Aku pernah bikin keputusan bodoh. Beberapa malah masuk kategori super bodoh, kayak naksir sahabat sendiri padahal tahu dia cuma anggap aku “kakak kelas yang asik”. Atau waktu aku mutusin resign cuma karena dikatain bos sekali. Atau saat aku beli sepatu diskon padahal ukurannya sempit dan sekarang cuma jadi pajangan di rak, karena tiap dipakai rasanya kayak jempol digencet pinset.
Intinya: aku pernah gagal. Dan sayangnya, ingatan tentang kegagalan itu suka mampir di kepala saat suasana lagi syahdu—misal pas hujan turun, atau pas lagi nyuci piring malam-malam.
“Kenapa sih dulu aku kayak gitu?”
“Kenapa aku nggak mikir lebih panjang?”
“Kalau waktu bisa diulang…”
Nah, kalimat terakhir itu tuh…
Sumber dari banyak penyesalan yang sebetulnya nggak bisa dipakai buat beli waktu balik.
Ada masanya aku terus marah sama diri sendiri.
Marah karena dulu terlalu baik sama orang yang salah.
Marah karena dulu diam saat harusnya bersuara.
Marah karena dulu terlalu takut, padahal sekarang tahu kalau ternyata bisa.
Marah karena dulu nggak cukup menghargai diri sendiri.
Dan yang menyebalkan dari marah ke diri sendiri itu adalah: nggak bisa dilampiaskan ke siapa-siapa.
Mau marah ke orang lain, eh dia udah lupa kejadian itu.
Mau curhat ke teman, “Aku nyesel banget dulu begini...”
Teman cuma jawab, “Ya udah sih, udah lewat juga.”
Padahal buat kita, itu masih terasa banget.
Lucunya, orang-orang suka ngomong, “Maafin diri sendiri, yuk.” Tapi nggak ada yang ngajarin caranya gimana.
Apakah harus nangis dua ember dulu?
Apakah harus bikin surat permohonan maaf ke diri sendiri dan ditandatangani pakai tinta biru?
Aku pernah coba cara yang katanya "healing":
– Meditasi. Tapi baru lima menit duduk, pikiran udah ngelantur ke chat mantan yang nggak dibalas.
– Journaling. Tapi malah jadi sesi marah-marah di buku.
– Nonton video motivasi. Tapi isi kepalaku masih lebih ribut dari backsound-nya.
Sampai akhirnya, aku duduk, diem, dan nulis satu kalimat di notes HP:
"Aku tahu kamu pernah salah, tapi aku juga tahu kamu berusaha sebaik-baiknya waktu itu."
Dan entah kenapa... kalimat itu bikin dadaku agak longgar.
Kadang kita lupa, bahwa kita yang sekarang tuh udah jauh lebih kuat dibanding kita yang dulu. Kita lupa bahwa kesalahan kita di masa lalu bukan tanda kebodohan, tapi bagian dari proses belajar yang, yaa… agak memalukan memang, tapi tetap berharga.
Dulu aku ngerasa memaafkan diri sendiri artinya melupakan semuanya. Tapi ternyata nggak.
Memaafkan bukan berarti amnesia.
Aku masih ingat semua kesalahan itu.
Tapi aku sekarang bisa melihatnya tanpa harus meninju diri sendiri secara emosional.
Aku bisa bilang ke diri sendiri,
“Iya, waktu itu kamu salah. Tapi sekarang kamu tahu lebih baik. Dan itu artinya kamu berkembang.”
Aku ingat betul satu kesalahan yang paling sering datang malam-malam:
Waktu aku mutusin buat nurutin orang lain, padahal hatiku udah jelas-jelas bilang “nggak enak”.
Aku tetap ngiyain, tetap ngejalanin, tetap pura-pura kuat.
Dan akhirnya aku yang sakit.
Secara fisik, secara mental, dan—jujur aja—secara dompet juga. Karena ternyata "iya deh" seringkali berakhir jadi "kenapa sih aku nggak bilang enggak?"
Itu terjadi berkali-kali.
Dan setiap kali itu datang, aku nyalahin diri sendiri lagi.
“Kenapa sih kamu nggak tegas?”
“Kenapa sih kamu takut banget bilang enggak?”
“Kenapa sih kamu lebih mikirin perasaan orang lain daripada dirimu sendiri?”
Padahal aku lupa satu hal:
Aku melakukan itu semua karena waktu itu, aku belum tahu cara lain.
Aku cuma pengin disukai. Aku pengin dianggap baik. Aku takut ditinggalin. Aku takut dibilang egois.
Dan itu bukan hal yang salah.
Itu cuma manusiawi.
Aku sadar sekarang, bahwa memaafkan diri sendiri itu bukan soal ngelupain kesalahan. Tapi soal ngelihat kesalahan itu dan bilang,
“Ya, itu bagian dari ceritaku.”
Kayak bekas luka kecil di tangan. Nggak harus dihilangin, karena itu tanda bahwa aku pernah jatuh—dan bangkit.
Memaafkan diri sendiri artinya mengakui:
Bahwa aku pernah nggak tahu.
Bahwa aku pernah terlalu naif.
Bahwa aku pernah takut, terlalu takut.
Tapi juga, aku tetap jalan.
Aku tetap bertahan.
Aku tetap belajar.
Dan itu cukup untuk hari ini.
Sekarang aku bisa ngomong ke diri sendiri:
“Kamu nggak harus sempurna.”
“Kamu boleh gagal.”
“Kamu boleh sedih, kecewa, dan bahkan menangis.”
Tapi setelah itu?
Kamu juga boleh bangkit lagi.
Karena hidup nggak butuh aktor utama yang selalu hebat.
Hidup cuma butuh kamu... yang jujur. Yang terus coba. Yang tetap ada, meski hari-hari terasa absurd.
Aku nggak bilang proses memaafkan diri sendiri itu gampang. Kadang aku pun masih terjebak rasa bersalah.
Tapi sekarang aku punya satu perjanjian kecil dengan diriku sendiri:
Kalau masa lalu datang menyapa, aku akan mendengarnya—tapi nggak akan tinggal di sana.
Karena aku punya masa sekarang.
Dan masa depan yang masih bisa aku bentuk.
Meskipun pelan, meskipun nggak selalu mulus, aku tetap melangkah.
Dan buatku, itu udah keren banget.
Kamu yang baca ini mungkin juga punya kesalahan yang nggak bisa dilupain.
Yang kalau diingat, bikin pengin tenggelam di kasur selama tiga hari.
Yang kadang muncul di tengah tawa, kayak tiba-tiba ditarik balik ke kenyataan.
Aku cuma mau bilang: kamu bukan satu-satunya.
Dan lebih dari itu:
Kamu masih pantas bahagia.
Kamu masih pantas dicintai.
Kamu masih pantas hidup dengan kepala tegak.
Memaafkan diri sendiri memang butuh waktu. Tapi kamu nggak harus buru-buru.
Pelan-pelan aja.
Setiap hari, ajak diri kamu ngobrol.
“Gimana hari ini? Capek ya? Tapi kamu udah hebat.”
“Masih ingat kesalahan itu? Wajar. Tapi itu bukan kamu yang sekarang.”
Lucu ya, kadang kita gampang banget memaafkan orang lain, bahkan yang nyakitin banget.
Tapi buat diri sendiri, kita malah pelit kasih maaf.
Mulai sekarang, ayo belajar jadi sahabat buat diri sendiri.
Yang bisa bilang, “Aku ngerti, kok.”
Yang bisa nyelutuk, “Udah ya, jangan dipukulin terus dirimu sendiri.”
Yang bisa peluk, meski cuma dalam bentuk napas panjang dan senyum kecil di depan kaca.
Karena kalau bukan kamu yang memahami dirimu sendiri, siapa lagi?
Jadi, apa artinya memaafkan diri sendiri?
Bukan berarti kamu lupa.
Bukan berarti kamu pura-pura nggak pernah salah.
Bukan berarti kamu nggak punya luka.
Tapi karena kamu tahu: kamu udah cukup belajar.
Kamu udah cukup jatuh dan bangkit.
Dan kamu pantas berjalan ke depan, tanpa terus diseret bayang-bayang dari belakang.
Dan hari ini, kamu boleh bilang:
“Aku mungkin belum sempurna, tapi aku sedang berusaha. Dan itu cukup.”