Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negasi
MENU
About Us  

"Lo beneran nggak mau tidur dulu aja? Gue sama El aja ini sampai udah kebangun. Eh, lo malah belum tidur sama sekali. Mata lo kelihatan capek tuh." Darren bertanya pada Rayna yang masih saja berusaha fokus mengerjakan lampu sorot milik Zoya. 

Rayna menoleh sesaat pada Darren, lalu melirik pada El yang juga sedang menatapnya khawatir. Ia menghela napas pelan. "Enggak deh. Lagi seru," ujarnya, lalu tersenyum tipis. 

"Tidur dulu aja, Ray. Zoya galak-galak gitu hatinya permen kapas kok." El kini ikut bersuara agar Rayna mau istirahat dan melanjutkan nanti. 

"It's okay. Gue masih penasaran. Kalau belum tuntas nyelesaiin sesuatu, gue kadang suka kebawa mimpi," sahut Rayna dengan masih mempertahankan argumen yang sebenarnya hanya kamuflase belaka. 

Gue mendingan kerja rodi benerin lampu sorot ini di ruang tamu yang clear ini deh, dibanding harus tidur di kamar tamu yang diseliwerin makhluk halus. Gue berasa jadi nggak punya privasi. Selain bisa beneran gila, gue juga nggak mau mati muda karena jantungan liat mereka nongol tiba-tiba. 

Ya, sebenarnya dibanding takut dengan Zoya, Rayna lebih takut jika harus berdiam diri di dalam kamar tamu. Ia masih ingat betul bagaimana suasana creepy di tempat itu ketika ia gunakan untuk menunaikan ibadah.

"Allahu Akbar." Tangannya terangkat melakukan gerakan takbiratul ihram. Kemudian, dilanjutkan dengan membaca do'a iftitah. "Allahu Akbar kabiirow walhamdulillahi katsiiro...."

Rakaat pertama, muncul sesosok anak kecil yang berlarian tanpa suara sedikit pun di depan sajadahnya. 

"Allahu Akbar... Bismillaahirrohmaanirrohiim. Alhamdulillahi rabbil 'aalamiin...."

Rakaat kedua, Rayna masih berusaha fokus dalam shalatnya. Namun, ekor matanya tiba-tiba menangkap gerakan sesosok wanita yang mulai mendekati si anak jin. Wanita itu kemudian menjewer telinga anak kecil di hadapannya. Mungkin dia ibu anak jin. 

"Allahu Akbar...."

Rakaat ketiga, anak itu tetap bandel tidak mau ikut si ibu. Dia tetap berkeliaran di sekitar Rayna, bahkan tubuh anak itu sempat ditembus Rayna saat sedang melakukan gerakan sujud. 

"Allahu Akbar...."

Rakaat keempat, si anak sepertinya menangis keras, terlihat dari gerakannya yang persis seperti anak manusia saat sedang tantrum. Namun, masih tetap tak ada suara apa pun yang terdengar selain bacaan shalatnya sendiri. 

"Assalamu'alaikum Warahmatullah."

Salam pertama terucap. Rayna mengarahkan wajah ke kanan tepat ketika si anak jin berhasil ditarik pergi. Ia bernapas lega karena sesi sport jantungnya telah usai. Setelah beberapa saat, wajahnya mulai bergerak ke arah kiri. 

"Assalamu'alaikum...."

ASTAGHFIRULLAH! 

Rayna menarik kembali pikiran bisa bernapas lega-nya tadi. Ketika dirinya mengucap salam dan mengarahkan wajah ke kiri, twist terbesarnya ternyata malah baru release. Jantungnya terasa auto joget disko saat melihat ada sesosok jin anak kecil yang kebetulan sedang menatap ke arahnya. Setelah menyelesaikan salam kedua dengan jantung yang masih berdebar, ia menelusuri arah pandang anak tersebut. Rupanya anak itu bukan sedang menatapnya, melainkan sedang menonton televisi yang berada beberapa meter di belakang sebelah kanan Rayna shalat. 

Mata Rayna menyipit sejenak, melihat anak jin yang tadi mengagetkannya. "Besok-besok nonton TV-nya jangan serius-serius bisa nggak sih? Gue colok mata lo ya. Hampir jantungan gue liat ekspresi datar lo begitu. Udah serem, makin serem tahu nggak?" celotehnya dengan tatapan sinis. Meskipun sebenarnya percuma juga karena jin itu kan tidak bisa melihat dan mendengar Rayna. Saat itu juga, dibanding menjadi manusia tulen, ia lebih merasa seperti menjadi NPC. Namun, kali ini bukan NPC di dunia game, melainkan di dunia jin. 

Mengingat momen tidak menyenangkan itu membuat Rayna bergidik. Boro-boro bisa tidur manis berjam-jam ala princess, baru sepuluh menit bertahan untuk sholat Isya saja dirinya sudah berasa diterror habis-habisan. Kemunculan mereka yang bagai pementasan drama Charlie Chaplin sukses membuatnya harus bersusah payah mempertahankan fokus untuk bisa mencapai salam.

Dosa apa hambamu ini, yaAllah? Sampai harus melewati masa seperti ini. 

"Hehh, malah bengong. Kenapa? Capek kan pasti? Istirahat dulu aja," ucapan Darren membuyarkan lamunan Rayna soal pengalaman aneh terbarunya. 

"Iya, Ray. Istirahat dulu aja. Gue sama Darren nginep di sini sampai pagi kok. Jadi nggak usah takut gimana-gimana di sini. Ada gue dan Darren. Lo nggak bakalan diterkam Zoya. Tenang aja." timpal El memperkuat perkataan saudara kembarnya. 

Seberapa keras Darren dan El membujuk, sekeras itu juga Rayna tetap mempertahankan keinginannya. Ia tetap menggeleng dan masih juga fokus mengotak-atik lampu sorot di hadapannya. Meskipun sebenarnya ia sedang berada di puncak kebingungan yang haqiqi. Sudah cek kabel sana-sini, tapi tetap saja tidak ketemu penyakitnya.

"Ya udah kalau lo masih tetep mau ngerjain ini," ucap Darren menyerah. Kemudian, ia duduk di sebelah Rayna, ikut mengamati lampu sorot itu bersama-sama. "Udah sampai mana?"

"Sampai puyeng," sahut Rayna cepat dengan wajah memelas sambil terus memandangi lampu di tangannya. 

Darren dan El sontak tertawa bersamaan, menyisakan Rayna dengan dahi yang mengernyit seolah mempertanyakan tingkah manusia kembar di dekatnya. 

"Apa yang lucu?"

Darren dan El menjawab bersamaan. "Ekspresi lo."

Rayna menghela napas, lalu menatap Darren dan El bergantian. Bisa-bisanya mereka tertawa di atas penderitaan Rayna yang sedang mumet tujuh keliling mencari apa yang salah dari lampu sorot ajaib ini. Mereka tidak tahu saja sepanas apa otaknya sekarang. Saking panasnya, Rayna rasa jika kepalanya digebyur air satu ember penuh mungkin bisa langsung mengeluarkan asap setebal gaji owner perusahaan. 

Rayna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Lo punya alat penerawang nggak? Yang sekali dipakai bisa bikin mata dan otak gue langsung jreng bersinar bisa ngedetek masalah di lampu ini. Gue udah strong banget daritadi."

"Strong? Maksudnya kuat? Kuat buat pakai alat penerawang?" Kali ini ganti El yang bertanya. 

"No. STRONG for Stress Tak teRtolONG." Please siapa pun tolong keluarin gue dari mode strong ini," sahut Rayna makin memelas. 

Lagi-lagi, Darren dan El terbahak. Mereka tidak habis pikir dengan perkataan yang keluar dari mulut Rayna. 

"Gue serius ini. Kabel-kabel nggak ada yang putus. Bagian power juga oke. Modul lampunya harusnya oke sih, nggak ada gosong atau putus sama sekali. Tapi kenapa lampunya tetep mati aja nggak mau hidup?" ucapnya memelas dengan ekspresi seperti merenung. Dalam gestur renungannya, ia tiba-tiba terlonjak pelan. "Apa dia udah bosen hidup ya?" 

Darren dan El terbahak mendengarnya. Mereka tahu Rayna sudah masuk ke dalam mode jenuh. Darren mengambil alih lampu sorot dari tangan Rayna. Sedangkan El justru berdiri dari duduknya. 

"Gue bikinin cokelat panas ya. Buat kita. Siapa tau cokelatnya bisa bantu balikin mood lo dan akhirnya otak lo bisa beneran jadi ngejreng." El tersenyum ringan. Setelah mendapat anggukan dari Rayna dan Darren, ia bergegas menuju dapur. 

Beberapa menit berlalu, hanya detik jam dinding yang menghiasi keheningan Rayna dan Darren. Mereka berpikir keras untuk mencari apa yang salah dari lampu sorot tersebut. Dari segala aspek sudah mereka cek. Namun, tetap belum ketemu. 

"Kita coba cek sekali lagi jalur kabelnya. Gue cek jalur positif, lo cek jalur ground ya." Darren memberi instruksi sambil mengecek kembali bagian kabel berwarna merah. 

Rayna mengangguk mengiyakan. Dengan gesit, tangannya lantas bergerak mengecek jalur kabel berwarna hitam satu persatu. Setelah beberapa menit berlalu, mereka masih juga belum berhasil. 

"Nggak ada, Darren. Semuanya aman. Nggak ada yang putus."

"Gue juga. Jalur merah aman semua."

"Apa yaa yang salah?" gumam Rayna bertanya pada dirinya sendiri sambil mengusap-usap dagunya dengan tangan kanan. 

Merenung, merenung, merenung, Rayna tiba-tiba teringat sesuatu. "Eh, sebentar. Kalau nggak salah tadi waktu di taman, El sempet bilang kalau lampu ini korslet?" ucap Rayna kembali. 

"Oh iya!" Darren terlonjak karena teringat sesuatu. "Tadi lampu ini sempet korslet. Terus gue ganti MCB-nya."

"Terus?"

"Berhasil nyala, tapi nyalanya nggak konsisten. Kadang nyala kadang mati, dan...."

"Dan mati sampai sekarang?" sambung Rayna cepat dan langsung mendapat anggukan dari Darren. 

"Hmm..." Sebuah dehaman terdengar dari Rayna. Tangannya tanpa sadar bergerak mengusap-ngusap dagu sambil terus mencoba menebak-nebak apa yang salah dari lampu di hadapannya. 

Darren juga ikut berpikir dengan gestur yang sama dengan Rayna. Setelah terdiam beberapa saat, ia kemudian bersuara. "Tapi gue yakin MCB barunya nggak bermasalah sih karena tadi kan sempet nyala juga."

Oke, Rayna kini resmi dilanda rasa cenat-cenut. Bukan karena jatuh cinta, melainkan karena jatuh bangun memikirkan masalah si lampu sorot. Kepala yang tadinya terasa panas saja, kini sudah menjadi panas kuadrat. Ia menghela napas pasrah. Tangan kanannya yang semula mengusap-usap dagu, kini berubah menjadi mengetuk-ngetuk dahi. Sedangkan tangan kirinya refleks mengetuk-ngetuk cover lampu sorot milik Zoya. Setelah lama mengetuk-ngetuk, tiba-tiba Rayna terpikirkan sesuatu. 

Tadi lampunya sempet mati-nyala, kan?

Secara spontan, Rayna menepuk bagian modul lampu beberapa kali.

Tukk... 

Tukk... 

Tukk... 

"EH, KEDIP!" sorak Rayna girang, diikuti ekspresi Darren yang juga terlihat memiliki harapan baru di balik rasa frustrasinya. 

"Apanya yang kedip? Lampunya?" Tiba-tiba suara El terdengar. Sambil membawa sebuah nampan berisi tiga cangkir cokelat panas, ia mendekati meja sofa di dekat Rayna dan Darren. 

Rayna dan Darren kompak mengangguk. Senyum keduanya mengembang. Selain karena munculnya setitik harapan, mereka juga senang karena suguhan cokelat panas buatan Ezrielle jadi bisa menemani mereka memperbaiki lampu Zoya beberapa waktu ke depan. 

"Coklat kalian gue taruh di sini ya," ucap El sambil meletakkan cangkir-cangkir di atas meja sofa. 

Rayna tersenyum manis. "Makasih, El."

Diikuti Darren yang juga berterima kasih pada Ezrielle. Ezrielle ikut tersenyum, kemudian duduk di sebelah Rayna. 

"Tadi lo tepuk apanya, Ray?"

"Modul lampunya," ujar Rayna sambil menunjuk bagian modul lampu yang berada di dalam cover

Darren mengangguk. Ia menatap bagian modul beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Oke, kalau gitu kita coba cek modulnya. Kita bongkar. Walaupun keliatan baik-baik aja, siapa tahu emang dalemnya ini yang rusak." 

Dengan cekatan, Darren membuka cover bagian modul lampu sorot. Namun, sebelum membuka keseluruhan, ia sempat terdiam sejenak melihat modul lampu di hadapannya. Tatapannya semakin intens seiring bertambahnya waktu. 

"Kenapa, Darren? Lo beneran punya alat penerawang yang bisa dipakai buat nerawang masalah teknis?" Rayna bertanya penasaran pada Darren. Ia sempat berpikir jangan-jangan Darren betulan punya alat penerawang yang ia pikirkan tadi. Siapa tahu kan? Bagi Rayna, dunia ini memang terlalu canggih. Banyak hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ia pikirkan keberadaannya, tapi ternyata betulan ada di sini. 

Darren menggeleng cepat, terbuyar dari lamunannya. "Ah, enggak. Gue lagi mikir aja."

Bibir Rayna membentuk seperti huruf o diiringi dengan anggukan kecil. Melihat Darren yang sangat sibuk, ia berinisiatif mengambilkan juga cokelat panas milik Darren ketika akan mengambil cokelat panas miliknya sendiri. 

"Gue taruh sini ya, Ren. Siapa tahu mau sambil nyeruput." Rayna meletakkan cokelat panas milik Darren di dekat mereka. 

Darren menoleh sejenak dan berterima kasih. Kemudian, ia membuka satu persatu klip pengunci dan pengaman modul hingga terlihat jelas susunan lampu-lampu kecil yang tersusun seri pada modul lampu tersebut. 

"Oke, lampu-lampu ini dirangkai seri. Kalau mereka semua mati, kemungkinan ada salah satu atau beberapa lampu yang bermasalah. Kemungkinan lainnya bisa jadi ada jalur yang putus di antara mereka." Darren memulai analisisnya dan Rayna mendengarkan dengan terus memikirkan berbagai kemungkinan yang ada. 

"Tapi, kalau tadi sempet mati-nyala, kayaknya bukan karena ada lampu yang bermasalah, tapi..."

"Ada yang kendor." Rayna meneruskan ucapan Darren yang menggantung. 

"Exactly! Jalurnya belum putus total karena dia masih bisa nyala, walaupun cuma sekedipan."

Rayna menangguk paham. Ia kemudian memiliki ide. "Oke, gimana kalau kita coba cek polaritas masing-masing lampunya buat cek arus listriknya dulu? Supaya bisa kedetek mana yang beneran masih nyambung dan mana yang suka ilang sambungan." Rayna memberi ide yang langsung mendapat anggukan Darren. 

Rayna kemudian mengambil sebuah multimeter untuk memeriksa polaritas atau pengkutuban tegangan positif-negatif dari sambungan tersebut. Itu dilakukan agar dapat mengetahui apakah arus listrik pada komponennya masih dapat mengalir secara normal. Pada saat yang bersamaan, Darren juga dengan cepat menyambungkan colokan lampu sorot ke stop kontak terdekat untuk mengaktifkan alat agar arus listrik dapat mengalir di rangkaian komponennya. Setelah arus dipastikan mengalir, Rayna mulai mengecek satu persatu komponen lampu yang tersusun.

Dimulai dari lampu pertama, multimeter bisa berbunyi. Itu artinya aliran aman. Beralih ke lampu ke dua, ternyata juga aman. Di lampu ketiga, multimeter masih juga berbunyi nyaring. Namun, saat lampu keempat diperiksa, multimeter malah membisu. Dari diamnya multimeter, Rayna sudah mulai tahu letak masalahnya. Meskipun sebenarnya masih tersisa dua lampu di belakangnya. 

"Mulai dari lampu keempat udah mati, tapi karena ini seri, gue nggak tahu apa lampu kelima dan keenam juga mati karena dirinya sendiri atau cuma fomo aja ikutan mati karena jalurnya kepotong si lampu keempat." Rayna berbicara sendiri seperti sedang berdiskusi dengan isi pikirannya sendiri.

"Eh, gimana, Ray? Fomo?" El memutuskan untuk ikut masuk ke dalam monolog Rayna karena mendengar kosa kata yang terdengar familiar di telinganya, tapi tidak familiar untuk ranah elektronika, bahkan cenderung tidak pernah disebut oleh Darren. 

"Yaaa, ibaratnya enam lampu ini bestie circle, tapi si orang keempat ternyata impostor yang bikin sambungan persahabatan mereka itu putus. Orang kelima dan keenam emang ikutan putus persahabatan dari circle ini, tapi kita nggak tahu mereka itu putus karena aslinya impostor juga atau cuma fomo musuhan gara-gara orang keempat nyebar hoax atau hal apa pun yang bikin persahabatan mereka jadi ambyar."  

Darren terkekeh mendengar analogi dari Rayna. Cukup absurd, tapi juga terdengar masuk akal. Ia mengangguk paham dan tanpa pikir panjang mengambil sebuah kabel untuk mengecek secara langsung. 

"Lo mau ngapain, Darren?"

"Nyoba bypass satu-satu. Kita coba hubungin langsung aja jalur positif sama negatifnya lampu yang bermasalah satu persatu. Kalau pas kita coba di lampu keempat ternyata dua lampu setelahnya bisa nyala, berarti yang bermasalah cuma lampu keempat," sahut Darren sebelum benar-benar mencoba menghubungkan dua titik komponen itu. 

Rayna mengangguk sambil tersenyum optimis, sedangkan El masih menatap dengan ekspresi tidak paham. 

Melihat saudara kembarnya yang kebingungan, Darren kemudian menjelaskan, "Kalau pakai analogi Rayna tadi mungkin gini, kita coba bantu sambungin hubungan mereka lagi dengan cara menghilangkan si orang keempat itu sendiri. Kalau setelah impostornya kita buang ternyata orang kelima dan keenam ikutan baikan, berarti biang keladinya emang cuma si orang keempat. Tapi kalau setelah impostornya dibuang ternyata orang kelima dan keenam masih juga musuhan, ya kita harus cari lagi impostor lainnya. Bisa jadi orang kelima, orang keenam, atau mungkin dua-duanya."

Rayna terkekeh mendengar analogi yang dijelaskan Darren, tapi itu memang sangat nyambung dengan analogi yang ia pikirkan tadi. 

"That's! Ternyata kita emang cocok jadi partner servis listrik, Ren!" ujar Rayna dengan senyum lebar menghiasi wajah. 

Darren dan El tertawa mendengar ucapan Rayna. Sambil sesekali menyeruput secangkir cokelat panas, Darren mulai menguji satu persatu lampu. Hasilnya, ternyata benar seperti dugaan awal. Lampu yang mati hanya lampu keempat karena ketika lampu keempat disambung, lampu-lampu selanjutnya otomatis menyala. 

"Ketemu! Impostornya cuma lampu keempat. Yang lain aman!" pekik Darren kegirangan karena berhasil menemukan akar masalah yang sudah sejak tadi membuat kepalanya terasa tuing-tuing seperti sedang naik wahana trampolin. 

"Oke berarti kita coba solder ulang aja kali ya si lampu keempat? Kendornya kan di situ. Mungkin emang ada solderan yang udah kurang worth." Rayna lagi-lagi memberi ide dan langsung mengambil solder yang kebetulan berada tepat di sebelahnya. 

"Oke gue solder dulu." Darren lantas mengambil alih solder yang awalnya dipegang oleh Rayna. Dibantu oleh Rayna yang memegangi modul lampu tersebut, akhirnya Darren dapat menyelesaikan solderannya dengan sangat baik. 

"Oke sekarang the moment of truth!" pekik Darren sambil menyolokkan kembali colokan lampu sorot ke stop kontak. Rayna yang sudah siap menekan tombol power pada lampu sorot lantas menekannya untuk mengetahui apakah kerja rodinya malam ini bisa tamat sampai di sini atau masih harus lanjut part dua. 

Cetekk... 

"NYALAAAA!" pekik mereka bertiga kompak diliputi rasa suka cita. Rayna yang sejak tadi sudah merasa dikerjai oleh lampu itu lantas melakukan sujud syukur karena kerja rodinya ternyata bisa tamat hanya dengan satu episode. Darren yang tadinya sudah tuing-tuing seperti main trampolin langsung merasa sehat wal'afiat. Sedangkan, El lantas tersenyum gembira melihat lampu yang sebenarnya juga rusak karenanya bisa menyala kembali.

"Udah, Ren. Misi kita udah selesai. Tolong tutup dulu modulnya, takut rusak lagi." Rayna yang sudah selesai merayakan suka cita kemudian meletakkan cover penutup modul lampu di hadapan Darren. Setelah itu, tak lupa ia juga mencabut colokan lampu sorot dari stop kontak. 

Darren meraih cover modul lampu di hadapannya untuk segera menutup modul yang sudah selesai diperbaiki. Namun, ketika akan menutup, ia kembali tampak termenung memandangi cover dan modul lampu secara bergantian. Bukan renungan dengan tatapan kosong seperti habis terkena hipnotis, tapi lebih seperti renungan dengan wajah banyak pikiran seperti sedang terlilit pinjol. 

"Kenapa, Darren? Lo terkesima lihat modul lampunya?" Rayna bertanya penasaran. Itu wajar karena Darren sudah terlihat termenung mengamati bagian modul lampu tersebut dua kali. Pertama saat membuka tadi dan kedua saat akan menutupnya sekarang ini. Rayna yakin ada yang sedang dipikirkan Darren soal modul itu. 

"Nggak apa-apa." 

"Hallah, bohong. Lo udah bengang-bengong kayak gitu lebih dari sekali. Ya kali nggak kenapa-kenapa. Lo kenapa?"

"Gue..." Dahi Darren mengernyit, lalu melirik kembali ke arah cover modul lampu di hadapannya. Setelah beberapa detik terjeda, ia melanjutkan perkataannya. "Kayaknya modul ini agak beda sama modul yang pernah gue lihat di Departemen Teknologi."

"Beda?" Rayna dan El bertanya bersamaan. 

Darren mengangguk, kemudian menatap wajah Rayna dan El bergantian. "Semua alat yang dibuat Departemen Teknologi itu pasti ada logo dari Departemen Teknologi. Sedangkan ini enggak."

"Emang semua lampu sorot pasti dibuat Departemen Teknologi?" Kali ini Rayna yang bertanya. Ia benar-benar masih merasa asing dengan rules dunia ini. 

Darren lagi-lagi mengangguk cepat. "Pasti."

"Kenapa pasti? Emang modul begini nggak bisa dijual bebas?"

"Iya. Modul ini cuma ada di lampu sorot lintas dimensi, dan semua lampu sorot lintas dimensi pasti dibuat oleh Departemen Teknologi karena mereka udah kerjasama dengan Teknologi Keamanan."

"Sorry, sorry. Lampu sorot lintas dimensi?" Lagi-lagi Rayna bertanya karena tidak paham. 

"Iya. Lampu sorot ini namanya lampu sorot lintas dimensi, karena namanya kepanjangan, gue, Zoya, dan El sering nyebutnya alat penampakan."

"Oh okee, tapi kenapa kalian nyebutnya alat penampakan?"

"Karena kalau ada manusia yang kesorot lampu ini, manusia itu bakalan bisa nampak di penglihatan para jin di sekitar mereka."

"Kok bisa manusianya jadi nampak?"

"Sebetulnya lampu sorot ini mekanismenya mirip kayak layar TV. Lo pernah bongkar TV?"

"Belum, sih. Tapi, gue tahu cara kerjanya. Di layar TV itu ada beberapa lapisan. Di lapisan terbelakang ada pancaran cahaya latar. Selain itu ada komponen lain juga yang namanya liquid crystal yang tugasnya nyortir dan muter-muterin cahaya yang mau diterusin. Bagian ini diatur tegangan listrik, nanti hasilnya bakalan munculin gambar-gambar pakai jutaan pixel. Tapi gambar hasil mati-nyalain jutaan pixel itu nggak bisa langsung dilihat tanpa adanya lapisan polarizer yang mengapit si liquid crystal."

"Benar. Kedua polarizer ini sensitif banget sama derajat sudut. Mereka berdua harus ada di posisi saling tegak lurus supaya bisa nampakin gambar hasil kerja liquid crystal."

"Setuju. Kalau searah, nanti layar TVnya jadi cuma putih aja kayak TV rusak."

"Nah, betul. Cara kerja alat penampakan itu kurang lebih begitu juga. Bedanya, kalau di TV ranahnya ngatur orientasi cahaya biar gambar di TV kelihatan jelas, kalau sorotan lampu ini ranahnya udah lintas dimensi buat ngontrol visibilitas kita di mata jin. Lampu yang tadi kita betulin, itu di dalamnya ada dimensional polarizing crystal yang bisa munculin sinyal atau pancaran yang bisa ditangkep penglihatan jin. Hasilnya, manusia yang kena sorot lampu ini, jadi bisa dilihat para jin. Di alat ini juga udah ada focusing lens array yang bikin konversinya jadi fokus ke area yang lagi disorot aja. Makanya yang bisa dilihat jin cuma manusia yang lagi kena sorot aja."

"Terus, kenapa manusia bisa lihat jin secara natural?"

"Itu karena secara harfiah dimensi dunia kita lebih tinggi dibanding dimensi dunia jin. Dimensi kita jauh lebih kompleks. Mata kita secara alami bisa menjangkau spectrum vision yang lebih luas dibanding jin. Kita bisa lihat multiple dimension layer karena dimensi jin ada di spektrum elektromagnetik yang masih bisa kita jangkau. Kita bisa lihat semua yang ada di dimensi kita dan dimensi jin, tapi jin cuma bisa lihat yang ada di dimensi mereka doang. Ibarat gampangnya, kalau kita bisa lihat semua warna kayak merah, kuning, hijau, dan seterusnya, tapi si jin cuma bisa lihat warna merah aja. Nah, waktu kita pakai alat ini, proyeksi kita bisa sampai ke dimensi jin yang akhirnya bikin mereka bisa lihat wujud kita."

"Terus kenapa harus diatur dua departemen tadi?"

"Mekanisme yang kita bahas tadi termasuk ke dalam kegiatan lintas dimensi. Semua kegiatan lintas dimensi pasti diawasi oleh Departemen Keamanan. Kenapa? Karena kalau tanpa diawasi dan tanpa regulasi bisa bahaya. Bisa berpotensi disalahgunakan pihak yang nggak bertanggung jawab."

"Oh, makanya modul dan alat ini jadi sangat premium sampai harus bener-bener dibuat dan diawasi langsung oleh kedua departemen itu?"

"Betul."

"Oh, wahh. Banyak hal di dunia ini yang belum gue tahu ya, dan hal-hal itu luar biasa banget. Kayak mimpi, tapi ternyata beneran kejadian."

"Yaa, begitu lah."

"Tapi, kenapa alatnya Zoya nggak ada logonya? Apa mungkin udah kekelupas? Alatnya udah lama, kan?" Rayna jadi memikirkan kemungkinan yang terjadi. Dilihat dari bentukan alatnya yang memang jauh dari kata baru sih memang cuma dugaan itu yang bisa muncul di kepala Rayna. 

Darren mengedikkan bahu, bingung juga kenapa alat itu bisa tidak ada logo Departemen Teknologi. Setelah saling pandang kembali dengan El, Darren baru menjawab perkataan Rayna. "Ya, mungkin aja." Kemudian, ia meminum habis cokelat panas yang tadi masih tersisa setengah cangkir. 

"Nanti kita bahas lagi soal teknologi-teknologi itu. Udah mau pagi. Lo harus istirahat. Nanti sakit. Sana masuk ke kamar." Darren menyudahi percakapan soal aturan-aturan yang belum Rayna tahu. Meski ia juga masih penasaran kenapa modul lampu alat di hadapannya tidak ada logo milik Departemen Teknologi. 

"Lo juga masuk kamar, El. Tidur lagi. Subuh masih jauh." Darren juga sempat memerintahkan Ezrielle untuk kembali istirahat. 

Tanpa pikir panjang, Ezrielle langsung mengiyakan perintah saudara kembarnya dan bersiap memasuki kamar yang biasa ia tempati jika sedang menginap di rumah Zoya. Namun, tidak dengan Rayna. Ia masih saja berdiri mematung tanpa ada niatan untuk memasuki kembali kamar tamu. 

"Kenapa, Ray?" Darren menyadari kegelisahan di wajah Rayna. 

"Gue belum ngantuk."

Mata Darren menyipit memperhatikan wajah Rayna. "Bohong. Mata lo udah merah gitu. Nggak mungkin nggak ngantuk. Tidur, Ray," ucap Darren yakin. 

Oke, sekarang Rayna betulan bingung harus menjawab apa lagi. Alasan memperbaiki lampu sudah expired untuk digunakan. Alasan belum mengantuk ternyata sangat tidak relevan dengan matanya yang tidak bisa diajak berakting ini. Lalu, alasan apa lagi yang harus dilontarkannya agar bisa menghindari kamar terkutuk itu?

"Kenapa, Ray?" Kali ini El yang bertanya. Ia mendekati Rayna dan memegang pundaknya. 

"Gue sebenernya nggak nyaman di situ. Banyak jinnya. Enakan di sini. Clear."

Sedetik kemudian, El dan Darren tertawa. Mereka tidak menyangka kalau ternyata alasan sesimpel itu lah yang membuat Rayna bersikukuh menolak untuk tidur sejak tadi. 

"Lo beneran aneh ya ternyata, Ray. Manusia,  tapi bisa setakut itu lihat jin," ujar Darren masih dengan kekehannya. Ia kemudian berjalan menuju pintu kamar tamu. El memegang lengan Rayna dan perlahan menariknya ke tempat Darren berdiri. 

"Nggak usah takut, karena..." Darren membuka lebar pintu kamar tersebut, lalu perlahan memasukinya. Setelah Rayna dan El iku masuk ke kamar, Darren melanjutkan kalimatnya. "Walaupun gue, El, Zoya udah biasa lihat jin, kami juga kadang ngerasa terganggu kok kalau mau tidur. Jadi, di setiap rumah, bahkan di setiap ruangannya, kita pakai ini."

Tangan kanan Darren menunjukkan sebuah alat kontrol yang tertempel di dinding. Bentuknya seperti kontroler kecepatan kipas angin atap. Bisa diputar 360 derajat untuk mengatur intensitas sesuatu yang Rayna juga belum tahu apa itu. 

El tersenyum. Ia mendekati tempat berdirinya Darren, kemudian memutar-mutar lingkaran yang berada di alat kontrol tersebut. "Ini namanya alat buta. Semacam tabir buat penglihatan kita supaya gak keganggu visual jin yang suka tiba-tiba lalu-lalang pas kita tidur. Lo bisa atur intensitas tabirnya. Semakin tinggi, semakin nggak kelihatan juga jin-jin itu. Kayak di ruang tamu yang lo bilang clear tadi. Itu sebenernya kita juga aktifin alat begini di ruang tamu." jelas El singkat soal kegunaan alat yang sedang dikontrolnya. 

Mata Rayna terbelalak lebar saat El memutar pengontrolnya ke intensitas maksimal. Jin-jin yang tadinya terlihat berlalu-lalang, kini bisa hilang seketika setelah disinari lampu besar yang berada di ujung sudut kamar. Lampu yang tadi sempat ia kira sebagai pajangan, ternyata memiliki kegunaan yang sangat luar biasa. 

Ternyata ada alat yang Rayna Friendly juga di sini. Gue nggak lain-lain amat rupanya. 

Rayna tersenyum terharu. "El, Darren, makasih banyak. Makasih udah selalu bantu gue. Gue nggak tahu bakalan tidur ngegembel di mana kalau tadi nggak ketemu kalian."

"Santai, Zoya juga pasti bakalan ikut bantu lo kok. Dia pasti bakalan bolehin lo gabung ke tim ini. Tenang aja." Darren tersenyum tipis. 

Dahi Rayna sontak berkerut. "Darren, Jangan! Gue nggak mau ada perang lagi di antara kalian."

"Chill. Gue yakin bakalan boleh. Tenang aja. Besok semua masalah bakalan selesai."

Hehe. Selesai ya, Darren? Ayo, saatnya tebak-tebakan, Ray! Besok masalahnya yang selesai atau justru elo yang selesai digeprek Zoya? 

-• To be continued •-

___________________________________

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
PALETTE
528      288     3     
Fantasy
Sinting, gila, gesrek adalah definisi yang tepat untuk kelas 11 IPA A. Rasa-rasanya mereka emang cuma punya satu brain-cell yang dipake bareng-bareng. Gak masalah, toh Moana juga cuek dan ga pedulian orangnya. Lantas bagaimana kalau sebenarnya mereka adalah sekumpulan penyihir yang hobinya ikutan misi bunuh diri? Gak masalah, toh Moana ga akan terlibat dalam setiap misi bodoh itu. Iya...
Doa
442      321     3     
Short Story
Berhati-hatilah dengan segala pemikiran gelap di dalam kepalamu. Jika memang sebabnya adalah doa mereka ....
Tembung Lakar
445      339     1     
Mystery
P.S: Edisi buku cetak bisa Pre-Order via Instagram penulis @keefe_rd. Tersedia juga di Google Play Books. Kunjungi blog penulis untuk informasi selengkapnya https://keeferd.wordpress.com/ Sinopsis: Dahulu kala di Kampung Jinem, dipercaya ada kedatangan Sanghyang Asri. Padi layu menjadi subur. Kehidupan rakyat menjadi makmur. Kedatangan sang dewi membawa berkah bagi desa. Terciptalah legenda ...
The Boy Between the Pages
912      667     0     
Romance
Aruna Kanissa, mahasiswi pemalu jurusan pendidikan Bahasa Inggris, tak pernah benar-benar ingin menjadi guru. Mimpinya adalah menulis buku anak-anak. Dunia nyatanya membosankan, kecuali saat ia berada di perpustakaantempat di mana ia pertama kali jatuh cinta, lewat surat-surat rahasia yang ia temukan tersembunyi dalam buku Anne of Green Gables. Tapi sang penulis surat menghilang begitu saja, meni...
STORY ABOUT THREE BOYS AND A MAN
14611      2950     34     
Romance
Kehidupan Perkasa Bagus Hartawan, atau biasa disapa Bagus, kadang tidak sesuai dengan namanya. Cintanya dikhianati oleh gadis yang dikejar sampai ke Osaka, Jepang. Belum lagi, dia punya orang tua yang super konyol. Papinya. Dia adalah manusia paling happy sedunia, sekaligus paling tidak masuk akal. Bagus adalah anak pertama, tentu saja dia menjadi panutan bagi kedua adiknya- Anggun dan Faiz. Pan...
Mapel di Musim Gugur
457      327     0     
Short Story
Tidak ada yang berbeda dari musim gugur tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali senyuman terindah. Sebuah senyuman yang tidak mampu lagi kuraih.
Black Envelope
365      251     1     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Tembak, Jangan?
254      213     0     
Romance
"Kalau kamu suka sama dia, sudah tembak aja. Aku rela kok asal kamu yang membahagiakan dia." A'an terdiam seribu bahasa. Kalimat yang dia dengar sendiri dari sahabatnya justru terdengar amat menyakitkan baginya. Bagaimana mungkin, dia bisa bahagia di atas leburnya hati orang lain.
Pesta Merah
486      343     1     
Short Story
Ada dua pilihan ketika seseorang merenggut orang yang kamu sayangi, yaitu membalas atau memaafkan. Jika itu kamu dan kamu dapat melakukan keduanya?, pilihan manakah yang kamu pilih?
CHERRY & BAKERY (PART 1)
4222      1135     2     
Romance
Vella Amerta—pindah ke Jakarta sebagai siswi SMA 45. Tanpa ia duga kehidupannya menjadi rumit sejak awal semester di tahun keduanya. Setiap hari dia harus bertemu dengan Yoshinaga Febriyan alias Aga. Tidak disangka, cowok cuek yang juga saingan abadinya sejak jaman SMP itu justru menjadi tetangga barunya. Kehidupan Vella semakin kompleks saat Indra mengajaknya untuk mengikuti les membuat cu...