JEPANG, Satu Tahun Kemudian…
Angin sore itu berhembus pelan. Menerbangkan setiap warna merah muda dan gradasi putih bunga sakura. Sementara sebagian berjatuhan ke tanah. Sedangkan yang lain terterpa angin entah kemana. Bunga Sakura di musim semi yang indah. Tumbuh berderet di depan sebuah gedung dengan simbol Naga. Di tengah kota metropolitan Tokyo yang selalu penuh hiruk pikuk.
Seorang lelaki paruh baya dengan sweater dan syal menghiasi tubuhnya duduk di kursi balkon lantai paling atas gedung. Menghirup hembusan angin yang menerbangkan kelopak sakura. Memainkan rambutnya yang tak sedikit telah beruban.
Sebuah pintu terdengar di buka. Dari baliknya seorang lelaki berusia 18 tahun terlihat kelelahan berjalan pelan memasuki balkon. Dengan napas yang masih memburu dia duduk di kursi kayu berukir unik dan indah dengan santai.
Di sampingnya sebuah meja bundar yang di atasnya terdapat sebotol minuman anggur merah ia tuangkan ke dalam gelas kaca kecil. Ia tenggak habis anggur merah itu tanpa sisa. Lelaki paruh baya di seberangnya hanya tersenyum melihat gelagatnya. Ia memandang lekat ke arahnya.
“Kau berkelahi lagi, Naru?” Tanya laki-laki paruh baya itu padanya.
“Iseng saja kok. Anggota yang lain juga menyenangkan. Aku seperti sudah lama tidak melakukannya.”
Orang tua itu hanya tersenyum kecil dan kembali mengalihkan pandangan ke arah pegunungan indah di hadapannya.
“Tapi ingat, jangan membuat tubuhmu terlalu sering berkelahi. Kau tahu kan kalau…”
“Ya. Ya. Ya. Aku mengerti orang tua. Jadi diamlah dan nikmati suasana sore yang hangat ini. Aaahhh…. ternyata enak sekali di sini.” Potongnya tiba-tiba sambil beranjak dari kursi. Dia merentangkan kedua tangan ke samping. Mengulet sebentar seperti layaknya kucing dan melangkah menuju balkon yang berada tepat di depannya. Menghirup udara kuat-kuat lalu menghembuskannya.
Seorang lelaki dengan pakaian jas lengkap dengan sebuah earpiece yang menempel di telinga kanannya, berdiri tak jauh dari mereka mengawasi sedari tadi. Tersenyum melihat tingkahnya yang berani di hadapan pemimpin Yakuza yang di takuti di wilayah itu. Ya, tentu saja hanya dia yang berani melakukannya.
“Hahaha. Seperti biasa. Kau selalu bersikap sembrono di depanku. Tapi, aku menyukainya.” Lelaki paruh baya itu terkekeh pelan. Ia beranjak dari kursi dan melangkah menghampiri Naru. Berdiri di sisinya.
“Bagaimana dengan ingatanmu? Apakah kau sudah mengingat sesuatu lagi?” Tanyanya seraya menyentuh pundaknya lembut.
Memandang penampilannya yang terlihat masih segar dengan pakaian kasual yang ia kenakan. Kaos oblong yang di padu padankan dengan jas dan sneakers. Tampilan sederhana yang membuatnya tampan dan juga berani dengan rambutnya yang dia sibakkan ke belakang.
Tanpa sadar ia telah bersama dengan sosok itu selama satu tahun. Lelaki tua itu memandang lembut ke arahnya tanpa henti.
“Ya… Tentu saja. Sedikit…” Jawab Naru terdengar ragu. Ia memandang lurus ke depan, menembus pemandangan pegunungan.
Lelaki tua itu kini balas memandangnya dengan tatapan memelas. Di kedua matanya yang terlihat semakin tua, ia merasa akan kehilangan Naru. Ia takut kalau hal itu terjadi. Tapi dengan semakin kembalinya ingatan Naru bukankah hal itu akan semakin lebih baik?
Kenapa justru ia merasa takut kehilangannya? Apakah ia sejahat itu menginginkan agar ingatan Naru tetap seperti ini? Hilang dan tak pernah kembali? Lalu dia bisa bersamanya dengannya selamanya. Bukankah itu keinginannya selama setahun bersamanya?
Lelaki tua itu menghela napas pasrah dan memalingkan pandangannya dari Naru. Ketika hal itu terjadi pasti mengingatkannya pada kesalahan yang pernah dia buat setahun yang lalu. Kecelakaan yang merenggut ingatannya.
Selain itu, sosoknya juga mengingatkannya pada anak perempuannya yang telah hilang 13 tahun yang lalu. Mungkinkah jika benar-benar masih hidup dia akan sebesar Naru saat ini? Ah, seandainya.
“Om Kimrawa, kenapa?” Tanya Naru khawatir melihatnya tiba-tiba terlihat murung. Naru mendekat dan berusaha membuatnya tenang dengan merangkul kedua pundaknya, namun ia mengelak.
“Naru, apakah kau mau menjadi anakku? Kau bisa mewarisi semua kekayaan yang aku punya. Kau juga bisa menjadi pewaris tunggal dan menggantikanku memimpin Yakuza Naga. Apapun yang kau mau!” Kata Kimrawa tiba-tiba, membuat Naru mengeryitkan dahi, tak mengerti.
Naru diam sebelum akhirnya dia menjawab, “Aku memang pernah memiliki pikiran seperti itu. Tapi entah kenapa ada sesuatu yang lebih penting dan berharga selain itu semua. Aku hanya ingin...”
“Ingatanmu yang sangat berharga bagimu itu kembali kan? Kau ingin agar segera kembali pulih. Lalu pergi meninggalkanku. Lupakan saja semua yang aku katakan tadi!” Kata Kimrawa memotong ucapan Naru.
Ia sedikit terkejut melihat sikap Kimrawa yang tiba-tiba berubah drastis, bahkan kini ia terlihat marah. Sesuatu yang jarang ia lihat dari sosok yang selama satu tahun ini merawatnya dengan penuh kasih sayang.
“Lalu, bukankah aku sudah menyuruhmu memanggilku Ayah? kenapa sampai saat ini kau masih saja memanggilku dengan sebutan Om?” lirihnya pelan.
Setelah itu, Kimrawa berjalan menjauh meninggalkan balkon. Menutup pintu dengan keras. Meninggalkan Naru yang masih sibuk dengan pikirannya, dengan pertanyaan yang belum terjawab. Apakah semua orang Jepang seperti itu? Batinnya bertanya.
Naru berjalan mendekat menuju seorang lelaki berjas rapi yang berdiri tak jauh darinya. Kemudian berbisik pelan.
“Apa aku melakukan kesalahan?” Tanya Naru seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Jangan sampai itu terjadi, Tuan Muda.” Jawab lelaki itu tersenyum. Naru menghela napas panjang.
*
Di bagian lain gedung itu terdapat sebuah ruangan luas dengan dinding bercat emas dan krem. Pada bagian atapnya terukir lukisan Naga berwarna merah menyala.
Di dalamnya terdapat ranjang tidur yang di dominasi warna krem dan cokelat muda terlihat di tengah dengan hiasan berupa guci besar setinggi orang dewasa di setiap sudut.
Sementara di tengah ruangan yang menghadap ke arah pintu, terpasang lukisan seekor naga berwarna merah menyala dengan gradasi kuning keemasan. Menambah suasana mewah ruangan tempat tidur itu.
Seorang pemimpin salah satu Yakuza yang di takuti di wilayah Tokyo itu sedang duduk di tepi ranjang. Menatap sendu pada sebuah kotak kayu berwarna cokelat tua dengan ukiran naga di atasnya.
Dia membuka kotak itu dan melihat isinya. Sebuah gelang tasbih berwarna cokelat muda. Warna dan corak setiap butirnya berbeda. Di sampingnya sebuah kartu nama yang memperlihatkan sebuah foto seorang pelajar laki-laki SMA sedang tersenyum. Kartu itu terlihat lusuh dan menguning.
Entah kenapa hanya dengan melihat benda-benda itu, tanpa di minta ingatan kejadian satu tahun yang lalu menghampiri pikirannya. Mengingatkannya pada sebuah kejadian pertemuan pertamanya dengan laki-laki berusia 18 tahun bernama Naru.