Udara malam yang lembap dan aroma karbol menyatu dalam dinginnya ruang tunggu rumah sakit malam ini. Kirana sedang duduk di bangku sambil meremat jemarinya, ketika Abimanyu dan teman-temannya sampai di sana. Tidak ada yang keluar dari mulut Kirana, bahkan ketika ia telah melihat semua temannya berada ruangan yang sama dengannya. Sera menjadi orang pertama yang duduk di samping Kirana dan menggenggam tangannya erat. Tidak ada yang tahu apa yang baru saja terjadi. Semuanya sibuk menerka dalam kepala masing-masing. Namun, melihat bagaimana wajah sembab Kirana, mereka tahu sesuatu yang tidak baik baru saja terjadi.
“Wuih, rame,” kata Karyo ketika ia baru saja keluar dari ruang perawatan Jonathan.
Mendengar suara Karyo, semua orang yang tadinya sedang menatap Kirana kini mengalihkan pandangannya pada laki-laki itu.
“Gua Karyo, pelatih Jonathan. Dia baik-baik aja. Kata dokter, untungnya kagak ada luka dalam. Tapi dia sekarang masih kesakitan kalau gerak.” Karyo menghela napas, ketika mendapati Kirana masih tertunduk di bangkunya. “Kir, lu beneran kagak mau masuk? Jonathan nanyain lu itu di dalam.”
“Tunggu, tunggu,” sela Hilmy. “Pelatih apa maksudnya? Ini Jonathan kenapa? Kecelakaan? Digebukin orang? Atau kenapa?”
“Lah? Kirana kagak cerita?” tanya Karyo, yang kemudian dijawab gelengan oleh semua orang yang ada di sana.
“Bang, lo mau telepon mama Jonathan, kan? Telepon aja, biar gue yang ngejelasin ke mereka.”
Setelah mengangguk singkat, Karyo meninggalkan teman-teman Jonathan dengan banyak tanya dalam kepala mereka.
Andin berjongkok sambil menggenggam tangan Kirana, sementara Rafa bersandar di tembok sambil menunggu apa yang akan dikatakan oleh gadis yang kini tampak benar-benar pasi itu. Abimanyu dan Hilmy duduk tak jauh dari mereka, hingga masih bisa mendengar dengan jelas cerita tentang kejadian malam ini.
Dengan pendar mata sayunya, Kirana mulai menceritakan semuanya. Soal Bang Ipul yang berkata bahwa ia akan mengenalkan seorang narasumber bagus, soal ring tinju, sampai soal Rio yang berhasil mengalahkan Jonathan. Meski begitu, Kirana masih belum tahu apa tujuan Jonathan mengikuti pertandingan di arena itu, atau apa alasan Jonathan mencari uang dengan cara yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Kirana juga tidak tahu apa-apa, kecuali apa yang terjadi malam ini di ring tinju.
“Terus kacamata lo mana?” tanya Abimanyu setelah menghela napas panjang. “Rekaman di kacamata itu nggak boleh bocor sebelum kita tahu alasan Jonathan sebenarnya. Lo nggak boleh kasih rekaman itu ke siapapun, termasuk gue.”
Kirana membelalakkan matanya. Ia berjalan cepat menuju area parkir, dan membuka pintu mobilnya secepat kilat. Ia baru ingat, bahwa dirinya pergi ke rumah sakit tidak sendirian. Ada Bang Ipul yang menumpang di samping kemudi. Namun, karena terlampau kalut, Kirana tidak tahu kemana dan kapan Bang Ipul pergi. Dan setelah menyadari bahwa kacamata yang tadi ia gunakan tidak lagi ada di atas dashboard mobilnya, Kirana seolah kehilangan tenaga. Ia terduduk begitu saja di samping mobil, sambil mencoba untuk menghubungi nomor telepon Bang Ipul.
Namun, nihil. Tak peduli seberapa banyak Kirana mencoba untuk menelepon Bang Ipul, laki-laki itu tidak menjawabnya sama sekali.
Lalu, Kirana berjalan cepat untuk kembali pada teman-temannya. Namun, sesampainya di lorong rumah sakit, mereka tidak lagi ada di sana karena telah masuk ke ruang rawat Jonathan. Jadi dengan jantungnya yang berdebar berkali-kali lipat dari sebelumnya, Kirana mendorong pelan pintu putih yang kini persis berada di hadapannya.
Ketika pintu itu terbuka, hal yang pertama kali terlihat oleh Kirana adalah wajah Jonathan dengan banyak sekali luka. Bahkan, di dekat matan kanannya tampak bengkak, hingga nyaris tertutup.
“Jo, gue minta maaf,” kata Kirana lirih sambil menunduk begitu dalam. Lalu, ia berjalan mendekat pada ranjang. “Bang Ipul bilang, dia mau kenalin narasumber bagus buat dokumenter Abimanyu, jadi gue datang ke sana. Gue nggak tahu kalau lo ada di sana.”
Jonathan tersenyum sinis. “Sejak kapan sih, Bim, dokumenter jadi lebih penting daripada temen lo sendiri? Lo ngebiarin Kirana datang ke tempat begitu sendirian? Gimana kalau dia kenapa-kenapa?! Lo nggak tahu Bang Ipul selicik apa, Bim!”
“Apa sih, Jo? Kok jadi gue? Gue aja nggak tahu Kirana datang ke sana. Kalau gue tahu, gue pasti larang dia!”
“Coba gue tanya apa pentingnya ambil footage buat Kirana?! Kita semua tahu kalau yang butuh video-video itu lo, Bim!” Alih-alih menjawab, Abimanyu justru menggeleng. Ia sungguh tidak percaya bahwa Jonathan akan menaruh kecurigaan semacam itu terhadapnya. “Apa untungnya buat dia, hah?! Nggak bisa jawab kan, lo?”
“Stop!” putus Andin. “Kita di rumah sakit. Please jangan ribut. Kita omongin baik-baik, karena ini pasti kesalahpahaman.”
“Gue rasa si Rio-Rio itu mukul kepala lo keras banget, sampai lo jadi nggak waras gini. Terserah lo dan semua pemikiran yang ada dalam kepala kotor lo itu. Gue nggak peduli!” Dan dengan begitu saja, Abimanyu pergi meninggalkan ruangan itu, dengan debaman pintu yang sedikit kencang.
“Lo kenapa dateng ke tempat begitu sih, Jo? Kenapa lo nggak pernah cerita sama kita? Lo butuh duit? Gue bisa bantu, Jo. Lo pikir kita bakalan diem kalau lihat salah satu dari kita lagi kesulitan?” Hilmy berkata dengan suara yang benar-benar terdengar lelah. Ia tidak tahu bagaimana harus menyikapi situasi yang membingungkan ini.
“Ini alasannya gue nggak mau cerita sama kalian,” sahut Jonathan, tanpa menatap siapapun. Ia terus memandang luka yang ada pada jari-jarinya. “Gue nggak mau dikasihani.”
Tidak ada yang mengatakan apa-apa, sebab mereka kini sedang berkelah dengan pikiran masing-masing. Jonathan tidak mau mengatakan untuk alasan apa dirinya berada di tempat seperti itu hingga mendapat predikat juara bertahan, pun teman-temannya tidak ingin memaksanya untuk bercerita.
Mungkin Jonathan butuh waktu, adalah satu hal yang diyakini oleh mereka yang berada di ruangan itu.
Hingga tak lama, Karyo kembali masuk ke ruangan. Melihat wajah teman-teman Jonathan yang benar-benar serius, Karyo tidak lagi melontarkan candaan dari mulutnya. Ia berjalan perlahan, untuk mendekat pada Jonathan.
“Jo,” panggil Karyo lirih. “Sebelumnya gua minta maap sama lu, yak.”
Jonathan tidak menjawab apa yang dikatakan Karyo.
“Dokter bilang, ligamen bahu lu ronek dan butuh operasi secepatnya, biar lu nggak kesakitan. Masalahnya, Jo—”
“Operasi butuh persetujuan orang tua?” potong Jonathan, kemudian Karyo mengangguk. “Dan lo udah telepon orang tua gue?” Karyo kembali mengangguk untuk pertanyaan yang satu ini.
Jonathan tertawa pelan. Tawa yang justru terdengar begitu memilukan. “Lucu banget ya Bang, hidup gue? Gue Cuma pengen bawa Mama pergi dari rumah itu. Dikit lagi, Bang. Tinggal dikit lagi, tapi semuanya jadi berantakan gini. Lo tahu apa yang bakalan terjadi setelah Papa tahu kondisi gue sekarang, Bang?”
Tidak ada yang bersuara di ruangan itu. Meski Karyo telah mengetahui jawabannya, ia tidak mau mengatakan apa-apa. Sementara itu, teman-teman Jonathan justru tidak tahu apa yang sedang mereka bahas.
“Dia bakalan ngehajar Mama habis-habisan, Bang. Gue nggak kalau itu gue— kalau gue yang dihajar Papa. Sampe mampus pun gue nggak peduli, Bang. Tapi Mama ...” Jonathan terdiam sebentar. Terdengar isak lirih dari mulutnya, yang telah sekuat tenaga ia tahan. “Mama udah terlalu banyak menderita gara-gara laki-laki keparat itu, Bang!”
“Gua minta maap, Jo. Gua nggak ada pilihan lain.”
Jonathan menggeleng pelan. “Lo nggak salah, Bang. Thanks karena udah banyak bantu gue selama ini.”
“Wait.” Kali ini Rafa yang bersuara. “Ini ada apa sih, Jo? Kenapa rasanya kita jadi nggak tahu apa-apa soal hidup lo? Kenapa rasanya lo jadi jauh banget sama kita?”
Belum sempat Jonathan menjawab pertanyaan Rafa, terdengar suara langkah kaki yang mendekat, hingga tak lama langkah kaki itu berhenti tepat di ambang pintu. Semua orang menoleh, dan mendapati seorang laki-laki berdiri di sana dengan raut marahnya.
Ia berjalan cepat ke arah Jonathan, lalu— plak! Telapak tangannya mendarat di pipi kiri Jonathan.
Melihat kejadian itu, Karyo segera berjalan mendekat pada papa Jonathan. “Om, ini rumah sakit. Jangan begini,” katanya.
Sementara itu, tepat ketika Jonathan mendapat tamparan dari papanya, Andin seketika menutup mulutnya karena terkejut. Di sampingnya, Kirana membeku dan menahan napasnya. Dan ketika papa Jonathan menatap satu per satu dari mereka, Sera menyembunyikan tubuhnya di balik punggung Hilmy.
“Kamu bikin malu Papa! Mau ditaruh mana muka Papa, kalau sampe berita ini tersebar ke temen-temen kantor Papa, ke kolega-kolega Papa?! Papa sudah berulang kali mengingatkan kamu untuk jaga sikap!”
“Om—” Hilmy baru saja membuka suara, tapi Papa Jonathan memotongnya begitu saja.
“Ini urusan keluarga saya! Kalian yang ngajakin dia ke dunia sampah itu?! Kalian yang ngajarin dia jadi sok jago begini?!”
“Pa!” Suara Jonathan terdengar parau. “Cukup, jangan salahin mereka. Mereka nggak tahu apa-apa.”
“Diam! Kamu pikir kamu jagoan? Berantem di arena ilegal begitu?! Sudah gila kamu?!”
“Om, tolong,” Kirana melangkah dan ikut bersuara meski begitu gemetar. “Tolong jangan sekarang. Jonathan masih butuh perawatan. Harusnya Om tanyakan dulu keadaan dia, bukannya malah begini.”
“Siapa kamu?” tanya Papa Jonathan tajam. “Pacarnya? Bagus. Kamu lihat sendiri kelakuan laki-laki yang kamu pilih ini. Biang masalah. Saya sudah muak sama dia!”
“Kalau Om lihat dia adalah biang masalah,” sahut Rafa dengan suaranya yang lirih. “Silakan berkaca, karena saya yakin Jonathan begini karena Om.”
Dengan langkah cepat, papa Jonathan mendekat pada Rafa dan mencengkram kemeja yang ia kenakan. Beruntung, Hilmy yang berdiri di dekat Rafa sigap untuk memegangi tangan laki-laki paruh baya itu, hingga ia tidak sampai benar-benar memukul Rafa.
Setelah melepaskan cengkeramannya pada kemeja Rafa, laki-laki itu melangkah keluar dari ruangan.
Di antara kejadian riuh di dalam ruang rawat Jonathan itu, seorang wanita paruh baya menunggu di luar ruangan sambil berderai air mata. Lalu ketika papa Jonathan telah keluar dari ruangan, wanita itu masuk dengan langkah ragu. Di ujung bibirnya, tampak darh yang sudah mengering. Dan melihat bagaimana ia memakai kacamata hitam pada jam-jam seperti ini, siapapun tahu, ada yang sedang disembunyikan di balik kacamata itu.
Benar saja, ketika wanita paruh baya itu membuka kacamatanya, terlihat lebam yang sudah hampir sembuh di sekitar matanya. Wanita itu adalah mama Jonathan. Wanita yang sering kali mendapat pukulan tanpa sebab dari suaminya, wanita yang selalu Jonathan usahakan kebahagiaannya. Untuk wanita itu pula, Jonathan berjuang untuk mendapatkan banyak uang, agar bisa menghidupinya tanpa uang dari papanya lagi.
“Mama,” panggil Jonathan lirih. “Maaf, Mama pasti kecewa sama Jo.”
Mama Jonathan menggeleng lemah, lalu berhambur untuk memeluk anaknya.
Sementara itu, teman-teman Jonathan memilih untuk meninggalkan ruangan itu, untuk memberikan Jonathan dan mamanya waktu.
Mereka baru saja keluar ruangan dan belum sempat bernapas dengan semestinya, ketika langkah sepatu hak tinggi terdengar dari ujung lorong. Lalu ketika mereka menoleh pada sumber suara, seorang wanita dengan jas dokter berdiri dengan tangan yang menyilang di dadanya.
“Kamu kuliah cuma untuk buang-buang waktu begini? Kamu nggak mau nurutin kemauan Mama-Papa cuma untuk terlibat dengan ring ilegal semacam itu? Mama pikir kamu sudah cukup bisa dipercaya. Tapi ternyata nggak, ya?”
“Ma,” Hilmy mengambil satu langkah maju, tapi sesaat kemudian ia berhenti begitu saja. “Kita obrolin ini di rumah. Jangan di sini.”