Loading...
Logo TinLit
Read Story - Unframed
MENU
About Us  

Sebuah panggilan masuk pada ponsel milik Sera menjelang pukul sepuluh malam. Dengan gerak malas, Sera mengambil benda pipih itu untuk melihat siapa yang menghubunginya pada jam-jam seperti ini. Layar ponsel itu menyala dengan nama yang sudah ia tunggu berhari hari.

Rafa.

Seketika, Sera bangkit dari posisi tidurnya, dan duduk bersandar pada ranjangnya. Ia menjawab panggilan itu dengan suara yang sedikit bergetar. “Halo?” Suaranya lirih.

“Ser,” Suara di seberang telepon terdengar serak dan berat. “Sorry.”

Sera menghela napas lega. Setelah berhari-hari, Rafa akhirnya menghubunginya. Setelah berhari-hari, ketakutan-ketakutan dalam kepala Sera akhirnya menghilang begitu saja, bersama sebuah maaf yang datang dari mulut Rafa.

“Lo dari mana aja sih, Raf? Gue khawatir. Gue nyariin lo kesana-kemari.”

“Gue tahu,” potong Rafa lirih. “Gue udah baca semua chat yang lo kirim ke gue. Sorry udah bikin lo khawatir.”

Sera menggigit bibir bawahnya, mencoba sekuat tenaga untuk menahan agar tangisnya tidak pecah. “Are you okay? Gue tahu ini pertanyaan bodoh. Tapi ... lo beneran masih hidup, kan? Gue nggak lagi mimpi, kan?”

Rafa terkekeh sebentar. Lalu, ia terdiam cukup lama. “Keadaan gue seburuk itu ya, sampai-sampai lo ngeluarin pertanyaan semacam itu?” katanya, lalu kembali terdengar kekehan singkat di ujung kalimatnya.

“Ser,” panggil Rafa lagi, sebab Sera tidak mengatakan apa-apa.

“Iya, gue di sini.”

“Gue ngelukis sesuatu buat lo. Gue baru selesain lukisan ini sebelum memutuskan buat pulang ke rumah. Gue tahu ini terengar bodoh dan pengecut karena gue ngomong hal-hal semacam ini lewat telepon.”

“Ngelukis apa? Boleh gue lihat?”

“Boleh, karena emang lukisan ini buat lo.” Rafa menghela napas di seberang telepon. “Lukisan wajah lo, sih. Cantik,” katanya. Lalu, ada jeda panjang di sana.

“Mungkin lo udah tahu soal ini, tapi lo cuma pura-pura bodoh. Tapi, Ser, gue pengen bilang langsung dari mulut gue. Setidaknya biar nggak ada penyesalan lain dalam hidup gue.”

“Raf—”

“Gue suka sama lo, Ser,” potong Rafa. “Gue nggak minta lo buat balas perasaan gue. Gue juga nggak mau lo terbebani dengan ini. Gue cuma lagi berusaha mengeluarkan satu-satu apa yang bikin hati gue berat selama ini.”

“Gue minta maaf,” kata Sera lirih, nyaris seperti bisikan.

You have’t to, Ser. Gue tahu lo suka sama Hilmy.”

Ketika Rafa mengatakan itu, Sera membeku di tempatnya. Sejak kapan? Apa perasaannya begitu ketara? Apa Hilmy juga mengetahui hal itu?

Kembali terdengar kekehan dari seberang telepon.

“Nggak usah kaget gitu, Ser.” Rafa menghela napas panjang. “Wah ... ternyata lega banget setelah ngomong soal ini,” katanya.

“Raf,” panggil Sera lirih. “Need some hug?”

“Kalau gue bilang iya, emang lo mau ke sini?”

“Gue pakai jaket sekarang. Jangan kemana-mana. Gue ke rumah lo.”

Lalu, Sera memutus sambungan teleponnya. Ia bergegas mengambil jaket dan kunci motornya, untuk pergi menemui Rafa di rumahnya.

Namun, tepat ketika Sera menutup pintu rumahnya, ia mendapati Hilmy berdiri di depan pagar. Jadi dengan langkah ragu Sera mendekati laki-laki yang kini sedang membelakanginya itu.

“Hilmy?”

Laki-laki itu sama terkejutnya dengan Sera. Jadi, yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah tertawa pelan sambil menggaruk pelipisnya.

“Kenapa nggak bilang kalau lo ada di sini? Udah lama?” tanya Sera.

“Nggak, gue baru datang. Tadi gue habis nengokin Jonathan di rumahnya, karena gue pikir dia pasti kesepian dan pikirannya lagi kalut bangat. Terus, nggak tau deh, kenapa motor gue malah ke sini bukannya pulang ke rumah,” katanya panjang lebar. “Tadinya gue mau telepon, tapi gue takut lo udah tidur dan jadi keganggu.”

“Lo mau pergi? Kemana?” tanya Rafa, sebelum Sera sempat mengatakan apa-apa.

“Ke rumah Rafa. Barusan dia telepon gue. Dia baru aja pulang.”

“Mau gue anterin?”

Sera tampak menimbang-nimbang tawaran itu. Namun, mengingat saat ini sudah terlalu malam untuknya berkendara sendirian, Sera akhirnya menerima tawaran itu.

“Jadi dia kemana beberapa hari ini, Ser?” tanya Hilmy ketika motornya telah melaju di tengah dinginnya malam itu.

“Gue belum tanya, Hil. Tapi gue lega dia baik-baik aja.”

Hilmy hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Ngomong-ngomong, Jonathan gimana, Hil? Dia baik-baik aja?”

“Ya gitu deh, Ser. Bohong banget kalau gue bilang dia baik-baik aja. Dia pasti lagi pusing karena teranca drop out. Tapi tadi dia udah bisa ketawa, kok. Bokapnya juga nggak ada di rumah, katanya nggak pulang dari kemarin. Nggak tahu kemana.”

Sera mengangguk beberapa kali. Lalu, tidak ada lagi yang keluar dari mulut masing-masing. Mereka menikmati udara malam itu dengan perasaan yang sedikit lega, sebab pencarian Rafa telah berakhir, dan keadaan Jonathan tidak lebih buruk dari sebelumnya.

Setelah berkendara dalam keheningan panjang itu, mereka kini sampai pada tempat tinggal Rafa. Saking bahagianya, sampai-sampai Sera lupa bahwa seharusnya Hilmy tidak di sini. Bahwa seharusnya Rafa tidak tahu soal Sera yang telah menceritakan tentang kondisinya. Namun, nasi telah menjadi bubur. Hidup memang tidak pernah bisa berjalan terlalu mulus.

Pintu rumah itu dibuka oleh Rafa sendiri, sebab sejak tadi ia telah menunggu kedatangan Sera di ruang tamu. Ia menggunakan kaos berlengan pendek, hingga luka-luka baru dan bekas luka lama terlihat jelas di sepanjang lengannya.

Ini adalah kali pertama Hilmy melihat Rafa mengenakan baju berlengan pendek, dan kali pertamanya pula melihat luka-luka itu.

Melihat Hilmy yang berjalan mengekori Sera, Rafa mengernyit. Senyum yang tadi terulas perlahan menghilang dari wajahnya.

“Ser?” Rafa bersuara dengan keningnya yang mengernyit. “Gue pikir lo datang sendiri.”

Mendengar itu, Sera tersadar. Harusnya Rafa tidak melihat Hilmy.

“Raf, gue—”

Sera berusaha untuk meraih lengan Rafa, tapi laki-laki itu mengelak. Ia mengambil satu langkah mundur, dan menatap Hilmy datar.

“Sorry,” kata Hilmy. “Tadi kebetulan gue mampir pas Sera mau pergi. Gue yang maksa buat nganterin dia, karena ini terlalu malem buat cewek berkendara sendirian.”

Setelah mengatakan itu, Hilmy sempat melirik sekilas pada luka-luka yang ada di lengan Rafa. Ketika itu, Rafa cepat-cepat menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggung.

Lalu, Rafa tersenyum sinis. “Ngelihat lo nggak kaget sama luka-luka ini,” katanya sambil menunjukkan kedua tanggannya pada Hilmy. “Kayaknya Sera udah cerita semua soal gue, ya?”

“Raf—”

“Sejak kapan, Ser?” putus Rafa. “Sejak kapan dia tahu soal gue? Lo nyari gue sambil berkeliling bikin pengumuman soal kondisi gue? Soal gue yang desperate dan gila ini?”

“Nggak ada yang pernah bilang kalau lo gila, Rafa!” kata Sera tegas.

“Berapa banyak orang yang udah lo ceritain soal kondisi gue? Gimana tanggapan mereka?” Rafa terkekeh. Ia mengedarkan pandangannya kemana saja, asalh matanya tidak bertemu dengan milik Sera. “Wah ... padahal gue pikir lo satu-satunya orang di dunia ini yang bisa gue percaya. Ternyata lo sama aja. Nggak bisa dipercaya.”

“Tapi ini Hilmy, Raf. Dia bukan orang lain buat kita, dan dia nggak akan menghakimi lo.” Sera mencoba mendekati Rafa, tapi laki-laki itu kembali mundur satu langkah. “Kita udah temenan sama Hilmy bertahun-tahun, Raf. Dan lo sendiri yang bilang kalau lo bakalan terbuka sama temen-temen kita yang lain.”

Rafa mengepalkan tangannya. “Tapi itu hidup gue, Ser. Cerita yang lo bagikan ke temen kita itu, cerita gue. Gue yang berhak memutuskan kapan mereka boleh tahu soal itu atau nggak!”

“Raf, jangan berlebihan. Dia cerita soal kondisi lo cuma karena lagi kalut nyari lo kemana-mana. Dia nggak bisa minta bantuan siapa-siapa karena nggak ada yang tahu soal hidup lo,” kata Hilmy.

Rafa terdiam. Ia mengerutkan kening sambil menatap Hilmy, lalu tertawa setelahnya, “Lo lihat,” katanya pada Sera. “Belum apa-apa dia udah bilang gue berlebihan. Yakin dia nggak akan menghakimi gue?”

“Gue rasa lo masih butuh waktu sendiri, Raf,” kata Sera. “Gue pulang aja, kabarin gue kalau peraaan lo udah lebih baik.”

“Lo udah capek kan sama gue, Ser?” Pertanyaan Rafa membuat Sera menghentikan langkahnya yang baru saja berniat pergi. “Lo udah bosen jadi sandaran gue dan lo lagi cari-cari alasan buat pergi dari gue.”

“Terserah, Raf,” Sera benar-benar telah kehabisan tenaga. Tidak ada apapun lagi yang bisa keluar dari mulutnya selain itu. “Terserah lo mau mikir gimana soal gue. Harusnya emang gue nggak usah terlalu seneng dan cepet-cepet buat datang ke sini.”

Sera berbalik, dan berkata lirih pada Hilmy. “Anterin gue pulang.”

Hilmy menatap Rafa tak percaya. “Lo tahu nggak, kalau sekarang lo lagi egois banget? Lo nggak tahu seberapa putus asanya Sera nyari lo beberapa hari ini. Dan ini balasan paling bagus yang bisa lo kasih ke Sera?”

Rafa tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap datar pada Hilmy.

“Lo emang lagi nggak waras.”

Setelah mengatakan itu, Hilmy beranjak untuk menyusul Sera.

*** 

Pukul sebelas, Hilmy dan Sera masih berjalan menyusuri jalan Mahakam. Setelah memarkirkan motornya, Sera mengajak Sera untuk berjalan kaki menyusuri jalan-jalan yang semakin malam justru semakin ramai itu. Tidak ada yang berbicara di sana. Keheningan yang melanda mereka, hanya diisi oleh suara gitar dari seorang pengamen yang berada tak jauh dari mereka, dan suara lirih orang-orang yang tertawa bersama kerabatnya. Lalu, Hilmy membawa langkah kaki mereka menuju sebauah minimarket yang berada di ujung jalan.

Paddle pop rainbow kesukaan Neng Sera,” kata Hilmy, sambil menyodorkan sebuah es krim pada Sera yang sedang duduk di tepian trotoar.

Hilmy terkekeh sebentar, lalu menepuk pinggiran trotoar di sampingnya— meminta Hilmy untuk duduk. Mereka menikmati es krim pada pukul sebelas malam, di samping tong sampah berwarna hijau, yang aromanya telah berdamai dengan angin malam Jakarta.

“Lo tau nggak?” kata Hilmy sambil menikmati es krimnya. “Kadang yang bisa bikin kita calming down tuh, bukan kata-kata penenang atau tepukan di bahu.”

“Terus apa?” tanya Sera tanpa menoleh.

“Ya kayak gini. Duduk di pinggiran trotoar sambil makan es krim. Ngelihatin orang-orang yang lewat. Nggak mikirin apa-apa, cuma fokus buat ngabisin es krim yang kalau nggak cepet-cepet bakalan leleh kemana-mana.”

Sera terkekeh pelan. “Selain duit sepuluh ribu bisa biki lo bahagia, makan es krim di samping tong sampah gini ternyata bikin lo tenang, ya?”

“Yoi,” sahut Hilmy setelah ikut terkekeh sejenak. “Gue baru tahu kalau jalan-jalan di Jakarta malem-malem gini tuh bikin bahagia. Tahu nggak, kenapa bikin gue bahagia?”

“Karena jalan-jalannya sama gue?” Sera menoleh pada Hilmy. Sementara di sampingnya, Hilmy terus menatap lurus ke depan sambil menahan senyumannya. Lalu, ia menggeleng dramatis.

“Gue suka percaya diri lo itu. Tapi sayangnya, bukan itu alasannya,” katanya.

“Ya terus apa, dong?”

“Karena kalau malam gini banyak banget yang jual makanan. Perut gue jadi terjamin,” katanya, mengundak gelak dari Sera. “Nah, gitu! Gue suka lo ketawa gitu!”

“Bang, Bang!” Hilmy tiba-tiba memanggil seorang pengamen. “Gue boleh sewa gitarnya? 50 ribu satu lagu,” katanya.

Pengamen itu jelas mengangguk mantap. Sementara di samping Hilmy, Sera kembali tertawa. Laki-laki gila mana yang mau menyewa gitar seorang pengamen di tengah keramaian begini? Hanya Hilmy yang mau. Tidak ada lagi.

Setelah menerima gitar dari pengamen itu, Hilmy mulai memetik senarnya. Ia menyanyikan lagu-lagu cinta yang terdengar menyenangkan dan menenangkan. Entah berapa lagu yang telah ia mainkan. Namun, setelah menyelesaikan lagunya yang terakhir dan mengembalikan gitar itu pada pemiliknya, Hilmy tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Bukan, bukan karena ia tidak mau menepati janjinya untuk membayar. Namun, karena pengamen itu berakhir mendapatkan uang lebih banyak dari sekedar lima puluh ribu, dari orang-orang yang turut mendengarkan lagu-lagu cinta dari Hilmy.

“Jika engkau minta intan permata
Tak mungkin ku mampu
Tapi, Sayang, kan kucapai bintang
Dari langit untukmu”

“Jika engkau minta satu dunia akan kucoba
Ku hanya mampu jadi milikmu
Pastikan kau bahagia”

“Hati ini bukan milikku lagi
Seribu tahun pun akan ku nantikan kamu”

Seperti lagu cinta terakhir yang Hilmy nyanyikan, ia sungguh akan memberikan apa saja miliknya, hanya untuk melihat Sera tertawa bahagia.

***

Sementara itu, di dalam kamarnya yang sunyi, Rafa duduk diam di dekat lukisan yang ia tutup dengan kain putih itu. Ia menatap kanvas itu lama, sebelum akhirnya berdiri dan membuka penutupnya.

Di balik kain putih itu, tergambar sosok perempuan yang duduk bersandar pada pohon, dengan tangannya yang menggenggam bunga matahari yang nyaris layu. Latar belakangnya buram, seolah Rafa melihat sosok itu sebagai satu-satunya yang bersinar dalam dunianya yang gelap.

Rafa menatap lukisan itu sangat lama. “Padahal malam ini gue pengen bilang makasih. Tapi gue malah marah-marah kayak gitu,” katanya lirih.

Kemudian, Rafa kembali menutup lukisan itu dengan kain putihnya. Ia membuka ponselnya, dan menggulir room chat-nya bersama Sera.

“Maaf ...”

Rafa mengetikkan satu kata itu, lalu menghapusnya begitu saja, tanpa sempat mengirimkannya. Ia membiarkan kata itu terus bergema dalam kepalanya sendiri, alih-alih membiarkannya sampai pada Sera.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Under The Moonlight
2164      1081     2     
Romance
Ini kisah tentang Yul dan Hyori. Dua sahabat yang tak terpisahkan. Dua sahabat yang selalu berbagi mimpi dan tawa. Hingga keduanya tak sadar ‘ada perasaan lain’ yang tumbuh diantara mereka. Hingga keduanya lupa dengan ungkapan ‘there is no real friendship between girl and boy’ Akankah keduanya mampu melewati batas sahabat yang selama ini membelenggu keduanya? Bagaimana bisa aku m...
Keep Moving Forward or Nothing
528      352     0     
Short Story
Ketika pilihanmu menentukan segalanya. Persahabatanmu menguatkannya. Kau akan terus maju atau tidak mendapatkan apa-apa.
Teori dan Filosofi
955      574     4     
Short Story
Kak Ian adalah pria misterius yang kutemui di meja wawancara calon penerima beasiswa. Suaranya dingin, dan matanya sehitam obsidian, tanpa ekspresi atau emosi. Tapi hal tak terduga terjadi di antara dia, aku, dan Kak Wijaya, sang ahli biologi...
Deep End
40      38     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Aromantic Roomates
155      139     1     
Non Fiction
Raya dan Rafa sahabat sejak kecil yang tak pernah terpisahkan Suatu saat keduanya diperhadapkan dengan masalah orang dewasa pada umumnya pernikahan Raya dan Rafa yang tak pernah merasakan jatuh cinta memutuskan untuk menikah demi menyelesaikan masalah mereka Akankah takdir membuat keduanya saling mencintai atau akankah perasaan mereka tetap pada tempatnya hingga akhir
A Poem For Blue Day
205      154     5     
Romance
Pada hari pertama MOS, Klaudia dan Ren kembali bertemu di satu sekolah yang sama setelah berpisah bertahun-tahun. Mulai hari itu juga, rivalitas mereka yang sudah terputus lama terjalin lagi - kali ini jauh lebih ambisius - karena mereka ditakdirkan menjadi teman satu kelas. Hubungan mencolok mereka membuat hampir seantero sekolah tahu siapa mereka; sama-sama juara kelas, sang ketua klub, kebang...
Kepak Sayap yang Hilang
112      105     1     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Communicare
12334      1746     6     
Romance
Menceritakan 7 gadis yang sudah bersahabat hampir lebih dari 10 tahun, dan sekarang mereka dipersatukan kembali di kampus yang sama setelah 6 tahun mereka bersekolah ditempat yang berbeda-beda. Karena kebetulan mereka akan kuliah di kampus yang sama, maka mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Seperti yang pernah mereka inginkan dulu saat masih duduk di sekolah dasar. Permasalahan-permasalah...
Sampai Kau Jadi Miliku
1650      775     0     
Romance
Ini cerita tentang para penghuni SMA Citra Buana dalam mengejar apa yang mereka inginkan. Tidak hanya tentang asmara tentunya, namun juga cita-cita, kebanggaan, persahabatan, dan keluarga. Rena terjebak di antara dua pangeran sekolah, Al terjebak dalam kesakitan masa lalu nya, Rama terjebak dalam dirinya yang sekarang, Beny terjebak dalam cinta sepihak, Melly terjebak dalam prinsipnya, Karina ...
Manusia Air Mata
973      595     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...