Loading...
Logo TinLit
Read Story - Can You Hear My Heart?
MENU
About Us  

Semua mata tertuju pada rumus-rumus rumit kimia yang tertulis di whiteboard. Bahkan Pak Santoso sampai mengangguk-ngangguk sambil menepuk bahu Trein yang sudah berhasil menyelesaikan satu soal tersulit. Pria berkumis tipis itu hari ini membahas kumpulan soal-soal dari semua materi yang sudah diajarkan untuk persiapan UAS—Ujian Akhir Sekolah semester satu.

“Bagus, Trein. Soal stoikiometri yang kompleks ini bisa kamu selesaikan dengan sangat cepat. Good job!” pujinya yang diikuti tepuk tangan tanpa suara, hingga Teddi tiba-tiba berdiri dan bertepuk tangan dengan keras, memancing riuh seisi kelas, semua bersorak untuk Trein. Cowok berambut klimis itu segera tersenyum lima jari khas dirinya. Kara memandang takjub Trein yang masih berdiri di muka kelas, tatapan mereka bertemu. Kara segera mencuatkan dua jempolnya sambil tersenyum simpul, yang langsung dibalas Trein dengan menelangkupkan tangannya di dahi seolah sedang hormat pada bendera. Kemudian ia segera kembali ke tempat duduknya.

Jam pelajaran terakhir di hari Sabtu ini sama sekali tidak menjemukan, semua murid fokus memperhatikan guru demi memahami materi yang belum mereka kuasai. Menjelang UAS seperti ini, murid-murid seolah dikejar deadline belajar. Perasaan takut, berdebar, sudah campur aduk menghiasi masa belajar mereka. Menjelang bel pulang sekolah, Pak Santoso pamit undur diri lebih cepat karena beliau adalah urusan mendadak yang tidak bisa ditunda, jadilah guru yang kerap menggunakan bahasa inggris saat mengajar itu menyuruh murid kelas X-4 belajar kelompok. Berbondong-bondong pertanyaan menyerbu Trein, cowok itu justru terlihat senang mengajari, meski tampak kuwalahan.

“Trein, boleh aku pinjam buku catatanmu?” pinta Gio.

“Aku nggak pernah nyatet sih,” jawab Trein super santai.

“Lah terus? Kok bisa kamu sejago itu?” tanya cowok berbadan tambun itu sekali lagi.

“Iya, kamu kalau belajar gimana?” tanya yang lain ikut nimbrung.

“Langsung dari buku paketnya, aku stabilo poin-poin pentingnya, kalaupun perlu catat, ya intinya aja, dan kalau kalian lihat catatanku nggak pakal paham, karena kan ada kode-kode tertentu, tapi nggak masalah, boleh aja kalau kalian mau tahu!” papar Trein seraya mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari ranselnya. Ia membuka note itu, dan memang benar, yang lain terheran-heran tentang arti tulisan Trein.

“Terus gimana ini Trein? Ajarin kami dong!”

“Kuncinya satu, fokus saat belajar. Buat pikiran jernih. Pertama baca keseluruhan, kalau ada yang dirasa penting langsung ditandai. Terus jangan hanya asal menghafal rumus, kalian harus tahu dasar teorinya. Jadi, kalau ketemu macam-macam model soal pasti bisa mecahin ....” ulas Trein tentang strategi belajarnya. Lagi-lagi Kara sampai tidak berkedip menatap Trein yang sedang menjelaskan, sahabatnya itu memang cerdas, tapi dia tetap humble, tidak pelit ilmu dan sama sekali tidak bersikap sombong.

“Kar!” Arum menyenggol bahu gadis yang masih terpaku menatap Trein, padahal semuanya sudah beranjak ke bangku masing-masing untuk mengambil tas dan pulang.

“Kamu tuh, kalau ngeliat Trein pasti terkesima gitu, sampai bengong nih anak, ” ujar Arum.

“Eh, masa sih?” Kara tersenyum janggal sambil menggaruk tengkuknya. “Habisnya Trein keren banget, Rum,” imbuhnya masih dengan melirik ke arah Trein.

“Trein, kata Kara kamu ....” Buru-buru Kara membekap mulut Arum yang ceplas-ceplos hendak mengadukan.

“Kalian kenapa sih?” tanya Trein heran.

“Nggak kok, aku tadi mau bilang, cara belajar kamu itu keren!” seru Kara gelagapan, sedangkan Arum hanya melengos. “Eh, kok pada bubar sih?” tanya Kara lagi.

“Udah bel pulang kali, kok bisa nggak denger sih!” seru Arum segera mengambil tasnya dan berjalan keluar kelas. “Duluan ya,” pamitnya.

“Kara! fokus dong, kebanyakan ngelamunin Jordan tuh kamu Kar,” ujar Trein. Andai Trein tahu bahwa yang membuatnya kagum barusan adalah dirinya, seorang sahabat yang hampir mendekati kata sempurna. Tapi hanya sebatas teman ya? Kara selalu bergelut dengan batinnya sendiri.

“Kar? Tuh kan ngelamun lagi!” tegur Trein yang mengibaskan tangan kanannya ke depan muka Kara. “Aku duluan ya ....”

Kara masih membeku di bangkunya, sementara kelas sudah sepi. Bisa-bisanya dia tidak mendengar bel pulang sekolah. Ia baru teringat kalau ada janji bertemu Patih dan Anika. Kara bergegas menuju gerbang sekolah. Sesampainya di depan, ternyata belum ada tanda-tanda kedatangan keduanya.

“Kar, nunggu jemputan?” sahut Trein yang sudah menaiki motornya.

“Nunggu temenku nih Trein,”

Jeritan klakson seperti meneriaki keduanya, rupanya sosok Anika muncul.

“Yaudah, bye Kar!” pamit Trein segera memacu motornya ke jalanan.

“Kara!” panggil Anika sambil menowel lengan gadis yang hari ini mengenakan gelang mutiara itu.

“Eh, iya Nik. Ayo deh!” ajak Kara yang kemudian segera naik ke boncengan.

“Itu tadi siapa?” tanya Anika kepalang penasaran.

“Dia Trein, sahabatku.”

“Sahabat apa gebetan?”

“Huus, ngawur. Dia udah punya pacar kali ....”

“Berarti kalau nggak ada pacar, bakal kamu gebet?”

“Nggaklah! Kami ini pyur sahabatan kali Nik!” sangkal Kara.

“Aduh!” pekik Anika sebab Kara mencubit lengannya.

Seperti biasanya, warung Mbak Tatik selalu ramai pembeli, yang kebanyakan adalah murid SMP dan SMA di sekitar lokasi warungnya.

“Tih, aku degannya nggak pakai es ya!” ujar Kara ketika Patih akan memesan. Cowok berambut cepak itu mengangguk mengiyakan.

“Kamu pilek Kar?” tanya Anika sambil melahap mi lidi pedas favoritnya.

“Nggak sih, cuman takut pusing aja Nik kalau minum es.” Kara mengeluarkan buku paket Kimianya.

“Rajin amat Neng, di warung juga belajar!” goda Patih.

Sambil menyeruput air degan tanpa es, Kara menceritakan tentang tragedi lampiran nilai ulangan Kimianya yang jeblok dan ketahuan mamanya. Ia melampiaskan segala beban di hatinya, terutama tentang kegalauannya soal Jordan. Nyatanya Kara belum mengindahkan perintah mamanya untuk membatasi hubungannya dengan Jordan. Keduanya masih sering berkirim pesan.

“Betul kata Trein dan Arum, Jordan tuh emang banyak yang suka, apalah aku yang hanya remahan rempeyek gini ....” Kara menopang dagunya, bayangan wajah si sipit segera muncul.

“Trein? Bahasa inggrisnya kereta? Apa sih maksudnya?” tanya Patih yang tak mengerti.

“Kok kereta? Trein itu nama TTM-nya Kara Tih!” jelas Anika, yang langsung berbuah cubitan di lengannya.

“TTM? Ngawur! Trein itu sahabatku kali!” Patih dan Anika saling melirik sambil tersenyum penuh maksud.

“Cuma sahabat, guys!!!” seru Kara menekankan.

“Iya-iya Kar, terus tadi di SMS, katanya kamu mau nanya, apa emang?

“Kalian mau nggak belajar bareng aku?”

“Kar, kamu kayaknya salah orang deh. Yang paling pinter di antara kita tuh kamu. Kalau belajar bareng, ya alamat kami yang lemot ini yang kamu ajarin. Aku juga heran, nilai kamu sampai jeblok gitu, fokus dong Kar!” terang Patih dengan tatapan mendalam. Membuat Kara hanya bisa menunduk.

“Kar, Patih nggak maksud marahin kamu kok, kami cuma nggak mau kamu larut sama perasaan ke Jordan yang nggak pasti itu, betul Mama kamu. Sekolah tetap harus nomor satu. Apalagi Senin lusa, kamu udah UAS kan,” ujar Anika sambil menggenggam jemari Kara, membuat gadis itu tersentuh.

“Iya, aku bakal belajar lebih giat lagi, terimakasih udah mau dengerin curhatanku,” ucap Kara sambil menarik sudut bibirnya untuk tersenyum sekenanya.

“Kenapa kamu nggak belajar kelompok sama temen sekelasmu aja?” usul Patih.

“Iya ya, kenapa aku nggak kepikiran.” Kara menepuk pelan dahinya.

***

Setelah mendapat persetujuan orangtuanya, Kara diizinkan menginap di rumah Arum untuk belajar bersama demi persiapan menghadapi ujian. Mereka mulai membuka buku, mata pelajaran pertama yang akan diujikan esok hari adalah Matematika dan Bahasa Indonesia. Arum menyarankan lebih baik mereka belajar Matematika terlebih dahulu.

“Kar, hey! Ngelamun aja nih bocah dari tadi!” sergah Arum sambil mencoret punggung tangan Kara dengan bolpoin. “Kamu kenapa sih Kar?” imbuh Arum bertanya lagi.

“Nggak papa kok,” sangkal Kara dengan cemberut. Kali ini ia melirik ke arah ponselnya.

“Bohong! Cerita, atau kusuruh kamu pulang sekarang juga!” ancam Arum lalu tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi wajah Kara yang mengkerut seperti ketakutan.

“Apaan sih Rum, jujur aku kepikiran. Kok Jordan nggak balas SMS-ku?”

“Lah, emang sebelumnya kamu bilang apa ke dia?”

“Aku bilang, kalau nggak bisa SMS-an lagi, soalnya aku mau fokus belajar buat UAS ...”

“Ya Allah Kar, ya pantas aja, kan kamu bilang nggak mau SMS-an lagi, ya mangkanya si Jordan nggak balas! Duh Gusti, nih bocah ya!” keluh Arum setengah jengkel.

“Apa aku kirim SMS lagi ya? Jelasin kalau maksudku bukan gitu!”

“Eits!!!” Arum merebut ponsel Kara.

“Fokus belajar, kesampingkan dulu si sipit itu, kamu harus ingat pesan mama kamu Kar!”

Belum lima menit mereka belajar, tiba-tiba Teddi datang dan Arum pamit menemui cowok misterius itu, Kara heran kenapa Arum bisa dekat dengan Teddi yang tatapannya sengit itu. Keduanya mengobrol di teras sampai menjelang pukul delapan malam. Setelah Teddi pulang, Kara dan Arum justru membahas perihal kegalauan Kara tentang Jordan. Tahu-tahu sudah menjelang larut malam. Mereka sampai tertidur di ruang tamu.

***

Arum membonceng Kara ke sekolah, saat tiba di gerbang depan. Mata Kara terperosok jatuh dalam sosok yang sedang berduaan di motor. Tangan Kara mengepal, hatinya sakit seperti tergores sebilah samurai.

“Udah Kar, jangan dilihat lagi. Ayo ke kelas!” ajak Arum sambil menyeret pergi gadis yang matanya memberat itu.

Jadi ini alasan Jordan tidak membalas pesannya? Bisa-bisanya dengan mata kepalanya sendiri ia memergoki Jordan membonceng seorang cewek yang bahkan Kara tidak kenal. Siapa lagi ini? Pikiran Kara kacau-balau tidak karuan. Deretan soal matematika yang sulit dan rumit tidak bisa diselesaikan oleh Kara. Ia sama sekali tidak bisa fokus. Bahkan soal Bahasa Indonesia yang biasanya cukup ia kuasai, sungguh Kara sudah berusaha mati-matian mengerjakan soal UAS hari ini.

Dalam perjalanan pulang, rintik-rintik hujan menyamarkan air mata Kara yang menangis tersedu-sedu di boncengan. Arum tidak bisa banyak berkata-kata.

“Udah Kar, jangan nangis ....” Arum mengantar Kara hingga kamarnya, gadis itu segera merebahkan badannya yang rasanya lemas akibat lelah menangis.

Lita menggenggam tangan Kara yang berbaring sambil terus terisak. Ia berkali-kali meminta maaf pada mamanya jika nanti nilainya jelek. Sebagai ibu, Lita jelas tahu ini bukan sekadar tentang tidak bisa mengerjakan soal ujian. Tapi ia tidak akan menanyai Kara ini itu, putri bungsunya itu sedang tidak stabil, yang paling penting adalah dukungan untuknya, Lita harus jadi sandaran bagi anaknya. Ia tidak mengira masalah cinta masa remaja bisa sangat mengguncang Kara, apa ada sesuatu yang tidak diketahuinya?

“Ma, maafin aku ya ....” Kara beranjak duduk, memandang kosong sang mama lalu membekap wajahnya dan menangis lagi. Lita semakin yakin, ada sesuatu yang telah terjadi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

1 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Wanita S2
7027      1779     0     
Romance
Cut Inong pulang kampung ke Kampung Pesisir setelah menempuh pendidikan megister di Amerika Serikat. Di usia 25 tahun Inong memilih menjadi dosen muda di salah satu kampus di Kota Pesisir Barat. Inong terlahir sebagai bungsu dari empat bersaudara, ketiga abangnya, Bang Mul, Bang Muis, dan Bang Mus sudah menjadi orang sukses. Lahir dan besar dalam keluarga kaya, Inong tidak merasa kekurangan suatu...
Evolution Zhurria
348      225     4     
Romance
A story about the evolution of Zhurria, where lives begin, yet never end.
CERITA MERAH UNTUK BIDADARIKU NAN HIJAU
90      83     1     
Inspirational
Aina Awa Seorang Gadis Muda yang Cantik dan Ceria, Beberapa saat lagi ia akan Lulus SMA. Kehidupannya sangat sempurna dengan kedua orang tua yang sangat menyayanginya. Sampai Sebuah Buku membuka tabir masa lalu yang membuatnya terseret dalam arus pencarian jati diri. Akankah Aina menemukan berhasil kebenarannya ? Akankah hidup Aina akan sama seperti sebelum cerita merah itu menghancurkannya?
If Only
360      235     9     
Short Story
Radit dan Kyra sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Hingga suatu hari mereka bertengkar hebat dan berpisah, hanya karena sebuah salah paham yang disebabkan oleh pihak ketiga, yang ingin menghancurkan hubungan mereka. Masih adakah waktu bagi mereka untuk memperbaiki semuanya? Atau semua sudah terlambat dan hanya bisa bermimpi, "seandainya waktu dapat diputar kembali".
Hati dan Perasaan
1496      930     8     
Short Story
Apakah hati itu?, tempat segenap perasaan mengendap didalamnya? Lantas mengapa kita begitu peduli, walau setiap hari kita mengaku menyakiti hati dan perasaan yang lain?
One Step Closer
2352      985     4     
Romance
Allenia Mesriana, seorang playgirl yang baru saja ditimpa musibah saat masuk kelas XI. Bagaimana tidak? Allen harus sekelas dengan ketiga mantannya, dan yang lebih parahnya lagi, ketiga mantan itu selalu menghalangi setiap langkah Allen untuk lebih dekat dengan Nirgi---target barunya, sekelas juga. Apakah Allen bisa mendapatkan Nirgi? Apakah Allen bisa melewati keusilan para mantannya?
Sosok Ayah
907      504     3     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)
Lost In Auto
1506      597     1     
Romance
Vrinda Vanita, adalah seorang remaja putri yang bersekolah di SMK Loka Karya jurusan Mekanik Otomotif bersama sahabatnya Alexa. Di sekolah yang mayoritas muridnya laki-laki, mereka justru suka pada cowok yang sama.
Kumpulan Quotes Random Ruth
2048      1084     0     
Romance
Hanya kumpulan quotes random yang terlintas begitu saja di pikiran Ruth dan kuputuskan untuk menulisnya... Happy Reading...
Lagu Ruth
432      310     0     
Short Story
wujud cintaku lebih dari sekedar berdansa bersamamu