Berjalan di lorong kelas sendiri tanpa sahabat-sahabatnya itu, Leo nampak menempelkan handphone pada telinga. "Hallo, Mireya." Leo menelepon gadis tercintanya itu.
"Iya, Kak."
"Aku sudah mau pulang, mau nitip apa?"
Mireya diam sejenak, sepertinya sedang berpikir. "Aku lagi mau yang manis-manis, macaron boleh Kak."
"Macaron saja?"
"Iya."
"Mau berapa kotak?"
"Dua saja cukup."
"Okay, kalau gitu aku tutup teleponnya."
"Mm."
Tidak membutuhkan waktu lama Leo sampai di sebuah Cafe. Ketika sedang mengantri di mana wangi kopi bercampur aroma manis dari kue kue itu tercium memenuhi Cafe, Leo yang iseng menoleh ke arah orang-orang yang asik menikmati hidangan mereka itu hingga manik matanya fokus pada satu titik. Di depan sana terdapat Cyntia bersama teman perempuannya. Leo yang tahu karakter Cyntia pun, penasaran apa yang sedang mereka bicarakan. Mengingat apa yang terjadi dengan Mireya, apa Cyntia akan membicarakan Mireya?
Leo ambil sebuah makser hitam dari dalam saku jaket kulit hitamnya, menempati meja yang dekat dengan meja Cyntia yang membelakanginya. "Mireya gak tahu saja kalau di gak sepenuhnya salah, ada orang yang lebih bersalah," ucap Cyntia dengan santainya.
Apa maksud ucapan perempuan itu? Apa yang gak aku tahu? Leo mulai curiga jika ada sesuatu. Leo pun mencoba untuk tinggal lebih lama.
"Seriusan gak ada satu orang pun yang tahu kalau Mama kamu terlibat dalam kecelakaan itu?" tanya teman Cyntia.
"Ya, nggak ada. Kalau pun ada Mama gak akan hidup seenak sekarang."
Leo memasang wajah tak percaya bahwa Ibu tiri Mireya bukan hanya sekedar Ibu tiri yang tidak peduli dengan anak tirinya, tapi lebih dari itu. Leo yang ingin terus mendengarkan, handphone yang ada di meja bergetar menampilkan panggilan masuk dari Mama Leo. Leo pun pergi dari sana, sedikit menjauh dari Cyntia. Tanpa membuka masker, Leo menerima telepon itu.
"Hallo, Ma."
"Kamu di mana sih? Belum juga pulang."
"Ini lagi mau beli macaron buat Mireya, kenapa?"
"Mireya tiba-tiba mau pulang! Mama rasa bukan waktu yang tepat untuk Mireya pulang, tapi Mireya gak mau mendengarkan Mama. Mama rasa kamu harus segera pulang untuk bicara sama dia."
"Iya, Ma. Aku pulang sekarang." Leo sempat melirik macaron di etalase, tapi pikirannya sudah kacau. Mireya lebih penting dari semua itu.
Melupakan macaron, Leo bergegas pulang. Dan saat Leo hendak memuar knop pintu, pintu Rumah terbuka memperlihatkan Mireya yang sudah rapi. "Mire," ucap Leo dengan nada lembut.
"Aku rasa Kak Leo gak beli macaronnya," kata Mireya sembari menatap kedua tangan Leo yang tidak membawa apa-apa.
"Maaf, Mire." Dengan wajah merasa bersalah.
"Gakpapa, Kak." Seraya tersenyum.
"Kamu mau ke mana?" tanya Leo dengan nada santai.
"Pulang."
"Gimana kalau kamu tinggal di sini beberapa hari lagi?" Leo mencoba membujuk Mireya dengan pelan-pelan.
"Aku tahu apa yang Kak Leo dan Mama khawatirkan, tapi aku sudah jauh lebih kuat kok. Aku janji gak akan kenapa-kenapa." Mireya mencoba meyakinkan.
"Kamu tahu kan kalau aku gak mau kamu terus terluka?"
"Tentu saja." Seraya tersenyum.
"Kalau boleh jujur, aku gak mau kamu pulang."
"Aku pulang bukan untuk terluka, Kak. Aku pulang justru ingin mencari cara agar hati aku gak bisa terluka lagi." Lalu, tersenyum.
Leo menghela nafas, berat. "Apa pun yang aku katakan, kamu akan tetap melakukannya, bukan?"
"Itu kamu tahu."
Tanpa adanya niat mempertahankan lagi, Leo pun menyerah. Leo tahu bahwa pada akhirnya ia akan kalah berdebat. "Kalau gitu, aku antar."
"Mm."
Sekitar 15 menit mereka sampai di tempat tujuan. Leo turun dari atas motor dengan helm yang sudah dibukanya. Menatap Mireya yang terus berusaha kuat, padahal Leo tahu hatinya masih sehancur itu. Dirinya masih serapuh itu.
"Sudah sana pulang, aku gakpapa kok. Gak perlu khawatir," kata Mireya saat melihat Leo hanya diam dengan terus menatapnya.
Leo bawa Mireya ke dalam dekapan, hanya 5 detik. "Janji kalau kamu akan baik-baik saja." Leo menyodorkan salah satu jari kelingkingnya.
Mireya melingkarkan jari kelingkingnya pada Leo. "Janji," kata Mireya dengan yakin. Leo ingin Mireya baik-baik saja, namun sepertinya Mireya tidak akan baik-baik saja.
Setelah Leo pergi, Mireya memencet bel di mana Ibu tiri-nya membukakan. "Mireya!" Dengan wajah dibuat senang, lalu dipeluknya Mireya yang tidak membalas pelukan wanita itu. Mireya mulai tidak ingin menghormatinya.
"Welcome back, sayang! Oh ya, Ibu gak akan tanya kamu tidur di mana. Gimana rasanya punya pacar? Mana anak orang kaya. Kamu pasti ingin mengikuti jejak Cyntia. Kamu gak mau kalah saing sama Kakak kamu, kan?!"
Mireya malas berdebat, ia pun melewati Ibu tiri-nya untuk masuk ke dalam. Ibu tiri-nya memasang wajah kesal.
Masuk ke dalam Kamar yang ia rindukan, tapi mungkin ke depannya tidak ingin lagi Mireya rindukan, terlepas memiliki banyak kenangan. Mireya mengambil koper yang ada dalam lemari, membukanya. Memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koper dan beberapa barang yang penting ke dalam ransel.
Ceklek
"Jadi ceritanya mau coba hidup mandiri nihh," kata Ibu tiri-nya yang berjalan ke arah Mireya yang sedang sibuk dengan kegiatan mengemas barang.
"Untuk apa tetap tinggal di tempat yang bahkan orang-orang di dalamnya gak menerima kehadirannya!" tegas Mireya tanpa menatap Ibu tiri-nya.
Ibu tiri-nya tersenyum lebar. Senyum yang memperlihatkan betapa jahatnya wanits itu. "Mireya sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yaaa."
Pada akhirnya Mireya memutuskan keluar dari Rumah yang pernah menjadi tempat pulang paling nyaman, tempat menghabiskan waktu paling indah yang pernah ia rasakan. Mireya menyeret koper-nya dengan ransel yang sudah dipakai. Ibu tiri-nya tidak mengantar, karena untuk apa?
Saat sudah di depan pagar, langkah Mireya terhenti. Membalikan tubuh menghadap Rumah. Mireya seharusnya tidak meninggalkan Rumah dengan kenangan bersama Mama-nya itu, namun jika ia tetap tinggal, ia hanya akan terus terluka. Luka yang mungkin tidak akan pernah sembuh. Sedangkan Mireya harus menyembuhkan lukanya demi orang-orang yang ingin bertahan dengannya hingga akhir. Mireya tidak ingin terus membuat orang-orang yang penting baginya, khawatir.
Dengan langkah pasti dan penuh keyakinan Mireya melangkah pergi dari sana.
Leo memang sedang menatap layar tv yang menyala namun pikirannya tidak ditempat! Ia terus kepikiran Mireya yang tidak tahu lagi apa. Sampai bunyi bel membuat Leo bangun dari duduk.
"Mireya!" ucap Leo dengan wajah bahagia sekaligus tidak menyangka.
Mireya tersenyum manis. "Aku boleh kan tinggal di sini?"
"Tentu saja." Seraya tersenyum.
Leo bawa koper dan ransel Mireya. "Pilihan yang tepat," kata Leo yang berjalan di samping Mireya, sembari menatap Mireya.
"Aku sudah memikirkannya matang-matang, kalau aku gak mau terus membuat Kak Leo dan Mama kepikiran aku."
"Mireya," panggil Mama Leo dengan wajah senang bisa melihat Mireya. Bahkan lebih sumringah lagi saat melihat Leo membawa koper dan ransel.
Berjalan cepat menuruni tangga, sampainya di hadapan Mireya, langsung memeluknya.