Loading...
Logo TinLit
Read Story - Unframed
MENU
About Us  

Pagi ini langit berwarna kelabu, seolah mengerti bahwa ada sekelompok mahasiswa yang sedang bersiap untuk mendengar cerita kelam dari seseorang. Jonathan melajukan motornya dengan Kirana yang duduk di bangku belakang. Hilmy dan Abimanyu sudah lebih dulu sampai, menunggu di beranda sebuah bangunan sederhana berlantai satu. Plang kecil bertuliskan “Rumah Aman” tergantung miring di atas pintu masuk. Hari ini mereka akan melakukan studi lapangan, sesuai rencana yang sudah mereka susun beberapa hari terakhir.

Tempat ini bukan sebuah panti, atau LSM besar. Rumah aman dibangun oleh seorang lelaki berusia 48 tahun bernama Pak Jatmiko, yang merasa miris dengan remaja yang hidup di jalanan. “Mereka juga berhak punya masa depan, Mas.” Begitu kata Pak Jatmiko, ketika Hilmy pertama kali datang ke rumah ini untuk menyampaikan maksud studi lapangan yang akan ia lakukan bersama teman-temannya.

Selain menampung dan mengedukasi anak-anak jalanan, Pak Jatmiko juga menerima mantan narapidana remaja dan memberikan mereka fasilitas konseling. Seperti kata beliau, semua orang berhak punya masa depan.

Rumah ini dibangun dengan tabungan yang beliau kumpulkan dari uang pensiun yang didapat setiap bulan. Tiga tahun pertama, Pak Jatmiko berusaha keras untuk terus memberikan para penghuni penghidupan yang layak. Mengajarkan pada mereka untuk membuat kerajinan dan menjual hasilnya, hingga memproduksi keripik tempe yang kemudian akan dititipkan ke warung-warung sekitar. Lalu pada tahun selanjutnya hingga saat ini, Rumah Aman mulai mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Pak Jatmiko mulai menerima sejumlah bantuan dari pemerintah, dan orang-orang yang memutuskan untuk berdonasi. Dari sembako, pakaian bekas, hingga sejumlah uang tunai.

Sorry telat,” kata Jonathan sambil melepas helm dan menggantungkannya ke spion motor.

“Dosa banget lo berdua ngebiarin kita nunggu di sini,” kata Hilmy dengan wajah sedihnya yang dibuat-buat.

Kirana melirik jam yang melingkar di pergelangan tanggannya. “Baru telat sepuluh menit, nggak usah bawa-bawa dosa,” katanya kemudian.

Sementara itu, Hilmy justru menguap tanpa menutup mulutnya. “Kurang tidur gue, sumpah! Semalem riset jurnal sampe jam tiga. Gue hari ini anak bawang, kan? Nggak perlu ikut tanya-tanya, kan, gue?"

“Kriminologi macam apa, lo?” sahut Kirana, yang disambut kekehan Abimanyu dan Jonathan. Lalu di tengah obrolan mereka, Pak Jatmiko keluar dari dalam rumah dengan peci yang bertengger di kepalanya. Lelaki berambut— nyaris seluruhnya— putih itu tersenyum hangat melihat Abimanyu dan teman-temannya. 

“Anak-anak dari kampus, ya? Saya Jatmiko." Lelaki itu menyalami mereka satu per satu, kecuali Hilmy. "Kalau yang satu ini saya sudah kenal. Sudah jadi bestie kita. Iya, nggak?" lanjutnya sambil terkekeh, sementara Hilmy mengangkat kedua ibu jarinya. Lalu, Pak Jatmiko mempersilakan mereka masuk. Anggap saja rumah sendiri, katanya.

“Wah, kalau anggap rumah sendiri, saya biasanya tiduran di sini, nih, Pak,” canda Hilmy, sambil menunjuk sebuah karpet yang tergelar di ruang tamu.

“Tidur aja, atuh, My. Mau Bapak bikinin kopi item sekalian, nggak?”

Atuh, Pak. Nggak usah, ngan heureuy saya, mah,[1]” timpal Hilmy, dan disambut kekehan Pak Jatmiko.

“Kalian siap-siap dulu aja, saya panggilkan dua orang yang sudah siap ngobrol hari ini,” kata lelaki itu. “Yang satu pernah terlibat kasus pengeroyokan waktu SMA. Satu lagi, kasusnya cukup berat. Mungkin akan sedikit sulit untuk kalian tanya-tanya, tapi dia sudah bersedia, kok.”

Setelah mendapat anggukan dari keempat mahasiswa yang kini duduk bersila di ruang tamu, Pak Jatmiko melenggang masuk lebih jauh ke dalam rumah. Sementara Abimanyu menyiapkan kameranya, Jonathan, Kirana dan Hilmy mengedarkan pandangan mereka untuk melihat suasana ruang tamu yang mereka duduki. Warna dinding di ruangan ini sudah memudar. Ada beberapa foto yang tergantung, berisikan beberapa pemuda yang mungkin penghuni yayasan ini. Lalu di sisi lain, ada beberapa piagam penghargaan dari RT setempat, dan coretan-coretan abstrak di beberapa bagian tembok. Kata Pak Jatmiko, ada remaja perempuan yang bahkan sudah memiliki anak sebelum dibawa ke rumah ini, meski usia mereka masih sangat belia dan tinggal di jalanan kala itu.

Hingga beberapa saat kemudian, Pak Jatmiko kembali ke ruang tamu bersama dua pemuda. Salah satunya bertubuh tinggi, kurus, dan ada bekas luka di bagian pelipisnya. Ia tersenyum dan mengangguk sopan untuk menyapa Abimanyu dan teman-temannya. Sementara yang satu lagi, berusia jauh diatas mereka— sekitar tiga puluhan. Ia duduk di samping temannya dengan wajah datar, tanpa minat untuk menyapa siapapun yang berada di ruangan itu. Mereka adalah Dika dan Alfan.

Setelah mereka berdua duduk, Jonathan menyapa lebih dulu. “Makasih banyak udah bersedia ngobrol, Mas,” katanya.

Yang lebih muda mengangguk sopan. Dia adalah pemuda yang bernama Dika. “Sama-sama, Mas. Sebelumnya juga ada mahasiswa yang datang kesini seperti Mas-mas dan Mbak ini. Tapi bukan saya yang ditanya-tanya. Dua tahun lalu apa, ya, kalau nggak salah. Saya baru masuk sini waktu itu.”

“Saya rekam nggak pa-pa, ya?” tanya Abimanyu, setelah ia dan teman-temannya mengangguk untuk menanggapi ucapan Dika.

“Silakan, Mas. Nggak pa-pa, kok. Saya senang bisa bantu.”

Sementara Hilmy membuka buku catatannya, Abimanyu mulai menekan tombol untuk merekam. Di samping Jonathan, Kirana menatap lelaki yang lebih tua— Alfan, sebab sejak duduk di ruangan ini, ia belum mengucapkan satu kata pun.

“Kalau boleh tahu, usia berapa pertama kali kalian ditangkap dan ditahan?” tanya Jonathan.

“Belum genap tujuh belas waktu itu, Mas.” Dika menjawab lebih dulu, sambil menatap kuku-kuku jarinya. “Saya ikut-ikutan temen. Tawuran. Nggak niat sampai ngebunuh, tapi anak dari sekolah lawan jatuh, kesenggol motor saya. Kepalanya kebentur trotoar.”

Dika terdiam sejenak. Ia tampak menelan ludah dengan susah payah. “Saya masih ingat itu kepala dia berdarah-darah. Karena, kan, kalau tawuran gitu nggak mungkin kita ngegas motor pelan-pelan. Ya, udah. Meninggal. Habis hidup saya waktu itu.”

Ia mengambil napas. “Satu tahun saya kayak orang gila itu di lapas, Mas, Mbak. Dendam sama temen-temen yang ngajak, benci sama orang tua karena nggak bisa bantu dan malah ngebuang saya, benci sama diri sendiri. Tapi, ya, namanya hidup kan harus jalan terus.”

“Saya dijatuhi hukuman lima tahun watu itu, tapi saya dapat keringanan. Nggak ngerti saya isi keringannya apa, pokoknya di tahun ketiga saya dibebaskan. Itu tiga tahun lalu. Terus, saya pulang ke rumah orang tua, tapi bapak saya ternyata sudah meninggal. Sakit, gara-gara saya. Ibu nggak mau lagi punya anak kayak saya. Bikin malu, katanya. Akhirnya saya ngamen. Narik tiap hari di lampu merah. Setahun hidup di jalanan, saya ketemu Pak Jatmiko dan dibawa ke sini.”

“Gimana perasaan Mas Dika setelah tinggal di sini?” tanya Kirana.

“Bahagia, Mbak. Saya kayak dapat keluarga baru. Ada tiga anak-anak kecil yang tiap hari ngajakin saya main. Yang dua anaknya si Maya, dia diperkosa berkali-kali sama preman Senen, sampai punya anak dua itu. Satu lagi anaknya si Beti. Dia nggak tahu siapa bapaknyanya, karena ngelakuinnya pas mabuk. Saya, sih, nggak bisa nyalahin. Karena Maya sama Beti, kan, tumbuh di jalanan. Nggak tahu orang tuanya siapa dan dimana. Untungnya mereka sadar dan mau berubah. Sekarang mereka menyesal, Mas, Mbak. Tapi mau gimana juga anak-anak mereka itu nggak tahu dosa orang tuanya, nggak pantes dibenci. Jadi kami di sini bantu mereka untuk ngerawat anak-anak kecil itu.”

“Selain anak-anak kecil itu, penghuni lain juga baik-baik. Kita saling ngejaga satu sama lain, karena kita nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.” Dika tersenyum tipis. Senyum yang menurut Kirana menyimpan begitu banyak kepedihan. “Saya dan Pak Jatmiko ngajarin mereka bikin kursi dari limbah kayu, terus nanti dijual. Nah, si Maya, Beti dan beberapa perempuan lainnya, bikin keripik tempe. Enak loh, Mbak, Mas. Nanti kami bawakan beberapa.”

Setelah menghela napas, Hilmy akhirnya bersuara, “Masih ada yang nyalahin Mas Dika, nggak, sampai sekarang?”

“Pasti lah, Mas,” sahut Dika santai. “Bahkan saya pun masih nyalahin diri sendiri. Tiap tahun saya datang ke makam anak itu. Saya nggak pernah ketemu keluarganya, takut. Jadi yang bisa saya lakuin cuma datang ke makam. Nyabutin rumput liar, terus berdoa di sana. Tapi kalau suatu saat saya nggak sengaja ketemu sama keluarganya dan mereka mau meludahi wajah saya, mukul saya, atau bunuh saya sekali pun, saya rela, Mas.”

Untuk beberapa saat, ruangan menjadi hening. Kirana terus memperhatikan Dika yang kini menunduk sambil memainkan jemarinya. Diam-diam Kirana bersyukur, sebab sepertinya Dika sudah berhasil untuk berdamai dengan hidupnya.

“Mas Alfan,” panggil Kirana lirih. “Kalau berkenan, kami juga pengen tahu cerita Mas Alfan. Kalau nggak berkenan dengan kamera—”

“Lima belas tahun,” potong Alfan, sambil terus menatap lurus pada lensa kamera milik Abimanyu. “Gue dipenjara karena ngebakar bokap gue sendiri. Gue bakar rumah pas dia tidur siang dan nyokap pergi ke sawah buat kerja. Gue dipenjara selama lima belas tahun.”

Kirana sedikit terkejut, hingga ia mencengkeram ujung jaket yang Jonathan kenakan. Hilmy menghentikan kegiatan menulisnya, Abimanyu menegakkan duduknya, sementara Jonathan mengepalkan tangan.

“Umur gue sembilan belas waktu itu. Bokap sering mukulin nyokap gue. Dia sering mabuk-mabukan sama pemuda kampung. Judi kartu, sabung ayam, semuanya dia lakuin. Yang kerja cuma nyokap, di sawah punya salah satu tetangga kami. Upahnya cuma delapan ratus ribu, angka yang sebenarnya cukup menghidupi kami bertiga, karena gue juga kerja di bengkel kecil dekat rumah. Hasil kerja gue buat nyambung hidup, kalau duit nyokap udah habis. Sayangnya …”

Alfan mengepalkan kedua tangannya, dengan rahang yang terlihat mengeras. Meski begitu, ia masih terus menatap pada lensa kamera. “Sayangnya karena kebiasaan berjudi bokap gue, duit kita nggak pernah cukup. Nyokap sampai harus ngutang sana sini.”

Untuk beberapa saat, Alfan terdiam. Ia menunduk dan menghela napas yang begitu panjang. “Gue muak, dan akhirnya masukin obat tidur ke kopi Bokap. Gue nggak tahu, dia mati karena obat yang gue campur itu, atau karena hangus terbakar bersama rumah kami.”

“Di headline berita, mereka nulis seolah gue penjahat nggak punya hati, yang bunuh orang tua nggak bersalah.” Alfan terkekeh dengan suara yang terdengar pilu. “Mereka nggak pernah bisa bedain mana luka dan mana niat jahat.”

Ketika keheningan menghampiri ruangan itu, Dika menepuk pelan paha Alfan yang duduk bersila di sampingnya. Lalu, Alfan mengangguk singkat seolah ingin menyampaikan bahwa ia tidak apa-apa.

“Dua tahun pertama gue di penjara, nyokap tinggal pindah-pindah dengan numpang di rumah saudara. Sampai masuk tahun ketiga, dia mutusin buat kerja di Taiwan, karena saudara-saudara nyokap mulai keberatan, sementara kami nggak punya tempat tinggal lagi. Nyokap ngirimin gue uang tiap bulan. Uangnya ada, gue simpen semuanya. Gue nggak pernah pakai uang itu sepeser pun buat kepentingan gue sendiri. Kalau nyokap mau balik ke Indonesia nanti, gue bakal pakai uang itu untuk bangun rumah, biar dia nggak lontang-lantung, biar hidupnya nyaman.”

“Gimana rasanya tinggal di sini?” tanya Jonathan. “Mas Alfan bahagia?”

“Kira-kira lo sendiri bisa bahagia nggak, kalau tahu nyokap lo ada di negara orang, banting tulang cuma karena anaknya udah nggak bisa kerja dimana-mana dengan catatan kriminal kemarin?”

Tidak ada yang berbicara lagi setelah itu. Kirana sudah berniat untuk membuka mulutnya dan menenangkan Alfan, sebelum akhirnya lelaki itu beranjak dari duduknya. “Gue rasa udah cukup,” katanya, dan berlalu pergi begitu saja.

“Maaf ya, Mas, Mbak,” kata Dika. “Dia masih belajar, dan saya rasa kalian juga tahu kalau hal itu nggak mudah.”

Semuanya mengangguk, kecuali Jonathan yang justru menggenggam pulpen di tangannya lebih erat. Kamera Abimanyu masih menyala, tapi suara mereka yang berada di ruangan itu sepenuhnya menghilang. Hari ini, mereka tidak hanya membawa catatan laporan studi, tapi juga riuhnya isi kepala masing-masing.

Lalu setelah pertemuan itu selesai, mereka tidak lantas pulang ke rumah. Hari masih terlalu panjang untuk diakhiri tanpa makan siang. Maka dengan kesepakatan bersama, mereka berempat mengendarai motor menuju salah satu warung mie ayam langganan mereka. Tidak ada percakapan antara Jonathan dan Kirana di atas motor, begitu pula dengan Hilmy dan Abimanyu. Semua orang menikmati perjalanan dengan keheningan, hingga tempat tujuan telah berada di depan mata.

Warung mie ayam ini sangat sederhana. Bangunannya separuh permanen, berdiri di antara kios tambal ban dan tempat fotokopi. Meja-mejanya terbuat dari triplek yang dilaminasi. Di dalam warung, mereka disambut oleh kipas angin yang menggantung pasrah di langit-langit.

“Empat ya, Bang,” kata Jonathan. “Kayak biasa, pakai ceker.”

Mereka semua duduk, dan mengelap keringat di pelipis masing-masing dengan tisu yang tersedia di meja. Sementara Abimanyu, ia menyalakan kamera dan meletakkannya di meja sebelah, hingga lensanya bisa merekam mereka berempat.

“Kalau hari ini gue nggak kebagian sambel lagi,” kata Hilmy sambil membuka tutup wadah sambal. “Fix gue langsung pulang, Mas Bro.”

Mendengar candaan Hilmy, lelaki yang akrab dipanggil Mas Bro pun tertawa pelan. “Aman, Mas. Banyak stok sambelnya hari ini.”

“Mantap.” Hilmy mengangkat kedua ibu jarinya.

"Ini gue boleh rekam, kan? Kita bisa lanjut ngobrol sambil makan. Kali aja nanti kepake," katanya, yang kemudian mendapat anggukan setuju dari ketiga temannya. "Oke. Kamera, rolling. Dokumen enam belas Mei. Kita habis wawancara dua narasumber mantan narapidana."

"By the way," lanjut Abimanyu, "kalian nggak perlu menghadap kamera. Santai aja."

“Menurut kalian ...” Sambil menunggu pesanan mereka selesai dibuat, Kirana memulai percakapan. “Kalau ada di posisi Alfan, bakalan kayak gimana rasanya? Hal-hal yang kayak begitu pasti susah banget buat dibagi ke orang-orang sekitar. Nggak semuanya bisa ngerti, bahkan mungkin mereka yang denger ceritanya cuma bisa menghakimi tanpa ngelihat sisi rapuh si Alfan.”

“Kalau gue jadi Alfan, gue nggak bakal peduli,” sahut Jonathan. “Yang penting nyokap gue bisa hidup dengan semestinya tanpa disiksa lagi. Kalau dikasih kesempatan buat mutar waktu, gue rasa Alfan juga bakal ngelakuin hal yang sama. Ini menurut gue, ya. Nggak tahu kalau kalian.”

Abimanyu mengangguk pelan. “Tapi mau gimana pun, pembunuhan nggak bisa dibenarkan. Ujung-ujungnya, Alfan malah jadi tersangka. Dia bisa, loh, datang ke dinas sosial untuk minta perlindungan buat nyokapnya. Atau, bawa nyokapnya kabur, misalnya?”

"Dinas sosial?" Jonathan terkekeh sebentar. "Prosesnya pasti rumit. Keburu nyokapnya mati ditangan bokapnya, lah. Udah bener itu Alfan ambil tindakan sendiri."

"Dan berakhir jadi pembunuh?" sela Hilmy. "Mau gimanapun, nyokap si Alfan pasti sedih ngelihat suaminya mati dalam keadaan mengerikan begitu, apalagi pelakunya anak dia sendiri. Selain itu, Alfan juga jadi ngehancurin masa depannya. Bawa nyokapnya kabur dan lapor polisi harusnya cukup, sih. Luka-luka di badan nyokapnya bakal jadi bukti yang cukup kuat buat menjarain bokapnya."

“Setuju,” kata Kirana. “Nggak semuanya bisa diselesaikan dengan kekerasan. Alfan jelas salah banget, tapi kita juga nggak bisa sembarangan menghakimi Alfan. Dia tumbuh di keluarga yang pemimpinnya abusive. Kita nggak tahu sedalam apa trauma yang dia punya, setelah ngelihat ibunya berkali-kali dihajar bapaknya. Dari kecil, loh. Kebayang, nggak?”

Hilmy bergidik ngeri. “Amit-amit, deh. Semoga setelah ini Alfan dan ibunya punya kehidupan yang lebih baik. Bener kata Pak Jatmiko, semua orang punya hak yang sama untuk melanjutkan hidup dan menata masa depan.”

“Ngomong-ngomong,” kata Jonathan, berusaha mengalihkan obrolan. “Ini baru permulaan, loh, Bim. Lo yakin bisa ngelewatin wawancara-wawancara sulit lainnya? Kita tuh bakalan ngorek soal luka yang bahkan mereka sendiri belum bisa terima. Kuat, nggak, lo?”

“Kuat dia pasti,” kata Hilmy sambil menggeser mangkuk mie ayam yang baru saja datang ke meja mereka. “Meskipun sepanjang dokumentasi wajahnya agak pucet dikit.”

Jonathan dan Kirana terkekeh, sementara Abimanyu melemparkan bola-bola tisu ke arah Hilmy.

“Tapi mereka hebat, sih,” kata Abimanyu setelah menikmati suapan pertamanya. “Mereka mau loh ngebuka luka lama. Dan gue bersyukur, karena mereka jadi punya ruang untuk bicara. Nggak semua orang bisa dapetin itu, kan?”

“Setuju,” kata Jonathan singkat.

“Tapi gue jadi mikir, deh,” kata Hilmy dengan pipinya yang menggembung penuh dengan mie ayam. “Ini bisa-bisa makin lama kita yang ditelanjangi sama si Abim. Bukannya ngorek cerita orang, malah kita sendiri yang kebongkar duluan.”

Kirana tertawa. “Gue sih, nggak masalah. Kita jadi bisa belajar buat menguraikan kekhawatiran dan lebih mengenal satu sama lain.”

Meski diam-diam Hilmy dan Jonathan setuju dengan ucapan Kirana, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulut mereka setelah itu. Mereka memilih untuk bungkam, seolah tengah fokus pada mangkuk mie ayam di hadapan mereka. Namun, siapa yang tahu bahwa jauh di dalam kepala, mereka sedang mencoba untuk menenangkan keributan yang memenuhi pikiran masing-masing?

Abimanyu kembali menatap lensa, dan mengatupkan kedua tangannya. "Cut!" Lalu, ia mematikan kameranya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
After Feeling
5997      1929     1     
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...
Trust Me
71      64     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
Woozi's Hoshi
9043      2089     7     
Fan Fiction
Ji Hoon dan Soonyoung selalu bersama sejak di bangku Sekolah Dasar, dan Ji Hoon tidak pernah menyangka bahwa suatu hari Soonyoung akan pergi meninggalkannya...
Dendam
509      367     3     
Short Story
Dulu, Helena hidup demi adiknya, Kiara. Setelah Kiara pergi, Helena hidup demi dendamnya.
Kare To Kanojo
6510      1753     1     
Romance
Moza tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah setelah menginjak Negara Matahari ini. Bertemu dengan banyak orang, membuatnya mulai mau berpikir lebih dewasa dan menerima keadaan. Perbedaan budaya dan bahasa menjadi tantangan tersendiri bagi Moza. Apalagi dia harus dihadapkan dengan perselisihan antara teman sebangsa, dan juga cinta yang tiba-tiba bersemayam di hatinya. DI tengah-tengah perjua...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1456      928     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
TANPA KATA
24      21     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Love Yourself for A2
29      27     1     
Short Story
Arlyn menyadari bahwa dunia yang dihadapinya terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang menuntut, terlalu banyak ekspektasi yang berteriak. Ia tak pernah diajarkan bagaimana cara menolak, karena sejak awal ia dibentuk untuk menjadi "andalan". Malam itu, ia menuliskan sesuatu dalam jurnal pribadinya. "Apa jadinya jika aku berhenti menjadi Arlyn yang mereka harapkan? Apa aku masih akan dicintai, a...
FAYENA (Menentukan Takdir)
538      352     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...
Kota Alkroma: Tempat Ternyaman
529      210     1     
Fantasy
Kina tidak pernah menyukai kota kecil tempat tinggalnya. Impiannya dari kecil adalah untuk meninggalkan kota itu dan bahagia di kota besar dengan pekerjaan yang bagus. Dia pun setuju untuk menjual rumah tempat tinggalnya. Rumah kecil dan jelek itu memang seharusnya sudah lama ditinggalkan tetapi seluruh keluarganya tidak setuju. Mereka menyembunyikan sesuatu. Kemudian semuanya berubah ketika Kina...