Banu yang merasa iba dengan Kala.
Setetes air hujan pun jatuh perlahan. Meski tidak terlalu deras.
"Yah, lo kelamaan sih. Udah keburu hujan 'kan?" kata Banu. Sementara Kala hanya terdiam.
"Btw, makasih waktu itu udah bantuin gua," ujar Banu.
"Gua gak tau kalo gak ada lo gimana jadinya."
Banu mencoba membuat Kala bicara. Karena sungguh sulit membuat cewek yang duduk di sampingnya untuk bicara.
"Iya, sama-sama."
Tatapan Kala kembali mengamati derai hujan yang menyelimuti bumi. Tiba-tiba sebuah motor scoopy berhenti membuat Kala dan Banu sama-sama mengalihkan pandangan ke arah seseorang yang baru saja datang.
"Ayo cepatan pulang," kata Aksa—kakak laki-laki Kala.
Kala pun menerima sebuah jas hujan yang diberikan oleh Aksa melalui tangan kanannya. Hujan masih menguyur dan sekarang cukup deras. Aksa seakan tak peduli akan hal itu.
"Aku duluan ya," ujar Kala sebelum naik di atas motor.
"Oh iya. Hati-hati," tukas Banu yang pandangannya tidak terlepas dari Kala.
Helaan napas terdengar pelan, namun cukup signifikan. Helaan tersebut berasal dari Kala.
"Lo gak bisa apa pulang sendiri?!"
"Naik angkot gitu atau naik ojek online? Lo tau gak? Lo tuh nyusahin!"
"Mandiri lah udah gede!"
"Tap—" ucap Kala terpotong begitu saja oleh Aksa. Lagi-lagi lelaki berumur sembilan belas tahun itu mendominasi.
"Tapi Ayah sama Bunda gak ngasih gua ongkos buat naik angkot atau ojol." Nada Aksa sedikit pelan tapi meledek.
"Ya lo pake lah uang jajan lo, KALA!"
"Iya... Iya, Bang Aksa," ujar Kala.
"Iya... Iya... Iya doang dikerjain kaga! Dah sana turun!"
Aksa memberhentikan motor di depan gang kompleks rumah. Menurunkan Kala begitu saja dan langsung pergi kembali entah ke mana.
Kala yang masih mengenakan jas hujan tersenyum kecut. Ia pun membalik tubuh untuk segera melanjutkan perjalanan menuju rumah.
Aksana namanya manusia Gap Year—yang mengambil waktu kosong sebelum masuk ke perguruan tinggi. Namun, sepengamatan Kala—Aksa selalu keluar rumah main bersama teman-temannya. Nongkrong di kafe, pinggir jembatan, pacaran, dan keluar malam.
Kala pernah memergoki Aksa—abangnya pulang malam dengan jalan tidak menentu memasuki kamarnya. Tentunya ketika Yasa dan Dalisha—Orang tua Kala tidak berada di rumah.
"Assalamualaikum, Kala pula—" Baru saja selesai meletakkan sepatu di atas rak dan melepas jas hujan. Kala sudah dihadapkan oleh Dalisha—sang mama. Kala meneguk saliva nya.
"Dari mana aja kamu? Jam segini baru pulang?"
"Kata abang kamu di jemput gak ada di sekolah tadi!"
"Sekarang kamu masuk kamar bersihin badan, makan dan belajar." Usai mengucapkan itu Dalisha pun melengang pergi kembali ke dapur.
Bahu Kala mendadak lesu. Ia mengigit bibir bawahnya. Berusaha meredam segala amarah yang berkecamuk. Dengan senyum dipaksakan Kala melangkah masuk ke dalam rumah. Membaringkan tubuh di atas tempat tidur.
Tidak lama pintu kamar Kala terbuka. Menampilkan Dalisha. Ia membawakan sebuah makan siang untuk Kala.
"Di makan. Abis itu belajar."
"Hari ini kamu bolos les lagi. Sebagai gantinya, kamu belajar. Mengulas kembali materi yang dipelajari di sekolah."
Selepas itu Dalisha pun melengang pergi. Menutup pintu kamar Kala perlahan. Dan setelah Dalisha pergi—Kala meletakkan kepala di atas meja belajarnya.
***
Sejak hampir setengah jam Banu asik berkutat mengamati jalan raya sore ini yang terlihat cukup ramai kendaraan yang melintas untuk pulang ke rumah usai bekerja. Dengan suasana sejuk dan rona jingga sore kala itu menambahkan kesan nyaman.
Banu mengeluarkan beberapa buku paket pelajaran IPS baik itu geografi, sosiologi dan ekonomi. Setelah mengerjakan beberapa soal-soal ekonomi kini Banu melanjutkan mengerjakan soal-soal geografi. Ia sangat menyukai apapun yang berbau IPS terlebih materi pelajaran geografi menurut nya sangat menarik. Bisa mempelajari ilmu tanah, beragam macam gunung serta lapisan-lapisan bumi.
Banu kembali membaca buku catatan geografi nya yang sangat rapi. Ditulis dengan cara lettering, warna pulpen yang berbeda pada tiap lembarnya, beberapa sticky notes menambah kesan aestetik pada buku catatannya. Tidak jarang teman-temannya meminjam buku catatan Banu untuk di fotocopy.
Rasanya tenang dan nyaman jika berada di kafe untuk belajar. Tidak ada suara Harsana—mamanya yang sering kali mengusik meminta Banu menjaga adiknya. Bukan ingin mengeluh dan tidak berbatik kepada orang tua. Tapi, anak juga pasti memiliki kesibukan yang harus orang tua mengerti, kan?
BRAK!!!
Semua pengunjung kafe mengalihkan atensi kesumber suara. Dua orang sedang makan tanpa sangat terkejut melihat seorang wanita tiba-tiba saja datang dan menghentakkan tangan ke meja. Dengan raut wajah murka ia menatap seorang wanita yang sedang duduk, kemudian mengalihkan pandangannya kepada pria yang sedang duduk.
"Bagus Lo ya, enak-enak di sini sana cewek tua Bangka ini!" ucap wanita itu dengan ketus. Ia berkacak pinggang. Dengan baju dress berwarna merah, rambut sebahu menambah kesan menyeramkan.
"eee... Sayang, tunggu... Tunggu... Jangan marah..."
"Berisik Lo! Hari waktu Lo pulang ke rumah bukan sama wanita bangsat ini! Udah dua Minggu Lo gak pulang ya!"
"Heh! Jangan ganggu suami saya!" Tepis wanita yang dilabrak.
"Dia suami gua juga bangsat! Lo yang rebut dia dari gua perempuan jalang!" Tambah wanita berbaju merah.
"Lo!"
Mereka pun saling menarik rambut satu dengan yang lain kericuhan semakin menjadi-jadi.
Mata Banu membesar ketika ia melihat sosok wanita itu. Yang sejak awal membelakangi Banu.
Buru-buru Banu merapikan buku-bukunya dengan asal ke dalam tas. Dirasa sudah semua barang-barang nya masuk kedalam tas Banu segera menutup tas kemudian menyampaikan dibahu. Ia segera berlari menuju tempat pertikain berlangsung.
Banu dengan sigap menarik dan memeluk wanita yang disebut jalang itu. Wanita itu lantas mengalihkan pandangannya ke arah Banu. Sedangkan wanita berbaju merah itu, dijauhkan oleh satpam dan suaminya. Banu mengigit bibirnya rapat-rapat berusaha menahan amarah serta air matanya.
"Mas...mas... kamu tinggalin aku!"
Wanita dalam dekapan Banu berusaha memberontak. Tanpa peduli berontakan itu, Banu terus memeluk wanita itu dengan erat supaya ia tidak mengejar dan pergi berlari.
"Ma... Stop maa.." lirih Banu tepat di samping kuping sang mamanya yang masih menangis histeris.
Banu menatap mamanya dengan iba.Banu tau rasanya berat memang usai ditinggalkan oleh papa untuk selamanya. Tidak tujuan semua uang habis setelah membiayai pengobatan papa. Dan mama harus berjuang sendirian. Tapi sekarang hidup mama mungkin dibilang lebih baik usai bertemu dengan Pradipta—ayah angkat Banu.
Pengunjung kafe masih menatap Banu dengan Harsana terang-terangan. Beberapa bahkan berbisik yang sungguh mengusik.
"Mah.. ayo kita pulang.." ujar Banu sambil merangkul pundak Harsana dan mengelus pundaknya secara pelan.
***
"Ga guna ege lu, pake kerudung tapi kaya Masha," cetus Banu yang melihat Cantik teman sekelasnya.
"Berisik lu komen aja."
Banu mengecut 'kan bibir.
Cantik pun merapikan kunciran rambutnya. Dan terlihat lah rambut pirang Cantik.
"Anjas," tutur ..... Yang terkejut melihat rambut pirang Cantik.
"Ternyata kerudung Lo cuma buat nutupin rambut pirang Lo," ucap Banu menyunggingkan bibir.
"Bacot Lo kaya nitizen," ujar Cantik yang sekarang sedang duduk bersandar pada tembok sambil menyalakan kipas angin mini nya.
"Gua ini nih bidadari tau!"
Banu mengecutkan bibirnya. "Halah...bidadari... Bidadari.."
"Bidadari lupa bayar angkot!"
Cantik tertegun terdiam. Dalam hatinya berkata 'bagaimana dia bisa tau kalau ia lupa bayar angkot?' 'Jangan-jangan dia bisa baca pikiran!'
Banu meletakkan tas nya di atas meja kemudian duduk di atas kursi. Menaikkan sebelah kaki kiri di atas kaki kanan. Mengeluarkan permen karet lalu melahabnya.
"Gua liat lobtadi diteriakin Abang angkot!"
"BANUUU!!!" Teriak Cantik melengking. Otomatis Banu dan beberapa temannya yang berada di kelas menutup kedua telinga.