Raina termenung sendiri di mini bar rumahnya yang mengkilap. Di hadapannya, secangkir penuh teh dengan aroma melati, mengepulkan uap tipis. Sandwich isi kornet yang dia buat untuk sarapan tidak tersentuh. Nafsu makan gadis itu hilang, padahal perutnya keroncongan bukan main. Semalaman dia tidak makan, juga berusaha tetap terjaga meski terkantuk-kantuk, takut Bagas akan mendobrak pintu rumahnya. Ada yang luput teman-temannya ketahui tentang Bagas si pacar green flag—dia dramatis dan obsesif.
Kejadian seperti semalamlah yang tidak Raina harapkan. Bagas mengaku menusuk tangannya dengan pecahan kaca saat Raina bilang putus dan pergi meninggalkannya sendirian. Entah apa maksud pemuda itu, tapi darah segar yang menetes-netes di lantai marmer rumah cukup membuat Raina gentar. Raina panik, bingung, dan mual sekaligus melihat cairan kental itu tak henti keluar dari tangan Bagas, dekat sekali dengan pergelangan. Pikiran Raina kalut, takut Bagas tiba-tiba ambruk karena kehabisan darah, sementara dia tidak punya keahlian untuk hal seperti ini.
Tak mau dipergoki tetangga dengan keadaan Bagas yang ganjil dan mengerikan itu, Raina akhirnya mempersilakan Bagas masuk. Dia tidak mau menambah bahan gosip lagi untuk dirinya dan sang mama. Keadaan mereka sekarang saja—Mama yang seorang janda sukses, Raina yang tinggal di rumah mewah dan besar sendirian, kuliah di luar kota tanpa pengawasan—sudah cukup jadi perbincangan. Apalagi jika ditambah ada cowok berdarah-darah seperti ini malam-malam di rumahnya. Habis Raina digoreng ibu-ibu rumpi.
Mau tak mau, Raina meminjamkan kamar mandi, menyuruh Bagas berganti baju karena tubuhnya basah kuyup. Setelahnya, dengan peralatan P3K seadanya, Raina berusaha membalut luka di tangan Bagas.
“Aku nggak mau putus.” Bagas bergumam. “Aku bakal ngelakuin hal yang lebih parah kalau kita putus.”
Raina menyentak tangan Bagas yang sedang dia perban. Pemuda itu mengaduh.
“Aku sayang kamu, Rain. Sayang banget.”
Tak ada satu patah kata yang lolos dari bibir Raina. Dia muak setengah mati dengan cowok ini. Setiap kali mereka menghadapi masalah serius dalam hubungan, Bagas selalu begini. Melukai dirinya, mengirim foto bagian tubuhnya yang berdarah-darah. Kemudian, entah bagaimana Mama dan ibu Bagas tahu, yang segera saja menceramahinya, memintanya memaafkan Bagas.
Raina selalu terkecoh dengan sikap Bagas ini. Apakah dia memang sangat mencintai Raina sampai tak mau berpisah, atau hanya memanipulasinya, ancaman halus dan tersirat—bahwa jika Raina sampai meninggalkannya dan terjadi apa-apa pada Bagas—itu adalah kesalahannya.
“Kasih aku waktu buat mikir dulu.” Raina berkata ketus.
“Aku nggak akan pulang kalau ka—”
“Kamu selingkuh dua kali, Bagas! Kamu pikir kamu boleh giniin aku?”
“Aku bakal berdiri di depan rumahmu sampai besok pagi.”
Raina mengertakkan rahang. Tangannya mengepal, gatal sekali ingin melayangkan tinju. Pemuda di hadapannya benar-benar gila. Hubungan mereka gila. Tidak sehat. Tidak wajar.
Tak disangka-sangka, Bagas mengeluarkan silet dari saku jaketnya. Benda itu berkilat-kilat terkena pantulan sinar lampu ruang tamu. Napas Raina tertahan. Tubuhnya mengejang.
“Ma-mau apa kamu?”
Bagas mendekatkan silet itu ke tangannya yang masih sehat. “Aku lakuin di depan kamu.”
“Oke, oke!” Raina mengerang frustrasi sambil memukul bantal sofa. Pelipisnya berdenyut dan kemarahan menguasai dirinya. “Oke, kita nggak putus!”
*
Sarapan biar kuat ngadepin kenyataan.
Caption status WA Sofi membuat Raina turut tersenyum. Foto keluarga yang menyertai sungguh hangat sekali. Sofi, ibunya, ayahnya, dan adik-adiknya kah itu? Batin Raina. Pasti senang punya keluarga lengkap begitu. Makan ramai, ada temannya. Tidak sendiri seperti dirinya. Kalau ada masalah bisa minta tolong keluarga, setidaknya curhat langsung pada ibunya. Betapa bahagia hidup gadis bule itu. Raina masih berangan-angan. Andai dia diberi nasib semujur Sofi, dengan keluarga yang utuh dan banyak saudara.
Enaknyaaa
Raina menanggapi status Sofi. Gadis itu sedang online. Jam segini dia belum berangkat ke D'Sunset Coffe.
Apanya yg enak, Mbak? Hehe.
Sofi membalas dengan cepat. Mau dari chat atau orangnya langsung, kelihatannya Sofi memang gadis yang ramah. Karena itulah mungkin Raina bisa langsung merasa akrab dengannya, selain karena kebaikan Sofi yang meminjamkan jaket.
Sarapannya. Enak bareng keluarga.
Chat Raina centang dua biru.
Ah, biasa aja, Mbak. Malah pada rebutan ayam, nggak enak jadi kebagiannya cuman dikit2.
Raina ikut tersenyum lebar melihat emotikon tawa di akhir pesan Sofi.
Mbak Raina lg senggang? Ntar ke kafe lagi aja, Mbak.
*Nggak dulu deh, Sof, lagi pengin di rumah. Lagian, jaket km baru mau aku cuci. Semalam kehujanan.
Oh, oke kalau gitu. Santai aja lg, Mbak.
Keterbukaan Sofi membuat hati Raina semakin perih. Mungkin begitulah sikap seorang gadis, seorang anak, yang datang dari keluarga utuh. Penuh kehangatan, karena itulah yang dia dapat di rumah. Berbeda dengan dirinya yang ketus, dingin, dan selalu berprasangka buruk pada orang baru yang ditemui.
Raina mengembuskan napas panjang, seolah itu adalah kumpulan dari keletihannya menjalani hidup. Rumah bernuansa Eropa yang mamanya bangun untuknya, semua permintaannya yang dituruti sang mama, tidaklah membahagiakan Raina. Buat apa rumah mewah jika di dalamnya tidak terasa seperti rumah? Buat apa rumah besar jika di dalamnya hanya ada Raina seorang? Bahkan tidak ada foto keluarga di dindingnya. Itu saja sudah menyakitkan bagi Raina. Mamanya yang ambisius, bapaknya yang tidak punya target hidup, bagaimana dua orang dengan karakter yang sangat berbeda itu bisa bersatu? Terlebih, karena itulah Raina lahir di dunia ini. Menanggung semua beban batin dan mental ini.
Raina muak di rumah sendirian. Raina muak dijadikan trofi pencapaian mamanya. Dia muak setiap kali menentang mamanya, lantas mamanya bilang kamu memang persis bapakmu. Raina muak setiap kali pencapaian barunya dijadikan status medsos oleh sang mama Alhamdulillah, anakku sebentar lagi wisuda, nggak sia-sia Mama yang janda ini banting tulang di negeri orang, Nak. Raina atau mamanya yang sebenarnya ingin dipuji? Raina muak setiap kali dia ingin memberontak, kemudian mamanya mengancam tidak akan membiayai kuliahnya atau bilang sana minta uang sama bapakmu! Atau saat berat badannya sedikit naik, gaya berpakaiannya tidak sejalan dengan Mama, maka Raina harus siap mendapat ceramah panjang lebar. Bagaimana seorang gadis harus sempurna agar bisa dapat pasangan sempurna, agar bisa diterima kerja di mana saja, agar tidak seperti mamanya.
Demi Tuhan! Raina muak, muak, muak! Kalau saja dia bisa bertukar jiwa seperti di film-film, dia akan berpindah ke jasad Sofi hanya untuk merasakan bagaimana hangatnya sarapan bersama keluarga.
*
Raina baru memasukkan pakaian kotornya ke mesin cuci saat i-Phone-nya berbunyi. Panggilan video dari Mama lagi. Tapi … tunggu! Mama tidak sendiri. Ada satu orang lagi yang bergabung di panggilan video itu. Bagus sekali! Bagas! Sepagi ini, dia akan dapat masalah apalagi dari dua orang itu?
Raina tidak menjawab. Namun, nada deringnya seperti alarm kebakaran yang tidak mau berhenti. Akhirnya, dengan ogah-ogahan dia mengangkat ponsel canggihnya.
"Belum bangun, Ra?" Mamanya menyapa.
"Udah, Ma. Lagi mau nyuci baju, nggak dengar HP bunyi. Ada apa, sih?" jawab Raina ketus.
"Cuma mau mastiin kalau kamu sama Bagas baik-baik aja."
"Astaga, Maaaa!" Gadis berlesung pipi itu mendesah panjang, memutar bola mata. Baru sepagi ini sudah lelah mental rasanya. "Kami baik-baik aja, Ma."
Di layar, terlihat Bagas mengangguk. Dia lalu membuka suara, "Iya, Tante, kita baik-baik aja, kok."
"Tapi kenapa muka Raina yang bulat kaya bakso itu ditekuk begitu?" Mama menggoda, yang bagi Raina terdengar seperti sindiran kamu-gendutan.
"Ma, udah, deh, jangan mulai. Udah dulu, ya, aku sibuk."
"Ra, perhatiin berat badan kamu itu. Jangan masih gadis tapi bodi udah kayak emak-emak. Nanti Bagas kabur, lho. Ya nggak, Gas?"
Duri tajam terasa menancap di hati Raina. Kalau saja bukan mamanya yang bilang, mungkin Raina sudah akan membekap mulut orang itu dengan lakban.
"Raina kayak gimana pun aku nggak akan pergi kok, Te. Buatku Raina itu udah perfect." Bagas, seperti biasa, pandai sekali berakting menjadi cowok green flag. Untung Raina tidak refleks muntah-muntah.
Sedang dibela nasib baik, ponsel Raina tiba-tiba mati. Dari tadi memang sudah lowbat, tapi Raina belum sempat mengisi ulang. Pikiran gadis itu tidak tenang setelahnya. Apa yang akan dua orang tersebut bicarakan tanpa dirinya? Atau sudah barangkali sejak tadi? Dia tidak tahu sudah berapa lama mamanya dan Bagas mengobrol.
Namun, ada yang lebih mengganggu Raina. Dia segera kembali ke kamarnya, meninggalkan mesin cuci meraung kesepian, lalu bercermin. Apa benar dia terlalu gemuk? Kenapa mamanya tega sekali bilang tubuhnya seperti emak-emak? Gadis itu mengernyit. Tidak, dia tidak gemuk. Timbangannya hanya naik satu kilo, menyentuh angka lima puluh delapan. Masih cukup ideal untuk tinggi badannya yang seratus enam puluhan. Akhir-akhir ini dia memang tidak sempat olahraga.
Rasa muak kembali memenuhi dada Raina. Dia ingin segera lepas dari kendali, komentar, dan aturan Mama. Mamanya pernah bilang, jika Raina sudah bisa hidup mandiri, maka Mama tidak akan ikut campur dengan persoalan hidupnya lagi. Masalahnya, Raina bukan gadis pintar. Segala tentang dirinya, menurutnya, biasa saja. Dia juga kuliah di perguruan tinggi swasta. Dia merasa tidak akan mampu bersaing di dunia kerja yang makin sengit ini.
Karena itu dia butuh Bagas. Bukan Bagasnya, tapi koneksi dari orangtua Bagas. Ibu Bagas pernah bilang, kalau dia masih berhubungan baik dengan anaknya, maka Raina tidak perlu pusing mencari pekerjaan.
Gadis itu mengesah, memperhatikan cuciannya yang berputar-putar—rumit, saling berbelit, seperti hidupnya.[]