Pagi itu, udara masih dingin dan segar ketika Aira dan Umi melangkah keluar dari rumah. Kopernya sudah terisi penuh dengan mukena, baju-baju, buku catatan, dan surat-surat dari teman-temannya yang selama ini menjadi penyemangat dalam masa pemulihannya. Aira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang bercampur aduk. Ada rasa takut, ragu, tapi juga harapan yang berkilat di matanya.
Umi memegang tangan Aira erat. “Sudah siap, Nak?”
Aira mengangguk. “In syaa Allah, sudah Mi”
“Alhamdulillah,” jawab umi dengan lirih sembari tersenyum.
Hari ini Abi ga bisa nganterin, karena Abi sedang kerja. Jadi Umi dan Aira akan pergi dengan Grab mobil. Setelah beberapa menit menunggu Grab mobil, akhirnya Grab itu tiba. Lalu Mereka naik mobil dan berangkat. Perjalanan dari rumah ke pondok terasa seperti kembali ke rumah kedua yang sudah lama dirindukan. Di sepanjang jalan, pepohonan hijau bergoyang diterpa angin pagi yang sejuk, dan kicauan suara burung terdengar riang menyambut pagi.
Sesampainya di pondok, Aira langsung disambut oleh sahabat-sahabatnya. Fiya, Elara, Ka Imut, Nawa, Ka Nana, dan yang lain berkerumun dengan wajah cerah dan penuh rindu. Ada pelukan hangat, canda, dan tatapan penuh kasih yang membuat hati Aira sedikit terisi kembali.
“Welcome back, Aira!” seru Fiya sambil memeluknya erat.
Anira tersenyum penuh semangat, “Kita semua kangen banget sama antiii.”
Air mata Aira menitik perlahan, rasa haru membuncah. Di sinilah tempatnya. Di antara mereka, Aira merasa diterima dan tidak sendirian.
Hari-hari selanjutnya berjalan dengan ritme yang berbeda. Setelah sekian waktu pulang karena sakit, kembali ke pondok bukanlah hal yang mudah bagi Aira, terutama setelah masa amnesia yang sempat menghapus banyak bagian dari hafalannya. Hari-hari awal saat ia kembali, semuanya terasa asing dan berat. Ia harus memulai lagi dari awal, memaksa dirinya memahami pelajaran yang dulu sudah pernah ia pahami, dan mengulang hafalan yang sempat hilang dari ingatan.
Namun di tengah semua itu, ada hal yang membuatnya dan membantunya tetap bertahan.. teman-temannya. Mereka selalu ada, menemaninya, menghiburnya, membantunya memahami pelajaran lagi, dan menjaganya agar ia tidak merasa sendiri dalam kegelapan pikirannya. Dukungan itu sederhana, tapi terasa begitu dalam. Seperti lentera kecil yang terus menyala di sudut hati yang nyaris padam. Hingga akhirnya perlahan demi perlahan Aira sedikit-dikit mulai memahami pelajaran yang sempat ia lupakan dan kembali mengingat hafalan yang sempat hilang dari ingatannya.
Dan pada suatu hari, ustadzah meminta seluruh santri untuk berkumpul di halaman pondok.
Seketika, para santri keluar dari tempat mereka masing-masing, ada yang dari hamam habis mencuci baju, ada yang dari kamar habis merebahkan diri, ada yang dari balkon sehabis bercanda, dan ada juga yang baru saja selesai muroja’ah dari musholla. Setelah semua terlihat sudah berkumpul, ustadzah bertanya dengan nada tegas, “Ini udah kumpul semuanya belum?”
“In syaa Allah sudah, ustadzahhh,” jawab beberapa santri dengan nada semangat.
“Oke, ana buka dulu ya. Bismillah, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap ustadzah penuh semangat.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab seluruh santri serempak.
“Jadi, sekarang kita mau pelantikan OSIS-nya, ya. Afwan kalau agak mendadak,” jelas ustadzah.
Kemudian, ustadzah mulai membacakan ulang nama-nama anggota OSIS, satu per satu, sampai akhirnya sampai pada: “Qism Ta’lim, Aira dan Syaa.”
Aira langsung terkejut. “Hah?! Ana lagi? Tapi... kapan ana dipilih lagi?” gumamnya pelan, sembari nunduk ke bawah dan seperti bertanya kepada dirinya sendiri.
Syaa, yang berdiri di sampingnya, tersenyum dan menjelaskan pelan, “Itu, Ka... sebenarnya udah ditentuin dari pas Kakak pulang, tapi pelantikannya baru sekarang. Kakak dipilih lagi jadi Qism Ta’lim.”
Aira tercengang, tapi berusaha menerima kenyataan bahwa ia dipercaya lagi menjadi bagian dari Qism Ta’lim. Ya, sejak dulu memang ia sudah terpilih untuk posisi itu. Tapi karena sering sakit dan harus pulang, amanah itu sempat terabaikan. Kini, meskipun sempat merasa bingung, karena sebelumnya sempat terabaikan tapi kini di pilih kembali, ia memilih untuk menerimanya. Dan dalam hatinya, ia berniat akan berusaha sebaik mungkin menjalankan amanah ini. Sekali lagi.
Hari-hari Aira setelah pelantikan Qism Ta’lim terasa padat. Jadwalnya mulai terisi dengan tugas-tugas ta’lim: membuat jadwal imam, mencatat siapa yang bertugas menjadi imam, menyusun ba’dal imam, dan menyiapkan perlengkapan kajian setiap akhir pekan. Aira mulai merasa hidupnya punya ritme lagi. Pagi ia ke kelas, siang membantu persiapan halaqoh, sore kadang ikut rapat kecil dengan OSIS, malam murojaah dan menata kembali hafalan yang masih berlubang.
Syaa, adik kelas yang awalnya hanya sekadar rekan ta’lim, perlahan berubah menjadi teman bicara yang nyaman. Walau usianya lebih muda, ia punya pemikiran yang dewasa dan perhatian yang hangat. Ia tidak banyak basa-basi, tapi tahu kapan harus bertindak, kapan harus diam, dan kapan harus membantu merapihkan semuanya.
“Kakak masih capek?” tanya Syaa suatu malam, saat mereka duduk di teras mushola setelah mencatat nama-nama yang melanggar.
Aira mengangguk kecil. “Capek… tapi gapapa kok, masih fine.”
Dan Syaa hanya tersenyum sambil membantunya mencatat.
Hingga sampailah pada hari Ahad itu, hari yang akan menjadi awal dari luka baru yang belum pernah Aira duga.
Hari itu, sejak jam dua dini hari, Aira sudah bangun. Ia tidak bisa tidur. Dadanya sesak, entah karena cemas ujian yang sudah dekat, atau karena perasaan-perasaan yang sulit dijelaskan. Ia duduk lama di mushola, mengulang-ulang hafalan juz terakhirnya sambil menahan kantuk yang menghantam pelan-pelan.
“Bismillah…” gumamnya, serak.
Selepas Subuh, Aira tidak kembali ke kamar. Ia langsung beranjak ke aula tempat kajian akan diadakan. Bersama Syaa, ia menyapu lantai, menata kursi untuk ustadz, menyusun sound system, merapikan sejadah dan kipas. Meski tubuhnya terasa berat, ia tetap memaksa berdiri.
Setelah semuanya siap, ia kembali sebentar ke asrama untuk mandi dan ganti pakaian. Ia memilih gamis biru muda yang berada di lemari nomor dua. Lalu ia kembali ke aula, kajian baru dimulai, dan ketika hendak mencatat kajian, pulpen Aira tak mengeluarkan tintanya. Akhirnya Aira kembali izin ke asrama untuk mengambil pulpen. Tapi ketika hendak mengambil pulpen dari lemari pertamanya, matanya terpaku pada sesuatu.
Sebuah kertas kecil, lecek, tergeletak begitu saja di dalam lemari pertamanya. Ia mengambilnya pelan-pelan. Kertas itu basah di ujungnya, bekas entah air atau keringat. Tulisan di dalamnya coret-coretan tak beraturan. Tapi perlahan-lahan huruf-huruf itu terbaca.
“Nyusahin aja lo. Penyakitan.”
Tubuh Aira membeku.
Jantungnya berdetak kencang, seperti ada palu yang dipukulkan dari dalam dadanya. Ia membawa kertas itu ke luar kamar, ke arah sinar matahari yang menembus dari sela-sela jendela, berharap ia salah baca, berharap cahaya mengubah arti dari tulisan kejam itu. Tapi tidak. Kata-kata itu tetap sama. Tetap menyakitkan.
Ia terduduk. Nafasnya berat. Tapi ia menahan air matanya. Syaa yang kebetulan lewat, membawa botol minum dari dapur, berhenti melihat ekspresi Aira yang pias.
“Kak, kenapa?” tanya Syaa kebingungan.
Aira tidak menjawab. Ia hanya menyodorkan kertas itu. Tangannya gemetar. Syaa menerimanya. Matanya membaca dengan cepat. Tapi ia masih belum faham dengan kata-katanya.
“Aku salah baca ya? Mungkin maksudnya bukan itu, kan?” gumam Aira didalam hatinya.
Tanpa menunggu Syaa mengatakan sesuatu ia langsung berbalik arah.
“Udah... kita balik ke tempat kajian dulu, yuk,” ucapnya pelan.
Sepanjang jalan, Aira tidak berkata apa-apa. Di aula, ustadz mulai menyampaikan materi. Tapi Aira tak fokus. Hatinya retak. Perasaannya hancur. Suara ustadz seperti gema dari dunia yang jauh.
Usai kajian, mereka berjalan keluar. Dan di situlah Fiya muncul pertama kali di hadapannya. Begitu melihat wajah Fiya, Aira tak tahan lagi. Ia menangis. Tangis yang meledak begitu saja, tanpa aba-aba.
Fiya memeluknya khawatir. “Aira! Kenapa? Anti kenapa?”
Tapi Aira hanya menggeleng. “Ana... nggak kenapa-napa...”
Kebetulan hari itu adalah jadwal jajan keluar, Aira bersama teman-temannya setelah kajian selesai keluar Ma'had untuk jajan. Tapi langkah Aira berat. Kata-kata dari kertas itu terus mengiang. Pikirannya seperti dicengkram oleh kalimat yang tak pernah ia minta.
Tiba-tiba...
DUG.
Tubuh Aira jatuh ke tanah. Tak sadarkan diri. Faidah, Elara dan Nawa panik.
Faidah langsung berlari ke pondok, mengambil motor. Mereka membawa Aira kembali ke Ma’had secepat mungkin. Ustadzah Nur sudah menunggunya di pintu dengan wajah cemas. Nebulizer dan oksigen segera dipasang.
“Aira kenapaai?” tanya ustadzah.
Tak ada yang menjawab. Sampai akhirnya, Fiya menceritakan kalau tadi Aira juga sempat menangis kepadanya, tapi ia belum menceritakan apapun.
Syaa yang baru kembali setelah jajan, kaget melihat Aira sudah disana dengan oksigen dan nebulizer yang terpasang di wajahnya.
Syaa seketika ingat dengan kertas yang tadi Aira berikan, lalu ia menyerogoh kantongnya dan segera mengeluarkannya, ia memberikan surat itu kepada teman-temannya Aira sembari menjelaskan. “Tadi pas ana lagi ambil botol minum, Ka Aira lagi di teras terus langsung kasih ana kertas ini, itu tulisannya ga jelas kaa, harus dibaca di bawah sinar matahari baru keliatan jelas.” Ucap Syaa menjelaskan.
Seketika semua mata membelalak. Mereka tak percaya. Surat? Siapa yang bisa melakukan hal seperti itu? Padahal sebelum-belumnya tak pernah ada kejadian seperti ini. Siapa yang bisa tiba-tiba tega melakukan hal seperti itu?
Anira menggenggam tangan Aira yang masih belum sadar dan dengan nada kesel ia mengeram. “Siapa yang tega?... siapa!...”
Nawa,mengepalkan tangan. “Kalau pelakunya ketemu...”
“Ihh astaghfirullah, kok bisa ada si orang kayak gitu?, Allahu yahdikk!” geram yang lainnya.
Tapi, apapun yang bisa dilakukan saat itu, kata-kata itu tetap tak bisa membalikkan apapun yang sudah terjadi.
Malam itu, Aira tak tidur di kamarnya. Ia ketakutan. Setiap kali mendengar langkah kaki, ia menggigil. Akhirnya Ka Nana menawarkan ranjangnya di kamar kecil yang lebih sepi. Ka Nana tidur di kasur lain. Selama empat hari, Aira hanya keluar ketika kamar sepi. Makan diantarkan. Mandi diam-diam. Dan ia tak ikut halaqoh maupun kelas.
Di kamar itu, ada Ka Imut, Syaa, Nawa, Ka Fifah, dan seorang ustadzah. Mereka menjaga Aira dengan penuh kehati-hatian, seolah tahu betul bahwa ia sedang berada di titik paling rapuh dalam hidupnya. Tidak ada yang banyak bicara, tapi kehadiran mereka terasa. Ada Ka Imut yang sering duduk di sisi tempat tidur sambil membacakan ayat pelan-pelan. Ada Nawa yang memastikan selimutnya tertata rapi. Syaa dan Elara pun tak pernah jauh, selalu sigap saat Aira butuh sesuatu, bahkan sebelum ia sempat meminta.
Iya, Elara, meski sedang beda kamar, ia selalu tetap menjaga Aira dengan penuh perhatian.
Meski begitu, malam-malam Aira tetap hening dan berat. Ia sering terbangun dengan mata yang basah, atau menangis pelan saat semua orang sudah terlelap. Ia menjadi sangat jarang bicara. Lebih sering memeluk lututnya sendiri, diam dalam dunianya yang sepi.
Hari-hari itu berjalan pelan, seolah waktu ikut menyesuaikan langkah Aira yang semakin lambat. Ia hanya keluar kamar saat semua sedang sibuk atau tak ada yang memperhatikan, sekadar hanya untuk mandi, mencuci muka, atau menggosok gigi dengan cepat. Tidak lebih dari itu. Ia belum siap menatap wajah banyak orang. Belum siap bertemu sorot mata yang mungkin menaruh iba, atau lebih buruk, rasa iri.
Urusan makanan, teman-teman kamar kecilnya yang sangat peka. Biasanya Nawa atau Syaa yang mengambilkannya dari dapur. Kadang Elara yang menyusup masuk ke kamar membawa makanan atau minuman hangat dari bawah. Meski kamar mereka ~Elara dan Aira~ sedang berbeda, Elara tetap datang, tetap menjaga. Ia seolah tidak peduli harus bolak-balik berapa kali.
Aira tidak ikut halaqoh bareng, ia akan halaqoh mandiri di dalam kamar itu, sendirian atau terkadang akan ditemani teman-temannya. Ia juga tak ikut masuk sekolah dan mulai menyalin tugas yang tadi setelah yang lain pulang sekolah, biasanya ia akan meminjam bukunya Fiya. Semua ustadzah sudah tahu dan sangat memahami keadaannya. Tak ada yang memaksa. Tak ada yang menegur. Semua seolah memberi ruang sebesar-besarnya untuk Aira bernapas, sampai ia siap berdiri kembali.
Tapi meskipun semua terasa hangat dan penuh pengertian, Aira tetap berada di titik yang gelap. Ia hampir tak bicara. Siang malam hanya berbaring, memandangi langit-langit. Kadang menangis diam-diam. Kadang hanya diam begitu saja. Tak ada permintaan. Tak ada keluhan. Tapi juga tak ada harapan yang terlihat.
Sampai akhirnya suatu malam, tubuhnya benar-benar menyerah. Ia kambuh. Lebih parah dari sebelumnya. Panik menyebar di kamar kecil itu. Ka Imut memanggil ustadzah. Nawa menggenggam tangannya sambil berusaha menenangkannya meski tangannya sendiri gemetar. Ustadzah segera menelpon Uminya, dan Umi Aira segera datang dan membawanya ke rumah sakit.
Beberapa hari ia dirawat. Setelah kondisinya mulai stabil, Aira dipulangkan. Umi menyuruhnya istirahat dirumah dulu sebelum kembali ke pondok lagi. Dokter menyarankan istirahat sampai benar-benar pulih.
Di rumah, Aira kembali tenggelam dalam keheningan. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, duduk di dekat jendela, menatap halaman belakang yang dipenuhi rumput liar dan beberapa pohon kecil. Kadang ia hanya tidur berjam-jam, bangun lalu tidur lagi. Tak banyak yang ia lakukan. Tapi tidak sama seperti sebelumnya. Ada sesuatu yang perlahan berubah.
Bayang-bayang kalimat dari kertas itu memang belum sepenuhnya hilang dari kepalanya. Tapi kali ini, Aira mencoba untuk tidak membiarkannya tinggal terlalu lama. Ia tahu, jika terus ditelan rasa takut dan sakit hati, ia tak akan pernah bisa keluar dari lingkaran itu. Maka, pelan-pelan, ia belajar untuk menepisnya.
“Ujian kelulusan sebentar lagi, mending aku fokus ke ujian dulu, dibanding sama orang yang gajelas, buat apa aku pikirin? toh sakit ini juga bukan aku yang mau, dan Allah maha mengetahui segalanya” ucapnya lirih pada suatu malam, mencoba keluar dari ranah ketakutan itu.
Dan di hari-hari berikutnya, ia mulai menetapkan jadwal belajar. Pagi ia murojaah untuk persiapan tasmi akhir, siang dan sore ia membuka buku catatannya dan kembali belajar memahaminya dengan seksama. Sesekali ia masih merasa cemas, apalagi kalau mulai mengingat surat itu. Tapi waktu di rumah ini ia gunakan untuk pelan-pelan menenangkan diri, dan menata ulang apa yang sempat berantakan.
Setelah hampir 2 minggu di rumah, Aira kembali ke Ma’had dengan wajah yang lebih tenang dari sebelumnya. Di dalam dirinya, ada semacam keteguhan baru yang ia rakit perlahan selama masa istirahat. Bukan karena semua rasa sakit sudah hilang, tapi karena ia ingin berusaha bangkit.
Teman-temannya menyambut hangat seperti biasa. Tidak ada pertanyaan yang menekan, tidak ada rasa sungkan. Hanya pelukan-pelukan singkat dan senyum yang membuat Aira sedikit lebih tenang.
Satu minggu pertama berjalan lancar. Aira mulai kembali ke kelas, ikut muroja’ah, dan membantu Syaa dengan tugas Qism Ta’lim. Ia kembali menata ulang hafalannya sedikit demi sedikit. Hari-harinya terasa lebih teratur, meski sesekali masih ada rasa lelah yang datang tiba-tiba.
Namun pada hari ketujuh, saat ia membuka lemarinya untuk mengambil buku catatan, ia menemukan selembar kertas kusut terselip di antara bajunya. Warnanya sedikit kusam. Tulisannya penuh coretan dan goresan. Aira menyipitkan matanya dan berusaha melihat kata-kata itu.
“Dasar nyusahin. Nyusahin aja lo.”
DUG!
Aira terkejut, ia kira akan sudah selesai, ia kira sudah berlalu, tapi sekarang muncul lagi. Namun, Aira tak ingin kalah untuk sekarang. Aira hanya memandangi kertas itu beberapa detik. Hatinya memang mencelos, tapi ia berusaha tetap tenang. Ia tidak langsung menunjukkannya pada siapa pun. Ia lipat pelan-pelan, lalu menyelipkannya kembali di antara bukunya. Dan malam itu ia masih makan seperti biasa. Masih ikut muroja’ah. Ia tidak ingin hal seperti ini mengganggu konsentrasi yang baru saja ia bangun kembali.
"Aku nggak papa," bisiknya pelan saat akan tidur.
Namun kekuatan yang sudah ia rakit itu tak cukup kuat.
Di minggu kedua, pada malam Senin, surat itu muncul lagi. Masih dengan kertas yang sama kusutnya. Masih dengan tulisan yang sulit dikenali. Tapi pesannya tetap sama.
“Nyusahin terus. Beban Ma'had.”
Kali ini, Aira tidak bisa menahan reaksinya. Tangannya langsung melemas saat membaca. Ia terduduk di depan lemarinya, memegangi kertas itu erat-erat. Matanya mulai berkaca, tapi ia tak menangis. Nafasnya berat, dan pandangannya kosong.
Syaa yang baru masuk ke kamar melihat Aira dalam posisi itu. Ia segera mendekat, menunduk, dan melihat kertas yang ada di tangan Aira.
Seketika wajahnya berubah.
“Kakak…” bisiknya pelan. Ia langsung memeluk Aira dari samping, erat sekali.
“Kakak kuat... Kakak kuat banget...” suaranya bergetar, seperti menahan kemarahan yang sudah tidak bisa diredam.
Begitu Aira mulai terlihat goyah, Syaa melepaskan pelukannya, berdiri, lalu menatap ke arah Nawa dan Elara yang baru saja masuk.
“Udah nggak bisa diem aja,” ucapnya pendek.
Nawa dan Elara sontak bertanya saat mendengar Syaa berbicara, “kenapaa?, kenapaa?”
“Itu dapet surat lagi!!!!”, jawab Syaa dengan nada kesal.
“HAH!, LAGI!?”
Elara langsung menghampiri Aira dan menenangkannya.
Sementara Nawa dan syaa tanpa menunggu lama, langsung menghadap ustadzah dan meminta agar malam itu juga dilakukan sidang. Ia tidak ingin masalah ini terulang dan terulang tanpa kejelasan.
Ustadzah menyetujuinya. Malam itu juga, semua santri dikumpulkan. Ruang serbaguna dipakai untuk forum mendadak. Ustadzah Nur membuka dengan tenang, namun nada suaranya cukup jelas menunjukkan bahwa ini bukan hal sepele.
Satu per satu santri diminta menulis. Kertas kecil disebar. Semua diminta menulis kalimat pendek.
Hasilnya? Nihil.
Tidak ada yang cocok. Tidak ada yang terindikasi.
Semua santri sudah dicek, tapi tetap tak ada jejak siapa pelakunya. Surat itu seolah muncul dari tempat gelap yang tak bisa dijangkau siapa pun.
Tulisan di surat itu memang terlalu kacau, terlalu acak, dicoret-coret dengan tekanan kuat, dan ditulis dengan bentuk huruf yang tak bisa dikenali dengan pasti. Seperti memang sengaja dibuat rusak agar tidak bisa dicocokkan dengan siapa pun.
Aira masih di dalam kamar itu dengan pandangan yang kosong, Ia tidak berharap apa-apa malam itu. Tapi dalam dirinya, ada sesuatu yang mulai goyah lagi. Sesuatu yang sempat ia bangun dengan susah payah.
Hari-hari setelah sidang itu tidak membuat keadaan Aira membaik. Justru sebaliknya. Ia menjadi lebih diam dari sebelumnya. Bukan hanya jarang bicara, tapi benar-benar tidak membuka suara sama sekali. Ia hanya duduk lama di kasur, menatap lantai, atau memandangi langit dari balik jendela kamar kecil itu.
Matanya kosong. Bahkan saat orang berbicara padanya, ia hanya menoleh sebentar, lalu kembali diam.
Yang mulai membuat teman-temannya khawatir bukan lagi hanya diamnya Aira, tapi sesuatu yang lebih sunyi, caranya menatap dunia.
Aira mulai kehilangan warna. Bukan karena matanya sakit, tapi karena semuanya tiba-tiba tampak begitu pudar di pandangannya. Bunga yang dulu terlihat cerah, kini tampak seperti salinan hitam putih. Langit sore terasa hambar. Bahkan rerumputan hijau yang biasanya membuatnya tenang, kini hanya terlihat sebagai hamparan datar yang tak punya nyawa.
Suatu sore, ia memandangi rerumputan di luar jendela cukup lama. Lalu berkata pelan, seperti bicara ke dirinya sendiri, “Kenapa... semuanya hitam putih?”
Anira yang ada di dekatnya menoleh cepat. Tapi Aira tak melanjutkan. Tatapannya tetap lurus ke luar.
Sejak saat itu, ia sering mengulang kalimat yang sama.
“Mau lihat bunga... mau lihat sawah...”
Maka teman-temannya pun paham. Setiap sore, mereka gantian menemani Aira keluar Ma’had. Mereka meminta izin pada ustadzah, lalu berjalan pelan ke arah jalan setapak belakang pondok, menuju sawah yang membentang. Atau berhenti di dekat taman kecil tempat bunga liar tumbuh tak beraturan. Di sana, angin berhembus lebih pelan, dan rumput liar tumbuh di pinggir tanggul. Ada beberapa bunga kecil tumbuh liar, warna-warni, walau kini tidak lagi terlihat sebagai warna di mata Aira.
Mereka berjalan sambil sesekali menghibur Aira. Tapi Aira hanya diam, menatap hamparan padi yang baginya hanya abu-abu. Tapi entah bagaimana, tubuhnya sedikit lebih rileks setiap berada di sana. Elara, Nawa, atau Anira bergantian memetik satu dua tangkai bunga kecil dan menyelipkannya ke tangan Aira yang dingin.
Dan kadang tanpa banyak kata, bunga-bunga itu dikumpulkan. Teman-temannya mulai menatanya diam-diam, menyusunnya di dalam satu gelas plastik bening yang mereka isi dengan air, menjadikannya semacam vas sederhana. Gelas itu mereka letakkan di samping kasur Aira, di tempat yang bisa terlihat setiap kali Aira bangun dari tidur.
Aira tak banyak bereaksi. Tapi ia juga tak memindahkannya. Bunganya tetap di situ. Dan entah bagaimana, kehadiran kecil itu seolah menambal sedikit ruang kosong yang tak bisa diisi oleh apa pun.
Hampir setiap sore, rutinitas itu terus dijalankan. Jalan-jalan kecil ke sawah, memetik bunga liar, dan menata kembali gelas plastik di samping kasur Aira. Teman-temannya melakukannya dengan sabar, dengan kasih yang tak banyak bicara, tapi terasa.
Namun meskipun semua tampak sedikit lebih stabil di permukaan, Aira belum benar-benar kembali. Tatapannya tetap kosong. Ia masih belum bisa bicara. Dan malam-malamnya masih dipenuhi gelisah.
Hingga suatu malam, ketika Aira pergi ke dapur belakang untuk mengambil air hangat, ia melewati balkon kecil yang sedang sepi. Tapi di sana, terdengar dua suara pelan dari arah tangga.
Suara yang tidak asing.
“Ka Nana dapet juga, ya? Sama kayak kemarin yang Syaa dapet?”
“Iya. Tapi jangan bilang siapa-siapa dulu. Aira gak tahu soalnya”
Langkah Aira terhenti.
Ia tidak mendekat. Tapi tidak juga menjauh. Tubuhnya membeku di tempat, hanya mendengarkan tanpa ekspresi. Hatinya terasa seperti diangkat tinggi-tinggi lalu dijatuhkan secara tiba-tiba, dan pecah berkeping-keping.
Ia tidak menunggu pembicaraan selesai. Ia segera berbalik arah, berjalan kembali ke kamar dengan kepala tertunduk. Aira mata mengalir tapi ia segera menghapusnya, dunia yang semula sudah mulai terasa tenang... kembali menjadi beban yang sesak apalagi di tambah surat-surat yang terus datang kembali hingga sampai surat ke 5.
Malam itu, Aira tidak bisa tidur. Dan esok harinya, ia mulai menjaga jarak.
Ia tidak menoleh saat Syaa menyapanya.
Ia tidak menanggapi saat Ka Nana menaruh bunga baru di samping kasurnya.
Ia kembali menutup diri, bahkan pada orang-orang yang selama ini paling setia di sisinya.
Ia merasa bersalah. Ia merasa, mungkin karena mereka terlalu dekat dengannya, sekarang mereka juga ikut terluka. Dan Aira tidak ingin jadi alasan orang lain disakiti.
Syaa dan Ka Nana cepat menyadari perubahan itu. Pada malam harinya.
Ka Nana langsung menghampirinya dan duduk di sisi kanan kasurnya. Syaa menyusul, lalu duduk di sisi kiri Aira.
Kemudian dengan suara pelan Ka Nana berkata, “Aira… jangan menjauh yaa”
Syaa mengangguk, ia menyambung ucapan Ka Nana dengan suara yang lirih.
“Kalau Kakak malah menjauh, nanti yang nulis surat itu yang ada bakal senang ka, karena kan memang itu yang dia mau. Jadi kita gaboleh turutin permintaannya, biarin aja dia semakin kepanasan.”
Aira tidak menjawab. Air matanya mengalir dan Ka Nana langsung dengan inisiatifnya memeluk dirinya.
Hari-hari berikutnya berjalan lambat dan berat.
Setelah kejadian itu, Aira makin menutup diri. Ia tak lagi bicara, bahkan pada mereka yang tinggal bersamanya di kamar kecil. Tubuhnya semakin kurus, wajahnya pucat, dan lingkar matanya selalu lembab oleh tangisan. Teman-temannya masih bergantian mengajaknya keluar ke sawah, membawa bunga, duduk di bawah langit sore yang tenang, tapi tidak satu pun dari itu membuat Aira tersenyum utuh.
Ia tidak menolak saat diajak, tapi juga tidak menunjukkan tanda-tanda menikmati. Ia hanya berjalan pelan, lalu duduk. Tangannya memegang bunga seperti benda asing, matanya menatap kosong ke hamparan hijau yang tetap terlihat abu-abu di matanya. Semua terasa datar.
Saat diajak bicara, ia tidak menjawab. Saat dipeluk, ia tidak membalas. Ia seperti berada di ruang sendiri… jauh, sepi, dan dalam.
Kadang, di malam hari, ia menggigil tanpa sebab. Kadang ia hanya berbaring memeluk dirinya sendiri, menunduk di pojok kasur seperti anak kecil yang kehilangan arah. Nafasnya pendek. Tidurnya gelisah. Dan tak jarang, ia pingsan tiba-tiba karena tubuhnya terlalu lelah meski tak banyak bergerak.
Teman-temannya masih setia disisinya, menjaganya, merawatnya, dan menyemangatinya.
Tapi tubuh Aira semakin lemah.
Dan akhirnya, pada suatu malam yang sunyi dan hening, ustadzah memutuskan untuk menghubungi Umi.
“Kondisinya sudah terlalu parah,” ucap ustadzah pelan. “Sekarang dia lagi gak bisa paksain dirinya sendiri, dia harus pulang dulu untuk istirahat.”
Keesokan paginya, Umi datang.
Uminya tidak banyak bicara. Hanya menatap Aira yang terduduk diam dengan pandangan sayu, lalu memeluknya perlahan.
“Nak… pulang dulu, ya.”
Aira mengangguk tanpa suara.
Beberapa hari lagi seharusnya ujian kelulusan dimulai. Tapi setelah melihat kondisi Aira secara langsung, mudir pondok memutuskan sesuatu.
“Aira boleh mengerjakan ujiannya dari rumah,” ucapnya.
“Apa pun bentuknya nanti, yang penting Aira pulih dulu.”
Dan begitu saja, akhirnya Aira pasrah kembali ke rumah yang padahal sebelumnya ia selalu memilih bertahan saat hendak ujian. Tapi kali ini, benar-benar dalam keadaan kosong, yang mengharuskan dirinya beristirahat segera.