Pemalu, tidak terlalu bisa berbaur dengan baik, tidak berprestasi, pendiam, semua itu sangat amat melekat pada diri Maya. Berbanding terbalik dengan kakaknya, yaitu Bang Permana.
Sejak kecil Permana memang mentalnya sudah terlatih, sebelum ada kelahiran Maya. Keluarga mereka tidak secukup seperti sekarang, kedua orang tuanya merintis sedikit demi sedikit. Tentu saja itu membuat Permana harus menghadapi pahitnya kerasnya dunia, saat SD dia membantu mamanya untuk berjualan kue basah ketika jam istirahat sekolah.
Meskipun ditempa ujian yang lumayan berat, dengan kecerdasannya Permana tidak pernah merasa terganggu ketika jam pelajaran. Dia masih selalu mendapatkan nilai tertinggi dan selalu juara kelas serta selalu menang jika mengikuti olimpiade dimana-mana . Benar-benar anak pertama yang membanggakan keluarga. Permana selalu diberikan ruang bebas untuk berekspresi apa yang dia mau sampai sekarang.
Sementara Maya, ketika dia lahir sampai tumbuh besar sekarang penuh rasa syukur ekonomi keluarganya sudah sangat stabil. Jadi apapun yang Maya inginkan dan harapkan, selalu dituruti oleh kedua orang tuanya. Apalagi dia anak bungsu dan juga perempuan, sangat amat dimanja. Selain bersyukur , Maya juga bingung. Dia merasa terlalu diletakkan dengan posisi aman, tidak pernah diperbolehkan untuk berekspresi dan berbuat mengejar apapun dengan usahanya sendiri seperti kakaknya. Dia bingung harus melakukan apa yang sesuai dengan ekspektasi kedua orang tuanya.
Saat ini, Maya sedang merebahkan badannya diatas kasur. Dia menatap langit-langit kamar, merasa bosan tidak tahu harus melakukan apa. Sebenarnya bisa saja dia mengajak kakaknya itu, namun Permana sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Menyedihkan, rasanya seperti anak tunggal.
Tok!! Tokk!!
Terdengar ketukan pintu dari luar kamarnya, Maya sudah berfikir itu sudah pasti mamanya. Karena jam segini, papanya masih sibuk bekerja.
"Masuk aja!! Nggak dikunci," teriak Maya. Dia malas untuk membukakan pintu.
Pintu kamarnya pun terbuka, dan sesuai dugaannya ya benar. Itu adalah mamanya.
"Maya lagi ngapain kamu?" tanya mamanya lalu duduk diujung kasurnya sambil menatap Maya.
"Rebahan aja mama. Udah selesai ngerjain tugas sekolah," jawab Maya dengan santai.
"Pinternya. Gimana di sekolah? Udah punya banyak teman belum?" Mama sangat penasaran dengan apa yang dirasakan oleh Maya selama sekolah. Apalagi Maya adalah tipe seseorang yang tidak terlalu banyak bicara, tertutup.
"Lancar-lancar aja mama. Lumayan sih, tapi akrab satu atau dua orang aja. Maya kan nggak bisa berbaur banget orangnya," Maya menjawab dengan terus terang.
"Kamu kenapa dek? Kamu masih kaget sama budaya disini? Atau gimana? Apa-apa cerita ya sama mama papa nak," mamanya mendekat dan membelai rambut Maya yang sedang rebahan dengan halus.
"Nggak papa, mama. Aku emang orangnya gini kok dari dulu," Maya tersenyum simpul.
"Yakin? Nggak bohong kan?" tanya mamanya memastikan. Dia tentu saja sedikit khawatir.
"Yakin mama. Nggak bohong," jawab Maya.
"Hmm.. yaudah iya. Oh iya, mama lagi bikin tiramisu cake tadi baru aja mateng. Kamu mau apa enggak?" mamanya menawarkan. Barangkali saja Maya membutuhkan asupan makanan, meskipun badannya kecil dan langsing tetapi nafsu makan Maya sangat amat besar. Sampai dia diledek oleh keluarganya, kalau dia memiliki penyakit cacingan.
"Ohh iyaaa? Mama kok nggak bilang? Kan Maya bisa bantuin," Maya memposisikan dirinya untuk duduk.
"Nggak papa, mama tahu kok tugas kamu udah lumayan banyak. Fokus aja dulu," jawab mamanya.
"Hehe, makasih ya mama. Yaudah habisini Maya turun ambil kok," Maya sangat senang.
"Sama-sama, yaudah kalau gitu. Mama ke kamar dulu ya? Mama mau istirahat," mamanya mencubit pipi Maya dengan gemas.
"Iya mama. Selamat istirahat ya," ujar Maya.
"Iyaa," mamanya beranjak dari kasur memposisikan diri berdiri setelah itu keluar dari kamar Maya.
Setelah ditawari mamanya makanan, tentu saja Maya ingin keluar dari kamar. Namun langkahnya terhenti, ketika dia melihat notifikasi WhatsApp muncul di layar handphonenya.
"Siapa nih yang WhatsApp?" gumam Maya. Karena dia melihat nomor telfonnya belum siap simpan.
"Maya, save nomer gue ya!"
Itu adalah pesan yang dia baca, karena dia tidak mengenali tentu saja Maya abaikan. Apalagi orang yang mengirim tidak to the point tidak menunjukkan siapa dia sebenarnya.
Belum beberapa detik, tiba-tiba handphonenya berdering dan Maya melihat nomornya itu adalah nomor yang sama. Jadi daripada rasa penasarannya semakin tinggi, dengan memberanikan diri dia mengangkat telfon tersebut.
Panggilan Suara Masuk..
Maya : Halo? Ini siapa?
Bram : Hehe.. sorry ya, ganggu lo. Ini gue Bram.
Maya : Oh Bram ternyata, enggak apa kok. Nggak ganggu, santai aja.
Bram : Oke oke. Save nomer gue ya May?
Maya : Iya, gue save kok. Maaf ya tadi gue cuma read doang WhatsApp lo, gue kira tadi siapa.
Bram : Santai aja, sekarang lo lagi apa May?
Maya : Ini mau makan cake buatan mama sih, abis selesai ngerjain tugas.
Bram : Oh gitu, yaudah buruan dimakan gih.
Maya : Iyaa, gue tinggal dulu yaa?
Bram : Iya nggak apa, bye Maya. Thankyou ya udah disave.
Maya : Iya sama-sama. Bye Bram!
Panggilan suara berakhir, rasanya Maya deg-degan. Dia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya, didekati oleh laki-laki. Sekarang dia benar-benar bingung.
"Hah? Ini beneran gue ditelfon sama Bram? Tiba-tiba banget?" ucap Maya. Dia masih menatap layar handphonenya, tidak menyangka hal ini akan terjadi. Padahal dia merasa kalau dia sangat amat pendiam, jadi tidak ada yang ingin mendekati dirinya.
Maya tidak ingin menjalin hubungan dimasa sekolah, dia benar-benar ingin fokus dalam pendidikannya. Namun entah kenapa dia benar-benar salah tingkah, Maya berulang kali menepuk pipinya berulang kali. Mengetes apakah ini mimpi atau nyata, dan ternyata memang benar-benar nyata.
"Udahh ahh! Nggak boleh salting kayak gini, pasti dia cuma pengen berteman doang. Santai Maya, lo harus menjadi independent woman!" Maya berusaha menenangkan diri.
Maya langsung meletakkan handphonenya diatas kasur, lalu segera keluar dari kamarnya. Dia ingin cepat-cepat memakan cake buatan mamanya.
"Mana ya cakenya," Maya celingukan di dapur melihat dimana mamanya menyimpan cake itu. Ternyata cakenya diletakkan oleh mamanya di dalam kulkas.
"Wihhh mantap banget iniii!" Maya kegirangan. Dia langsung duduk dimeja makan, dan memakan cake itu.
Ditengah ketenangannya memakan cake, tiba-tiba terdengar suara laki-laki dan itu adalah Permana.
"Makan terus! Makan terus! Gitu kok pengen body goals!" ledek Permana.
"Body gue udah bagus! Ini adalah takdir Tuhan Abang," jawab Maya dengan kesal. Kenapa kakaknya datang untuk menjahili dirinya, sangat mengganggu ketenangan.
"Duhh.. gayanya. Iya deh iya body goals," Permana memasang mimik muka jelek.
Mendengar itu tentu saja Maya tidak peduli, menganggap kakanya hanya angin lalu. Dia tetap melanjutkan melahap tiramisu cake itu .