Setelah makan malam tim pementasan drama sebelumnya selalu tidak jadi, seperti ada saja yang membuat makan malam gagal, akhirnya malam ini semua orang yang terlibat dalam pertunjukkan drama sebelumnya, sudah berada di dalam suatu Restaurant yang telah di booking hanya untuk mereka. Bu Laras lah yang ditugaskan untuk mengawasi acara makan malam itu.
"Ibu dari tadi gak lihat Leo, dia gak ikut?" tanya Bu Laras pada Mireya yang berada di sampingnya.
"Saya juga gak tahu, Bu. Mengingat sampai sekarang belum datang, mungkin gak ikut karena kan besok pertandingannya," jelas Mireya.
Bu Laras menganggukkan kepala, lalu kembali fokus pada makanan. Kemudian, seseorang yang dibicarakan sebelumnya, menampakkan diri. Dengan pakaian casual di mana Leo selalu terlihat cool, ia menghampiri Bu Laras, bersalaman dengan Bu Laras.
"Ibu kira kamu gak datang," kata Bu Laras sembari menatap Leo yang berdiri di sampingnya.
"Kebetulan saya baru ada waktu sekarang." Dengan wajah datar.
Bu Laras meminta salah satu murid laki-laki yang sedang makan untuk mengambil satu kursi. Lalu, Leo duduk di kursi itu, samping Bu Laras. Memanggil pelayan untuk memberikan satu gelas kosong. Bu Laras menuangkan air putih ke dalam gelas kosong itu, mempersilakan Leo meminumnya.
"Gimana sama latihannya? Sudah siap untuk besok?" tanya Bu Laras, santai.
Leo letakkan gelas yang airnya tinggal setengah. "Kami akan melakukan yang terbaik seperti biasanya." Leo menoleh ke arah Mireya yang sedari tadi sibuk dengan makanannya, bahkan tidak sekali pun melihat ke arah Leo. Leo yang melihat itu tentu sedih dan kecewa, bahwa Mireya bersungguh-sungguh ingin menjauh.
"Ibu ke Toilet dulu," kata Bu Laras yang melangkah pergi dari sana.
Leo perhatikan Mireya yang tengah berusaha untuk mengabaikan kehadiran Leo. "Mire," panggil Leo lembut.
Mireya tidak ingin mengabaikan Leo, namun ia tak ada pilihan lain. Lagi-lagi Mireya memilih lebih mengutamakan perasaan orang lain dari pada perasaannya sendiri. Audry memang terluka, tapi bukankah Mireya juga terluka?
Salsa menatap Leo yang terus menatap Mireya, mulai menyadari sesuatu. "Kalian lagi bertengkar atau apa?" tanya Salsa yang berada tepat di hadapan Mireya.
"Kita gak bertengkar," ucap Mireya sembari menatap Salsa.
"Terus kenapa kamu kayak mengabaikan Kak Leo? Padahal dia manggil kamu loh, Mi."
"Bagaimana mungkin Kak Mireya mengabaikan lelaki macam Kak Leo di saat semua perempuan ingin dekat dengannya," timpal siswi yang sebelumnya memerankan karakter cinderella, yang duduk di samping Salsa.
Mireya yang merasa tersudut pun berdiri dari duduk. "Aku keluar sebentar." Manik mata Leo mengikuti ke mana Mireya pergi.
Berdiri di depan Restaurant, Mireya menghela nafas panjang. Kenapa sesulit itu untuk menjadi orang asing seperti pada awalnya. Manik mata Mireya akhirnya bertemu sesaat dengan manik mata Leo, saat Leo keluar dari dalam untuk menghampiri Mireya.
Leo lipat kedua tangan di depan dada, menghela nafas panjang. "Kalau kamu terus mendahulukan kepentingan orang lain, kapan kamu bahagia?" tanya Leo sembari menatap lurus ke depan.
"Aku akan mengurus masalah aku sendiri," ucap Mireya dengan nada berusaha ketus. Tanpa menatap Leo.
"Bahagia itu gak bisa datang dengan sendirinya, kita harus menjemputnya. Kita harus menciptakan hal yang membuat kita bahagia. Tapi, kamu selalu mengorbankan kebahagiaan kamu ... apa kamu benar-benar ingin bahagia?" Leo menoleh ke arah Mireya.
"Bagaimana mungkin seseorang gak menginginkan bahagia. Bukankah tujuan dari setiap hal yang manusia lakukan di dunia ini adalah untuk bahagia?" Tanpa menatap Leo. Dengan sorot mata yang mengisyaratkan banyak luka di sana.
"Kalau gitu kasih tahu aku gimana caranya kamu untuk bahagia?" tanya Leo dengan wajah serius.
Mireya tatap Leo. "Menjauh dariku, lalu aku akan bahagia." Wajah serius Mireya hampir saja membuat Leo percaya.
"Kamu tahu? Ada laki-laki yang lebih bisa menjaga Audry dari pada aku. Aku sudah mempercayakan Audry padanya, jadi yang membutuhkan aku bukan lagi Audry, tapi kamu."
"Kenapa aku harus butuh Kak Leo?" Mireya mencoba menahan air mata yang seperti siap keluar kapan saja.
"Kamu sendiri yang paling tahu jawabannya."
Mireya terdiam... jika Leo pun pergi dari hidupnya seperti Mama-nya, siapa yang akan menjadi alasan Mireya tersenyum? Siapa yang akan membuatnya seperti sangat spesial lagi?
Mireya menoleh ke arah lain dengan air mata yang tanpa peringatan jatuh seperti itu saja membasahi pipi. Mireya tidak ingin kehilangan Leo, namun ia juga tidak ingin egois. Hati Leo tersentuh saat melihat gadis yang ia suka, menangis.
"Kamu hanya perlu memikirkan diri kamu sendiri lebih dulu, selanjutnya biar aku yang memikirkan," ucap Leo lembut dan penuh makna.
Mireya menatap kembali Leo dengan mata yang sudah memerah, pipi yang basah, dan isakan yang mulai terdengar. Leo membawa Mireya ke dalam dekapan. Menepuk-nepuk pelan punggung Mireya. Tangan Mireya yang sempat mengeras, akhirnya melingkar pelan di punggung Leo
Dari dalam, dekat jendela, tanpa Leo dan Mireya sadari, ada Bu Laras yang memperhatikan mereka. "Jadi kalian pacaran atau nggak," gumam Bu Laras dengan wajah tak habis pikir dengan kelakuan gen Z yang kerap kali membingungkan. Bu Laras melangkah pergi dari sana.
"Sebaiknya kita kembali ke dalam," kata Leo saat Mireya sudah berhenti menangis.
Ketika Leo hendak melangkahkan kaki, Mireya menggapai salah satu tangan Leo. "Kak, aku rasa sebaiknya aku pulang. Mata sembab aku pasti membuat mereka bertanya-tanya."
"Kalau gitu, kamu tunggu di sini! Aku masuk ke dalam dulu buat pamitan." Mireya mengganggukan kepala.
Leo masuk ke dalam, menghampiri Bu Laras yang melihat ke berbagai sisi. "Mireya mana?"
"Saya mau pamit antar Mireya pulang, Bu. Soalnya Mireya tiba-tiba gak enak badan."
Bu Laras dengan wajahnya yang seperti tahu sesuatu, mengizinkan. "Langsung antar ke Rumah, jangan mampir-mampir!" kata Bu Laras, tegas.
"Iya, Bu."
Sampainya di luar, Leo bawa Mireya ke arah motornya berada. Sebelum mendudukkan diri di atas motor, Leo membuka jaketnya, memasangkannya pada badan Mireya, karena udara cukup dingin. Jaket itu lumayan kebesaran karena maklum saja tubuh Mireya kan kecil. "Aku gak mau kamu masuk angin," ucap Leo. Lalu, memasangkan helm pada Mireya.
Langit malam itu pun menjadi saksi Mireya dan Leo yang sudah berbaikan, lebih tepatnya Mireya yang berencana tidak menjauhi Leo lagi.
Mireya turun dari atas motor, membuka helmnya dibantu Leo yang membuka helmnya juga dengan masih duduk di atas motor. "Aku mau lihat kamu di bangku penonton besok!" tegas, Leo.
"Iya, Kak. Aku pasti akan menonton."
"Aku gak mau kalau besok ternyata kamu mencoba menjauhi aku lagi."
Mireya tersenyum manis. "Gak akan."
"Kalau kamu datang, aku akan memberikan hadiah."
"Hadiah?"
"Iya."
"Tanpa hadiah pun aku akan datang, Kak."
Untuk pertama kalinya Mireya melihat senyum Leo yang ternyata semanis gula. Senyum semanis itu sayangnya selalu disembunyikan.
Leo mengelus lembut singkat kepala Mireya yang terus tersenyum lembut.