Ada yang bilang, hidup itu kayak main tetris. Bentuk kita harus pas supaya bisa masuk ke barisan dan nggak numpuk kacau.
Masalahnya…
Aku bentuknya abstrak. Kayak coretan anak TK yang pegang krayon dua tangan sambil lompat-lompat. Aku pernah coba kok, masuk ke “kotak” yang katanya ideal.
Kotak anak rajin, kotak anak kalem, kotak anak produktif 24/7, atau kotak “jadi manusia mapan di umur 25”. Tapi setiap kali aku maksa diri masuk ke dalam kotak itu,
ada bagian dari diriku yang ikut terlipat, kepaksa ngumpet, bahkan hilang.
Sakit sih.
Tapi lebih sakit pura-pura cocok.
Dari kecil, kita tuh kayak dibentuk pake cetakan kue.
Kalau terlalu beda, hasilnya dianggap “gagal manis”.
Kalau terlalu polos, dibilang kurang rasa.
Kalau terlalu unik, malah dicoret dari loyang.
Lucu ya, padahal kue-kue unik di toko malah mahal. Tapi di kehidupan nyata, yang beda malah dikatain “aneh”. Aku ingat waktu SD, aku suka banget gambar monster warna pink dengan tiga mata. Guru gambar bilang, “Nggak realistis. Monster tuh serem, nggak lucu.”
Dan sejak saat itu, aku mulai belajar bahwa “jadi diri sendiri” harus sesuai aturan.
Semua orang pengin aku masuk kotak.
Kotak perempuan harus lembut, kalem, nggak boleh ngomong keras.
Kotak dewasa harus serius, kerja terus, nggak usah terlalu sering ketawa.
Kotak bahagia itu harus punya rumah, mobil, pasangan, dan saldo tabungan stabil.
Dan aku?
Aku suka ketawa keras di warung kopi, ngomong sendiri di motor, dan nangis tengah malam cuma karena nonton video anak ayam diadopsi kucing.
Aku mulai sadar: Mungkin aku bukan makhluk kotak.
Aku lebih kayak garis-garis zigzag yang kalau dilihat dari jauh,
mungkin justru membentuk sesuatu yang indah.
Lucunya, kotak itu sering dibentuk sama ekspektasi orang lain.
Orang tua pengin aku jadi versi sempurna dari mereka. Teman pengin aku selalu ada tiap mereka butuh, bahkan saat aku lagi pengin ngilang sejenak.
Aku pernah capek banget. Sampai mikir: "Kalau aku ikutin semua keinginan orang, aku masih aku nggak, sih?"
Ternyata… nggak.
Aku cuma jadi boneka yang digerakin harapan-harapan luar. Jiwa asliku? Ngelus dada sambil duduk di sudut kamar, ngelirik sedih ke arah cermin.
Jadi akhirnya aku mutusin: cukup.
Cukup pura-pura nyaman di tempat yang sempit.
Cukup bilang “iya” padahal hatiku menjerit “enggak”.
Cukup ngikutin standar hidup orang lain,
sementara aku sendiri belum sempat bikin standar hidupku.
Dan waktu aku mulai nolak masuk ke kotak itu, reaksi orang?
Macem-macem.
Ada yang bilang aku egois.
Ada yang bilang aku berubah.
Ada juga yang diem aja, tapi nunjukin tatapan kecewa.
Sakit? Banget.
Tapi juga… melegakan.
Karena untuk pertama kalinya, aku bisa bilang:
“Maaf, aku bukan produk pabrik. Aku buatan hati.
Bentukku nggak standar, tapi orisinal.”
Aku belajar bahwa jadi abstrak itu bukan aib.
Abstrak itu punya warna sendiri.
Punya garis yang mungkin nggak rapi, tapi jujur.
Punya cerita yang nggak lurus, tapi ngena.
Dan yang lebih penting, jadi bentuk abstrak artinya aku bisa berubah kapan pun aku mau.
Hari ini aku bisa jadi pelangi, besok jadi awan, lusa jadi titik koma.
Semua boleh, asal masih jadi aku. Dulu, aku takut banget nggak cocok.
Takut sendirian.
Takut ditinggal karena aku beda.
Tapi perlahan aku sadar,
lebih baik sendirian dalam kejujuran,
daripada ramai dalam kepalsuan.
Teman sejati? Mereka nggak nyuruh aku berubah.
Mereka bilang, “Aku nggak ngerti kamu sepenuhnya, tapi aku tetap di sini.”
Dan itu…
cukup buat bikin aku bertahan satu hari lagi.
Kadang bentuk abstrakku bikin orang bingung.
"Aku tuh harus gimana ke kamu?"
Tanyaku sendiri ke cermin.
Karena jujur aja, aku juga nggak selalu ngerti diri sendiri.
Tapi aku belajar untuk tetap merangkulnya,
seperti memeluk hewan peliharaan yang lari-lari di rumah: berisik, tapi lucu.
Ada kalanya aku pengin berubah. Bukan karena aku benci diriku, tapi karena aku pengin berkembang. Tapi berubahnya aku bukan supaya muat di kotak orang lain. Berubahnya aku, biar bentuk abstrakku makin kuat, makin jelas, makin aku banget.
Mungkin suatu hari,
akan ada orang yang ngelihat lukisan hidupku,
dan bilang:
“Aku nggak ngerti ini gambar apa, tapi rasanya hangat ya.”
Dan aku bakal senyum,
karena untuk pertama kalinya,
aku nggak perlu menjelaskan.
Jadi buat kamu yang bentuknya juga abstrak, yang sering ngerasa salah tempat, yang sering disuruh 'lebih kayak dia' atau 'ikutin yang normal'...
Tenang.
Bentukmu bukan kesalahan.
Kamu cuma belum ketemu galeri yang pas.
Dan percayalah,
suatu hari nanti kamu bakal nemu tempat yang bilang:
"Wah, ini dia karya yang kita cari."
Aku tahu, jadi diri sendiri itu capek. Tiap hari kayak main puzzle yang nggak selesai-selesai.
Tapi justru di situ seninya. Setiap hari, satu potongan lagi pasang. Kadang miring, kadang patah. Tapi lama-lama, lukisan utuhmu akan kelihatan.
Dan ketika itu terjadi,
kamu akan tahu:
“Oh… ternyata aku indah juga, ya.”
Jangan paksa aku masuk kotak.
Soalnya aku bukan barang.
Aku bukan produk.
Aku bukan label.
Aku manusia.
Penuh cerita.
Penuh warna.
Kadang kusut, tapi tetap layak disebut seni.
Hari ini aku masih belajar menggambar diriku sendiri. Dengan krayon seadanya, dengan tangan kadang gemetar, tapi tetap aku lukis, karena inilah aku.
Bentukku mungkin belum selesai. Tapi setiap goresannya jujur. Dan itu cukup.
Cukup untuk jadi alasan kenapa aku tetap bertahan.
Buat kamu yang juga bentuknya abstrak:
Jangan minta maaf karena kamu beda.
Dunia sudah penuh orang yang sama.
Yang dunia butuh, justru kamu.
Dengan bentuk unikmu.
Dengan cara tertawamu yang aneh.
Dengan cara mikirmu yang nyeleneh.
Kamu bukan gagal.
Kamu bukan aneh.
Kamu cuma belum dimengerti—dan itu bukan salahmu.
Jadi lain kali ada yang bilang,
“Masuk dong ke kotak ini,”
aku akan jawab sambil senyum:
“Maaf ya. Aku bentuknya abstrak. Tapi coba lihat baik-baik,
kadang yang abstrak justru lebih bermakna.”
Dan aku tahu, suatu hari…
akan ada yang melihat lukisan hidupku,
dan berkata pelan:
“Indah ya.
Nggak rapi sih, tapi aku suka.”