Perut keroncongan membangunkan Alya dengan rasa kesal yang sudah setengah terangkat dari hatinya. Cacing-cacing di perut berdemo minta jatah makan. Dengan gontai, gadis itu mengganti seragam yang sudah kering dan kaku, lalu melangkah ke dapur untuk membuat mi rebus.
"Biar Ibu bikinin." Ibu, yang wajahnya basah oleh air wudu, mengambil alih panci kecil yang sedang dipegang Alya.
Alya bergeming. Dia tidak tahu sekarang jam berapa, tapi rutinitas Ibu tidak pernah meleset. Setiap jam tiga dini hari, Ibu selalu menyempatkan diri mengadukan kegundahan hati pada Tuhan. Kali ini, Ibu melewatkan momen itu dan lebih memilih menemani putrinya makan.
“Ya … ada apa, Nak?" Ibu memulai pembicaraan setelah sejak tadi hanya menatap Alya makan mi dengan lahap. “Kamu nggak pernah pulang sampai malam kayak tadi. Nggak izin dulu sama Ibu.”
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Alya. Pun, gadis itu tidak punya nyali untuk mengangkat wajah. Ibu jauh lebih dia segani daripada Ayah, sehingga mengecewakan Ibu juga akan menyakitkan hatinya. Dia tidak pernah mau membuat Ibu kecewa.
“Ma-maaf, Bu.” Kalimat lirih itu akhirnya lolos juga.
Ibu menggeleng pelan, tangannya terulur merapikan anak-anak rambut Alya. “Maafin Ayah, ya. Maafin Ibu. Kita semua … terluka.”
Alya mematung, perhatiannya tertuju pada kuah mi yang menggenang di mangkuk. Dia tidak tahan membicarakan ini. Selama ini, baik Ayah, Ibu, dan dirinya, sama-sama bungkam karena tahu membicarakannya hanya akan membuat keadaan semakin berantakan. Tanpa menjawab sepatah kata, Alya berlalu ke kamar.
*
Pagi ini Alya berangkat sendiri naik mikrolet. Dia sengaja menghindari Ayah dengan berlama-lama siap-siap. Gadis tahi lalat itu menyusuri koridor dengan malas-malasan. Biasanya, dia akan berhenti sejenak di depan mading yang dibuat oleh Tim Jurnalis Sekolah. Alya selalu kagum karena mereka bisa mendesain mading dengan apik. Isi mading pun bisa dibilang berbobot, mulai dari puisi karya siswa-siswi pilihan, berita yang sedang viral di dunia, berita politik, sains dan teknologi, sampai update drakor dan K-pop terbaru.
Alya sebenarnya tertarik ikut ekskul itu, tapi waktu dan pikirannya sudah terkuras untuk les dan persiapan olimpiade. Sang ayah bersikukuh Alya ikut les di luar sekolah agar nilai mapel eksaknya tidak terlalu memalukan. Padahal, Alya toh nilai pelajaran MIPA-nya tidak pernah memalukan, menurut standar dirinya.
Berjalan sambil melamun, Alya tidak sadar sudah sampai di depan kelasnya. Dari teras, dia bisa melihat teman-teman sedang berkumpul di satu meja. Jujur, pemandangan ini agak traumatis bagi Alya. Meski sekarang dia bisa dibilang bagian dari Cika dan geng, tapi kelakuan Cika membuka bindernya sungguh traumatis.
Fifi, yang melihat Alya datang dengan wajah ditekuk kusut seperti kertas ulangannya yang biasa dapat nilai jelek, tergopoh-gopoh menghampiri gadis itu. Gosip hot di meja sebelah langsung dia tinggalkan.
"Yaaa, Alya … ciiieeee!" cengirnya lebar.
Alya mengerucutkan bibir. "Apa, sih, cia cie cia cie? Sus banget!"
"Gimana nggak cia cie! Kemarin kamu diboncengin Andre gitu. Semua mata me-man-dhang!” Fifi berseloroh jahil, tangannya menggapai-gapai dramatis seperti sedang berdeklamasi puisi.
Kedua telinga Alya memanas. Dia membuka bibir hendak mengatakan sesuatu, tapi lekas dikatupkannya kembali. Fifi tertawa penuh kemenangan melihat Alya yang salah tingkah dengan wajah yang semerah kepiting rebus.
Bertepatan dengan itu, orang yang digunjingkan Fifi muncul dengan gaya khas Andre—memakai jaket hoodie, kupluknya ditudungkan ke kepala, dan menyampirkan satu tali ranselnya di pundak. Jantung Alya berdentam-dentam, pelan tapi pasti makin tidak karuan. Apalagi saat Andre lewat di depannya sambil menyapa, “Hai, Alya, besok jalan lagi, ya.”
Gadis itu nyaris pingsan. Fifi, yang ada di samping Alya, bahkan tak bisa menguasai diri. Dia salah tingkah sendiri. Alya kehilangan kata-kata. Dia hanya melemparkan senyum kikuk pada Andre.
"Untung ya, Ya, ada gosip yang lebih heboh daripada gosipmu boncengan sama Andre. Jadi, gosip kamu kalah viral, deh," ujar Fifi setelah bosan menggoda Alya.
"Gosip apaan?" Alya berusaha bersuara senormal mungkin.
"Kamu tahu nggak, sebulan lagi Kak Sandra ultah!" Fifi mulai berorasi. "Dia bakal booking D'Sunset Coffe dan ngundang Juicy Luicy! Gila nggak?"
Kedua mata Alya terbelalak lebar, rahangnya menganga.
“Eh, mingkem, Ya. Mingkem.”
“Ju-Juicy Luicy? Gila …” Alya tak bisa berkata-kata.
Dia tahu siapa Sandra—semua orang juga tahu— siswi kelas XII yang paling top sekota ini, yang kebetulan satu sekolah dengan mereka. Ayah Sandra adalah wakil bupati yang juga punya pabrik teh di kota. Sekolah Alya menjadi sekolah favorit, salah satunya adalah karena andil orangtua Sandra. Alya, yang kebetulan menyabet medali olimpiade geografi, hanya faktor kecil yang turut membesarkan nama sekolahnya. Namun, tetap saja … Juicy Luicy? Alya tidak pernah membayangkan seorang siswi kota kecil ini akan merayakan ulang tahun dengan mengundang band terkenal itu.
"Eh, emangnya acaranya tanggal berapa, Fi?" cecar Alya. "Kita ke sana, dong. Yuk, yuk, yuk!"
Fifi memutar bola mata. "Eh, Tahi Lalat!" gerutunya. "Kamu pikir ini acara konser yang bisa semua orang tonton? Ini acara ultah eksklusifnya Kak Sandra. Sweet seventeen, Ya, sweet seventeen! Nggak semua orang diundang! Cuma circle dia aja!” Cewek itu melipat wajahnya sampai super kusut seperti seragam yang tidak disetrika.
"Jadi … yang diundang cuma anak-anak populer, ya? Hmm ..." Alya tampak berpikir.
Tiba-tiba, ingatannya tertuju pada sosok yang ditemuinya di D'Sunset Coffe semalam. Mbak Sofi. Kembaran Mawar de Jongh! Dia punya ide hebat untuk menyusup sebagai pelayan kafe itu lewat Sofi. Sudah pasti pesta Sandra bakal ramai, mungkin kafe kekurangan pegawai. Alya rela tidak dibayar asal bisa menyaksikan Juicy Luicy. Kebetulan sekali, semalam mereka bertiga bertukar nomor ponsel.
"Ya! Jadi gimana kemarin? Ditungguin ceritanya juga!”
Alya berbisik-bisik, menceritakan detail jalan bareng-nya dengan Andre. Namun, dia melewatkan syarat yang diajukan Andre dan gengnya. Dia yakin Fifi akan memarahinya habis-habisan jika tahu Andre memanfaatkannya.
“Eh!” Fifi terlonjak dari kursi. Alya ikut tersentak. “Jadi kamu udah masuk gengnya Andre, dong?”
Alya nyengir. Seharusnya begitu.
“Ya, Andre and the gank udah pasti diundang ke party-nya Kak Sandra.” Mata Fifi berbinar. “Kamu bisa dong, nyisipin aku seorang. Aku kan ke-chil, bisa ya, bisa ya, pliiis …”
Wajah Alya ikut semringah. Benar juga, dia baru terpikir. Dia sering melihat Andre dan gengnya duduk semeja dengan Sandra cs di kantin.
“YA! AJAK AKU!”
“Iya, iyaaa, ih! Bawel banget kayak nenek-nenek!” Alya membalas Fifi yang menimpuk kepalanya dengan buku tulis. Fifi menyeringai puas sambil berjoget-joget heboh.
Baru saja dia memikirkan bagaimana caranya bertanya pada Andre soal pesta ulang tahun Sandra ini, cowok keren tersebut melangkah ke mejanya. Jantung Alya kembali diserang sindrom deg-degan tidak tertolong.
"Ya, sini deh, ikut aku bentar," ucap Andre santai.
Fifi sibuk menyenggol-nyenggol lengan teman sebangkunya, sementara Alya, walaupun kemarin sudah menghabiskan berjam-jam bersama Andre, masih merasakan sensasi demam panggung juga. Dia mengikuti Andre yang melangkah ke halaman belakang sekolah. Bel masuk kurang sepuluh menit lagi, mau apa Andre mengajaknya ke sini? Pertanyaan Alya terjawab saat di sana dia sudah dinanti segerombol teman segeng yang lain. Namun, ada yang beda. Di situ ada Sandra! Iya, Sandra yang baru saja dia dan Fifi asyik bicarakan.
Gadis kelas XII yang terkenal seantero kota kecil itu sedang sibuk dengan ponselnya. Tak hanya wajahnya yang glowing sampai rasanya sinar mentari terkalahkan, aura Sandra juga tak biasa. Bahkan dalam jarak beberapa meter jauhnya, Alya bisa merasakan energi berkuasa yang terpancar dari gadis itu. Mungkin hal-hal seperti ini juga bersifat genetis, begitu pikirnya.
Andre menepuk bahu Alya yang canggung begitu mereka berjarak sejengkal dengan Sandra. "Nggak usah bingung gitu, Ya. Ini Sandra mau bicara sama kamu. San, anaknya datang, nih!"
Sekarang Andre sudah berdiri di samping Sandra dan merangkul pundak gadis cantik itu. Sandra berbisik-bisik di telinga Andre, yang seketika membuat perut Alya seperti dijungkir balikkan. Hatinya tiba-tiba terasa panas. Andre mengangguk-angguk, kemudian dengan manisnya, menjelaskan suatu hal yang sejak tadi membebani pikiran Alya.
"Jadi, kita ngundang kamu ke sini karena ada yang perlu dibicarain, Ya," ucap pembukaan Andre. "Kamu udah tahu soal birthday party Sandra, kan?"
Alya mengangguk.
"Nah, kamu pengin datang nggak? Ada Juicy Luicy!”
Ludah Alya terasa membatu. Otaknya kebas. Masih terpukau dengan Sandra, dengan lingkar pergaulannya yang tiba-tiba berubah dalam semalam, dia tidak tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Ya, kamu bakal diundang ke party-nya." Senyum Andre merekah. "Nanti kita bisa pergi bareng-bareng. Ya nggak, Guys?"
Entah kenapa Alya tak bisa bersorak. Jantungnya malah menggebuk-gebuk dada sekarang. Ini aneh. Asing baginya. Dia belum beradaptasi dari kumpulan murid pintar yang cupu ke geng populer nan keren.
"Tapi ada syaratnya, Ya," lanjut Andre lagi.
Alya memilin ujung jilbab. Jempol kakinya tiba-tiba terasa gatal, padahal dia baru ganti kaus kaki. Syarat? Syarat apa? Belum sempat mulutnya membuka untuk bertanya, Andre sudah berbisik di telinga Alya. Gadis itu mengejang. Bukan karena aroma permen karet mint dari napas Andre yang begitu dekat dengan indra olfaktorinya, tapi karena syarat yang baru saja Andre katakan.[]