Perjalanan pulang itu terasa panjang. Di balik jendela kendaraan yang melaju pelan, Aira memandang pemandangan yang ia suka. Sawah hijau, langit senja yang mulai merona jingga, dan pohon-pohon yang berayun disertai udara segar yang sudah sejak lama tak ia rasakan. Namun, yang paling terasa bukanlah pemandangan di luar, melainkan badai yang masih berkecamuk di dalam hatinya. Perasaan sakit itu belum sepenuhnya hilang, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ada bisikan kecil di dalam dirinya yang berkata, “Sudahlah, terimalah dan lupakan. Kembalilah bangkit dan tumbuh, ini bukan akhir.”
Di rumah, Aira berusaha menenangkan dirinya. Dan mulai menyiapkan diri menghadapi ujian kelulusan yang akan dilaksanakannya secara online. Layar komputer di hadapannya menjadi saksi bisu perjuangan batinnya. Di tengah suara ketukan jari di keyboard, di antara soal-soal yang muncul di layar, hatinya berusaha memahami sesuatu yang selama ini sulit ia terima: bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan, bahwa takdir terkadang menyakitkan, tapi juga mengajarkan kekuatan dan kesabaran.
Hari-hari ujian itu ia lalui dengan penuh ketegangan dan rasa takut, namun juga diselingi harapan kecil yang makin lama makin tumbuh. Setiap soal yang dijawab adalah langkah kecil untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia masih bisa berjuang, masih bisa bertahan walau dengan tubuh yang lemah ini.
Setelah ujian usai, Aira duduk termenung. Ia mulai membiarkan dirinya merasakan luka itu, tanpa lagi melarikan diri. Ia belajar menerima takdirnya — bukan sebagai bahan untuk ia mengeluh, tapi sebagai pelajaran hidup yang membentuk siapa dirinya. Perlahan, ia mulai memahami dirinya sendiri, lebih dalam dari sebelumnya. Bahwa kekuatan sejati bukanlah dari ia yang tak pernah jatuh, tapi dari ia yang tetap berani bangkit dan mencintai dirinya sendiri meski tenggelam dalam luka.
Beberapa hari menjelang kelulusan, Aira mulai menyiapkan dirinya untuk kembali ke pondok. Meskipun hatinya masih terasa berat, ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Maka ia-pun menguatkan dirinya lagi untuk kembali, kali ini dengan hati yang sudah ia susun kembali dengan kepercayaan bahwa Allah tak pernah membuatnya berjuang sendirian.
Lalu di suatu sore, di kamar kecilnya, Aira mengambil sebuah buku catatan yang sudah lama tidak disentuhnya. Ia membuka halaman kosong, lalu menulis dengan hati-hati. Kata-kata mengalir, tentang rasa sakit yang belum sepenuhnya hilang, tentang harapan yang mulai tumbuh, dan tentang keinginannya untuk bangkit dari segala luka. Dan ia rangkai menjadi kalimat motivasi sekaligus pengingat untuk dirinya.
“Tidak ada seseorang yang langsung berhasil di dunia ini, semuanya pasti melewati sebuah proses. Dan saat kau sedang berproses fokuslah kepada tujuanmu dan masa depanmu. Dan yang terpenting jangan biarkan seseorang menghalangi jalanmu untuk menggapai impian-mu. Saat berproses tutuplah kedua mata dan kedua telinga-mu dari melihat dan mendengar orang-orang yang menjelek-jelekkan diri-mu, jangan biarkan seseorang mengambil mimpi-mu dan hak-mu untuk bahagia di dunia yang fana ini.”
—Aira.
Seperti itulah ia menulis. Menulis seperti menjadi cara baginya untuk berdamai dengan dirinya sendiri, menerima bagian-bagian gelap yang selama ini ia sembunyikan.
Selama di rumah ia mulai menenangkan dirinya kembali, mulai belajar menerima segalanya, dan berusaha bangkit kembali. Hingga akhirnya Aira mulai bisa melihat warna lagi.
Perlahan, bunga mulai kembali merah muda. Langit sore kembali jingga. Dan suara burung kembali terdengar seperti nyanyian, bukan gema kosong.
Lalu ketika hari keberangkatan tiba, Aira melangkah dengan hati yang masih cemas dan ragu, tapi sekali lagi ia berusaha menyakinkan dirinya sendiri bahwa ia bisa, maka dari itu ia tetap melangkah. Sesampainya disana ia mendapatkan sambutan hangat oleh sahabat-sahabatnya seperti sebelum-sebelumnya, perasaannya bercampur dari senang, sedih dan penuh haru, dan di sela-selanya Aira tetap berusaha menjaga hatinya agar tak terjatuh kembali.
Hari-hari selanjutnya mulai bisa ia lalui dengan tenang dan santai, ia mulai bisa melawan rasa takutnya. Surat-surat yang dulu sempat menghancurkannya, kini tinggal sebagai ingatan jauh. Sesekali memang terlintas. Tapi tidak lagi menyakitkan seperti dulu. Ia tidak tahu siapa yang menulisnya. Dan kini, ia sudah tidak ingin tahu. Yang ia tahu hanyalah satu: hidupnya tidak berhenti di sana.
Sekarang, langkahnya sudah kembali.
Beberapa hari kemudian, hari kelulusan-pun tiba, hari itu… perasaannya bercampur aduk, antara senang karena ia mampu berjalan sejauh ini dan sedih karena ia akan berpisah oleh sahabat-sahabatnya yang sangat ia sayangi.
Maka ia mulai membuka bukunya dan mengalirkan kata yang tak bisa ia ucapkan lewat lisan.
“Setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya. Tak semua akan tinggal selamanya, tapi yang datang di waktu paling gelap… akan selalu menetap di hati selamanya. Kalian hadir di saat aku hampir menyerah, dan karena itu, aku takkan pernah lupa: aku bisa bangkit karena cinta yang kalian beri tanpa syarat atas izin-Nya.”
Begitulah tulis Aira sore itu, duduk di balkon Ma’had sambil memeluk bukunya.
Lalu ia kembali menghampiri teman-temannya, kini ia berdiri di antara teman-teman yang pernah menjadi saksi jatuh bangunnya. Ada pelukan, tangis haru, tawa kecil yang dibalut kenangan.
Lalu setelah acara kelulusan selesai, mereka foto bersama dan akhirnya mereka berpisah dengan tangis dan senyum yang haru, akhirnya walau dengan banyak luka kita mampu melewati ini bersama-sama hingga akhir.
Di dalam mobil Aira memandangi langit sore dari balik jendela mobil yang membawanya pulang. Langit itu masih sama. Tapi cara ia menatapnya sudah berbeda.
Mungkin, inilah yang disebut pulih. Bukan melupakan. Bukan menghilangkan. Tapi… mengakui luka itu ada, dan tetap memilih melangkah.
Aira tidak menjadi sosok sempurna setelah semua ini. Ia tetap punya bekas luka, tetap ada trauma yang sesekali datang, tetap ada ruang-ruang sunyi dan hening yang belum sepenuhnya terisi. Tapi sekarang, ia tahu satu hal yang pasti:
Bahwa menemukan diri ternyata bukan tentang menjadi sempurna,
tapi tentang menerima seluruh bagian diri… termasuk luka, takut, dan air mata.
Lalu tetap melangkah, satu hari demi satu hari.
Sampai akhirnya, kita bisa melihat ke belakang dan berkata:
“Aku pernah jatuh. Tapi aku bangkit kembali.”
“Aku pernah hancur. Tapi aku merakitnya kembali.”
“Dari reruntuhan, aku belajar berdiri.”
Aira belajar, bahwa hidup tidak akan pernah bebas dari rasa sakit.
Justru dari rasa sakit, ia belajar banyak hal. Tentang menahan, tentang melepas, dan tentang bagaimana rasa pedih justru bisa melahirkan kekuatan. Kekuatan untuk tetap berjalan, meski tak tahu ujungnya. Dan di antara semuanya, satu hal paling pasti adalah: Allah… selalu ada. Bahkan di saat ketika semua terasa hilang.
Kini, Aira tahu, kekuatan bukan soal tak pernah jatuh, tapi tentang berani bangkit meski sudah berkali-kali runtuh.
Dan dari situ, ia mulai belajar mengenal dirinya sendiri. Inilah aku, dengan segala luka yang membentuk dan menjadikan diriku.
Dan sekarang, Aira akan menempuh jalan barunya untuk menggapai mimpi-mimpinya—mungkin tetap dengan sedikit rasa takut, dan sedikit rasa ragu. Tapi kali ini, ia akan melangkah dengan pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya.
Bahwa mimpi tak selalu tumbuh di tanah yang subur.
Kadang, mimpi justru tumbuh di tanah yang pernah retak.
Di hati yang pernah patah.
Di diri yang pernah hampir menyerah.
Mimpi itu bukan hanya tentang harapan yang mudah diraih, tapi tentang keberanian yang lahir dari kegetiran.
Tentang bagaimana luka-luka yang dulu terasa menghancurkan, kini menjadi tempat berlabuhnya kekuatan baru.
Karena sesungguhnya, setiap retakan menyimpan peluang untuk tumbuh.
Setiap kepedihan menjadi pijakan untuk melangkah lebih tegap.
Dan di sanalah, di antara luka dan mimpi… ia pulang.
Dan akhirnya, ia tumbuh.