Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
MENU
About Us  

Raina tidak sadar sejak kapan dia tertidur. Saat bangun,  suasana di luar sudah ramai. Teman-teman satu kostnya terdengar asyik mengobrol, langkah-langkah kaki tergesa setengah berlari, ada juga yang menyetel musik pop kencang-kencang. Khas susasana pagi. Dia bisa mencium aroma parfum yang masuk dari celah pintu, manis segar, membuat matanya melek semakin lebar. Lelah mental yang dia rasakan kemarin karena meluapkan segalanya pada Mama, rupanya membuat dia tidur nyenyak. 

Gadis berlesung pipi itu meraih ponsel yang tergeletak di sudut tempat tidur. Pukul setengah sembilan, pantas semua orang sudah sibuk. Raina tidak ada kuliah pagi hari ini, baru masuk pukul sebelas nanti. Dia menahan napas saat melihat ada beberapa panggilan tak terjawab dari Mama. Perutnya seperti diremas, antara bersyukur akhirnya Mama menghubungi, juga penasaran apa yang kiranya akan Mama obrolkan. Sudah pasti, hubungan mereka akan lebih canggung dari sebelumnya sekarang. Raina selalu berpikir, hubungan ibu-anak antara dia dan mamanya selama ini hanya hubungan transaksional.

Raina bimbang. Ingin rasanya dia menelepon balik Mama, tapi bingung juga mau bicara apa. Di sisi lain, dia ingin mendengar suara Mama lebih dari biasanya. Membuat Mama menangis masih membuatnya merasa bersalah. Tengah termangu-mangu, ponsel di tangannya berbunyi. Mama menelepon lagi. Hati Raina terlonjak, tapi juga resah. Perlahan, dia tekan tombol hijau.

“Baru bangun, Ra?” Nada suara Mama di seberang membuat Raina bernapas lega—masih sama bawel dan judesnya. Raina menertawakan pikirannya sendiri, yang mengira Mama akan tiba-tiba berubah menjadi pribadi lemah lembut terhadapnya, setelah kejadian kemarin.

“Mama udah kirim bulan ini. Cek M-banking kamu.” Belum sempat Raina menjawab, Mama sudah buka suara lagi.

“Iya, Ma, makasih.” Raina menggigit bibir. Keheningan yang canggung mengungkung.

“Udah makan?”

“Tumben …”

“Apanya yang tumben?” Gadis itu kaget karena ternyata Mama mendengar gumamannya.

“Nggak.” Dia menjawab kikuk. “Tumben aja Mama tanya aku udah makan apa belum.”

Di seberang sana, helaan napas berat terdengar. Jantung Raina mencelus. Dia sudah cukup menyesali tindakannya kemarin, marah-marah tidak jelas begitu pada Mama. Jangan sampai ada drama part dua, batin gadis itu.

“Cuti tahun ini kamu temani Mama di rumah, ya. Mama mau masak yang enak-enak buat kamu.”

Raina memindai ruangan, perlahan mencubit pahanya. Sakit. Dia tidak bermimpi. Dia juga jelas ada di kamar kost, bukan di dunia imajinasi antah berantah. Tapi, Mama berkata begitu, sungguh seperti mimpi!

“Ra?”

“I-iya, Ma.”

Helaan napas terdengar lagi. “Mama nggak akan ikut-ikut lagi urusan kamu. Kalau kamu memang mau putus dari Bagas, Mama dukung.”

Si gadis berlesung pipi tergemap. “M-Ma …”

“Semua yang Mama lakukan, kenapa Mama bertahan di sini, semata demi kebahagiaan kamu. Tapi Mama nggak pernah sadar kalau ternyata kamu nggak bahagia.”

“Ma, nggak gitu, kok. A-aku senang—”

“Udah nggak usah bohong lagi. Nggak apa-apa, Mama nggak apa-apa. Malah Mama jadi tahu kalau selama ini cuma memandang semuanya dari sudut pandang sendiri.”

Raina tidak tahu harus menjawab apa. Hatinya seperti diremas. Sejak semalam dia berpikir Mama marah besar sampai-sampai tidak menghubunginya. Hal ini sangat mengejutkan. Sangat asing baginya. Dia dan Mama tidak pernah bicara seperti ini sebelumnya—saling mengungkapkan perasaan, saling mendukung. Pembicaraan mereka selalu tak jauh-jauh dari bagaimana masa depan Raina, apa kabar hubungannya dengan Bagas, juga caci maki pada Bapak.

“Ya udah, Mama balik kerja lagi, ya. Assalamualaikum!”

Panggilan terputus. Raina tahu mamanya juga pasti canggung dan asing. Gadis itu menghela napas. Inikah lembaran baru yang akan dia mulai dengan mamanya? Hubungan yang lebih intim, bukan sekadar transaksional? Apa pun itu, Raina bersedia. Senyumnya mengembang. Dia sadar kebiasaan susah diubah, termasuk kebiasaan cara dia dan Mama menjalin hubungan. Namun, ini layak diperjuangkan. Tak mengapa, meski pelan-pelan.

*

Alya menatap gundukan tanah basah di hadapannya. Kelopak mawar yang baru dia tabur menguarkan aroma wangi, tercium bahkan oleh hidungnya yang mampet karena ingus. Sejak satu jam tadi, dia menangis di makam sang kakak sambil memeluk nisan. Abram Raga Buwana bin Mukhlas. Meninggal di usia yang sangat muda, tengah gencar-gencarnya meraih mimpi. Ayah bahkan memilihkan nama yang pas sekali dengan sosoknya—buwana, semesta dalam bahasa Jawa. Abram memang semesta Ayah, semesta mereka semua. Tak heran saat dia berpulang, dunia mereka hancur. Semua ikut tenggelam. 

“Maafin aku ya, Kak.” Dia bergumam. 

Gundukan makam itu bergeming. Semilir angin membawa daun-daun kamboja yang berguguran beterbangan. Alya memungutnya, memasukkan dalam kantong plastik yang dia bawa untuk membersihkan rumput-rumput liar di makam sang kakak. Dia selalu berpikir kakaknya melihat kelakuannya dari atas sana, mencibir kecewa padanya. Karena itu Alya merasa perlu meminta maaf. Kakaknya orang yang bijak—lebih bijak dari Ayah. Ketika tahu Alya minat di geografi, dia selalu membawakan buku-buku geografi dari perpustakaan kampusnya. Dia juga ikut membaca. Hanya Abram yang bisa membuat Alya merasa berharga dengan pilihannya selama ini. Kepergian Abram jelas sangat melukai hatinya. Ditambah perlakuan Ayah setelah kepergian sang kakak, semakin menghancurkan perasaan Alya.

Namun, apa yang dilihat Alya malam itu, saat Ibu dan Ayah berbincang di teras, meruntuhkan kemarahannya. Dia tidak mendapati Ayah sebagai sosok lelaki garang yang selalu membanding-bandingkannya dengan Abram—melainkan sosok lemah yang selama ini menahan perasaan, menahan tangis. Dia tidak percaya melihat Ayah menangis sampai bahunya berguncang-guncang. Dia menyadari betapa dalam luka dan beban yang menggelayuti mereka karena kepergian Abram. 

“Aku pamit ya, Kak, nanti aku ke sini lagi.” Alya mengelus nisan satu kali lagi, lantas menatapnya lekat-lekat sebelum beranjak dari sana.

Sesampainya di teras rumah, langkah Alya terhenti. Dilihatnya Ayah sedang mencuci motor dengan puntung rokok terjepit di antara bibirnya. Sejak peristiwa sore itu, saat Alya memberanikan diri mengungkapkan semua, dia selalu menghindari Ayah. Berangkat sekolah sendiri, makan saat Ayah sudah selesai makan, dan mengurung diri di kamar jika Ayah ada di rumah. 

Akan tetapi, hari Minggu begini agak susah juga. Dia sengaja mengunjungi makam Abram pagi-pagi, agar tidak bertemu Ayah di meja makan. Setelah ini, rencananya dia akan pergi ke rumah Fifi untuk mengerjakan tugas. Namun, Alya toh tahu, dia tidak akan bisa selamanya menghindar dari Ayah. Pasti akan ada momen canggung saat dia tidak bisa lari—seperti sekarang.

Ayah menoleh padanya, tatapannya jatuh pada plastik hitam yang Alya tenteng. “Dari mana kamu?” tanya lelaki itu, datar.

Alya mematung. Dia sangat ingin lari dari situasi ini. Setelah Abram pergi, nyaris tak ada satu orang pun yang menyebut namanya lagi di rumah—takut akan membangkitkan kenangan yang mengundang kesedihan. Baru kemarin, saat Ibu meneriakkan kenyataan itu, membuka sekat kepedihan yang selama ini ditutup-tutupi—rasa kehilangan yang berusaha dihilangkan.

“Dari makam kakakmu?”

Kedua mata Alya tersengat panas. Tubuhnya terasa lemas.

“Bagus, sering-seringlah ke sana. Kadang Ayah kelamaan nggak ke sana, sampai rumput liarnya tinggi-tinggi.”

Pelan, Alya mengangguk. Ayah menghentikan kegiatannya, duduk di kursi teras. Mematikan puntung rokok, menyeruput kopinya yang sudah dingin, lelaki itu berdeham. “Sini, duduk sini.”

Perut Alya terasa dipelintir. Dia sudah lupa kapan terakhir kali dia duduk berdua saja dengan Ayah. Atau nyaris tidak pernah? Selain berboncengan motor saat pergi ke sekolah. Biasanya selalu ada Ibu atau Abram di antara mereka. Dia dan Ayah tidak pernah benar-benar ngobrol berdua.

“A-aku mau bantu Ibu di dapur.” Alih-alih menuruti perintah Ayah untuk duduk, dia malah melangkah masuk.

“Ibu lagi ke pasar,” ucap Ayah, masih sama datarnya. “Sini, temani Ayah.”

Alya tak punya pilihan lain. Kakinya bergerak mendekat, lantas tubuhnya, secara otomatis, duduk di kursi sebelah Ayah, hanya dipisahkan sebuah meja kecil. Gadis bertahi lalat itu tak berani mendongak. Dia tiba-tiba sibuk mengamati motif bunga-bunga di gamis panjangnya—berniat mencari tahu nama bunga itu nanti.

“Rencana mau kuliah di mana?” Ayah membuka percakapan setelah berdeham. Alya merasa jantungnya tersentak. “Kata Pak Tomo, kampus kakakmu juga bagus jurusan geografinya.”

Sensasi yang tak pernah Alya rasakan menyerbunya. Gadis itu refleks mengangkat kepala, menatap sang Ayah. Perutnya semakin bergelenyar mendapati Ayah juga sedang menatapnya—tatapan berbeda dari biasa—sorot garang dan kecewa di mata lelaki itu, tak Alya temukan.

“Atau kamu mau coba apply beasiswa ke luar negeri? University of Tokyo juga bagus.”

Alya mencengkeram lengan kursi erat-erat. Bermimpikah dia? Atau apakah dia sudah bergabung bersama Abram di alam lain? Karena perkataan Ayah terasa mustahil.

“Alya?”

Tidak. Segalanya terasa nyata. Tetes air dari motor Ayah yang masih basah, cericit burung di pepohonan, juga asap rokok yang masih mengepul dari puntung di asbak, aromanya nyata. Alya tidak bermimpi. Termasuk helaan napas berat Ayah yang didengarnya kini.

“Ayah dan Abram gagal ke luar negeri. Kamu jangan sampai gagal juga.”

“A-aku—” Alya terbata. “Nggak apa-apa aku—” 

“Ini hidup kamu. Terserah mau bagaimana kamu menjalaninya. Sebagai orangtua …” Ayah menghela napas lagi. “Ayah seharusnya hanya cukup mendukung dan mendoakan.”

Setitik air mata lolos dari tahanan. Alya buru-buru menyusutnya. Dia ingin menjawab Ayah, bibirnya terbuka, tapi segera kehilangan kata-katanya. Alya tak tahu harus bicara apa.

“Kalau kamu sudah putuskan, kasih tahu apa yang perlu Ayah bantu.” Lelaki itu berdiri, wajah dan nada bicaranya datar seperti biasa, lalu kembali sibuk dengan motornya. Namun, bagi Alya, apa yang baru saja Ayah katakan terdengar seperti ucapan maaf. Gadis bertahi lalat itu masuk ke kamar, meraih bantal, dan menumpahkan air matanya di sana. 

*

Sofi pulang dari shift siang di D’Sunset Coffe tepat saat matahari bersiap turun ke peraduan. Langit menyemburat jingga, cerah, bersaput awan keabuan. Megah adalah satu kata yang mewakili. Hamparan pasir bertemu dengan debur ombak yang berbuih, riuh, menciptakan orkestra magis alami yang menenangkan hati. Anak-anak rambut Sofi yang lolos dari ikatan bergoyang tersapu angin pantai, menghalangi matanya. Gadis itu membenahi kuncirannya. 

Krisna, yang juga pulang lebih awal hari ini menyapanya di parkiran. “Mau aku antar?” tawar pemuda berambut cepak itu. Dia bercita-cita masuk militer, tapi nasib mengantarkannya ke kafe ini.

Sofi menggeleng. “Makasih, Mas. Ini udah pesan gojek, lagi otw driver-nya.”

Krisna mengangguk sekilas. Sebelum menyalakan motor, pemuda itu menatap Sofi lekat-lekat. Sofi mengalihkan pandangan. Dia tahu, kondisi wajahnya pasti membuat semua bertanya-tanya. Sejak tadi, saat melayani pelanggan, dia mengenakan masker. Baru sekarang Sofi berani melepas maskernya.

“Kok kamu bisa sih, tahan sama cowok kayak gitu?” Krisna berucap. Kedua matanya menyipit, menyelidik.

Sofi menunduk kikuk. Dia tidak pernah curhat pada siapa pun soal hubungan asmaranya dengan Ifan. 

“Nggak layak banget, So—"

“Udah putus kok, Mas.” Sofi menjawab cepat. 

Krisna mendengkus lirih sambil menyugar rambutnya. “Baguslah.” Dia tersenyum. “Aku nggak bisa terus-terusan belain kamu di depan Pak Wijaya karena sering banget bolos.”

Sofi tergemap. Perutnya seakan terjun bebas. Dia tidak mengerti apa maksud perkataan supervisornya ini, tapi saat dia mengangkat wajah untuk bertanya, Krisna sudah menyalakan motor dan pergi dari sana.

Sejak kejadian ribut-ribut di rumahnya, Sofi tidak pernah bertemu lagi dengan Ifan. Gadis berambut ombak itu mengganti nomor ponsel, memblokir kontak Ifan selamanya. Dia sudah tidak mau lagi berurusan dengan sang mantan. 

Sofi menghela napas. Meski Ifan, secara harfiah sudah pergi dari hidupnya, tapi Sofi belum selesai dengan luka yang ditinggalkan cowok itu. Luka batin, yang setiap malam masih menghantuinya dalam mimpi-mimpi buruk, membekas sebagai trauma. Sofi tahu—dari postingan-postingan akun kesehatan mental yang diikutinya—dia harus menyembuhkan diri agar bisa jadi utuh lagi. Namun, keterbatasan lagi-lagi membuatnya mentok. Di kota kecil ini, layanan kesehatan mental semacam itu, dia pikir hanya ada di rumah sakit, yang sudah pasti ribet dan mahal. Dia tidak punya BPJS. Kemauan untuk menyembuhkan diri tentu saja ada, tapi Sofi tak tahu harus mulai dari mana.

Ibu sedang menyiapkan makan malam sederhana—dadar telur dan sayur bening, secobek sambal—saat Sofi tiba di rumah. Gadis itu langsung cekatan membantu. Di ruang tengah, adik-adiknya sedang berbuat kerusuhan.

“Istirahat saja. Nanti Ibu panggil kalau makanan sudah siap.” Ibu berkata. 

“Nggak apa-apa, Bu, aku nggak capek, kok. Hari ini sepi,” jawab Sofi, tangannya cekatan mengulek cabai dan kawan-kawan.

Sofi merasa ada perbedaan jauh dari sikap orangtuanya, terutama Bapak, sejak kejadian kemarin lalu. Bapak jadi lebih sering diam, Sofi kerap memergoki lelaki itu sedang melamun, sesekali mengerutkan dahi. Kabar baiknya, Bapak juga lebih sering di luar, yang kata Ibu, sedang cari kerjaan sambilan. Sejak di-PHK dari pabrik, Bapak bekerja serabutan—jadi tukang bangunan, tukang kebun, apa saja. Meski sejak Ifan melamar Sofi, Bapak lebih banyak di rumah karena jatah uang dari calon menantu.

“Bapak belum pulang, Bu?”

Ibu menggeleng pelan. “Tadi sudah, tapi dipanggil Pak Sup suruh benerin genteng. Bapakmu ngelamar jadi satpam di pabrik sepatu yang baru itu, Sof.”

Sofi mengangguk samar. “Semoga ada kabar baik ya, Bu.”

Pintu depan terdengar berderit terbuka, disusul uluk salam. Bapak pulang. Tak butuh satu menit, lelaki itu sampai di dapur. Sofi pura-pura tak melihat, seperti biasa. Dia jarang bicara pada Bapak selain saat menyerahkan gaji bulanannya. Bulan ini, pikir Sofi, Bapak belum menagih gajinya. Tumben.

“Mandi dulu terus makan, Pak.” Ibu menyambut.

Bapak duduk di karpet lesehan yang mereka gunakan untuk makan, menyeruput secangkir teh yang sudah Ibu siapkan. “Kamu masih bisa jahit, Bu?”

Ibu berhenti mengaduk nasi yang sedang ditanak. “Bisa-bisa saja kalau ada mesinnya,” jawab perempuan itu. Diam-diam, Sofi ikut menyimak pembicaraan orangtuanya. Sofi tahu Ibu pandai menjahit. Dulu sempat ikut kursus gratis, katanya.

“Pak Sup punya mesin jahit bekas punya istrinya dulu. Mau dijual murah. Kalau kamu mau, aku bawa ke sini. Kamu bisa ambil sanggan dari pabrik batik.” Bapak terbatuk. Menyeruput tehnya sekali lagi, dia melanjutkan, “Jadi, kamu nggak perlu keluar rumah jadi buruh cuci.”

Kedua mata Ibu berbinar cerah mendengar ucapan suaminya. Namun, wajahnya mendadak mendung. “Mau dibayar pakai apa, Pak?” 

Binar itu segera luruh. Harapan yang baru muncul layu secepat datangnya.

“Aku yang beliin, Bu.” Sofi berusaha menyelamatkan harapan ibunya. “Mau dijual berapa mesinnya, Pak?”

Gadis itu beralih menatap Bapak, tapi Bapak menggeleng. “Pak Sup bilang suruh bawa dulu. Nggak perlu dipikir bayarnya kapan.”

“Ah, nggak enak, Pak.” Ibu mengernyit prihatin. 

“Nggak apa-apa. Di rumah bikin sesak saja katanya.”

Pak Sup memang baik sekali pada keluarga Sofi. Dia Pak Tua yang hidup sebatang kara, anak-anaknya berpencar di kota besar, istrinya sudah meninggal, sanak saudaranya tidak peduli. Ibu Sofi sudah menganggap pria itu seperti bapaknya sendiri. Anak-anak bergiliran datang sebulan sekali, kadang-kadang menitipkan uang pada Ibu Sofi agar perempuan itu mau mengurus Pak Sup.

“Sofi, mulai sekarang uang kamu ditabung saja.”

Sofi, yang sedang mengulek sambal, mematung. Apa barusan ada malaikat lewat dan berbisik di telinganya? Tapi, dari tatapan Bapak dan Ibu, dia tahu bukan malaikat yang bilang. Bapaknya.

“Kamu pengin kuliah, kan? Bapak mungkin nggak bisa bantu banyak, jadi kamu pakai gaji kamu buat keperluan itu.”

Ludah Sofi seketika terasa membatu. Apa ini? Apa yang baru saja dia dengar?

“A-aku … adik-adik lebih perlu uangnya, Pak.”

“Itu urusan Bapak,” tukas bapaknya. “Harusnya biaya kuliah kamu juga tanggungan Bapak. Maaf, Bapak belum bisa berbuat banyak.”

Rasa panas menyengat kedua mata Sofi. Lebam di sudut bibirnya berdenyut karena dia mengatupkan bibir rapat-rapat, sebisa mungkin menahan tangis.

“Dan soal Ifan …” Bapak menghela napas. “Kamu tahu gimana caranya laporin dia ke polisi? Kamu punya video buktinya, kan?”

“P-Pak …” Sofi menggeleng. Sebutir air matanya jatuh. “Nggak usah, Pak. Polisi nggak akan bertindak kalau kita nggak punya uang.”

Lelaki itu bertatapan dengan istrinya. Ibu, yang juga tak kuasa menahan air mata, angkat bicara. “Ifan mungkin bisa lepas dari hukuman dunia, tapi Ibu yakin dia nggak akan bisa lepas dari hukuman Tuhan. Sabar ya, Sof …”

Sofi mengangguk. Dia bahkan tak peduli lagi apakah Ifan akan dapat balasan atau tidak. Apa yang baru saja bapaknya katakan seolah mengangkat separuh beban yang selama ini menggelayuti dirinya. Satu hal yang tak pernah dia rasa, menyeruak dalam dada untuk pertama kalinya—bebas.[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
HABLUR
645      341     6     
Romance
Keinginan Ruby sederhana. Sesederhana bisa belajar dengan tenang tanpa pikiran yang mendadak berbisik atau sekitar yang berisik agar tidak ada pelajaran yang remedial. Papanya tidak pernah menuntut itu, tetapi Ruby ingin menunjukkan kalau dirinya bisa fokus belajar walaupun masih bersedih karena kehilangan mama. Namun, di tengah usaha itu, Ruby malah harus berurusan dengan Rimba dan menjadi bu...
Solita Residen
1456      806     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
353      259     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Anikala
899      428     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Rania: Melebur Trauma, Menyambut Bahagia
166      137     0     
Inspirational
Rania tumbuh dalam bayang-bayang seorang ayah yang otoriter, yang membatasi langkahnya hingga ia tak pernah benar-benar mengenal apa itu cinta. Trauma masa kecil membuatnya menjadi pribadi yang cemas, takut mengambil keputusan, dan merasa tidak layak untuk dicintai. Baginya, pernikahan hanyalah sebuah mimpi yang terlalu mewah untuk diraih. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan Raihan...
BestfriEND
34      30     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
VampArtis United
969      637     3     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
Kainga
1150      678     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
Yu & Way
133      109     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Maju Terus Pantang Kurus
874      577     2     
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss. Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...