Alya sampai rumah dengan seragam basah. Perjalanan lima belas menit dari D'Sunset Coffe tidak bisa menyelamatkan dia dari guyuran air yang sangat deras. Untung besok jadwalnya ganti seragam, sehingga gadis itu tampak tenang-tenang saja. Terlebih, hatinya sedang berbunga-bunga—kehujanan bukanlah masalah. Dia yakin malam ini akan bermimpi indah. Setidaknya Alya berharap begitu, meski saat memasuki ruang tamu, bunga-bunga di hatinya berguguran perlahan.
Ayah sudah menunggu. Dengan kening penuh kerutan dan wajah masam, pria paruh baya itu membolak-balik buku Konsep Dasar Matematika. Jarinya mengepit rokok yang tinggal separuh. Ludah Alya terasa membatu. Nyalinya ciut melihat ekspresi Ayah, yang saat itu juga langsung mengangkat kepala, menatap tajam padanya.
"Ngelayap ke mana kamu?” Nada dingin dalam suara Ayah membuat perut Alya bergelenyar. Dia ingin buru-buru masuk kamar, menghindari percakapan ini, tapi kakinya terpaku.
Gadis itu menunduk. Dari deretan kesalahannya, dia juga tahu kalau yang satu ini adalah hal baru. Sebelumnya Alya tidak pernah kelayapan sepulang sekolah, nongkrong-nongkrong tidak jelas seperti itu. Namun, kalau Andre yang mengajaknya, sepertinya Alya berani menentang dunia.
"Anak susah diatur! Nggak usah pulang saja sekalian!"
Alya memeluk ranselnya semakin erat. Perhatiannya sengaja dia tujukan pada bulatan-bulatan basah tak beraturan yang menyebar di permukaan tasnya.
"Kamu mau jadi anak nggak berguna seperti teman-temanmu yang berandal itu? Kalau begitu, Ayah nggak akan nguliahkan kamu! Sia-sia saja uangnya! Toh kamu nggak bakal bisa masuk arsitek seperti kakakmu!" Ayah melempar kasar bukunya ke meja. Puntung rokok yang sudah sangat pendek, dimatikannya di asbak.
Rahang Alya mengeras seiring debaran jantungnya yang kian keras. Sekujur tubuhnya menegang dan matanya tersengat panas. Ribuan kali Alya mendengar kalimat itu dari sang Ayah—dia tidak akan bisa seperti kakaknya—tetap saja tidak membuatnya terbiasa. Kalimat itu selalu menyakitkan, tak berkurang sedikit pun, seperti baru kali pertama Alya mendengar.
Karena itulah, sejak kelas satu SMA, Alya sudah mulai getol mencari beasiswa universitas yang cocok dengan minatnya. Alya bersumpah tidak akan kuliah dengan uang dari sang ayah. Dia yakin, banyak kampus yang akan menyambut hangat seorang juara Olimpiade Geografi Nasional, meski sudah tentu bukan jurusan arsitektur.
Alya ingin membuktikan bahwa seseorang juga bisa hidup, sukses, meski tidak pandai di bidang eksak seperti Ayah dan kakaknya. Bahwa tidak semua jenius harus jadi arsitek atau guru Matematika, dan mempelajari topografi, klimatologi, segala hal yang berhubungan dengan bumi, juga tidak kalah mengasyikkannya.
“Kalau kamu seperti ini lagi—”
Alya tahu akan berakhir ke mana ancaman sang ayah. Terdorong oleh entah keberanian dari mana—atau hanya kekesalan hatinya yang sudah membuncah—gadis itu meninggalkan ruang tamu begitu saja, membuat ayahnya terguncang. Kalimatnya terhenti. Di balik pintu kamar, Alya tersenyum sambil menangis. Biar saja. Biar saja dia benar jadi anak berandal yang barusan ayahnya bilang. Umpatan dan makian sang ayah masih dia dengar. Dia tidak peduli lagi.
*
"Jadi, kalau mau gabung di geng kita, harus ada yang kamu kasih ke kita." Cika membuka pelantikan anggota baru geng mereka, sore tadi di D'Sunset Coffe.
Alya sedikit kecewa begitu tahu bahwa tawaran Andre untuk jalan bareng, ternyata juga melibatkan geng cewek-cewek cantik yang membuatnya malu dan marah. Rasa senang yang dirasakannya sampai jam terakhir, dibonceng Andre dengan motor kerennya, meretih saat mereka tiba di D’Sunset Coffe. Cika dan gengnya, juga pacar-pacar mereka yang juga sahabat Andre, sudah menunggu. Sejujurnya, Alya ingin langsung pulang saja waktu itu. Tapi, Andre, dengan senyum dan gestur soft spoken-nya, membuat Alya memantapkan hati. Kapan lagi dia bisa sedekat ini dengan Andre? Bukannya tadi dia masih berambisi ingin operasi plastik hanya untuk masuk geng populer ini?
"Maksudnya gimana?" Alya bertanya lugu.
"Maksudnya gini, Al." Sekarang Andre yang menjawab, lengkap dengan tatapan manis dan senyum seribu watt. Perut Alya seperti terjun bebas. "Gini. Contohnya aku, di geng ini aku ngasih tempat tongkrongan oke di rumahku. Kita semua biasa kumpul-kumpul di rumah. Terus Cika, dia yang bakal bawa amunisi makanan tiap kali kita kumpul. Ada yang siapin uang bensin dan kuota juga," lanjut Andre.
"Nah, apa yang bisa kamu kasih ke kita?" Cika menyela lagi, dengan raut wajah jengah setengah mati.
Alya menelan ludah. Kupu-kupu yang baru saja beterbangan di perutnya seketika berhamburan entah ke mana. Apa yang bisa dia beri untuk geng ini? Dia tidak kaya, tidak gaul, tidak cantik. Tapi ...
"Kamu kan, pinter, Al. Kamu bisa kasihin otak kamu buat geng ini." Salma, personel geng cantik yang lain, seolah bisa membaca pikiran Alya.
"Nah, iya! Bener banget, tuh! Bisa lah Al, kamu bantu kita-kita ngerjain tugas? Terus ngasih contekan pas ulangan, dong." Cika menyeringai puas.
Belum sempat mengiyakan, Andre sudah menjawab duluan. "Aku yakin Alya mau, kok. Alya kan, baik. Ya kan, Al?"
Cowok itu melirik Alya sambil mengerling, mengusir keragu-raguan Alya. Tanpa perlu pikir panjang, gadis bertahi lalat tersebut langsung mengangguk. Deal! Selama masih ingin bergabung, Alya harus membantu anggota geng lain untuk mengerjakan tugas. Mereka pun langsung mengeluarkan buku masing-masing dan meminta Alya mengerjakan tugas mereka sekarang juga.
Alya pikir, dia akan mengerjakan lebih dulu, kemudian mereka dengan bebas bisa menyontek. Namun, tidak! Mereka tidak menyontek. Mereka meminta Alya langsung yang menuliskannya di buku masing-masing. Agak merepotkan, tapi Alya tersenyum. Selain demi bisa dekat dengan Andre, dia juga senang karena di sini, kepintarannya diakui. Tidak dibanding-bandingkan.
Gadis itu memandang langit-langit kamar berplafon putih yang di pojok-pojoknya dipenuhi sarang laba-laba. Pikirannya sudah kembali ke kamar ini. Kasur kapas yang dia tiduri terasa basah karena air hujan di seragamnya yang meresap. Alya terlalu lelah untuk sekadar mandi dan ganti baju. Dia hanya ingin sendiri dulu, mencerna semuanya.
Alya merasa kejadian sore tadi masih bagaikan mimpi. Dia, berada di antara Andre dan teman-teman populernya. Alya tahu dia dimanfaatkan, tapi tak mengapa. Dia tetap senang. Setidaknya dia diapresiasi berkat otaknya. Meski dia ditinggal sendiri sementara yang lain pulang dengan berbagai alasan, termasuk Andre yang bilang harus menjemput ibunya sehingga tidak bisa mengantar Alya, dia tetap senang. Alya tak keberatan harus naik ojol untuk pulang.
Gadis itu tersenyum. Mulai besok, lingkar pergaulannya di sekolah akan berbeda. Tidak akan ada lagi yang berani memandangnya sebelah mata karena tahi lalat. Tidak jika di sampingnya ada Andre.
*
"Al, makan dulu." Ketukan pintu kamar membuat mata Alya yang sudah setengah terpejam, kembali terbuka lebar. Itu suara Ibu.
"Nggak, Bu. Udah makan tadi," jawab Alya sekenanya.
"Ya, mandi, makan. Kamu kan kehujanan, nanti masuk angin.” Getar suara itu terdengar cemas. Tapi, Alya masih terlalu kesal dengan Ayah, dan mau tidak mau berimpas juga pada ibunya.
"Nggak, Bu, nanti kalau lapar aku makan. Udah, ya, aku mau tidur.”
Terdengar helaan napas berat. “Ya sudah, Ibu angetin lauknya, ya. Segera makan.”
Lalu langkah-langkah Ibu terdengar menjauh, meninggalkan Alya yang kembali tercenung. Pikirannya berganti, dari Andre pada Abram, kakaknya satu-satunya. Kebanggaan Ayah. Kebanggaan seisi rumah ini, kebanggaan keluarga besar. Otak brilian Abram mengagumkan, mungkin menurun dari Ayah atau memang karunia Tuhan. Dia mempelajari ilmu eksak semudah menghafal nama-nama buah. Alya yakin kakaknya bisa diadu dengan Jerome Polin untuk urusan ini.
Kalau Alya sudah super pintar, maka Abram adalah si otak jenius. Dia bahkan masuk kelas akselerasi saat SMP dan SMA. Pintu universitas-universitas ternama terbuka lebar untuk Abram, yang tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Abram sekarang—seharusnya—sudah masuk semester enam fakultas arsitektur kampus terbaik di nusantara. Hal ini semakin membuat Ayah bangga pada putranya.
Begitu pula Alya. Dia juga tak pernah berhenti kagum pada sang kakak. Abram adalah kakak yang baik, sangat baik. Perhatian-perhatian kecil sang kakak terus Alya rasakan setiap hari. Jarak usia mereka yang tidak begitu jauh membuat keduanya akrab. Mereka saling bercerita, saling mendengarkan, juga menjahili satu sama lain.
Namun, keadaan jadi berbeda saat sang ayah mulai menampakkan tanda pilih kasih, begitu istilah Alya. Hampir setiap hari, ayahnya membanggakan Abram di depan Alya. Ujung-ujungnya, kalimat-kalimat Ayah menjadi kalimat perbandingan yang membuat hati Alya sakit. Apalagi ketika Alya seiring waktu lebih tertarik pada ilmu geografi, tidak seperti sang kakak dan Ayah. Ayah tak pernah berhenti bilang coba lihat kakakmu setiap kali bicara dengannya. Semua tentang Abram.
Alya sendiri tidak tahu kenapa Ayah begitu terobsesi pada segala hal yang berbau MIPA dan eksak. Ibu bilang, Ayah dulu sudah dekat sekali dengan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Irlandia, bahkan salah satu laboratorium ternama di sana menerima Ayah untuk magang sebagai salah satu calon ilmuwan. Entah apa yang terjadi, Ibu tidak bercerita, tapi cita-cita Ayah itu kandas. Alih-alih jadi ilmuwan di Irlandia, Ayah hanya seorang guru PNS matematika di sini. Sialnya, di sekolah Alya.
Jadi, mau tak mau, Alya selalu berangkat setiap pagi bersama Ayah. Di sekolah, di rumah, dia tak bisa lepas dari pengawasan Ayah. Mungkin hanya Alya satu-satunya murid MAN 03 yang tidak membawa ponsel ke sekolah. Tadi saja dia memesan gojek dengan bantuan Cika. Peraturan Ayah demikian ketatnya, tapi yang paling menjemukan adalah bahwa Ayah menurunkan obsesi gilanya pada eksak terhadap anak-anaknya. Dan kenyataan bahwa Alya tidak bisa memenuhi keinginan itu, terasa bagaikan kesalahan yang begitu buruk.
Alya tidak pernah iri pada Abram. Dia menyayangi kakaknya itu. Namun, manusia mana yang mau dibanding-bandingkan, apalagi oleh orangtuanya sendiri? Kesuksesan Abram dalam dunia akademis, yang sejalur dengan keinginan ayahnya, seperti granat bagi Alya. Setiap kali melihat Abram, hati Alya kesal—meski perasaan bersalah juga muncul sebesar kekesalannya.
Harapan Alya menjadi anak satu-satunya yang diperhatikan orangtua ketika Abram kuliah dan jauh dari rumah, rupanya sia-sia. Ayah tak pernah mau mengakui kepintarannya. Bahkan, saat dia meraih medali geografi, Ayah tak mengucapkan selamat sama sekali. Ayah tidak pernah menganggap ilmu selain eksak dan MIPA perlu diperhitungkan. Menurutnya, semua orang juga bisa menguasainya. Hanya orang-orang terpilih yang bisa menaklukan matematika dan kawan-kawan.
Kekecewaan telah menggurat begitu dalam di hati gadis SMA itu, terlukis jelas di wajahnya, sikapnya, yang selalu kaku dan dingin. Kadang-kadang dia bertanya pada Tuhan, mengapa Tuhan tidak menjadikannya sama seperti ayah dan kakaknya, sehingga dia tidak perlu dibanding-bandingkan begini? Mengapa dia lahir dari ayah yang punya pola pikir aneh begitu? Itu adalah pertanyaan-pertanyaan lain selain: kenapa Tuhan memberi tahi lalat sebesar ini untuk menghiasi wajahnya?
Nyanyian hujan masih terdengar lewat curahannya yang ritmis di atap. Udara dingin yang masuk lewat celah ventilasi kamar membuat Alya mengakhiri pikirannya yang letih. Setetes air mata jatuh membasahi bantal. Dia rindu kakaknya. Lantas, dengan tubuh masih berbalut seragam setengah basah, si gadis tahi lalat tertidur dengan napas teratur.[]