Aku lagi duduk di pojokan kafe, nahan napas sambil nahan rasa pengen mewek. Bukan karena lagunya sedih atau kopi susu dingin ini terlalu manis, tapi karena notifikasi story Instagram teman lama muncul: “Alhamdulillah, akhirnya buka cabang ke-5 di Jakarta. Mimpi jadi nyata.”
Aku senyum. Sambil ngetik, “Wahhh keren banget! Selamat yaaa” Terus kutaruh HP, terus aku diam. Terus aku mikir: lah, aku kemarin aja lupa mandi dua hari.
Lucunya hidup itu gitu, ya. Kadang kita nggak iri. Tapi sedih. Bukan sedih dia sukses. Tapi sedih karena kayaknya kita belum ke mana-mana, padahal sudah berangkat dari lama. Udah pakai sepatu, tas, niat, dan doa. Tapi kayaknya... ya muter-muter aja di jalan tol tanpa pintu keluar.
Temanku namanya Fira. Dulu dia duduk di sebelahku pas SMA. Orangnya semangat banget. Kalau dikasih tugas, langsung dikerjain. Kalau ulangan, belajar dari H-3. Aku? Belajar dari tatapan teman pas jam ulangan dimulai. Sekarang dia punya bisnis minuman herbal kekinian, punya rumah sendiri, jalan-jalan ke Jepang, dan (ini yang paling nyesek) dia bisa bayar skincare tanpa mikir promo. Aku? Nunggu shopee check-out-an tanggal kembar.
Aku bukannya nggak usaha. Serius, aku pernah ikut seminar motivasi, baca buku pengembangan diri, ikut webinar tentang growth mindset, bahkan pernah coba jualan makanan ringan. Tapi ujung-ujungnya balik lagi ke kasur sambil nonton anime dan bilang: “Yaudah deh, mungkin bukan rezekiku.” Kadang aku merasa jadi diriku sendiri tuh kayak bawa peta, tapi petanya dari game RPG—banyak tanda tanya, jalan buntu, dan musuh random muncul pas kita lagi nggak punya stok potion.
Pernah suatu hari aku iseng ngobrol sama teman lain, namanya Ucup. Ucup ini juga belum sukses, tapi jago menghibur diri.
“Aku tuh pengen jadi orang sukses, Cup,” kataku sambil ngunyah cilok rasa sedih.
Ucup jawab, “Tenang, kunci sukses tuh sabar dan tetep jadi diri sendiri.”
Aku nanya, “Kalau udah sabar dan jadi diri sendiri tapi belum sukses juga?”
Ucup nyeruput es teh dan berkata bijak, “Berarti belum hoki.”
Luar biasa. Jawaban yang jujur tapi tidak membangun.
Aku inget waktu dulu guru BK bilang, “Jadilah versi terbaik dari dirimu.” Dulu aku percaya. Tapi sekarang aku mikir, gimana kalau versi terbaik dari diriku itu... ya begini-begini aja? Kadang rasanya capek jadi diri sendiri, apalagi kalau dibandingin sama orang lain yang hidupnya kayak sinetron prime time—penuh drama, tapi endingnya selalu bahagia. Sementara hidupku kayak iklan layanan masyarakat: niatnya bagus, tapi kadang nggak ditonton orang. Tapi anehnya, walau capek, aku belum nyerah. Mungkin karena aku tahu, meskipun jalanku lebih lambat, tapi aku tetap jalan. Walau sering ngeluh, aku tetap bangun tiap pagi dan coba lagi. Meskipun semangatku sering habis di jam 10 pagi, aku tetap kerja (walau sambil buka Twitter).
Aku inget momen waktu temanku lulus S2 di luar negeri. Dia posting foto pakai toga, di caption-nya dia tulis: “This is for the little girl who never gave up on her dreams.” Sementara aku? Lulus dari kasur aja butuh alarm lima kali dan ancaman hidup dari notifikasi “deadline hari ini.” Tapi... bukan berarti aku gagal. Hanya saja, jalanku beda. Dan mungkin, kayak kata orang bijak di Twitter yang suka ngetweet jam 2 pagi: “Healing itu penting, tapi tetap harus bayar tagihan.”
Lucunya, meskipun aku suka ngerasa hidupku nggak sehebat orang lain, aku tetap bersyukur. Soalnya, aku tahu rasanya berjuang dari titik nol. Aku tahu rasanya senyum di depan orang padahal hatinya remuk kayak kerupuk yang ketindihan galon. Aku tahu rasanya pura-pura kuat pas lihat story teman sukses, terus swipe up cuma buat nanya, “Eh, beli tiket ke Jepang-nya di mana?” padahal dalam hati cuma mau bikin basa-basi supaya nggak kelihatan iri.
Aku tahu rasanya lihat orang lain nikah, punya anak, punya rumah, punya mobil, terus mikir, “Lah, aku aja masih bingung hari ini mau makan apa.”
Tapi aku juga tahu... rasanya pelan-pelan mulai berdamai sama diri sendiri. Rasanya belajar ngetawain hidup yang kadang absurd, tapi tetap dijalanin. Rasanya menemukan kebahagiaan kecil, kayak nemu mie instan pas tanggal tua.
Temanku sukses. Hebat. Aku bangga. Tapi aku juga belajar buat bangga sama diri sendiri—yang masih bertahan, masih hidup, dan masih bisa ketawa. Meski kadang cuma karena lihat video kucing di TikTok. Hidup ini bukan perlombaan lari cepat, tapi lebih kayak reality show—kadang lucu, kadang malu-maluin, kadang dramatis, tapi tetap harus dijalani sampai selesai.
Jadi, kalau kamu juga ngerasa temenmu sukses dan kamu masih stuck, nggak apa-apa. Nggak semua orang start di garis yang sama, dan nggak semua orang finish di waktu yang sama. Yang penting, kita terus jalan. Meski pelan. Meski sambil ngeluh. Meski kadang sambil nangis diam-diam di kamar mandi.
Toh, sukses itu bukan cuma soal punya rumah tiga lantai dan liburan ke Eropa. Tapi juga soal bisa ketawa walau hidup rasanya absurd. Bisa bangkit walau sempat jatuh. Bisa tetap jadi diri sendiri, meskipun dunia sering nyuruh kita berubah.
Karena kadang, sukses yang paling besar adalah... nggak menyerah jadi diri sendiri.