Aku masih mengusap foto kecil itu, yang bentuknya buram, tapi jelas memperlihatkan sebuah janin mungil di dalam rahim. Aruna.
Aku tak tahu banyak tentang kehamilan. Tapi hari ini, saat melihat foto ini, aku jadi mengingat cerita-cerita yang pernah kudengar—cerita yang dulu tidak benar-benar kupahami. Cerita tentang Ibu yang selalu mual setiap hari, bahkan sampai tak bisa berdiri. Tentang Ibu yang harus berhenti makan nasi karena gulanya tinggi. Kata Ayah, dokter bilang Ibu bisa kena diabetes kalau tetap makan seperti biasa. Tapi aku tak mengerti—bukankah nasi itu makanan orang Indonesia?
Katanya, trimester pertama adalah neraka bagi Ibu. Dia selalu muntah setiap kali makan, bahkan saat minum air putih. Berat badannya turun drastis. Pipi yang biasanya penuh jadi cekung. Tubuh yang dulu hangat dan kuat mulai kurus dan lemas. Bahkan wangi sabun atau bau masakan bisa membuatnya mual hebat. Pernah satu malam, aku mendengar Ibu muntah sambil menangis. Ayah sampai harus menggendongnya ke kamar mandi. Tangannya gemetar, dan matanya nyaris tak bisa terbuka. Tapi saat aku muncul di ambang pintu, ia tetap tersenyum.
"Kakak, maaf ya, Ibu belum bisa temani belajar malam ini..." katanya lirih. Aku hanya mengangguk, tak berani mendekat karena takut mengganggu. Tapi mukaku melengos Waktu itu aku baru kelas 6 SD, belum mengerti betapa berbahayanya kondisi Ibu.
Setiap bulan, Ibu harus kontrol ke rumah sakit. Dokternya bilang, kadar gula darah Ibu sangat tidak stabil. Naik-turun seperti roller coaster. Padahal ia sudah menghindari nasi, tidak makan manis, bahkan mengganti air putih dengan air rebusan kayu manis. Tapi tubuhnya seperti tidak mau bekerja sama. Satu kali, saat di rumah sakit, Ibu tiba-tiba kejang dan pingsan di ruang tunggu. Aku ingat karena Ayah langsung mengangkatnya dan berteriak minta tolong. Perawat datang, dan semua jadi panik. Aku bersembunyi di balik kursi, menangis diam-diam.
Setelah sadar, Ibu sempat mengelus rambutku. Katanya, "Maaf ya, Kakak jadi takut... Tapi demi adik, Ibu harus kuat."
Trimester kedua katanya lebih ringan, tapi itu bohong. Meski mual sudah berkurang, justru saat itu dokter bilang kalau ada kelainan di kandungannya. Letak plasenta Aruna menutupi jalan lahir. Kata dokter, itu namanya plasenta previa. Jika dibiarkan, bisa berakibat pendarahan hebat saat lahiran nanti. Tapi operasi juga berisiko besar, apalagi dengan kondisi gula darah Ibu yang tidak stabil.
Waktu itu Ibu dilarang bergerak banyak. Bahkan untuk naik tangga pun tidak boleh. Ia lebih sering rebahan, ditemani segelas susu rendah gula dan semangkuk buah. Tapi diam pun menyiksa. Aku tahu karena sering melihatnya menatap keluar jendela, memandangi halaman rumah yang dulu sering ia sapu sendiri. Tangannya gatal ingin bekerja, tapi tubuhnya tak diizinkan.
Lalu masuk trimester ketiga, hari-hari makin berat. Kaki Ibu bengkak, tangannya pun begitu. Napasnya pendek-pendek. Wajahnya pucat. Kadang malam-malam aku terbangun dan melihatnya duduk di sofa dengan bantal di punggung, matanya terbuka lebar menahan sakit.
"Ibu kenapa?" tanyaku waktu itu.
"Sesak, Nak... Adik makin besar, perut Ibu jadi keras banget. Tapi Ibu kuat kok."
Aku ingin percaya. Tapi kenyataannya, suatu malam, Ibu pendarahan. Banyak sekali darah di lantai. Aku yang pertama kali melihat. Aku menjerit memanggil Ayah. Suasana jadi kacau. Ayah menggendong Ibu yang sudah lemas, darah mengalir dari celananya, mukanya pucat seperti kertas. Aku berdiri di depan pintu, tubuhku gemetar, tak tahu harus bagaimana.
Di rumah sakit semuanya bergerak cepat. Dokter bilang kondisi Ibu kritis. Plasenta previa yang selama ini diderita Ibu akhirnya menyebabkan perdarahan besar—jalan lahir benar-benar tertutup, dan kandungannya mulai kontraksi. Aruna belum cukup bulan. Mereka harus segera operasi, atau nyawa keduanya dalam bahaya.
Lalu... datang pertanyaan yang membuat semuanya sunyi.
"Pak, kondisi istri Anda sedang kritis, kami sedang berusaha menyelamatkan keduanya, tapi jika situasi darurat terjadi, kami mungkin hanya bisa menyelamatkan satu. Dalam kondisi seperti ini… kami butuh keputusan cepat. Siapa yang Anda ingin kami prioritaskan—ibu atau bayinya?”
Ayah tak menjawab saat itu. Air matanya jatuh. Aku sendiri hanya duduk memeluk lutut, mencoba memahami apa maksud semua itu. Pilih? Memilih antara Ibu dan Aruna? Bagaimana mungkin?
Akhirnya Ayah berkata, "Kalau bisa, tolong selamatkan dua-duanya. Tapi kalau tidak bisa... selamatkan istri saya."
Aku tak tahu apakah itu keputusan yang benar atau salah. Tapi aku tahu, Ayah sangat mencintai Ibu. Dan mungkin... mungkin Ayah tahu, Aruna pun ingin Ibu tetap hidup.
Operasi itu berlangsung hampir tiga jam. Aku menunggu di ruang tunggu, menggenggam boneka kelinci pemberian Ibu. Waktu terasa begitu lambat. Setiap kali pintu terbuka, jantungku berdegup kencang.
Akhirnya, dokter keluar. Wajahnya lelah, tapi ia tersenyum. "Alhamdulillah, keduanya selamat. Tapi bayi harus masuk inkubator. Ukurannya sangat kecil. Hanya 1,8 kilogram."
Aku menatap Ayah. Ia menangis. Tapi kali ini tangis bahagia.
Saat pertama kali melihat Aruna, tubuhnya sekecil botol air mineral. Kulitnya merah, dan ada banyak kabel menempel di tubuhnya. Tapi dia hidup. Dia menendang pelan dan membuka mata kecilnya sebentar.
Ibu butuh waktu lama untuk pulih. Luka operasinya sulit sembuh karena gula darah yang tinggi. Ia sempat demam tinggi dan dirawat ulang seminggu setelah pulang. Tapi tak sekalipun ia mengeluh. Saat aku menemuinya di rumah sakit, ia berkata, "Kakak sudah lihat adikmu? Cantik kan? Dia hadiah dari Allah buat kita... setelah lima tahun menunggu."
Sekarang, di depan nama Aruna yang terukir di halaman kecil ini, aku menangis. Menangis untuk setiap tetes darah yang Ibu korbankan. Untuk setiap malam yang ia jalani dengan rasa sakit demi adikku. Dan untuk Aruna sendiri, yang begitu rapuh dan kecil, tapi sudah begitu kuat memperjuangkan hidupnya.
Aku menunduk dan memeluk foto itu erat-erat. "Terima kasih, Ibu. Terima kasih sudah memperjuangkan adik. Dan maaf... karena aku dulu tak benar-benar mengerti betapa sakitnya semua itu."
Langit mendung. Tapi entah mengapa, aku merasa sinar hangat menyentuh pundakku. Mungkin itu Ibu. Mungkin itu Aruna. Atau mungkin... itu cinta yang tidak pernah mati, meski tubuh sudah tak ada lagi.