Self-love.
Kata yang sering berseliweran di Instagram, TikTok, dan cermin kamar mandi kosanku (yang sering berembun tapi tetap kupakai buat ngomong, “Ayo semangat, kamu keren, walau jerawatan”
Tapi buat aku, self-love tuh bukan tentang masker wajah sama kopi estetik di kafe,
melainkan... kadang cuma tentang memaafkan diri sendiri karena ketiduran sebelum mencuci piring.
Ya, sesimpel itu. Dan serumit itu juga.
Self-love versiku tuh...
kadang kayak orang yang berusaha peluk diri sendiri, tapi satu tangan lagi masih pegang HP sambil scroll hidup orang lain yang kelihatan lebih "terorganisir".
Kadang peluk, kadang banding-bandingin. Kadang semangat, kadang overthinking,
lalu bilang, “Yah, mungkin hidupku emang kayak sinetron, tapi pemeran utamanya suka lupa dialog.”
Jujur aja ya, aku pernah nyoba self-love versi internet. Mulai dari journaling—yang awalnya rapi, lama-lama isinya cuma curhatan:
“Hari ini pengin ngamuk. Tapi ke siapa?”
Terus meditasi. Yang katanya bisa bikin pikiran tenang, tapi pas dicoba...
baru 3 menit udah mikir: “Nanti malam makan apa, ya? Udah bayar listrik belum? Eh, kenapa ya kemarin aku ngomong gitu ke dia?”
Jadi malah stres, bukan healing.
Tapi akhirnya aku sadar, self-love itu bukan soal terlihat mencintai diri sendiri. Tapi soal bertahan di tengah hari-hari yang bikin pengin tidur 3 hari 3 malam, dan tetap bangun... walau dengan muka bantal dan jiwa retak-retak halus.
Dan kadang...
bentuk paling nyata dari self-love adalah ketawa saat lagi pengin nangis.
Kayak, “Ya udahlah, hidup emang susah. Tapi kan aku masih bisa mesen tahu crispy.”
Aku inget satu malam, aku nangis di kamar, sendirian.
Alasannya?
Aku nggak tahu.
Cuma kayak... semua rasa capek, kecewa, dan bingung numpuk,terus bocor kayak ember retak. Tapi habis nangis, aku malah ketawa. Bukan karena udah lega, tapi karena sadar: “Lah, masa aku nangis cuma karena microwave kosan rusak?”
Dan malam itu, aku nulis di notes: “Kadang, mencintai diri sendiri berarti membiarkan dirimu nangis karena hal sepele. Karena ternyata, yang sepele itu akumulasi dari banyak hal yang nggak pernah sempat kamu jujur-in.”
Self-love versiku juga termasuk ngomong ke diri sendiri pakai nada sabar.
Kayak, “Nggak apa-apa ya hari ini males, besok coba lagi.”
Atau “Gagal bukan berarti kamu bodoh, mungkin emang waktunya belum tepat.”
Dan kadang self-love-nya brutal juga: “Udah, stop stalking mantan. Dia bukan standar bahagiamu.”
Gitu. Kadang lembut, kadang keras, tapi niatnya tetap sama: nggak pengin diri sendiri hancur cuma karena dunia nggak sesuai ekspektasi.
Dulu, aku kira self-love itu harus konsisten. Harus bangun pagi, olahraga, makan sehat, meditasi, journaling, nonton TED Talk, dan tidur jam 10 malam. Ternyata... enggak juga.
Kadang self-love itu bangun jam 10 pagi dan bilang: “Ya udahlah, yang penting masih hidup.” Kadang makan Indomie dua kali sehari dan tetap bisa bersyukur karena punya lauk telur dadar. Kadang cuma butuh memaafkan diri yang nggak seproduktif orang lain. Karena mencintai diri sendiri, versi aku, adalah berhenti menjadikan orang lain sebagai tolak ukur atas hidupku.
Aku juga belajar,
self-love nggak selalu indah dan Instagramable.
Kadang self-love itu meninggalkan pertemanan yang bikin hati kerasa kecil.
Kadang itu unfollow akun-akun yang bikin kamu merasa tertinggal.
Kadang itu mematikan notifikasi dan izin buat nggak bales chat dulu, karena kepala lagi penuh.
Dan yang paling penting, self-love itu nggak egois.
Self-love itu menjaga kewarasan supaya tetap bisa sayang sama orang lain, tanpa lupa diri sendiri.
Aku pernah kok, ngerasa “egois” karena milih diem. Milih nggak nongkrong. Milih nggak jawab telepon. Tapi akhirnya aku sadar,
itu bukan egois. Itu self-protection. Itu bentuk cinta yang bilang: “Kamu lagi rapuh, nggak apa-apa mundur sebentar.”
Dan aku belajar pelan-pelan.
Belajar sayang sama diri sendiri seperti aku sayang sama temen yang lagi patah hati.
Pelan, sabar, dan nggak maksa.
Self-love versi aku juga banyak ketawa.
Bukan karena hidup lucu.
Tapi karena kalau nggak diketawain, aku takut malah meledak.
Lucunya hidup tuh kadang begini: Kita capek, terus ngeluh, terus bilang ke diri sendiri,
“Yaelah, masa gitu aja nyerah?”
Padahal sebenernya kita butuh pelukan.
Dan karena nggak ada yang peluk, ya udah peluk diri sendiri.
Minimal, usap pundak sendiri sambil ngomong, “Terima kasih ya, kamu udah bertahan sejauh ini.”
Kadang aku senyum ke kaca. Bukan karena narsis.
Tapi karena itu semacam kode: “Hei, kamu udah cukup baik hari ini. Walau belum sehebat harapan, kamu tetap berusaha.”
Dan itu cukup.
Beneran deh.
Itu cukup.
Temenku pernah bilang, “Self-love tuh kalau kamu bisa hidup sendiri tanpa butuh validasi orang lain.”
Aku jawab, “Kalau bisa hidup sendiri terus nggak pengin diakui, ya itu bukan self-love, itu jadi karakter anime.”
Kita manusia, ya wajar butuh dukungan. Self-love itu bukan anti-validasi, tapi nggak menggantungkan harga diri pada validasi.
Jadi sekarang, kalau aku mulai ngerasa nggak cukup, aku ambil napas, buka notes,
dan nulis: “Aku masih di sini. Aku belum nyerah. Itu aja udah luar biasa.”
Dan lucunya, walau nggak semua hari menyenangkan,
ada satu hal yang selalu bikin aku senyum:
Aku masih mau jadi temen terbaik buat diriku sendiri.
Karena kadang, satu-satunya orang yang ngerti isi hati ini...
ya aku sendiri.
Self-love versiku bukan cerita sukses yang epik.
Tapi cerita harian yang kadang absurd.
Bangun telat, ngeluh kerjaan, ketawa lihat kucing di TikTok, ngambek sendiri,
nangis tiba-tiba, ketawa lagi,
dan ujungnya tidur sambil bilang:
“Besok coba lagi, ya.”
Dan kalau kamu juga kayak aku,
yang self-love-nya belum sempurna,
yang masih belajar terima diri sendiri...
Selamat. Kamu manusia. Dan kamu keren.
Karena self-love itu bukan tentang jadi sempurna.
Tapi tentang mau nerima yang nggak sempurna, tapi tetap sayang.
Termasuk sayang sama diri sendiri.
Walau kadang bentuknya cuma bisa ketawa... sambil ngeluh.