Angin tidak benar-benar membisikkan nama Jordan kan? Sepanjang perjalanan menuju gerbang sekolah, Kara seperti dihantui oleh bayang-bayang Jordan. Cowok pendiam yang super-duper ramah di obrolan sms itu sekarang mengajak bertemu. Harusnya Kara bisa tegas menolak, tetapi ia tak mampu, hatinya terus saja memberontak untuk tetap menyambut hangat pesan-pesan Jordan dan juga permintaan cowok itu.
Tadi saat mengikuti kegiatan ekskul KIR— Karya Ilmiah Remaja, ia juga tidak bisa fokus, pengarahan tentang pembuatan makalah ilmiah tidak mampu menarik perhatiannya, ia justru diam-diam berkirim pesan dengan Jordan. Semenjak terjatuh dalam lingkaran virus merah jambu, seperti sebutan Sarah jika sedang menggodanya, kini efek samping virus itu mengakibatkan pikiran dan otaknya sering ribut bertengkar. Hatinya terus berkata ia harus tetap membersamai Jordan, sedangkan otaknya membuat logika yang berlawanan. Bahwa mereka hanya dekat lewat SMS semata, Jordan bahkan tidak pernah mengajaknya mengobrol secara langsung dalam durasi waktu yang lama.
Selalu Kara yang memulai berbicara, ia yakin lama-kelamaan kumpulan SMS itu juga sebentar lagi akan terhapus. Karena nyatanya, banyak cewek di sekolahnya yang juga menyukai Jordan, jangan tanya dari mana Kara mengetahuinya. Arum yang mempunyai banyak teman, sering mengatakan pada Kara bahwa kadang, dinding-dinding kelas itu bisa mendengar gosip-gosip romansa para murid. Pantas saja saat Kara menjemput Jordan untuk les bahasa jepang, seisi kelas memandangnya aneh. Kara jelas bisa menebak, bisa saja ada cewek kelasnya yang juga dekat dengan si sipit itu.
Kara menengadah, melihat langit yang menjadi atap dunianya, memandang cerahnya biru langit selalu bisa melegakan hatinya, ia teringat perkataan Sarah bahwa jatuh cinta itu bukan kepalang soal rasa berdebar dan janji-janji manis. Sarah memperingatkan Kara, berani jatuh cinta juga harus siap menanggung risiko patah hati. Kara kini mengerti semua wejangan kakak perempuannya, ia akan merasa beruntung jika patah hati efeknya hanya sehari dua hari, sayangnya, hampir satu semester, semakin berjalannya waktu, Jordan selalu mengaduk-aduk hati dan perasaannya.
“Kara!” panggilnya, menyadarkan lamunan panjang Kara yang sedari tadi berjalan bak orang linglung. “Kamu kenapa?” imbuh Jordan bertanya, cowok berpakaian serba putih itu duduk di bangku porselen berbentuk batang pohon yang jadi hiasan taman. Kara masih membisu, ingin rasanya membelah dadanya untuk mengungkapkan seluruh perasaannya, agar Jordan tahu, bahwa yang menyebabkan dia ada kenapa-kenapa itu dirinya.
“Aku nggak papa kok Dan,” ujar Kara yang memandang ke arah parkiran motor. Tidak sanggup untuk memandang mata sipit Jordan.
“Kamu sakit?” tanyanya lagi.
Iya, sakit hati karena kamu, kalau saja sederet kalimat itu mampu meloncat keluar dari mulut Kara, mungkin hatinya takkan terasa begitu sesak.
“Nggak kok,” balas Kara acuh tak acuh.
“Sorry ya Kar, kalau aku ada salah, maafin aku.”
Seperti seolah Jordan bisa mendengar suara hati Kara yang porak-poranda bak disapu Tsunami. Kara mengatupkan bibirnya lebih rapat, mencoba melirik ke arah Jordan yang menatapnya dalam-dalam. Tatapan itu bagai lubang hitam di galaksi Bima Sakti yang menarik sorot mata Kara untuk balas memandang mata Jordan. Tidak sampai lima detik mereka saling menatap, Kara buru-buru mengalihkan pandangan. Hanya hening yang menautkan keduanya, diiringi hiruk pikuk suara tegas anak ekskul Paskibraka yang sedang berlatih di sisi lapangan sekolah.
“Jordan! Ayo latihan, hayo? jangan pacaran terus lo ya!” teriak seorang cowok yang sepertinya adalah kakak kelas. Saat mendengar kata pacaran, membuat Kara langsung melengos, siapa juga yang pacaran?
“Yaudah Kar, aku latihan karate dulu ya, nanti aku SMS.” Tanpa menunggu balasan ucapan Kara, Jordan beranjak berdiri lalu berlari menuju si kakak kelas sambil mengencangkan sabuk putihnya. Kara mengusap keningnya, astaga! Janji Jordan yang akan mengiriminya SMS sudah berhasil membuat Kara menahan senyum. Padahal baru beberapa menit yang lalu ia merasa seolah dunia hancur dan sekarang bunga-bunga di taman hatinya sedang bermekaran.
***
Buku-buku di tas tenteng Kara sudah terjun bebas berhamburan menghantam empuknya kasur, tetapi lampiran kertas itu tidak kunjung juga muncul. Di tas ranselnya pun tidak ada, apa tertinggal di kelas?
“Kara!” panggil mamanya cukup keras.
“Sebentar, aku belum lapar Ma!” jerit Kara dari kamarnya. Kali ini ia melongok ke kolong ranjang. Apa mungkin jatuh tergelincir di bawah sana?
“Kamu cari apa?” mamanya sudah berada di ujung pintu. “Cari ini?” imbuh mamanya sambil menyodorkan selembar kertas yang ternyata adalah lampiran hasil ujian Kimia.
“Ma, please jangan marah!” bujuk Kara sambil berjalan gontai ke arah mamanya yang memandang sengit dirinya.
“Dek, apa kamu nggak belajar? Sampai dapat nilai 50 gini! Angka 5 loh dek, itu jauh dari nilai KKM kan?”
“Maaf Ma, aku belajar kok.” Kara hanya bisa menunduk tidak berani menatap mamanya.
“Terus kenapa sampai nilai kamu jeblok gini?”
“Aku kurang bisa fokus Ma,”
“Karena kamu sibuk pacaran terus!”
“Ma! Aku nggak pacaran!” pekik Kara menahan tangis, mengapa semua orang menganggapnya berpacaran dengan Jordan, bahkan cowok itu saja tidak pernah menyatakan perasaannya. Lalu dianggap pacaran dari mananya? Dada Kara terasa menguar menyesakkan oleh harapan besarnya pada Jordan, kegalauan-kegalauan yang dilaluinya hari demi hari, hingga tidak bisa fokus belajar, ternyata hal tersebut pun tidak bisa menjadi pengorbanan cinta yang bisa dihargai oleh siapapun.
“Jangan lagi SMS-an sama Jordan, kamu harus mementingkan nilai akademik kamu dek!” sentak Lita tegas.
“Mama tahu dari mana soal Jordan? Mbak Sarah ngadu ke Mama kan? Memang cuma Mbak, anak kesayangan Mama Papa!!!” pekik Kara yang sudah berurai air mata, suaranya menjadi parau, matanya melotot dan memerah, kemarahan yang tertahan akhirnya meluap juga. Badai datang menerjang lika-liku pantai kehidupannya.
“Jangan salahin Mbakmu! Mama lihat sendiri!”
“Kenapa Mama diam-diam baca pesanku, aku juga punya privasi Ma!” jerit Kara tidak terima.
“Karana! Kamu masih remaja, kamu masih dalam pengawasan Papa dan Mama, bukan berarti kami nggak menjaga privasi kamu. Tapi itu sudah kewajiban kami untuk mengawasi kamu. Karena kami semua sayang sama kamu, dek ....” Lita segera memeluk Kara yang terisak hingga bahunya terguncang. Dalam dekapan mamanya, Kara mencurahkan segala kesedihannya, air matanya seperti hujan deras yang mengguyur nuraninya.
“Maafin Kara Ma, betul kata Trein, mungkin aku berharap pacaran sama Jordan. Tapi sumpah, Ma! Kara janji akan perbaiki nilaiku,” cerocos Kara masih dengan terisak.
“Berteman secukupnya saja sayang, punya rasa ke lawan jenis memang lumrah. Tapi Adek harus punya batasan, tetap sekolah nomor satu ya,” ujar Lita mulai melunak, ia sadar terus bertindak keras kepada putrinya justru akan memicu perlawanan. Lita harus berbicara dari hati ke hati.
Mendengar segala ucapan mamanya, mulai bisa menyurutkan hujan lokal di pipinya.
“Ma, tolong jangan bilang Papa ya soal nilaiku yang jeblok dan Jordan ini ....” Kara melepas pelukan mamanya.
“Papa pasti mengerti kok, sayang.” Lita mengusap kepala Kara yang menunduk.
“Iya Ma, aku cuma nggak mau Papa kepikiran aku. Dinas di luar kota pasti udah bikin pikiran Papa capek, aku nggak mau nambahin beban Papa,” papar Kara yang membayangkan wajah sang papa, membuatnya terenyuh dan ingin menangis lagi. Lita menggenggam jemari Kara, berusaha menguatkan anak bungsunya.
“Percayalah Dek, Papa, Mama, Mbak Sarah sayang sama kamu. Kami nggak merasa terbebani sayang. Ayo makan dulu,” ajak Lita, keduanya berjalan ke meja makan. Kara menyantap hidangan sajian makan siangnya dengan lahap, menangis membuatnya kelaparan.
Ia sudah bertekad akan tegas pada hatinya yang sudah jatuh terlampau dalam pada bayang-bayang tentang Jordan. Betul kata mamanya, harus ada batasan, mungkin Kara berani mengakui bahwa menyayangi Jordan. Tetapi apa ia benar-benar memahami makna perasaannya?