Namanya Universitas Matahari. Sebuah universitas yang kini menjadi tempat kaki ini berpijak melangkah ke dunia yang lebih luas. Dunia dimana mimpi dan harapan selama dua tahun yang lalu aku ingnkan untuk mewujudkannya. Ya, apalagi jika bukan karena jurusan seni rupanya yang terkenal dan menjadi dambaan setiap orang untuk bisa menjadi mahasiswa di dalamnya. Sebuah universitas swasta nomor satu di negeri ini.
Ah, sudahlah. Hentikan saja membahas mengenai universitas terbaik dan ternama itu, karena saat ini, di mataku universitas ini adalah tempat yang menuntunku dalam bahaya hingga mempertaruhkan nyawa. Jangan bercanda? Tentu saja tidak, lalu untuk apa aku yang saat ini sedang berada di atas salah satu gedung tertinggi di universitas ini dengan julukannya yang bernama Gedung Kembar. Lalu, hanya sebatas beberapa mili saja maka tubuh ini akan segera terjun bebas ke dasar danau yang berada di balik gedung yang megah dan menjadi salah satu kebanggaan setiap mahasiswa di sini.
Ah sudahlah, lagipula sebentar lagi mungin aku akan mati. Mimpi dan harapan? Entahlah, mungkin aku harus segera menyerah karena tak bisa menyelesaikan status mahasiswa seni rupa dan kelak menjadi dosen dan seniman terkenal suatu hari. Sudahlah, aku akan menyerah dengan mimpi yang telah membuat dua tahunku musnah layanya hembusan angin yang ta terlihat, namun terasa sekali menyakitkannya.
“Affa! Bertahanlah! Aku, aku akan…”
Aku tak bisa mendengar dengan jelas suara yang memanggil-manggil namaku itu karena sibuk dengan tangis dan air mata yang turun tanpa di undang membanjir wajahku. Perlahan, telingaku seakan menutup semua suara yang akan masuk dan menyibukkan diri dengan takdir yang tak di undang yang dinamakan dengan kematian. Ah, beginilah rasanya ketika kematian ingin mengajak kita pergi meninggalkan dunia? Apakah hanya sampai di sini takdirku untuk hidup? Di universitas yang selama ini aku impikan dan juga…
“Gadis kecil!” suara itu lagi, namun kini panggilannya berbeda, bukan namaku yang terdengar namun..
“Gadis kecil! Hei, gadis kecil!” lagi. Ah, sepertinya aku ingat suara ini. Suara seseorang yang menyeretku, tidak, melainkan yang menuntunku dalam perjalanan mewujudkan mimpiku. Suara ini, aku sangat mengenalnya. Jadi, apakah aku tak akan mati jika suara seseorang yang memanggilku inilah yang akan menolongku dan menyelamatkan nyawaku? Oke, kita akan kembali pada masa yang mana semua ini seharusnya tidak terjadi. Waktu yang seharusnya tak pernah terjadi. Setahun yang lalu..
***
Pukul 16.00 sore…
Terlambat. Gedung besar dan luas itu kini terlihat lengang. Bahkan sama sekali tak aku temukan segelintir manusia di ruangan yang seharusnya memperlihatkan pengumuman penerimaan mahasiswa baru di Universitas Matahari ini. Ya, maaf aku ketiduran karena lelah belajar mengikuti tes masuk yang begitu ketat.
Aku berlari kecil berharap menemukan seseorang di ruangan lain. BRUGH!!! Tubuhku terjatuh setelah menabrak seseorang yang tiba-tiba keluar dari lift. Ah, kesal. Aku mendongak ingin memaki orang itu, namun sebuah suara mendahuluinya.
“Hei gadis kecil, maaf membuatmu terjatuh. Boleh aku bantu?”
“Aku bukan gadis kecil!” jawabku seraya mengibaskan uluran tangannya dan berusaha berdiri. Raut wajahnya berubah seketika setelah mendengar suaraku. Sepertinya dia terkejut.
“Hei, suaramu.. imut sekali!” pekiknya diiringi dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Tanpa menanggapinya, aku langsung pergi meninggalkannya begitu saja. Apalagi kalau bukan karena malu dan kesal.
“Apakah namamu, Affa?!” teriaknya yang membuat gema di ruangan yang sepi itu. Diiringi senyumnya yang entah kenapa membuat mulutku bungkam, dia menyerahkan sebuah kartu ujian.
“Aku temukan ini di bawah kakiku. Apakah ini milikmu?” tanyanya lagi sambil sedikit berjongkok ke arahku.
“Jadi, kamu salah satu calon mahasiswa baru di universitas ini? Apakah kau ingin melihat pengumuman penerimaan mahasiswa?” seronohnya seraya mengamati tubuhku dari ujung rambut sampai sepatu. “Ikutlah denganku. Akan aku tunjukkan tempatnya.” lanjut si cowok itu sambil tersenyum.
“Tu-tunggu! Siapa kau?”
“Aku? Aku seorang mahasiswa. Kau bisa memanggilku Red.” Hmm… nama yang aneh.
Pukul 16.30 sore…
Aku mengekor mengikuti si cowok menyebalkan –Red- yang terlihat tangkas dan cekatan menyalakan lampu dan membuka laci di meja panjang di ruangan berdinding kaca di lantai tiga. Dia mengeluarkan sebuah stopmap yang tertulis sebuah nama. Namaku?
“Selamat ya. Kau diterima menjadi mahasiswa baru di universitas ini, Affa…” sebuah suara membuatku terbangun dari rasa tak percayaku ketika melihat secarik kertas di dalam stopmap yang tertulis kata LULUS dan DITERIMA. Ah, senangnya. Jadi inikah yang dinamakan bahagia itu?
Pukul 17.00 sore…
“Baiklah, sampai di sini pertemuan kita. Semoga kita bisa berjumpa lagi, gadis kecil.” Aku harap tidak. Batinku menjawab cepat. Seraya kembali tersenyum padaku dia melambaikan tangannya dan berlari kecil meninggalkanku begitu saja.
Mataku tertuju pada secarik kertas lusuh yang terjatuh di lantai setelah kepergiannya. Apakah itu miliknya? Akupun berusaha mengejarnya sebelum dia benar-benar menghilang. Kaki ini terhenti ketika mendengar suara ribut di belakang gedung. Ternyata Red sedang berkelahi dengan lima orang berpenutup kepala dan pakaian yang serba hitam. Siapa mereka? Dan sepersekian detikan berikutnya pemandangan yang aku lihat berikutnya adalah, kelima orang berpakaian serba hitam itu kini telah memasukkan tubuh Red ke dalam karung, membawanya pergi, dan menghilang di balik semak-semak. Oh tidak, apa yang harus aku lakukan?
Pukul 18.00…
Nekat, aku berlari menerobos semak-semak mengikuti mereka yang ternyata menuju ke sebuah gedung tua. Aku memutuskan untuk menolong Red walaupun aku baru mengenalnya satu setengah jam yang lalu. Entahlah aku juga tak mengerti.
Tiba-tiba telinga ini mendengar suara pintu besi berkarat terbuka, diiringi gerutu beberapa orang yang keluar dari gedung tua dan pergi menjauh. Aku pun memutuskan untuk masuk ke dalam. Aku mengabaikan barang-barang tak terpakai seperti kursi, meja, dan buku yang terlihat berserakan dimana-mana.
Kaki ini tiba di ruangan lain yang terdapat sebuah cahaya remang-remang menggantung di atap. Seseorang berada di bawahnya. Aku terkejut bukan main. Napasku tertahan, begitu pula dengan kedua bola mataku yang terbelalak tak percaya dengan pemandangan yang baru pertama kali aku lihat.
Red terlihat diam tak bergerak dengan kedua tangan terikat tali yang terpasang ke atap yang membuat tubuhnya menggantung. Bajunya terlihat kotor dan koyak di beberapa bagian dengan rambut yang acak-acakan. Wajahnya pun penuh lebam dan darah yang menetes hingga ke lantai. Aku pun jatuh terduduk tak bisa menahan tubuhku yang gemetar hebat. Apakah dia sudah mati?