"Sebuah rencana memang tidak selalu berjalan seperti apa yang kita harapkan. Namun lebih baik berencana dari pada tidak sama sekali. Setidaknya dengan sebuah rencana, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan!"
***
Aku, Iara Deanara, atau Ara, remaja akhir berusia 18 tahun yang baru lulus dari SMK Pelita Harapan. Kuliah? Sama sekali belum terpikirkan. Aku tidak punya rencana untuk masa depan. Biarlah mengalir seperti air sungai, pikirku.
Dengan seragam putih abu-abu yang kukenakan, aku baru saja selesai mengikat tali sepatu kets hitamku. Bangkit dari jongkok, aku menghela napas panjang dan menatap pantulan diri di cermin. Rambut panjangku yang berantakan langsung kukuncir begitu saja tanpa menyisirnya. Bahkan, wajahku polos tanpa sentuhan makeup. Penampilanku benar-benar mencerminkan jiwaku yang sedang kacau. Rasanya seperti hidup segan mati pun tak mau. Dengan langkah lemas, kuraih tasku, mengunci pintu rumah, dan bergegas menuju kampus. Ya, hari ini adalah ospek pertamaku sebagai Mahasiswa Baru (Maba). Satu hal yang kutahu tentang kampus ini, Universitas Merah Delima (UMD), adalah kampus yang cukup populer di Jakarta. Aku pernah ke sana sebelumnya saat Try Out dari sekolah. Hasil Try Out itulah yang menunjukkan bahwa aku diterima di UMD.
Seperti sungai yang mengalir, aku akan terus mengikuti ke mana arus membawaku. Pada akhirnya, aku memilih UMD dengan mengambil Fakultas Ilmu Komunikasi, Program Studi Penyiaran. Bukan karena minat yang mendalam, tapi lebih karena tidak mau ribet dan pusing memilih-milih kampus lain. Lagipula, ada tujuan lain di balik keputusanku memilih UMD: agar aku punya alasan untuk meminta dibelikan kamera Canon pada kedua orang tuaku. Kamera yang lagi viral di tahun 2014 ini.
Pemandangan serba hijau, layaknya hutan, membuat pagi pukul 08.00 terasa begitu sejuk saat aku tiba di gerbang kampus bertuliskan Universitas Merah Delima. Pelan-pelan kukendarai motor bebekku memasuki parkiran yang tampak seperti taman bunga. Namun, banyaknya motor yang berserakan merusak nilai estetika parkiran ini. Mungkin karena banyaknya Maba dari berbagai sekolah. Bahkan, ada motor gede berwarna hitam yang hampir menghalangi jalanku.
"Hadeh, motor siapa ini?!" gumamku kesal. Tidak ada seorang pun di sekitar yang bisa membantuku menyingkirkannya. Akhirnya, aku pun ikut parkir sembarangan, membelakangi motor besar itu seperti dua motor yang sedang bermusuhan. Akibatnya, jalan untuk pejalan kaki jadi semakin sempit.
Aku berjalan menaiki anak tangga kecil, menjauhi parkiran. Jalan batu konblok yang kuinjak tertata rapi. Mataku langsung tertarik pada patung bunga delima yang berdiri kokoh di tengah bundaran, dikelilingi bunga-bunga dan dedaunan cantik. Kampus ini begitu luas, dan aku harus menemukan letak Aula Utama. Meskipun pernah ke sini, aku tidak sempat berkeliling waktu itu.
Di dalam pos satpam, kulihat seorang bapak satpam duduk sambil mengeluarkan gorengan ke piring plastik putih.
"Duh... Gimana ya nanyanya..." Aku merasa malu untuk bertanya dan hanya berdiri mematung sambil celingak-celinguk.
Tiba-tiba, Pak Satpam itu menyadari keberadaanku.
"Ngapain neng celingak-celinguk?" tanyanya.
"Aula Utama di mana ya, Pak?" tanyaku lega karena tidak harus bertanya duluan.
"Maba ya kamu?" tanya Pak Satpam sambil memperhatikan penampilanku dengan sedikit menggoda.
"Iya, Pak. Di mana Aula Utamanya ya, Pak?" tanyaku sekali lagi sambil memperhatikan nama di baju satpam itu.
"Makanya nanya, Neng, jangan diem aja!" ucap Pak Satpam.
"Neng lurus aja nih dari bundaran ini, ya kan? Nanti kalau ada kantin, Neng belok kanan. Nah, nggak jauh dari situ, Neng, ada satpam. Neng tanya lagi dah," godanya lagi.
"Bisa aja, Pak Mail! Terima kasih ya, Pak," ucapku.
"Jangan lupa main sama Upin-Ipin, Pak!" teriakku bercanda sambil bergegas meninggalkan satpam itu sendirian. Menurutku, Pak Satpam itu humoris. Aku suka orang-orang yang humoris.
"Si Neng lucu juga, ih," gumam Pak Satpam yang baru bekerja selama tiga bulan itu sambil memakan pisang goreng.
Sementara itu, di Aula Utama, seorang cowok tinggi dan tampan yang berdiri di depan panggung baru saja selesai memperkenalkan dirinya dan para panitia ospek lainnya, serta memperkenalkan kampus dan menjelaskan tentang ospek di sini.
"Sekali lagi gue ingetin bahwa ospek di kampus UMD ini, nggak ada yang namanya peloncoan. Siksa-siksaan, karena yang kayak gitu tuh norak! Jadi, kalian semua beruntung, kalian nggak akan kami siksa, apalagi disuruh bawa barang yang aneh-aneh. Kampus UMD ini beda dari kampus lainnya," ucap Jason, mahasiswa senior yang menjadi ketua panitia ospek.
Para Maba yang duduk berbaris ada yang protes dan ada yang merasa bersyukur. Suasana menjadi heboh.
"Yah, nggak seru amat," celetuk Frada.
"Padahal gue masuk kuliah mau ngerasain ospek yang disiksa-siksa gitu, terus nanti cinlok sama senior," ungkap Tiana kepada Frada.
"Bagus deh nggak ada peloncoan," ucap Dea dari barisan yang berbeda.
"Semuanya tenang!" seru Rini, mahasiswi senior, salah satu panitia ospek.
"Sebagai gantinya, kita punya tugas untuk kalian semua. Buku kecil yang gue pegang ini adalah buku yang berisikan nama pimpinan kampus, para dosen, karyawan. Kalian harus kenalan dan minta tanda tangan ke semuanya yang ada di buku ini. Untuk bagian yang kosong itu, nantinya kalian sesama Maba harus saling kenal atau boleh juga kenalan dengan senior. Dan sama, harus minta tanda tangan juga. Totalnya harus ada 100 mahasiswa. Tapi tenang aja, tidak ada deadline pengumpulan jadi bebas," ucap Jason.
"Minta tanda tangan kakak boleh nggak?" teriak Tiana genit.
"Ya, betul, termasuk gue. Pokoknya harus diisi dengan jujur, jangan sampai tanda tangan palsu yang kalian buat sendiri. Karena di kampus ini, pentingnya saling mengenal satu sama lain. Logo kampus kita adalah buah Delima di mana terdapat biji yang banyak namun tetap bersatu. Kita semua pengen kalian tetap bersatu meskipun kalian dari sekolah yang berbeda, jangan sampai ada bully, say no to bully! Oke?" ucap Jason.
"Oke, Kak," ucap Frada sinis.
Akhirnya aku sampai di depan pintu Aula Utama. Aku masih mematung memperhatikan seisi ruangan. Tembok putih dengan banyak kaca mengelilingi ruangan. Para Maba duduk bersila, berbaris di lantai keramik, mengenakan seragam dari berbagai sekolah, namun menjadi satu kesatuan di sini. Ada yang memakai kemeja putih polos dengan kerah peter pan yang unik dan rok A-line dipadu dasi, ada pula yang memakai kemeja putih polos lengan panjang dipadukan dengan vest berbahan sweater dan rok bermotif kotak-kotak biru-putih. Dan jenis seragam lainnya yang mirip-mirip seperti itu, biasanya dari alumni sekolah swasta elit. Namun, tetap lebih banyak yang berseragam putih abu-abu sepertiku. Bedanya, aku terlihat kusut dan lecek, sementara mereka semua tampak rapi dan menawan.
"Lo baru dateng? Ngapain di depan pintu? Langsung masuk aja duduk di barisan yang kosong itu," ucap Jason sambil menunjuk ke arah barisan kosong.
"Maaf, Kak," ucapku sambil berjalan menunduk. Aku sudah terlambat 30 menit. Menjadi pusat perhatian membuat semua Maba lainnya menyorakiku.
"Huuuuuuuu!"
"Semuanya tenang!" ucap Rini kembali. Dia memang paling tidak suka dengan keributan.
Kini aku sudah ikut duduk berbaris mengisi barisan kosong di tengah-tengah, diapit empat cowok (kiri-kanan-depan-belakang). Ya, barisan Maba ini memang masih bercampur, belum sesuai fakultas.
"Karena sudah lengkap semua, kalian akan dibagikan buku kecil ini dan selembar kertas HVS. Ada tugas lagi, kalian harus buat 100 target," perintah Jason.
"Target jadi pacar kakak boleh nggak?" teriak Tiana lagi.
"Huuuu cabe!" sorak cowok, Maba lainnya dari barisan yang berbeda dengan Tiana.
Senior dari masing-masing barisan pun mulai membagikan buku kecil dan selembar kertas HVS.
Sementara itu, tanganku yang iseng mengambil brosur Daftar Penerimaan Mahasiswa Baru yang masih kusimpan di dalam tas jinjing hitamku. Brosur itu sedikit lecek, bekas terlipat dan tergulung selama beberapa hari terakhir. Kubuka perlahan, takut merusaknya. Mataku menyusuri baris demi baris informasi, mulai dari logo universitas di halaman depan hingga Visi, Misi, dan Motto.
"MOTTO: Dalam Persatuan Tumbuh Harapan, dengan Keberanian Raih Kejayaan," bacaku dalam hati.
Berada di barisan ke-10, akhirnya aku baru menerima kertas HVS.
"100 target banyak banget... 1 target aja nggak tahu harus isi apa," gumamku bingung sambil memainkan pulpen.
"Udah tulis aja, apa aja!" sahut cowok di depanku sambil menoleh ke belakang.
Bersamaan dengan itu, cowok di belakangku menepuk pundakku.
"Lu ada pulpen dua nggak? Pinjem dong satu!" ucapnya.
"Coba lihat punya lu dong! Buat contoh aja," pintaku sambil memberikan pulpenku ke cowok di belakang. "Ada, nih pulpennya."
Cowok di depanku pun memberikan kertasnya yang baru terisi lima target.
"Berkenalan dengan Lisa Blackpink..." bacaku dalam hati tulisan cowok itu.
"Keren kan, menghayal aja dulu bisa kenalan sama Lisa Blackpink," ucap cowok itu.
"Gue aja gue tulis kalau mau jadi pemain bola, haha," ucap cowok di belakangku sambil menulis memakai pulpenku.
"Kalau kayak gitu gue juga bisa, gue pengen ketemu terus main film bareng Spiderman Tobey Maguire," ucapku menghayal sambil menulis.
"Boleh apa aja, yang penting keisi sampai 100," ucap cowok di depanku.
"Oh iya, nama lu siapa? Gue Iara, panggil aja Ara," aku memulai perkenalan.
"Gue William, jurusan broadcasting," ucap William.
"Sama dong, nanti barengan ya kalau udah mulai perkuliahan," pintaku.
"Aman," ucap William.
"Kalau nama lu siapa? Broadcasting juga?" tanyaku ke cowok di belakangku.
"Gue Kalunawan, panggilnya Awan aja. Yah, beda, gue Informatika," ucap cowok itu.
"Oke, Awan, nanti kalau istirahat ketemu aja," pintaku.
"Iya, bener-bener atur aja, btw makasih pulpennya ya," ucap Awan sambil terus menulis.
Kami semua menulis, mengisi 100 target sambil bercanda. Sesekali aku memukul badan William dan Awan. Biasa, cewek kalau tertawa terbahak-bahak suka memukul. Tangannya tidak bisa diam.
Suasana seru penuh canda tawa membuat diriku yang pemalu dan pendiam ini menjadi lebih berani dan tidak merasa malu ataupun canggung lagi. Aku senang diapit cowok-cowok yang humoris. Aku berharap bisa bersahabat dengan mereka.
"Apakah William dan Awan akan menepati janjinya?"