Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negasi
MENU
About Us  

"Jadi, ini rumah lo, Zoy?" Rayna memandang ke sekeliling ruangan. Matanya memancarkan binar. Rumah itu di matanya sangat ... luar biasa.

"Iya. Tapi inget, ini cuma buat malem ini. Besok lo harus benerin lampu gue yang lo rusakin." Zoya menjawab tanpa melihat Rayna. 

Rayna berdecak pelan. Ia heran kenapa Zoya selalu saja sinis padanya. Padahal Rayna sudah berusaha bertanggung jawab meskipun sampai sekarang Rayna juga bingung apa kesalahannya. Ia kan cuma menjerit saat menyadari rombongan anak-anak misterius itu bisa menembus dirinya. Seharusnya tidak aneh, kan? 

Namun, Rayna tidak ambil pusing dengan perlakuan Zoya. Ia kembali mengagumi rumah yang ia tempati. Rumah satu lantai dengan desain eksterior juga interior yang futuristik. Dinding berwarna putih gadingnya tampak elegan dihiasi furnitur yang sangat canggih. Seperti kursi yang Rayna duduki sekarang. Kursi yang bisa otomatis mengatur ketinggian duduk pengguna terhadap meja sesuai standar proporsi posisi duduk yang sehat tanpa harus menekan tombol apapun.

Belum selesai mengagumi kursi yang didudukinya, Rayna dikejutkan dengan performa meja makan di hadapannya. Sebuah meja bundar yang sekilas mirip seperti meja makan pada umumnya, tetapi memiliki perbedaan di bagian tengahnya. Meja itu memiliki penampang lingkaran tambahan yang diletakkan bertumpuk di atas penampang lingkaran utama. Penampang kecil itu dapat berputar 360 derajat yang berfungsi memudahkan pengguna mengambil menu makanan yang diinginkan dengan hanya memutar penampang tersebut. Sebenarnya ia cukup familiar dengan meja putar tersebut. Namun, bukan Neoterra namanya jika tidak ada keunikan dan kecanggihan di dalamnya. 

Jika meja putar yang ia tahu hanya bisa diputar manual, meja ini justru dapat otomatis berputar menyesuaikan keinginan pengguna. Caranya, pengguna hanya perlu menatap mangkuk atau menu makanan yang diinginkan dalam beberapa detik. Setelah itu, voila! Penampang putar di atas meja bundar tersebut langsung berputar mendekatkan menu yang diinginkan pengguna ke hadapannya.

Rayna yang duduk berhadapan dengan Darren kemudian iseng menatap semangkuk sayur sawi yang letaknya ada tepat di depan Darren. Setelah beberapa detik menatap, lingkaran kecil tempat meletakkan mangkuk dan piring menu makanan lain ternyata benar-benar berputar. Kali ini berputar 180 derajat karena posisinya dengan Darren tepat berhadapan. Putaran itu membuat semangkuk sayur sawi yang tadinya berada di hadapan Darren, sekarang bisa tepat berada di hadapannya. 

"Oh, wow! Gimana bisa meja ini tahu gue mau makan sayur sawi?" tanya Rayna kagum sekaligus penasaran. Sambil mengambil tiga sendokan sayur tersebut ke piring nasinya, ia menunggu Darren menjawab pertanyaannya. Pasti ada teknologi di baliknya, kan? 

Darren tersenyum lebar. Dia tampak selalu suka bagian penjelasan teknis seperti ini. "Jadi, gini, Ray." Ia meletakkan alat makannya di atas piring. Jari-jari kedua tangannya saling bertaut, kemudian ia letakkan di bawah dagu. 

"Meja ini, khususnya penampang kecil yang bisa berputar di atas penampang meja utama ini, punya kamera yang berfungsi merekam gerakan mata kita selama kita makan. Kameranya ada di sini." Darren menunjuk posisi kamera yang mendeteksi gerakan matanya. 

Setelah mendapat sedikit anggukan dari Rayna, Darren melanjutkan penjelasannya. "Saat mata kita menatap ke salah satu menu makanan dalam waktu yang ditentukan, kamera itu akan menganalisis sudut arah pandang kita. Makanya dia tahu kalau kita lagi pengin makanan itu. Di poros penampang kecil, ada sebuah motor kecil yang udah terintegrasi dengan kamera tadi. Jadi, poros penampang kecil ini bisa berputar sejauh sudut yang diperlukan untuk mendekatkan makanan itu ke orang yang memandang tadi." Darren menjelaskan dengan detail. 

Rayna mengangguk-anggukan kepala. Ia paham apa yang diletakkan Darren. Akan tetapi, informasi itu masih belum cukup untuk menjawab semua rasa penasarannya. 

"Kalau misal ada dua orang atau lebih yang natap gimana?"

"Sama aja, tapi di kasus itu berarti akan dipakai sistem antrean."

"Oh, jadi ini ya fungsinya otomatisasi kursi yang kita duduki?" Rayna mencoba mengonfirmasi apa yang sedang dipikirkan. 

"Gimana?"

"Kamera meja ini kan nangkep gerakan mata kita. Buat nangkep gerakan mata kita, berarti posisi mata setiap orang harus ada di tinggi yang sama supaya bisa dideteksi lensa kamera. Tinggi badan orang kan beda-beda. Tapi, dengan kursi ini, masalah tinggi badan udah bisa langsung teratasi karena semua orang sekarang udah ada di posisi tinggi yang sama. Betul?"

Darren memetik jari. "Exactly! Gue rasa lo punya bakat di otomasi deh, Ray." Senyumnya mengembang sempurna. Kemudian, pandangannya beralih pada Zoya yang berada di sebelahnya. "Zo, Rayna ikut gabung di tim kita aja. Kayaknya dia oke buat jadi asisten gue, bantu gue nyiapin alat-alat kita," pinta Darren semangat. 

Zoya menghentikan kegiatan makannya. Atensinya berpindah dari piring makannya ke wajah Darren. "Lo rekomendasiin dia? Yang bener aja!"

Dahi Darren sedikit mengernyit. "Loh, kenapa?"

"Dia aja nggak kenal dirinya sendiri selain namanya, terus gimana bisa kita kerja bareng orang yang nggak kita kenal?"

"Zo. Orang yang nggak kenal diri sendiri bukan berarti orang yang berbahaya, rendah, atau nggak punya value. Dia cuma butuh kesempatan dan waktu buat buktiin kalau dia bisa dan mulai kenal dirinya. Sebagai sesama manusia, harusnya malah kita bantu dia buat inget lagi identitasnya."

Zoya terkekeh. "Nggak berbahaya? Lo lupa? Anak-anak jin di hutan tadi lari kocar-kacir sebelum kita prank mereka, dan itu gara-gara siapa? Gara-gara dia. Dia itu pengacau!" Zoya menunjuk Rayna kesal. Semua rencana kontennya hari ini gagal hanya karena sebuah teriakan dari orang asing dan bahkan tidak tahu muncul dari mana. "Selain itu, lampu kita juga mati karena dia. Kalau dia join ke tim kita, bisa rusak semua alat-alat kita, Ren." 

El yang sedari tadi hanya diam mendengarkan obrolan kini ikut bersuara. "Enggak, Zo. Lampu kita rusak karena gue. Gue yang kaget dan nggak sengaja jatuhin kontroler lampu kita. Itu sebabnya lampu kita jatuh dan korslet."

Rayna yang mendengarkan mulai paham mengapa Zoya bersikap sinis padanya. Cahaya putih terang di hutan saat dia sadar ternyata adalah alat milik Zoya dan teman-temannya. Ketika dirinya menjerit karena terkejut ditembus anak-anak misterius, Rayna memang sempat teriak dan cahaya itu menghilang secara misterius. Rupanya ia tanpa sengaja betulan sudah mengacaukan kegiatan yang sedang dilakukan Zoya dan teman-temannya. 

"Lo juga kaget karena Rayna teriak, kan? Kalau lampu itu nggak bisa diperbaiki, bisa hancur karir kita." Zoya masih mempertahankan argumennya. Di matanya, tetap hanya Rayna yang salah. Rayna yang tiba-tiba datang di tengah-tengah produksi konten, Rayna yang tiba-tiba teriak mengacaukan suasana prank, dan Rayna juga yang membuat lampu sorot miliknya akhirnya rusak seperti sekarang. Rayna adalah akar masalah semuanya. 

"Kita bisa beli lampu sorot yang baru. Kalau uang tim kita belum cukup, pakai uang gue dulu. Aman aja." Darren menyahut memberikan solusi praktis. 

"Nggak bisa. Lampu ini beda."

"Apa bedanya? Toh, sama-sama bisa bikin diri kita jadi visible ke makhluk dunia lain." Darren masih menyahut. 

Zoya mengembuskan napas kasar. "Nggak. Lo semua nggak bakal ngerti. Gue cuma mau lampu ini!"

"Apanya yang nggak kita ngerti?" Darren masih mencoba mengklarifikasi apa yang menjadi pokok masalah di pikiran Zoya. Ia melanjutkan, "Come on, Zo! Kita beli baru pun sama aja. Yang penting produksi konten kita lancar. Nggak usah meromantisasi masalah yang sebenernya udah ada solusinya deh. Kita udah gede."

Zoya menggeleng cepat. Alisnya tampak menukik. Wajah tidak sukanya terhadap argumen Derran sangat ketara. Namun, di detik berikutnya matanya mulai tampak berkaca-kaca meskipun wajah tak sukanya masih bertahan. Ia menatap Darren, El, dan Rayna bergantian. Kemudian, kembali menatap Darren lekat-lekat. "Gue tahu lo orang kaya. Tapi, nggak semua hal bisa langsung lo ganti dengan yang baru." Suaranya terdengar bergetar.

"Bu–bukan gitu maksud gue, Zo." Darren menjawab dalam rasa bersalah. Maksudnya sebenarnya buka seperti itu, tetapi yang ditangkap temannya justru yang lain. 

Zoya menghela napas. Tangannya bergerak mengusap wajah. "Meskipun mungkin ada waktu di mana lampu itu udah nggak kita pakai produksi lagi, tapi lampu ini tetap nggak boleh rusak!"

Melihat Zoya yang begitu emosional membuat rasa bersalah Rayna memuncak. Ia melirik sejenak ke arah Zoya. Jarinya bergerak memilin-milin ujung khimarnya. "Gue..." Ia menelan ludah gugup. "Gue nggak bermaksud ngerusak lampu lo, Zoy. Gue juga nggak bermaksud buat gagalin konten kalian." Kepalanya tertunduk lesu. Helaan napas berat terdengar darinya. 

"Terus ngapain lo teriak begitu cuma karena ngelihat jin? Itu cuma jin. Mereka bahkan nggak bisa lihat lo, apalagi nyentuh lo. Dengan lo takut jin, lo sadar nggak sih kalau lo tuh konyol?" Zoya berdiri dari kursinya. Ia berjalan mendekati Rayna. Tangannya terangkat mencengkeram pundak Rayna. "Gue rasa mental lo perlu diperiksa. Mungkin lo delusi," ucapnya pelan, tapi dengan tatapan menusuk. Belum selesai sampai di situ, Zoya masih terus menekan Rayna. Ia kembali bicara. "Tapi dibanding delusi, gue rasa lo lebih tepat disebut nggak waras."

Zoya terdiam sejenak. Akan tetapi, bukannya tenang, napasnya malah berubah menjadi tidak beraturan. Matanya tampak lebih tajam dari sebelumnya.

"LO NGGAK WARAS, RAYNA! LO TUH MAKHLUK DARI MANA, SIH? KENAPA LO HARUS MUNCUL DI SINI KALAU CUMA NYUSAHIN DOANG?" teriaknya tepat di depan wajah Rayna. 

Rayna tertegun diperlakukan seperti itu oleh Zoya. Jantungnya berdegup kencang di bawah tekanan. Darren dan Ezrelle saling menatap sejenak. Mereka tak percaya Zoya bisa seagresif itu.

"KENAPA?" Zoya berubah menatap Darren dan El bergantian. Ia melanjutkan ucapannya. "KALIAN MASIH MAU BELAIN MANUSIA ANEH INI? DIA TUH ANEH. KALIAN SADAR NGGAK, SIH?!"

"ZOY, CUKUP! NGGAK PERLU TERIAK-TERIAK GINI! KATA-KATA LO KETERLALUAN. KALAU LO NGGAK SUKA RAYNA MASUK KE TIM KITA, YA UDAH! NGGAK USAH DIPERPANJANG!" Darren tak sadar ikut membentak.

Semua terdiam. Saling terkejut dengan respon dari Darren, bahkan Darrennya sendiri. Semua mata kini tertuju pada Darren, kecuali Ezrielle yang lebih memilih untuk pergi dari tempat dengan atmosfer yang tidak enak itu. 

"Ehm. Sorry, agak panas yaa di sini. Gue ke luar dulu," ucap El sambil menunjukkan cengiran kakunya pada semua orang. Sebelum keluar, ia sempat melihat ke arah Rayna dan tersenyum iba. Ia juga mengangkat genggaman tangan kanannya sebagai bentuk implisit menyemangatinya, karena kalau terang-terangan takut Zoya malah semakin menjadi. 

"So–sorry, Zo. Gue nggak bermaksud gitu." Darren mencoba mengklarifikasi kesalahannya. 

Zoya yang baru saja dibentak masih tertegun. Ia hanya berdiri di sebelah Rayna tanpa suara dan ekspresi, tidak terlihat marah, tapi tidak juga terlihat baik-baik saja. Ia hanya menatap Darren dengan tatapan datar. 

Beberapa detik kemudian, Zoya berjalan ke arah Darren. Air matanya perlahan jatuh, meskipun wajahnya masih tetap tidak berekspresi. 

"Lo nggak akan pernah tahu rasanya jadi gue." Zoya menunjuk pelan ke arah Darren. Air matanya mengalir kembali. Ia melanjutkan, "Hidup di dalam penjara harapan, yang bahkan gue sendiri nggak bisa pastiin harapan itu nyata atau cuma ilusi yang sengaja dibuat oleh orang tersayang gue." Ia mengusap kasar air matanya. 

Ucapan Zoya berhasil membuat suasana ruangan itu semakin hening. Embusan mesin pendingin ruangan tiba-tiba terasa lebih dingin dari sebelumnya. 

Rayna yang dituduh menjadi biang masalah semua ini menjadi semakin merasa bersalah. Sekarang ia yakin bahwa lampu sorot itu memiliki makna yang dalam bagi Zoya. Ia merasa wajar dengan sikap ketus Zoya padanya sejak awal perkenalan tadi. Siapa yang tidak kesal jika rencana yang disusun matang-matang malah gagal karena satu orang asing? Jika Rayna di menjadi Zoya, ia juga pasti akan marah.

Sepertinya, keputusannya untuk masuk ke lingkaran mereka itu salah besar. Setelah ini, Zoya mungkin tidak akan mengizinkannya bermalam di rumah itu, bahkan hanya untuk semalam. Namun, jika tidak bersama mereka, ia juga bingung harus pergi ke mana. Dunia ini sangat aneh baginya. Sejak dirinya sadar, hanya Zoya, Darren, dan El manusia yang bertemu dengannya. Selain itu, semuanya adalah jin. Bagaimana ia bisa bertahan sendirian di luar sana dengan keanehan semua ini? 

Rayna menghela napas pelan. Ia memberanikan diri menatap Zoya yang berdiri di sebelahnya. Tatapan Zoya masih terpaku pada Darren yang juga masih terdiam sejak ledakan emosi tadi. 

"Gue bener-bener minta maaf, Zoya. Gue beneran nggak bermaksud bikin rencana lo kacau. Gue bakalan coba betulin lampu lo malem ini, dan besok gue akan pergi dari sini," ucap Rayna pasrah. 

Zoya mendengar semua perkataan Rayna, ditandai dengan beralihnya atensi dirinya dari Darren ke Rayna. Akan tetapi, ia masih tetap diam, tanpa berbicara sepatah kata pun. Setelah menatap Rayna cukup lama, Zoya menarik napas berat, kemudian pergi meninggalkan Rayna dan Darren yang masih berdiri menyisakan perasaan yang tidak enak di hati. 

Rayna menatap nanar punggung Zoya yang menghilang di balik pintu kamar. Pandangannya beralih pada Darren yang juga masih terdiam. Beberapa detik kemudian, Darren mulai membuka suara, didahului dengan tawa yang terdengar sedikit dipaksakan. 

"Ray. Nggak apa-apa. Mungkin Zoya lagi capek aja. Jangan diambil hati ya. Lo istirahat dulu aja. Kamar tamunya di sebelah kamar Zoya," ucap Darren sambil tersenyum. 

Rayna ikut tersenyum, kemudian mengangguk pelan. "Makasih, Darren. Sekali lagi gue minta maaf ya. Gara-gara gue, kalian jadi ribut gini." Matanya mulai terlihat berkaca-kaca. 

"Enggak. Nggak apa-apa. Lo juga nggak sengaja. Lagipula, lo juga udah berusaha buat tanggung jawab. Besok kita benerin bareng. Semoga aman aja ya lampunya. Mending lo istirahat aja. Oh iya, kiblatnya ke arah pintu."

"Tapi Zoya? Gue ... Apa gue masih boleh?"

"Boleh. Malem ini lo nginep di sini aja. Besok Zoya juga udah membaik lagi emosinya," ucap Darren mencoba meyakinkan Rayna. 

Sudut bibir Rayna kembali tertarik ke atas. "Makasih, Darren. Gue do'ain semoga hari lo Minggu terus." 

Dahi Darren berkerut. "Maksudnya lo do'ain gue jadi kuda?"

"Hah, kok jadi kuda? Hari Minggu kan libur. Kalau libur, biasanya kita bahagia. Gue do'ain lo bahagia terus. Emang lo nggak mau bahagia?"

"Yaaa mau. Tapi ... gue liburnya cuma hari Sabtu. Minggu itu jadwalnya lembur nyiapin alat ngonten."

Rayna terdiam sesaat. Wajahnya yang tadi dipenuhi senyum lebar, kini berubah drastis menjadi ekspresi blank. Jangan tanya bagaimana perasaannya sekarang. Jika saja ada tombol untuk menghilang dari dunia ini, Rayna yakin akan langsung menekannya dalam waktu 0,5 detik. 

Rayna ... Rayna ... Belum ada sehari lo di dunia antah berantah ini, tapi sikap sok asik lo udah berhasil bikin hidup lo dua kali mendadak switch genre. Sama Ezrielle udah, sama Darren juga udah. Jangan sampai ada versi sama Zoya deh. Kalau nggak, bisa-bisa lo dapet hadiah damprat estetik, Ray! 

-• To be continued •-

___________________________________

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Titisan Iblis
282      225     0     
Romance
Jika suatu saat aku mati, aku hanya ingin bersamamu, Ali .... Jangan pernah pergi meninggalkanku..... "Layla "
Rose The Valiant
4236      1429     4     
Mystery
Semua tidak baik-baik saja saat aku menemukan sejarah yang tidak ditulis.
Orange Haze
495      349     0     
Mystery
Raksa begitu membenci Senja. Namun, sebuah perjanjian tak tertulis menghubungkan keduanya. Semua bermula di hutan pinus saat menjelang petang. Saat itu hujan. Terdengar gelakan tawa saat riak air berhasil membasahi jas hujan keduanya. Raksa menutup mata, berharap bahwa itu hanyalah sebuah mimpi. "Mata itu, bukan milik kamu."
THE DARK EYES
718      404     9     
Short Story
Mata gelapnya mampu melihat mereka yang tak kasat mata. sampai suatu hari berkat kemampuan mata gelap itu sosok hantu mendatanginya membawa misteri kematian yang menimpa sosok tersebut.
Slash of Life
8331      1760     2     
Action
Ken si preman insyaf, Dio si skeptis, dan Nadia "princess" terpaksa bergabung dalam satu kelompok karena program keakraban dari wali kelas mereka. Situasi tiba-tiba jadi runyam saat Ken diserang geng sepulang sekolah, kakak Dio pulang ke tanah air walau bukan musim liburan, dan nenek Nadia terjebak dalam insiden percobaan pembunuhan. Kebetulan? Sepertinya tidak.
Nightmare
437      301     2     
Short Story
Malam itu adalah malam yang kuinginkan. Kami mengadakan pesta kecil-kecilan dan bernyanyi bersama di taman belakang rumahku. Namun semua berrubah menjadi mimpi buruk. Kebenaran telah terungkap, aku terluka, tetesan darah berceceran di atas lantai. Aku tidak bisa berlari. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin mengadakan pesta malam itu.
Koi Hitam
1133      693     5     
Horror
Sejak 2 tahun lalu, gerakannya tidal seperti biasanya, yang setiap sore selalu mulutnya terbuka ke atas, seperti mengharapkan makanan. Sore ini, dia disudut diam, namun sorot matanya tegak memandang lurus, penuh dendam. Koi ini saya dapatkan dari rumah tua yang telah ditinggalkan dan terabaikan entah karena apa.
Pesta Merah
486      343     1     
Short Story
Ada dua pilihan ketika seseorang merenggut orang yang kamu sayangi, yaitu membalas atau memaafkan. Jika itu kamu dan kamu dapat melakukan keduanya?, pilihan manakah yang kamu pilih?
The Eternal Love
21204      3190     18     
Romance
Hazel Star, perempuan pilihan yang pergi ke masa depan lewat perantara novel fiksi "The Eternal Love". Dia terkejut setelah tiba-tiba bangun disebuat tempat asing dan juga mendapatkan suprise anniversary dari tokoh novel yang dibacanya didunia nyata, Zaidan Abriana. Hazel juga terkejut setelah tahu bahwa saat itu dia tengah berada ditahun 2022. Tak hanya itu, disana juga Hazel memili...
Phi
2106      841     6     
Science Fiction
Wii kabur dari rumah dengan alasan ingin melanjutkan kuliah di kota. Padahal dia memutus segala identitas dan kontak yang berhubungan dengan rumah. Wii ingin mencari panggung baru yang bisa menerima dia apa adanya. Tapi di kota, dia bertemu dengan sekumpulan orang aneh. Bergaul dengan masalah orang lain, hingga membuatnya menemukan dirinya sendiri.