Pagi itu datang dengan langkah ringan, seperti embun yang jatuh diam-diam di atas daun. Tanpa suara, tanpa tergesa, tapi perlahan menyusupi ruang kamar Aira lewat cahaya tipis yang menyelinap dari sela gorden. Ia masih terbaring, matanya sudah terbuka sejak beberapa menit yang lalu, tapi tubuhnya belum juga beranjak.
Di luar, ayam tetangga sudah mulai bersahut-sahutan. Udara pagi membawa aroma tanah basah yang masih menyimpan sisa-sisa hujan semalam. Aira menarik napas panjang. Pagi ini terasa seperti sebuah gerbang, bukan hanya menuju hari baru, tapi juga menuju babak hidup yang terasa berbeda—meski tempatnya masih sama: pondok pesantren.
Ia duduk perlahan, menyibakkan selimut yang tadi dipeluknya erat-erat. Di hadapannya, koper besar berisi perlengkapannya sudah tertata rapi. Obat-obatan yang harus diminum rutin setiap hari, buku catatan, jilbab bersih yang dilipat rapi, semuanya sudah siap. Tapi Aira tahu, bukan hanya barang yang perlu dipersiapkan. Hatinyalah yang paling butuh dipersiapkan matang-matang.
Ia bangkit menuju kamar mandi, berwudhu dengan gerakan pelan, seolah tak ingin mengejutkan pagi yang masih menyendiri. Setelah itu, ia mengambil sajadah kecil dan membentangkannya di tengah kamar. Sholat Subuh pagi itu dijalankannya dengan tenang, setiap gerakan terasa lambat namun sarat makna. Bukan hanya doa yang keluar dari bibirnya, tapi juga harapan-harapan kecil yang selama ini ia simpan dalam diam.
Selesai berdoa, ia tidak langsung beranjak. Ia hanya duduk, memeluk lututnya sambil memandangi dinding kamar. Banyak hal yang berkecamuk dalam kepalanya. Ada semacam rasa takut yang masih tersisa, rasa takut akan dirinya sendiri. Takut kalau nanti ia sakit lagi. Takut kalau dirinya kembali tenggelam dalam kekambuhan yang tak ia pahami. Tapi jauh di dalam dirinya, ada satu ruang kecil yang tak berhenti menanti.
Ruang itu seperti taman kecil yang tersembunyi di balik hutan gelap. Sunyi, tapi hidup. Diam, tapi rindu untuk dijenguk kembali. Di sanalah semua kenangan tentang pondok dan teman-temannya bersembunyi. Di sanalah Aira menyimpan rindu yang tak sempat ia ucapkan selama di rumah.
Dalam diam yang tenang, tiba-tiba kenangan masa lalu datang mengetuk pintu pikirannya. Pelan-pelan. Tapi cukup kuat untuk membuat dadanya bergetar lagi.
Dulu... hidupnya sangat berbeda.
Ia adalah anak yang terkenal di sekolah. Tomboy. Keras kepala. Ketua geng. Tak pernah menangis. Tak pernah bercerita. Bahkan pada uminya sendiri.
Semua bermula dari satu malam sunyi yang mengubah segalanya.
Saat ia duduk di kelas dua SD, kabar itu datang seperti badai yang tak disangka. Ayah kandungnya meninggal. Bukan di rumah. Bukan di kota yang dekat. Tapi di tempat jauh yang bahkan Aira belum pernah tahu wujudnya bersama perempuan lain. Ia tak sempat melihat apa pun—tidak jasad ayahnya, tidak wajah terakhirnya, bahkan tidak kuburannya. Hatinya sangat hancur malam itu.
Yang ia tahu, malam itu Umi duduk sendirian di ruang depan. Pucat. Tak bersuara. Hanya air mata yang terus jatuh, membasahi kerudung yang bahkan tak sempat diganti dari siang tadi. Dan Aira, dengan tubuh kecilnya yang tak paham apa-apa, hanya berdiri dari balik pintu.
Hatinya retak, sangat retak. Tapi ia tahu… kalau ia juga menangis, Umi pasti akan lebih hancur.
Maka ia berjalan perlahan. Mendekat ke arah Umi. Tak berkata sepatah kata pun. Hanya duduk di samping wanita yang sangat ia cintai itu, dan menggenggam tangannya. Diam. Membiarkan keheningan yang berat itu berbicara sendiri.
Sejak malam itu, Aira tumbuh berbeda. Ia menjadi anak yang dingin. Tak banyak bicara. Tidak mudah percaya. Ia pun mulai berhenti menangis, berhenti bercerita, berhenti menunjukkan kelemahan. Bahkan pada dirinya sendiri. Ia mulai memandang mereka yang menangis sebagai orang yang lemah. Dan ia tak ingin menjadi lemah. Maka ia tumbuh sebagai anak yang kuat. Keras. Kasar. Tomboy. Dan sedikit nakal.
Kemudian, saat ia kelas 4 SD, Umi-nya memutuskan untuk menikah lagi.
Aira tidak datang ke pernikahan itu. Ia menolak. Baginya, tak akan ada siapa pun yang bisa menggantikan ayah kandungnya. Ia terlalu mencintai ayahnya, walau ia juga membencinya karena ulahnya, tapi ia tak tahu perasaan apakah ini? sakit tapi sayang, benci tapi cinta. Walau begitu tetap terlalu sulit untuk dirinya menerima bahwa akan ada sosok lain di rumah mereka yang disebut “Ayah”.
Ayah barunya kini di panggil “Abi”.
Tapi Abi—sosok tenang lulusan pesantren yang kini menjadi suami Umi—tidak pernah menyerah.
Abi tak pernah memaksa. Tak pernah membentak. Sosok lembut yang tak pernah marah. Ia hanya hadir… seperti udara. Konsisten. Pelan. Tapi tetap ada. Setiap pagi saat sarapan. Setiap malam saat Aira pura-pura tidur. Bahkan saat Aira diam-diam mengunci pintu kamar agar tak perlu menyapa siapa-siapa, Abi hanya tersenyum dan mencoba memahami dirinya.
Dan dari cerita-cerita Abi tentang dunia pesantren, tentang hidup di pondok, Aira mulai mengenal tempat yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Awalnya ia tak pernah peduli. Tapi lama-lama, ada sesuatu yang hangat dari cara Abi bercerita. Sesuatu yang mengusik bagian dalam hatinya yang telah lama terkunci.
Akhirnya, setelah lulus SD, Aira memutuskan menuruti permintaan Abi.
Ia mendaftar ke pondok.
Namun ia tak tahu bahwa awal dari jalan menuju Allah seringkali bukan berupa keindahan, tapi ujian.
Dua minggu pertama di pondok adalah masa yang sangat berat. Tubuhnya langsung tumbang. Demam tinggi, muntah-muntah, menggigil setiap malam. Nafasnya seperti menolak diajak kompromi. Dadanya sesak, seperti ditekan batu besar. Ia sering terbangun tengah malam karena sesak, lalu menangis diam-diam menahan sakit, karena tak ingin teman sekamarnya panik.
Sampai suatu malam, ia benar-benar tak mampu bangun dari tempat tidur. Badannya menggigil hebat. Kepalanya pening. Dan perutnya terus mual. Akhirnya, dengan berat hati, ia dijemput pulang.
“Aira istirahat dulu di rumah sambil berobat, ya Nak,” begitu kata ustadzahnya waktu itu.
Setelah berobat dan istirahat, Aira kembali ke pondok. Tapi nyatanya, tubuhnya masih belum cukup kuat. Ia tetap sering jatuh sakit. Kadang mendadak lemas. Kadang mendadak muntah. Kadang bernafas pun terasa sangat amat menyakitkan.
Hingga akhirnya ia hanya bertahan tiga bulan di pondok pertama. Lalu harus keluar karena kondisi yang tak juga membaik.
Namun anehnya… di tengah rasa sakit dan kecewa, ada rasa yang tertinggal di hatinya. Sebuah kerinduan yang tak bisa dijelaskan. Rindu pada kehidupan itu. Rindu pada suara adzan subuh yang menggema dari masjid pondok. Rindu pada suasana kajian. Rindu pada wajah-wajah yang satu tujuan dengannya.
Maka setelah satu bulan pemulihan di rumah, dan merasa cukup membaik ia memilih untuk mendaftar lagi ke pondok lain.
Dan di sinilah takdir berubah.
Di pondok barunya, Aira bertemu dengan mereka—teman-teman yang seperti dikirim Allah untuk mengobati bagian-bagian jiwanya yang selama ini retak. Teman-teman yang tak hanya hadir saat tertawa, tapi juga saat ia jatuh, bahkan tak sadarkan diri. Teman-teman yang tak menghakimi kelemahan, tapi justru menggenggam tangan dan membisikkan kekuatan.
Di sanalah, untuk pertama kalinya dalam hidupnya setelah sekian lama, Aira kembali menangis. Bukan karena kehilangan, tapi karena merasa aman untuk meluapkan semuanya. Untuk bercerita. Untuk mengakui bahwa selama ini ia pun lelah. Ia mulai bisa bercerita, pelan-pelan. Tak lagi menganggap bahwa bercerita adalah kelemahan.
Dan sejak saat itu, Aira berubah.
Bukan menjadi orang yang lemah karena air mata, justru sebaliknya—ia menjadi lebih kuat. Tapi bukan kekuatan yang menggertak, bukan yang membentak, bukan yang menekan. Melainkan kekuatan yang tenang, yang lembut, yang diam-diam membuat orang di sekelilingnya merasa teduh.
Aira yang dulu keras dan dingin, perlahan-lahan digantikan oleh Aira yang baru. Yang lembut tutur katanya. Yang sabar jika disalahpahami. Yang jika marah pun, tidak dengan suara tinggi atau raut penuh benci—melainkan dengan diam, dengan doa, atau dengan air mata yang jatuh pelan di sepertiga malam.
Beberapa temannya pernah bilang dengan nada bercanda,
“Aira tuh… marahnya diem aja, ya? nggak bisa sampai serem kayak gitu.”
Yang lain menimpali, “Iya, paling mentok dia nangis sambil bilang 'nggak papa', padahal jelas-jelas disakitin.”
Lalu mereka tertawa bersama, tapi dengan tatapan sayang.
Aira hanya tersenyum setiap kali mendengar itu.
Ia mulai menyadari perubahannya, dan menyadari bahwa semua itu adalah pemberian dan kasih sayang Allah kepadanya.
Bahwa di balik kelembutannya sekarang, ada rasa sakit yang dulu sangat dalam. Ada malam-malam panjang yang ia lalui sendirian. Ada tubuh yang melemah karena terlalu sering sakit karena terlalu sering menyimpan semuanya sendirian. Ada hati yang dulu tak percaya siapa pun, bahkan dirinya sendiri.
Tapi Allah mengirimkan ujian, lalu mengirimkan pelipur laranya seperti teman-teman yang Dia-Allah datangkan untuknya.
Dan melalui semua itu, Aira belajar menangis.
Belajar mendengar.
Belajar bercerita.
Dan dengan izin Allah, saat itulah jiwanya mulai pulih.
Dan sekarang… ia akan kembali ke tempat itu. Tempat yang diam-diam menyembuhkan.
Dan saat akan ada adik kelas baru yang akan mulai berdatangan ke pondok, entah kenapa Aira selalu merasa dadanya menghangat. Seperti melihat versi kecil dirinya dulu—yang bingung, yang sepi, dan yang diam-diam berharap ada seseorang yang mendekat tanpa bertanya. Ia ingin menjadi orang itu. Ia ingin menyambut mereka, agar tidak ada yang merasa sendirian seperti dulu ia merasa.
Airaaa, udah mandi belum? Sarapan dulu, Nak!” suara Umi terdengar dari dapur, memecah lamunannya.
Aira tersentak pelan dari lamunannya. Ia menoleh ke arah jendela yang kacanya mulai mengembun karena sisa udara subuh. Tangan kirinya memegang ransel biru dongker yang semalam ia rapikan dengan teliti untuk sisa barang-barang kecilnya. Ransel itu penuh dengan barang-barang mininya: mukena lipat, sajadah kecil, buku catatan harian, dan sekotak obat-obatan.
Ia menghela napas dalam-dalam, lalu menjawab,
“Iya, Mi… bentar lagi.”
Langkah kakinya mengarah ke kamar mandi. Di hadapan cermin, ia sempat menatap pantulan wajahnya lama. Matanya masih sembab karena semalam ia terlalu banyak berpikir. Tapi ada binar berbeda yang terlihat hari ini. Seperti cahaya yang menembus awan tipis. Tak terang, tapi nyata.
Ia menyeka wajahnya, berwudhu, dan menyelesaikan mandi pagi dengan cepat. Setelah mengenakan gamis bewarna hitam mix coklat yang sudah disetrikanya tadi malam, lalu ia melangkah ke dapur.
Di dapur Umi sedang menyajikan sepiring nasi goreng dan segelas teh manis. Wajahnya tampak lelah tapi setelah melihat Aira umi tersenyum tipis. Ada getar halus dalam suaranya saat berkata,
“Sarapan dulu, ya. Nanti kita jalan setelah Dzuhur. Abi lagi luang di kantor, nanti kesini anterin Aira. Jadi nggak usah buru-buru, batas waktu baliknya jam 4 sore kok.”
Aira duduk perlahan, lalu tersenyum kecil. “Iya, Mi. Makasih…”
Umi menatap anak gadisnya itu dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Ada bangga. Ada khawatir. Ada rindu yang bahkan belum sempat terjadi. Lalu dengan lembut, ia mengusap kepala Aira dan berucap,
“Doa Umi selalu sama kamu, Nak. Semoga Allah selalu kuatkan kamu, bahagiakan kamu di tempat yang kamu pilih sendiri ini.”
Aira hanya menjawab dengan anggukan kecil dan senyum yang agak getir. Tapi di dalam dadanya, kalimat itu mengalir seperti doa yang diam-diam membalut luka-luka lama.
**
Menjelang Dzuhur, koper pink besar milik Aira sudah diletakkan di ruang tamu. Abi baru sampai dari kantor untuk menjemput Aira dan Umi. Lalu umi menyiapkan bekal kecil untuk perjalanan: roti isi, air minum, dan vitamin yang harus Aira minum siang nanti.
Sebelum berangkat, Aira masuk ke kamar dan menatap sekeliling. Sudut tempat tidur. Lemari kecil. Dinding yang pernah menjadi saksi tangisnya saat tubuhnya terlalu lelah untuk melawan. Ia berdiri lama, seperti menyampaikan salam pada semua yang pernah menyembunyikan rasa sakitnya.
Lalu ia berbisik pelan, “Terima kasih, ya…”
Dan ia pun melangkah keluar.
**
Perjalanan menuju pondok tidak terlalu jauh, tapi hati Aira terasa seperti menempuh perjalanan panjang lintas masa. Di dalam mobil, Umi duduk di sampingnya bersama adik kecilnya. Tangan mereka sesekali bersentuhan, tapi tak banyak kata yang terucap. Aira sibuk menatap jalanan yang mereka lewati—sawah, gang kecil, toko buku tua, hingga belokan besar yang selalu membuat jantungnya berdebar.
Abi yang menyetir pun sesekali hanya tersenyum melalui kaca spion. Ia tahu betul anak itu sedang berdialog dalam dirinya sendiri.
Sesampainya di gerbang pondok, suara kehidupan mulai terdengar. Ada suara koper diseret, anak-anak berpakaian rapi, ibu-ibu yang memberi pesan terakhir dengan mata berkaca-kaca. Beberapa adik kelas baru tampak memeluk ibunya erat, ada yang menangis, ada yang hanya diam dengan wajah bingung.
Aira turun dari mobil perlahan. Nafasnya sempat tertahan. Tapi tetap melangkah dengan penuh keyakinan. Umi dan Abi ikut menurunkan koper dan barang-barangnya. Beberapa ustadzah terlihat menyambut santri di depan asrama. Salah satunya mengenali Aira.
“Waaah, Aira! Alhamdulillah sudah sampai yaa kakk… gimana nih liburannya?”
Aira tersenyum dan menyalami ustadzah itu dengan penuh takzim. “Iya, Ustadzah. Alhamdulillah…, liburannya menyenangkan ustadzahh, Alhamdulilah”
Lalu setelah itu Umi menepuk bahunya pelan. “Kamu pasti bisa. Insya Allah lebih kuat dari sebelumnya…”
Mata Aira mulai memanas. Tapi ia tahan. Ia hanya mengangguk, lalu memeluk umi dan abi secara bergantian.
Aira berdiri sejenak di depan gerbang pondok setelah memeluk umi dan abi. Matanya menyapu sekeliling. Hatinya terasa penuh. Di satu sisi, ia merasa seperti pulang. Tapi di sisi lain, segalanya terasa sedikit asing. Belum ada wajah-wajah yang dikenalnya. Belum ada suara sahabat yang biasa memanggil namanya dengan semangat khas mereka.
Ia tersenyum kecil kepada umi dan abi yang mulai melangkah kembali ke mobil. Abi mengangkat tangan, melambaikan salam. Umi membalas senyum dengan mata berkaca-kaca, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Semua sudah cukup lewat pelukan tadi.
Aira menarik napas panjang. Ia meraih gagang koper dan mulai melangkah masuk ke area asrama. Suara koper anak-anak baru yang diseret di lantai keramik bercampur dengan canda tawa para santri baru yang sedang mulai mengenal dunia kecil yang baru ini. Ada yang tampak malu-malu, ada yang terlihat penasaran, dan ada juga yang hanya diam dengan mata menyapu ke segala arah.
Beberapa dari mereka memandang Aira dengan pandangan penuh kebingungan, dan sama Aira pun kebingungan saat memandang mereka. Tapi Aira hanya menunduk sedikit, mengangguk pelan sambil memberi senyum manis setiap kali tak sengaja bertatapan dengan mereka.
Ia melangkah menuju kamar lama. Tapi begitu masuk, matanya membelalak sedikit. Kamar itu dipenuhi koper, kasur yang belum dirapikan, bahkan ada beberapa anak baru yang menepati tempat tidur anak-anak lama, ia semakin bingung karena belum ada teman lamanya yang datang, dan menyadari kalau anak barunya juga pasti belum tahu kalau itu ranjang anak-anak lama.
Jadi ia hanya menaruh koper di sudut dekat pintu, lalu melangkah keluar. Udara kamar terlalu padat, terlalu penuh.
Ia melangkah ke taman di depan gedung asrama. Begitu sampai di depan gedung, udara luar terasa sedikit lebih lapang. Tapi ramai. Iyaa, taman kecil di depan asrama itu pun ramai oleh wajah-wajah yang belum ia kenali.
Di sanalah anak-anak baru dan orang tua mereka menyebar—ada yang duduk di saung dekat gerbang, ada yang berdiri di bawah pohon mangga sambil menenangkan anaknya yang mulai menangis, dan ada juga yang hanya diam menatap gedung asrama dengan tatapan bingung tapi juga penuh harap.
Aira berdiri sejenak di pinggir taman itu. Matanya menyapu semua wajah yang ada, berharap ada satu yang ia kenali. Tapi tidak ada. Semua masih asing. Anak-anak dengan wajah bersih, mata membulat karena gugup, dan wajah-wajah cemas yang mungkin takut akan dunia barunya.
Namun, saat itu juga—di sela-sela keramaian, suara koper yang diseret cepat terdengar dari arah gerbang. Ada satu langkah kecil yang terdengar familiar. Satu suara napas terburu-buru yang membuat jantung Aira berdebar.
Matanya reflek menoleh.
“Aniraaaa!!” serunya nyaring begitu mengenali sosok yang baru saja masuk halaman pondok. “Ahhh, akhirnya anti sampai jugaaaaa! Ana bingung banget tauu di sinii, anak baru semuaaa, ahhh!” keluh Aira.
Anira yang juga sedang melihat sekeliling langsung menoleh dan tertawa lebar.
“Wahhh wkwkwk iya ya! Anak baru semuaa, maa syaa Allah, rame bangettt,” katanya sambil menarik koper besar dan tas punggungnya yang kebesaran.
Aira tidak menunggu lama. Ia langsung berlari kecil, membantu meringankan beban temannya, lalu ikut tertawa sambil melirik sekitar.
“Sini-sini, ana bantu bawain barang duluu…”
Mereka membawa koper Anira ke depan tangga masuk asrama dan meletakkannya di pojok yang masih kosong.
Setelah menarik napas sebentar, Aira menatap Anira penuh semangat.
“Aniraaa… yuk, sapa anak-anak baru duluu hehe, mauu nggaakk?” katanya sambil setengah menepuk bahu sahabatnya. “Kasihan mereka, banyak yang diem sendirian…”
Anira tersenyum manis dan mengangguk. “Ayukkk, ana temenin anti ajaa yaah hehe, nanti anti yang ngajak ngobrol.”
Mereka pun mulai berjalan di antara kerumunan anak-anak baru yang sedang duduk, berdiri, bahkan ada yang berusaha membuka koper tapi kesusahan karena ritsletingnya macet.
Aira mendekati seorang anak berkerudung biru langit yang sedang duduk sendiri di bawah tangga kelas. Di sekelilingnya hanya ada koper besar dan satu kardus snack.
Aira jongkok perlahan sambil tersenyum.
“Sini ana bantuin yaaa” ucapnya sambil tersenyum riang. Lalu setelah berhasil dia bersuara lirih, “Alhamdulilah udahh nihh resletingnyaa”. Lalu anak baru itupun tersenyum dan mengucapkan terimakasih kepada Aira. “Makasih yaa kaa”, “samaa-samaa” jawab Aira dengan senyumannya.
Kemudian Aira melanjutkan percakapan itu, “anti dari mana nih?” tanyanya dengan suara lembut seperti kakak yang menyambut adik kecil di rumah.
Lalu gadis kecil itu menjawab lirih, “Ana dari Jawa Tengah, Ka…”
Mata Aira langsung membulat kagum.
“Uwwihhh, jauhnyaaa… Maa syaa Allahhh, kamu hebat banget sihh berani jauh-jauh ke sini!” katanya dengan nada bersemangat, sambil duduk di samping anak itu. “Terus naik apa ke sininya?”
“Naik Bus sama Abi kaa…” Jawab anak itu sambil tersenyum tipis dan sikap yang masih terasa canggungnya.
Anira ikut duduk di sebelah lainnya dan menambahkan dengan nada hangat, “Berarti nanti anti pasti kuat banget juga di sini. Pondok tuh seru loh, apalagi kalo udah kenal teman-temannya…”
Gadis kecil itu mulai tersenyum tipis. Matanya yang tadi berkaca, kini mulai berani menatap wajah dua kakak kelasnya.
“Insya Allah, anti nggak sendiri yaa… nanti pasti anti punya teman, yang penting jangan terlalu menutup diri aja, saling sapa dan sok akrab aja hehe,” ujar Aira pelan, sambil menepuk pelan lutut anak itu.
Lalu mereka berdiri lagi, berjalan menyapa satu demi satu adik kelas baru. Kadang mereka hanya memberi senyum dan lambaian kecil, kadang duduk sebentar menemani. Dan kadang, cukup satu sapaan hangat saja bisa membuat satu hati kecil merasa tidak sendiri di tempat asing ini.
Hari itu, taman yang ramai dan ruang kelas itu… menjadi saksi awal dari banyak pertemuan.
Termasuk pertemuan Aira—dengan versi dirinya yang lebih kuat, lebih lembut, dan lebih berani untuk hadir, untuk peduli… untuk orang lain.
Mereka sampai di kamar yang sudah mulai penuh. Suara koper dibuka, plastik keresek dibongkar, dan beberapa anak baru saling bisik-bisik di sudut ruangan. Aira melongok ke dalam, matanya langsung menemukan dua sosok yang familiar: Ka Imut lagi duduk di kasurnya sambil ngerapihin isi lemari, dan Fiya yang baru selesai nyapu lantai.
“Fiya… Ka Imut…” sapa Aira pelan, tapi langsung disambut senyum lebar dari keduanya.
“Eh Aira! ya Allahhh ketemu lagi nihh kitaa” Fiya langsung nyamperin, senyumannya nggak berubah sejak terakhir Aira lihat.
“Iyaaa. Tadi nyempetin keliling dulu sebentar. Rame ya, anak baru,” jawab Aira sambil duduk di pinggiran kasurnya yang belum diberesin.
Ka Imut nengok, sambil tersenyum tipis. “Tuh kan, makin sempit kamar ini kalau orang satu itu udah balik.”
Aira ngangkat alis. “Hehe iyaa nih barang ana banyakkk bangett…”
“Tapi beneran rame ya?” Fiya duduk di lantai sambil ngelipet sajadah. “Ana tadi bantuin satu anak, dia kayak bingung banget nggak tau harus ngapain.”
“Iya, ana juga tadi nemu yang diem aja di bawah tangga kelas. Resleting koper dia macet, terus dia bilang dia dari Jawa Tengah… sendirian pula,” kata Aira sambil lepas kerudungnya. “Gemes aja, mereka tuh kayak versi mini kita pas pertama kali masuk pondok.”
Anira yang baru masuk kamar bawa botol minum nyeletuk, “Tapi asli, tadi tuh vibes-nya lucu. Banyak yang mukanya tegang tapi koper mereka warna-warni semua.”
Lalu mereka tertawa.
“Terus, gimana liburan anti?” tanya Fiya.
Aira tersenyum. “Lumayan... lebih banyak rebahannya sih. Tapi seneng juga bisa makan makanan rumah tiap hari alhamdulilah.”
“Ya ampun, kok ana beda ya hehe,” Ka Imut menyambung sambil nyandarin kepala ke lemari. “Ana malah ngidam mie goreng pondok, padahal jelas-jelas di rumah lebih enak karena yang bikin umi…”
“Wkwkw iyaa kaa…” Aira ketawa. “Tapi jujur, sekarang tuh kayak agak deg-degan sih… udah masuk lagi, entar mulai hafalan lagi…”
“Iyaaa,” Fiya mengangguk cepat. “Belum ngerasa siap bener, tapi ya udah balik aja gitu. Ngalir aja.”
Anira duduk di kasurnya, ikut nimbrung. “Yang penting tuh jangan terlalu banyak mikir dulu. Tenang dan dibawa santai aja, in syaa Allah perlahan-lahan pasti bisa”
Aira nyengir. “Iya… insyaAllah. Owh iya nanti malem kita ada halaqoh ga yaa?”
“Kayaknyaa ngga ada dehh raa, kan kita juga baru masukk apalagi ada anak baru, paling nanti perkenalan dulu yaa kayaknya.” Jawab Ka Imut.
“Owh iyaaa yaaa kaaa, bener jugaa”. Jawab Aira sambil termenung.
“Iya juga ya, pertanyaan ana gajelas banget, udah jelas ga akan ada halaqoh di hari pertama masuk hehe” gumam Aira dalam hatinya.
Senja turun perlahan, menyelimuti langit pondok dengan semburat jingga keemasan. Udara mulai dingin, tapi tidak menggigit—justru terasa lembut seperti pelukan. Suara adzan Maghrib mulai terdengar dari masjid, membelah keramaian anak-anak baru yang mondar-mandir membawa koper, kasur gulung, dan keresek besar penuh kebutuhan harian.
Aira berdiri di bawah pohon mangga di depan gedung asrama, menatap halaman yang kini penuh wajah baru. Di sampingnya, Fiya sedang menggulung sajadah kecil yang tadi ia pinjam untuk shalat di musholla utama.
"Enak ya sore gini," gumam Fiya sambil menghela napas. "Sejuk, rame, tapi adem."
Aira mengangguk, senyumnya tipis. "Iya… semacam tenang yang asing. Tapi seneng juga, lihat anak-anak baru mulai berani ngomong, walau masih bisik-bisik."
“Kayaknya dulu kita juga gitu, ya?” Fiya tertawa kecil.
“Hehe iyaa yaa, yuk sholat maghrib dulu” ajak Aira.
“Ayukk”.
Setelah sholat Maghrib
Aira melangkah ke saung bersama Anira dan menikmati pemandangan malam itu, langit yang penuh bintang, angin yang membawa ketenangan, dan sejuk yang menyegarkan, membuatnya lebih terasa tenang malam itu.
Lalu tak jauh dari mereka, Ka Imut datang membawa nampan makan malam. “Haya na’kul akhwattt. Nanti setelah makan kita bagi kamar terus bobo dehh, hehe lumayan yaah udah capek.”
Kemudian Aira dan Anira melangkah ke arah Ka Imut dan anggota kelompok makan lainnya. Di sana, suara-suara kecil mulai terdengar akrab. Ada yang bercerita tentang kampung halaman, ada yang masih bingung dan canggung untuk ikut mengobrol, dan ada yang langsung akrab satu sama lain.
Malam itu, setelah makan, kamar mulai dibagi. Ada yang langsung heboh nyari tempat di pojok. Ada yang diem aja sambil pelan-pelan ngeluarin mukena dari koper. Aira kebagian kamar yang sama lagi dengan Ka Fidah, Anira, dan Ka Imut. Sedikit lega rasanya.
Dan seperti malam pertama di pondok pada umumnya, semuanya susah tidur. Entah karena deg-degan, excited, atau bingung mau tidur di kasur siapa dulu biar nggak sendirian.
---
Beberapa hari berikutnya penuh dengan jadwal orientasi. Dari pagi sampai sore, mereka harus ikut sesi pengenalan: mulai dari struktur pondok, pembimbing harian, sampai simulasi antrian kamar mandi.
Aira tetap berusaha semangat, meski tubuhnya terasa lebih cepat lelah dari biasanya. Setiap malam, ia pulang ke kamar dengan langkah berat, langsung merebah dan menutup mata.
---
Lalu beberapa hari kemudian, di suatu malam.
Semuanya tampak biasa saja. Anak-anak sudah kembali ke kamar masing-masing, sebagian mulai tertidur, sebagian lagi masih sibuk ngerapihin lemari, ada yang masih berbincang-bincang dibarengi suara tawa kecil, ada juga yang masih belum bisa beradaptasi dan hanya duduk diam di ranjangnya.
Aira berjalan pelan dari kamar mandi, mukena masih dilipat di tangannya. Tapi langkahnya mulai goyah. Pandangannya buram, tubuhnya seperti nggak sepenuhnya bisa dia kendalikan.
Anira yang baru keluar dari kamar langsung memerhatikan gerak Aira. Matanya menajam.
“Ra…” panggilnya pelan.
Langkah Aira makin oleng.
“Raa, kamu kenapa?” Anira langsung menghampiri, tanpa banyak tanya langsung memapah tubuh sahabatnya.
Aira mencoba tersenyum, tapi wajahnya pucat. “Gak… nggak apa-apa…” bisiknya.
Dari ujung lorong, Ka Imut muncul sambil nyariin seseorang. “Airaaa! Anti dicari anak baru lohh, tapi kayaknya dia nggak tau nama anti. Jadi manggilnya ‘Kakak Mata Cantik’ katanya.”
Aira mendengar itu. Senyumnya sedikit mengembang, tapi matanya sayu. Nafasnya berat, dan tubuhnya mulai limbung.
Tepat saat itu, seorang anak baru muncul dari balik pintu. Wajahnya malu-malu sembari tersenyum manis.
“Nah ituu dia Faidah yang manggil anti ‘Kakak mata cantik’. Ucap Ka Imut setelah melihat anak baru itu yang bernama Faidah.
Aira memaksa anggukan. Senyumnya pelan, setengah sadar. Lalu—bruk!—ia ambruk ke pelukan Anira.
Ka Imut, Anira dan Faisah panik. “Aira?! Ya Allah ayo cepat bantu, kita bawa dia ke kasurnyaa!, Yang dekat pintuu asrama tolongg di buka lebar pintunya yaa” Perintah Ka Imut dengan suara yang sedikit gemetar karena cemas.
Mereka bertiga, bersama satu anak baru yang masih kebingungan, segera membawa Aira ke kamar. Semua yang melihat mulai bingung. Beberapa anak ikut masuk, sebagian mengetuk pintu ustadzah.
Tak lama, Ustadzah Nur datang. Langkahnya terburu-buru karena cemas. Ia duduk di samping Aira dan meletakkan tangan di dahinya.
“Pasien epilepsi nggak boleh kena cahaya langsung. Tolong dimatikan lampunya ya,” ucapnya pelan sambil melirik ka Imut.
Kenapa ustadzah Nur bisa tahu?, karena ternyata ustadzah Nur mempunyai kondisi serupa dengan Aira yang di alami sejak masuk SMP juga, seperti Aira. Jadi beliau lumayan faham karena beliau juga merasakan.
Lampu kamar dimatikan. Gelap mulai melingkupi ruangan, hanya diterangi sisa cahaya bulan dari luar jendela.
Tapi Ustadzah Nur terlihat sedikit ragu. Ia mengamati Aira dengan tatapan bingung. “Ini Epilepsi jenisnya berbeda. Bukan seperti yang ana alami. Tapi… ana paham rasanya.”
Beberapa anak mulai gelisah. Salah satu dari mereka mencoba menyalakan senter, tapi segera ditegur. “Jangan ada cahaya yaa, nanti memicu kejangnya.” Tegur Ustadzah Nur.
Suasana kamar berubah hening. Hanya suara napas berat Aira yang terdengar, sesekali diselingi bisikan doa dari teman-teman yang setia berjaga.
“Ini kayaknya ga bisa di tinggal sendiri, harus ada yang jagain, takut sewaktu-waktu kejangnya kambuh kita ga tahu.” Ucap ustadzah Nur.
Lalu di malam itu gak satu pun dari mereka yang memilih tidur malam itu. Mereka duduk melingkari Aira, memegang tangannya, memijit pundaknya, menyelimuti tubuhnya yang dingin.
Malam itu, meskipun gelap, terasa penuh cahaya.
Cahaya dari perhatian, cinta, dan persahabatan.