Pernah nggak sih kamu cuma jadi diri sendiri, tapi orang-orang malah jadi bingung?
Kayak… kamu cuma ketawa ngakak karena denger lelucon receh, eh orang lain malah nanya,
“Kamu kenapa sih? Lagi stres, ya?”
Atau kamu jawab jujur waktu ditanya,
“Apa kabar?”
Terus kamu bilang,
“Lagi berantakan, sih.”
Malah dapet respon:
“Ih, kok jawabannya gitu? Bikin suasana jadi aneh, tauk!”
Ya maaf, aku pikir ini bukan wawancara kerja, tapi obrolan manusia. Jadi diri sendiri itu, ternyata… bikin orang-orang bingung. Waktu aku mulai berhenti basa-basi dan mulai jujur, respon dunia malah kayak:
“Kamu kenapa berubah?”
Padahal bukan berubah. Itu aku yang asli, yang akhirnya berani keluar dari mode 'default ramah-tapi-tertekan'.
Tapi karena aku nggak sesuai skrip “normal” versi mereka, aku dianggap aneh.
Lucunya, dulu waktu aku banyak diam, aku dianggap pendiam. Waktu aku mulai banyak cerita, aku dianggap banyak drama.
Waktu aku cuek, aku dibilang sombong. Waktu aku mulai perhatian, aku dibilang modus.
Terserah kalian deh.
Aku jadi mikir: “Kalian maunya aku kayak gimana, sih?”
Kayak aplikasi yang diminta update tapi pas udah update malah crash.
Aku punya satu temen, sebut aja namanya Dita.
Dita ini tipe orang yang selalu tampil ‘rapi’ di depan orang.
Ngomongnya sopan, senyumnya tiga jari, dan hidupnya kelihatan kayak difilter terus.
Satu kali, kita ngobrol lebih dalam.
Dia bilang, “Lo tuh aneh banget, sih. Lo bisa ketawa sendiri, terus tiba-tiba diem dan ngomong soal hal yang dalam. Kadang gue bingung, ini orang ngelucu atau lagi overthinking?”
Dan aku cuma bisa jawab, “Ya dua-duanya. Gue manusia, bukan karakter kartun.”
Aku sadar, jadi diri sendiri itu bukan sekadar "ya udah, aku begini aja",
tapi juga proses panjang buat berdamai sama kebingungan orang-orang tentang siapa kita.
Dan kadang, kebingungan itu balik ke kita sendiri. Aku juga sering bingung sama diriku sendiri.
Pagi bisa semangat, siang jadi mellow, sore sok produktif, malam ngedumel sama bantal.
Mood kayak rollercoaster tapi pakai roda satu.
Tapi tau nggak yang paling bikin capek?
Waktu kita jadi diri sendiri, terus orang-orang malah bilang, “Lo tuh terlalu beda, sih. Makanya susah diterima.” Aku tuh bukan pengen diterima semua orang, aku cuma pengen nggak disalahpahami. Tapi ternyata, jadi diri sendiri tuh kadang kayak ngajak orang lain main game baru tanpa tutorial. Mereka bingung, error, dan akhirnya... keluar dari room.
Aku pernah punya gebetan yang tiba-tiba ghosting. Padahal awalnya dia bilang suka karena aku “unik”.
Waktu kutanya kenapa akhirnya menjauh, dia jawab: “Kamu tuh unpredictable banget. Aku capek nebak-nebak perasaanmu.”
Lah?
Aku bukan drama Korea, Bro. Cuma manusia biasa yang kadang bilang “nggak apa-apa” sambil diem-diem pengin dipeluk. Kalau kamu capek, aku lebih capek karena harus ngejelasin isi kepala sendiri tiap hari.
Tapi lama-lama, aku mulai mikir begini:
Mungkin... memang nggak semua orang siap dengan keaslian kita. Dan itu bukan salah kita. Ada orang yang hidupnya terbiasa dengan template, jadi waktu ketemu kita yang agak 'custom', mereka bingung dan panik.
Aku juga pernah dicuekin grup temen sendiri, karena katanya aku "terlalu jujur dan terlalu apa adanya". Mereka lebih nyaman sama orang yang bisa jaga image, yang selalu pasang senyum walau hatinya patah.
Aku?
Kadang ngambek kalau bercandaan kelewat batas.
Kadang diem kalau obrolan nggak nyambung.
Kadang bilang "Aku capek, pengin sendiri" tanpa rasa bersalah.
Dan buat beberapa orang, itu terlalu banyak. Padahal buat aku, itu minimum untuk menjaga kewarasan. Tapi lucunya, setelah semua kebingungan itu, aku tetap milih jadi diri sendiri.
Bukan karena aku keras kepala,
tapi karena aku capek jadi karakter yang disuruh-suruh penulis naskah fiksi bernama "ekspektasi sosial".
Aku milih ketawa dengan cara aku sendiri, menangis di waktu yang nggak harus ditahan,
dan berdamai sama fakta bahwa… aku memang agak aneh, dan itu nggak apa-apa.
Pernah suatu malam, aku nulis di catatan ponsel: "Kalau kamu bingung sama aku, coba bayangin aku juga sering bingung sama diriku sendiri. Tapi aku tetap milih lanjut hidup, bukan berhenti jadi diri sendiri."
Dan catatan itu entah kenapa menenangkan. Kayak di tengah semua kebingungan, aku bisa bilang:
"Aku memang rumit. Tapi setidaknya, aku nyata."
Dunia ini terlalu sering memaksa kita jadi sederhana, padahal manusia itu kompleks.
Kita bisa suka kopi pahit dan boba sekaligus.
Kita bisa nangis karena film kartun tapi tahan banting pas diputusin.
Kita bisa marah tapi tetap peduli.
Dan itu semua valid.
Jadi kalau ada orang yang bingung dengan keaslian kita,
mungkin bukan kita yang harus berubah.
Mungkin mereka yang perlu belajar menerima.
Sekarang aku udah lebih santai.
Kalau ada yang bilang, “Kamu beda, ya. Aneh tapi lucu.”
Aku jawab, “Emang. Gue limited edition. Jangan dibaperin, dinikmatin aja.”
Kalau ada yang bingung karena aku nggak sesuai ekspektasi, aku balikin tanya,
“Lho, siapa suruh bikin ekspektasi? Saya bukan aplikasi, Mas.”
Dan itu bukan defensif.
Itu bentuk aku menjaga ruang pribadiku.
Karena satu hal yang akhirnya aku sadari:
Jadi diri sendiri memang membingungkan orang—dan itu bukan masalahku.
Aku nggak lahir buat ngasih panduan ke semua orang. Aku lahir buat hidup, belajar, tertawa, salah langkah, dan tetap berdiri walau kadang keseleo batin. Dan buat kamu yang juga merasa sering disalahpahami, yang jadi diri sendiri tapi malah bikin orang-orang kabur, tenang aja.
Kamu bukan error.
Kamu bukan glitch di sistem.
Kamu cuma manusia yang jujur tampil seadanya.
Dan itu... sesuatu yang langka di dunia yang terlalu sibuk pencitraan.
Jadi, tetaplah jadi diri sendiri.
Walau orang-orang bingung.
Walau kadang kamu juga bingung.
Karena satu-satunya yang harus ngerti kamu...
ya kamu sendiri.
Dan sisanya?
Yang bisa ikut paham, itu bonus.