In the end, it is what it is.
***
Dengan perbedaan empat jam antara Moskow dan Jakarta, Ruby sampai di Bandara Domodedovo tengah hari. Musim dingin menjadikan jam dua belas siang tidak ada matahari, dan pohon-pohon cemara yang ada tertutup salju. Ruby mengusap hidungnya yang mendadak gatal. Di Indonesia pukul empat sore, dia tidak perlu mengabari Rimba lagi karena sepanjang perjalanan di pesawat dimanfaatkannya fasilitas Wi-Fi untuk berhubungan dengan cowok itu. Ruby juga sempat memutar beberapa rekaman Rimba yang ada di flashdisk dan mengomentari permainan piano sang pacar.
Seseorang menghampiri Ruby dan Dmitri yang baru sampai. Setelah berbicara dengan Dmitri, lelaki itu mengarahkan mereka ke sebuah mobil. Ketika pintu mobil di hadapan tergeser, Dmitri lebih dahulu masuk ke kursi belakang. Di kursi tengah ada seseorang yang menatap ke arahnya. "Ruby?"
"Mama?!"
"Bozhe moy." (Ya Tuhan) Wanita itu menariknya masuk dan memeluk erat. "Sehat, Nak? Kamu hebat sekali berhasil menjadi juara satu."
Mobil mulai berjalan meninggalkan bandara, Mentari terlihat berulang-ulang mengucap terima kasih kepada Dmitri di antara pelukannya yang masih ketat pada badan Ruby.
"Kenapa jadi begini, Ma?" Ruby menelengkan kepala ke wajah mama, melepas pelukan.
"Saat berhenti, Mama sudah benar-benar memutuskan tidak mau membuat senjata. Tiba-tiba mereka datang dan terus memaksa. Maaf Ruby ... karena Mama, Papa jadi ..."
Wanita itu menangis di balik cadarnya. "Mama nggak mau menciptakan sesuatu yang membuat jiwa Mama nggak tenang. Mama menghilang karena nggak mau kamu dan Papa ikut terseret. Mama kangen banget sama kamu, sama Papa."
Ruby mengangguk, lidahnya terasa kelu. Wanita di hadapan mengusap pipinya. "Permata Mama makin cantik. Maafin Mama, ya."
Ruby kembali memeluk Mentari. Setelah penjelasan Om Andreiy di mobil sepulang pengambilan rapor, sedikit banyak Ruby mengerti apa yang menjadi pertimbangan Mentari. Bagaimana wanita itu memilih pindah dan berganti nama. Apa yang mendasari Mentari memilih hidup biasa daripada bergelimang harta. "Ma, Papa pasti bangga sama Mama."
Mentari hanya mengangguk di antara isaknya. "Papa yang selalu dukung dan kuatin Mama untuk teguh dengan tekat Mama. Papa sampai korbanin nyawanya buat Mama. Mama sayang banget sama papa kamu."
Ruby kemudian mengerti dan tidak membahas peristiwa itu. Rasanya seperti mimpi bisa memeluk Mentari lagi, tangisnya ikut tumpah di pelukan itu. Rindu dan haru jadi satu. Rindu kepada Mentari dan sedih karena Gamal sudah pergi sehingga mereka tidak bisa melepas rindu bertiga.
Jika Ruby bisa memilih, tentulah enak menjadi orang biasa. Tidak perlu ada yang hilang hanya untuk mendapatkan hidup nyaman. Namun, dia adalah Ruby, anak seorang fisikawan nuklir yang dicari-cari pihak lawan. Meski Mentari memutuskan berhenti berkecimpung di persenjataan nuklir, mungkinkah semua ini selesai? Mungkinkah kepindahannya menghentikan segala teror yang ada? Ruby berharap iya.
Perlahan, satu per satu, Tuhan menjawab harapan dan doa-doa Ruby. Ketakutannya selama sebulan pertama tidak terbukti. Dmitri banyak menemaninya. Lelaki itu juga menolong banyak hal seperti menemukan Dojo Aikido di Moskow.
Begitu pula kehidupan, Mentari menata ulang kehidupan Ruby. Mamanya memilihkan dan mendaftarkan Ruby di Sekolah Indonesia Moskow yang berada di kompleks Kedubes RI. Mentari mengerti kalau Ruby perlu penyesuaian untuk memperlancar bahasa Rusianya. Ruby suka bersekolah di sana dan tidak menyangka akan bertemu dengan orang-orang Indonesia lagi. Ia masih dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan beberapa orang teman sembari belajar lebih dalam bahasa Rusia.
Mentari sempat dipanggil beberapa kali oleh Badan Nuklir. Sang mama pernah membagi resah kepada Ruby bahwa dirinya tidak ingin berurusan dengan nuklir. Akan tetapi, Mentari kali ini bukan diminta kerja untuk pembuatan senjata. Badan Nuklir meminta Mentari untuk ikut rembuk dalam penelitian dan pembuatan alternatif penanggulangan limbah nuklir agar dapat bermanfaat bagi orang banyak dan keberadaan energi itu tidak ditolak para aktivis lingkungan. Itu yang membuat Mentari bimbang.
Sebagai anak, Ruby merasa tidak berhak menentukan apa pun. Dia hanya meminta Mentari berpikir lagi. Bukankah ibunya kemarin tidak mau membuat senjata karena jiwanya tidak tenang? Penelitian mengenai limbah nuklir baginya adalah dedikasi yang bisa Mentari buat untuk semua pihak dan Ruby tidak melihat hal itu sebagai hal yang salah. Akhirnya, dengan dukungan Ruby, Mentari menerima tawaran Badan Nuklir tersebut.
Bagaimana dengan Rimba? Cowok itu masih suka mengirimkan ucapan selamat pagi ketika Moskow baru pukul tiga pagi, masih suka ngambek jika Ruby tidak mengiriminya foto saat diminta, dan masih menutup pesannya dengan 'aku sayang kamu'.
Mira, Untung, Nanda dan Zikra masih suka ngereceh di grup dan pacarnya sering kali diusili oleh mereka.
Ruby merasa semua pas, berjalan di jalurnya. Mungkin benar kata Albus Dombledore kalau kebahagiaan dapat ditemukan, bahkan di saat-saat paling kelam, asalkan seseorang ingat untuk menghidupkan sisi terangnya.
Ia menghela napas dalam, mengamati bangunan di depannya. Kubah emas Masjid Katedral Moskwa yang sangat memukau. Diam-diam, ia bersyukur atas segala yang pernah terjadi di hidupnya, yang baik dan buruk. Jika saja buruk tidak pernah datang, Ruby tidak akan pernah belajar dari sana.
Ruby memutuskan untuk duduk di pelataran parkir, menunggu Mentari dan Dmitri. Memasuki bulan ketiga, Ruby sudah meminta Dmitri agar tidak perlu repot untuk mengantar dan menjemputnya ke sekolah. Dia merasa bisa melakukan sendiri dan sudah seharusnya Ruby tidak takut apa-apa lagi. Ponselnya bergetar, ada pesan dari Rimba yang sedang jam istirahat di sekolah. Kata Rimba, semalam dia habis menulis puisi dan membacakan untuk Ruby. Sebuah pesan suara masuk ke WhatsApp-nya. Ruby memutar rekaman itu.
Berbeda poros, dia menarikku
Mencengkeram hati kuat
Penuh arus melenakan
Aku bergerak tak seimbang
Dia adalah keindahan surga yang terperangkap dalam dunia fana
Dia mampu membebat kakiku dengan tepat
Pada momentum itu aku meluruh, merapuh, bersimpuh
Dia adalah magnet bumi
Dan aku jarum kompas yang selalu menujunya.
Ruby tersenyum sendiri, tidak menyangka Rimba bisa membuat puisi semanis ini. Sebelum menjawab, sebuah panggilan video sudah masuk. Dengan berusaha menyembunyikan senyum, Ruby menjawab panggilan video untuk melihat sosok yang dirindukan.
"Halo," sapa Rimba dengan muka yang masih saja mampu membuat Ruby deg-degan melihatnya. "Kamu di mana?"
"Moscow Cathedral Mosque," jawab Ruby sambil mengganti kamera ke arah belakang, memperlihatkan sekitar. "Lagi nunggu Mama dan Dmitri yang lagi shalat."
"Cakep ya masjidnya," ujar Rimba. "Tapi lebih cakep kamu sih."
Ruby menggigit bibir. "Ini masjid paling tinggi di Eropa. Eh, ganggu nggak?"
"Nggak." Rimba mengalihkan kamera, menyorot kondisi kelas yang sedang sepi. Cowok itu lalu tersimpul. "Cuma rindu sih yang ngeganggu."
"Belajar, Bang. Kangen melulu." Ruby balik tersenyum melihat lengkung manis di bibir Rimba.
"Aku lagi belajar, ya. Belajar caranya menahan rindu."
Jelas sekali Rimba menggombal, tetapi Ruby tetap saja tersipu. "Rim...."
"Ya, Sayang?"
"Apa, sih? Didenger orang nanti."
"Lho? Ya, biarin. Kan aku emang sayang kamu," jawab Rimba masa bodoh. "Kenapa? Kenapa?"
"Apanya yang kenapa?" Ruby membalikkan pertanyaan Rimba.
"Tadi panggil aku, kenapa? Kangen, ya?"
Ruby mencebik. "Nggak."
Cowok di layar tampak menaikkan alisnya. "Sejak kapan Rubyku nggak jujur?"
"Nggak sedikit maksudnya," jawab Ruby sampai menggigit bibir sendiri, terasa aneh mendengar gombalan diri sendiri. Ia dapat mendengar tawa Rimba yang membahana di telinganya. Dari kejauhan, Ruby melihat Dmitri berjalan bersama Mentari. "Eh, Rim. Udah dulu, ya. Mama sama Dmitri udah dateng."
"Oke, aku juga mau ke kantin."
"Salam buat yang lain, ya. Dadah." Tangan Ruby ikut melambai.
"Ciumnya mana?" tanya Rimba usil.
"Hei!" tegur Ruby membelalak, Rimba malah tertawa lagi. Cowok itu melambai di layar sebelum Ruby mengakhiri panggilan dengan sebuah kalimat. "Rim, aku sayang kamu."
Setelah berkata seperti itu, Ruby langsung mematikan panggilan. Iya, dia masih saja malu walau status mereka sudah berubah. Jika bukan karena hal-hal yang perlu, Ruby jarang sekali memberitahu kalau dia menyayangi Rimba.
Ruby bangkit dari duduk, hendak menghampiri Mentari dan Dmitri tetapi ada sebuah benda dingin menyentuh pelipis kirinya. Seorang berjubah yang dari tadi duduk tak jauh dari dia tampak menodongkan pistol di kepalanya. Tatapan pria itu mengarah ke Mentari dan Dmitri yang otomatis berhenti di tempat.
"Ini peringatan terakhir, Sasha. Bergabung bersama kami atau satu per satu kesayanganmu akan kami bunuh."
Ruby dapat melihat kegalauan di mata Mentari. Ibunya pasti berat sekali memilih antara tekanan dan idealisme. Ruby dapat mengerti kenapa Mentari tidak mau lagi membuat senjata, mamanya merasa lebih banyak kerugian daripada manfaat. Kokang pistol ditarik, Ruby dapat mendengar Mentari berusaha menahan dan berkompromi dari jauh. Mata wanita itu berkaca-kaca.
Hal kecil yang kita buat kadang berarti besar untuk orang lain. Kalimat terakhir percakapannya dengan Gamal itu selalu Ruby ingat. Mungkin apa yang dia buat sekarang tidak ada yang tahu, tetapi ini demi keputusan Mentari yang didukungnya. Dia juga tidak mau Mentari kembali berurusan dengan senjata pemusnah massal tersebut. Kali ini, Ruby tidak keberatan jika memang dia harus menjadi korban. Ruby akan tetap mendukung keputusan Mentari seperti Gamal mendukung wanita itu.
"Ma, Ruby nggak papa. Mama jangan pernah berubah pikiran. Ruby rela, Ma."
"Ruby...."
Ruby menatap mata Mentari dengan keteguhan hati. Masih banyak ibu yang ingin memeluk anaknya, anak yang ingin dipangku ayahnya, sekumpulan siswa-siswi yang bercanda ria di sekolah, Ruby keberatan jika dunia nantinya berakhir dengan perlombaan senjata-senjata yang hanya menghancurkan harapan dan kedamaian umat manusia.
Planet ini masih berjalan karena pengorbanan dari orang-orang yang tidak tercatat dalam sejarah. Jika dia akan menjadi salah satunya, tidak apa-apa. Seperti Pluto yang ada tetapi dianggap tidak ada. Dia dan Pluto adalah sama. Mungkin, inilah saat Tuhan mengabulkan cita-cita juga harapan kedua orang tua kepadanya, bermanfaat untuk orang banyak.
Dor!
Lagi, desing asing yang pernah dia dengar saat Gamal roboh, meledak di telinganya. Suara itu memekakkan telinga dan sekitar menjadi gempar.