Semua orang telah memadati Gymnasium, ada murid dari tim bakset lawan juga. Mireya sudah duduk di barisan depan bersama Kinanti yang membawa banner bertuliskan *SMA pelita harapan satu pasti menang* seolah Kinanti begitu percaya bahwa sekolahnya yang akan membawa piala.
Satu persatu anak basket memasuki lapangan. Aura Leo terlihat luar biasa, sangat bersinar. Mireya pikir penggemarnya pasti bertambah, bahkan sebelum Leo memperlihatkan permainannya sebagai ketua tim.
Sebelumnya Mireya tidak tertarik dengan menonton pertandingan basket dan berkat Leo, Mireya duduk di barisan penonton. Mireya ingin menyaksikan permainan dari anak laki-laki yang ia suka. Peluit terdengar ditiup, dan Mireya mulai memasang wajah serius. "Kak Leo semangat!" kata Bianca yang duduk tak jauh dari Mireya di barisan depan dengan suara kencang, hingga terdengar hampir seisi ruangan.
.
.
Setengah jam telah berlalu di mana tim basket pelita harapan satu mendapat poin yang lebih banyak dari tim lawan. Hingga suatu detik Leo yang hendak melempar bola ke arah ring, disenggol dengan cukup keras hingga Leo terhuyung, tubuhnya menghantam lantai dengan keras. Suara benturannya membuat seisi Gymnasium menahan napas.
Murid pelita harapan satu yang melihat itu langsung memberi reaksi tidak terima. Wajah Mireya sudah tak terkontrol, ia sangat khawatir.
"Gakpapa, Le?" tanya Willy yang sudah berjongkok di hadapan Leo yang perlahan bangun dari posisi tiduran.
"It's okay," jawab Leo yang sudah berdiri dengan wajah memang terlihat tak apa.
Mireya tidak menyangka bahwa menonton pertandingan basket akan semenegangkan itu, karena Mireya pikir hanya senang senang saja. Nyatanya Mireya harus sampai menahan ingin tahu kondisi Leo setelah jatuh, apakah Leo benar baik-baik saja atau hanya berusaha menahan sakit.
"Kak Leo baik-baik kan yaa?"
"Tentu saja, Mi. Kalau dia gak kuat dia pasti bilang sama pelatih," jelas Kinanti sembari menatap Mireya yang terus memperhatikan Leo.
Tidak lama kemudian, Willy berhasil memasukkan bola ke dalam ring dan permainan pun berakhir dengan tim pelita harapan satu yang membawa piala. Skor yang berbeda 5 poin.
Mireya tersenyum lebar sembari menatap Leo yang tetap berwajah dingin, padahal di hatinya sangat senang. Leo menoleh ke arah penonton, mencari keberadaan Mireya di mana Kinanti mengangkat tinggi-tinggi banner agar Leo bisa melihatnya, dan akhirnya bisa menemukan Mireya.
Setelah penyerahan piala, berjabat tangan dengan lawan, dan foto bersama, satu persatu manusia meninggalkan tempat. Mireya dan Kinanti yang masih berdiri di sana, melihat seorang wanita paruh baya dengan pakaian anggun dan berkelasnya, menghampiri tim basket pelita harapan satu. Wanita paruh baya yang cukup Mireya kenal.
"Mama," ucap Leo yang tidak menyangka Mama-nya akan datang.
Mama Leo memeluk Leo dengan wajah gembira. "Selamat ya sayang atas kemenangan tim kamu," kata Mama-nya lalu melepas pelukan itu.
"Kamu kenal Ibu Ibu itu?" tanya Kinanti sembari menatap Mireya.
"Mama-nya Kak Leo," jawab Mireya sembari menatap Kinanti.
Tiba-tiba datang Bianca seorang diri yang langsung bersalaman dengan Mama Leo yang berusaha bersikap hangat, lewat senyum yang terlihat tulus itu. "Apa kabar, Tante?" tanya Bianca dengan nada bicara akrab, seolah mereka dekat.
"Baik. Kamu sendiri?"
"Aku juga baik." Seraya tersenyum.
Bianca yang tidak ada malunya, atau merasa tidak enak, menggandeng tangan Leo yang terlihat datar-datar saja, namun nyatanya tengah menahan emosi. Mama Leo yang melihat itu mencoba tersenyum walau sejujurnya tidak suka dengan gadis macam Bianca.
Ketika Mama Leo menole ke arah lain ia tak sengaja melihat Mireya dan Kinanti. Mama Leo tersenyum, terlihat senang. Melambaikan salah satu tangannya, menyuruh Mireya turun ke bawah. Mireya yang melihat itu tentu segera ke sana bersama Kinanti. Sampainya di tengah-tengah tim basket pelita harapan satu yang belum bubar dengan Bianca yang masih menggandeng tangan Leo, Mama Leo menggandeng tangan Mireya yang tersenyum sedikit canggung, karena semua mata tertuju padanya.
"Hari ini Tante akan traktir kalian semua!"
"Wahhh," respon Bianca yang terlihat senang.
Leo yang merasa Bianca sudah kelamaan menggandeng tangannya, melepasnya kasar. Bianca kesal dengan sikap Leo, namun berusaha menahannya karena ada Mama Leo.
"Mireya harus ikut makan sama kita," kata Mama Leo sembari menatap Mireya dengan tatapan lembut.
"Iya, Tante." Seraya tersenyum. Rasanya Mireya tidak boleh menolak.
Kinanti mengangkat salah satu tangannya. "Aku boleh ikut juga kan, Tante?"
"Tentu saja, kamu kan temannya Mireya." Seraya tersenyum. Kinanti tersenyum lebar.
Tidak membutuhkan waktu lama, mereka semua pergi meninggalkan Sekolah. Mireya berada di mobil Mama Leo yang dikendarai sendiri. Bianca juga ikut di mobil Mama Leo, duduk di bangku belakang bersama Kinanti. Sedangkan Mireya tentu di bangku depan.
"Permainan Leo, gimana? Mama gak sempat lihat dari awal." Sembari fokus mengemudi.
"Bagus, Ma. Aku pikir Kak Leo tercipta untuk menjadi pemain basket." Sembari menatap Mama Leo.
"Leo memang sudah suka basket sejak kecil. Mama pernah meminta pelukis kenalan Mama untuk melukis Leo saat bermain basket pas SMP lo, nanti kalau kamu mampir ke Rumah, Mama kasih lihat."
"Iya, Ma. Aku gak sabar melihatnya."
Kinanti dan Bianca yang mendengar obrolan pun itu memasang wajah tak menyangka bahwa kedua orang itu sedekat itu. Bianca merasa sudah keduluan Mireya, tertinggal jauh di belakang sana. Bertanya-tanya juga bagaimana mereka bisa dekat.
"Oh ya, Ma. Kak Audry ikut makan jug?"
"Sebelumnya Audry sempat mengirim pesan kalau dia ada urusan jadi gak bisa ikut."
Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit, mereka sampai di sebuah Restaurant yang berada di pinggir jalan. Restaurant yang sudah dibooking Mama Leo untuk merayakan kemenangan tim basket anaknya.
"Kalian bisa makan sepuasanya, jangan sungkan! Pesan saja yang banyak," ucap Mama Leo yang sudah duduk di salah satu kursi.
"Selalu Mama lo seroyal ini, Le," kata Willy yang duduk di samping Mireya yang duduk tepat di hadapan Leo.
"Tante dengar loh, Willy." Sembari menatap Willy, lalu tersenyum.
Willy tersenyum. "Tante memang yang paling the best."
Sementara Mama Leo memanggil pelayan yang memberikan beberapa buku buku menu pada anak-anak itu yang sudah mengisi penuh beberapa meja, Mireya dan Leo saling bertatapan. Kinanti yang melihat itu selalu mencoba menahan senyum, sementara Bianca tidak terima.
"Aku ingin loh bisa main basket," kata Bianca yang mencoba mengajak bicara Leo. Lebih tepatnya mencoba mengalihkan perhatian Leo. Namun, sedetik pun Leo tidak mengalihkan tatapannya.
"Mireya mau dessert apa?" tanya Mama Leo yang tengah memegang buku menu.
"Tiramisu cake, ada gak, Ma?"
Mama Leo kembali menatap buku menu. "Ada." Lalu, kembali menatap Mireya.
"Kalau gitu, aku mau."
"Aku juga mau, Ma," ucap Leo tanpa mengalihkan pandangan dari Mireya.
"Aku juga, Tante," ujar Bianca yang ikut-ikutan.
"Kamu, temannya Mireya mau apa?"
"Cheese cake, Tante."
.
.
Saat mereka sedang makan hidangan penutup, bukan anak-anak itu yang menyarankan, tapi Mama Leo menyarankan untuk mereka memainkan suatu permainan.