Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU
About Us  

Let your light shine so brightly that others can see their way out of the dark.

***

Seseorang sudah menunggunya di depan pagar dengan senyum yang sangat lebar. Rambutnya sudah mulai panjang, kira-kira di atas bahu. "Akhirnya, datang juga."

"Dia tau nggak?" tanyanya.

"Nggak, aman!" Mira mengajaknya masuk dan melewati belakang koridor kelas dua belas. "Dia lagi di back stage, sih."

Ruby tersenyum, berarti memang dia tidak terlambat. Kakinya menyusuri lantai sekolah yang terakhir dilihat enam bulan lalu. Tempat ini masih sama, hijau, asri dan merindukan. Ruby tidak menyangka bisa kembali ke sekolah ini, meski cepat atau lambat dia tetap harus datang ke Indonesia untuk mengambil akte dan surat-surat Gamal.

Kata orang, saat ajal menjemput, satu per satu ingatan terdalammu akan berputar. Kenangan baik dan kenangan buruk semua datang berkelebat. Saat kepalanya ditodong pistol, saat itu satu per satu ingatan mengabsen dalam benak Ruby. Petuah Gamal, harapan Mentari, senyum Rimba juga kelucuan penghuni belakang yang ia rindukan. Entah mengapa hatinya tiba-tiba berontak, bukan berarti dia mengizinkan Mentari kembali membuat senjata tetapi Ruby keberatan jika harus mengalah untuk orang-orang yang tidak pernah memikirkan orang lain. Dia tidak ingin mati dengan cara seperti itu. Dia tidak ingin diam dan menyerah untuk kalah.

Lalu semua berjalan refleks di luar rencana Ruby, tubuhnya berhamonisasi sendiri. Aikido yang dipelajari dari umur empat tahun menyelamatkannya. Hal pertama yang disadari Ruby adalah badannya otomatis bergeser mundur, tangannya dengan cepat meraih pergelangan tangan penembak, memutar telapak tangan orang itu, mengarahkan pistol ke pemiliknya. Semua bergerak cepat tanpa bisa dicegah. Ruby tidak pernah ingin mencelakai orang, penembak itu terkena peluru miliknya sendiri.

"Sini, kita duduk di sini. Biar Rimba kaget." Mira mengajaknya duduk di bangku semen yang bentuknya belum berubah. "Gue bawain bunga, nih. Ntar lo kasih ke dia, ya," ujar Mira lagi.

Ruby hanya tersenyum akan niat baik sahabatnya Rimba tersebut. Sekolah sangat ramai saat ini, class meeting yang seharusnya ada digantikan oleh Pensi. Panggung besar dan tinggi, sound system yang menggantung juga lampu-lampu yang ramai. Diam-diam Ruby mengagumi dan mengacungi jempol kerja OSIS di sekolah lamanya ini.

"Eh, Ruby?" Sebuah suara datang dan duduk di sampingnya. "Beneran dateng, ya? Gue pikir Mira bohong."

"Ye, ngapain gue bohong? Udah mau bikin surprise juga masa harus bohong, sih?" jawab Mira meledek Cleopatra.

"Iya, sori. Gue sangsi aja. Kan Ruby sekolah," sahut Cleopatra yang saat ini terlihat lebih ceria. Cewek berambut panjang itu masih cantik, kali ini tampak lebih memperhatikan lawan bicaranya, hal yang dulu tidak pernah dibuat oleh seorang primadona seperti Cleopatra.

"Gue libur, kok." Ruby menoleh ke Cleopatra. "Libur tiga bulan, baru masuk nanti bulan September."

Cleopatra terlihat mengangguk-angguk, mencoba mengerti. "Oh, berarti lo lama dong di sini? Ayo, kita atur jalan-jalan!" ajaknya antusias. Cewek itu bahkan merangkul lengan Ruby.

"Enak aja, Ruby bakal naik gunung sama kami," balas Mira mendelik.

"Ya, kan, naik gunung juga nggak lama-lama. Kita nonton, yuk. Untung payah banget kalo diajak nonton," bujuk Cleopatra dengan manja.

Hal itu membuat Ruby berpikir, tidak ada salahnya mulai berteman dengan Cleopatra. Kata Rimba, cewek itu sekarang banyak berubah. "Boleh, boleh. Nanti kita atur."

Pembicaraan mereka terjeda karena Mira memotong pembicaraan. "Eh, udah-udah. Itu mereka. Gue ke sana dulu ya," ujar Mira sambil beranjak pergi menenteng kamera. 

Mira memang ditugaskan Rimba untuk merekam penampilan mereka hari ini, yang nantinya video itu akan dikirimkan kepada Ruby. Namun, bukan Mira namanya jika tidak mengatur semua sesuai keinginan cewek itu. Mira yang sudah bertanya jadwal libur sekolah Ruby lantas memberi tahu kalau di sekolah lama mereka akan ada pertunjukan seni dan Rimba akan tampil di sana.

Tatapan Ruby teralih. Cowok itu masih yang sama di matanya. Sosok yang pintar, lucu, menarik. Seseorang yang Ruby kagumi caranya tertawa dan menularkan tawa kepada sekitarnya.

"Dari yang sudah-sudah, cinta hanyalah bualan. Dari yang sudah-sudah, hanya rasa tanpa tujuan."

Ruby berdiri dari bangkunya, menggenggam mawar yang diberikan Mira. Sepanjang hidup, Ruby tidak pernah suka jadi tontonan orang. Namun saat ini, entah mengapa keinginan menghampiri Rimba tidak dapat dibendung lagi. Bibirnya otomatis tersenyum melihat Rimba menyanyikan lagu Mercusuar. Cowok itu tidak sadar kalau dia ada di tengah keramaian ini. Rimba tidak sendiri, di panggung ada Untung, Nanda dan Zikra. Mereka masih seperti dulu.

"Aku ingin berhenti. Lelah aku mengarungi. Aku ingin bersandar. Menikmati bintang berpijar."

Dia masih Rimba yang sama. Ruby ingat bagaimana Rimba mampu membuatnya tertawa kepada orang asing. Ruby ingat bagaimana Rimba menghiburnya dengan trik jitu ala cowok itu. Ruby ingat bagaimana Rimba mengajarinya belajar tanpa takut kalah. Dari Rimba juga dia belajar percaya kepada orang lain.

"Uuuu... Sampai nanti. Sampai kita bertemu kembali. Uuuu... Sampai nanti. Cahayamu menuntunku lagi."

Tanpa Ruby sadari, kakinya terus berjalan membelah lapangan, membuat orang-orang yang menyadari kedatangannya lantas berteriak atau berseru menggoda Rimba. Mulai menyadari apa yang dikerjakannya, Ruby tetap tidak malu atau canggung kali ini meski kamera Mira mengarah kepadanya. Keinginan untuk bertemu Rimba memupuskan rasa malunya. Saat di depan panggung, dia dapat melihat keterkejutan di mata cowok itu, tetapi dia juga dapat melihat kebahagiaan yang lebih besar daripada rasa lainnya.

"Jangkar sudah terjatuh. Aku sudah benar benar luluh." Rimba bersenandung sambil menunjuk Ruby. "Yang aku lihat terang, yang kulihat masa depan. Hangat dalam dekapan. Aku merasa sedang pulang."

"Cie, Rimba salting, cie!" Mira dengan suara cetarnya mulai menyoraki dari balik kamera.

"Ih, mereka lucu banget, sih?!" Cleopatra yang sedari tadi membuntuti Ruby lalu tersenyum sambil menangkupkan kedua tangan di pipinya, gemas melihat interaksi Ruby dan Rimba.

Mira melengos. "Lebih lucuan lo sama Untung. Dikit-dikit berantem, dikit-dikit baikan. Begitu aja terus sampe Upin Ipin tumbuh rambut."

Sementara di depan sana, bunga yang disodorkan Ruby diterima Rimba dengan senang hati. Dan sepertinya lirik Kunto Aji memang menggambarkan isi hati penyanyinya.

"Kapalku tlah bersauh. Aku tak ingin jauh. Padamulah aku akan berlabuh."

***

Rimba mendadak tidak sabar. Begitu selesai, dia langsung menghambur dan meninggalkan sahabat-sahabatnya yang sedang membereskan peralatan. Kakinya setengah berlari menyusuri koridor sekolah, menuju tempat di mana Ruby dan yang lain duduk. Senyumnya terbit dua kali lebih terang setelah menerima bunga dari cewek itu dan saat sampai di belakang Ruby, kedua tangan dia menutup mata sang pacar. "Tebak siapa?" ujarnya.

Ruby hanya tersenyum karena sudah tahu jawabannya. Sepertinya tanpa perlu Rimba tutup mata, cewek itu juga mengenali suaranya.

"Voldemort!" jawab Mira asal, diiringi kekehan Cleopatra.

"Woy, Alas Roban!" panggil Untung yang baru datang dengan menenteng kotak gitar. "Mentang-mentang ada si Eneng, kita dilupain, ya! Memang sodara seiring sejalan lo ini, ya. Kami di siring, lo di jalan."

Tanpa memedulikan protes Untung, dirinya mengacak pelan kepala Ruby. "Kamu kapan sampe, sih? Kok nggak kabarin aku?" tanyanya sambil mencubit sebelah pipi Ruby. "Tembeman deh, Mirah Delima-ku ini."

Ucapan Rimba barusan membuat beberapa orang di sekitar ikut menoleh, mencoba mencocokkan kepergian Ruby dengan menghilangnya puisi-puisi milik Mirah Delima di BOS. Ditatap seperti itu, Rimba makin melebarkan senyum. Dia menggandeng tangan Ruby dan berkata, "Iya. Dia yang namanya Mirah Delima di BOS, dan semua puisi-puisi Mirah Delima itu cuma buat gue," terangnya mantap.

"Nggak juga, deh, Rim," cicit Ruby.

"Sst... Udah diam aja, anggap aja iya," bisik Rimba sambil mengajak Ruby mengikutinya. "Yuk, ke kantin. Aku kangen banget sama kamu."

"Bohong, Liv. Bohong! Jangan percaya," sela Untung.

"Iya, Liv. Kami aja ditinggalin, apalagi lo. Abang Rimba tega..." Langkah Nanda dan Zikra mulai merapat ke mereka berdua.

Rimba menoleh dan mendapati lima orang sudah mengikutinya dan Ruby. Ada Untung, Cleopatra, Mira, Nanda dan Zikra. "Ngapain lo pada ngekorin kami? Nggak bisa ngelihat orang kangen-kangenan apa?!"

Zikra terbahak lebih dahulu dari yang lain. "Weits, selow, Komandan. Kami juga mau ke kantin kali. Jalan ke kantin kan lewat sini, masa kami mesti terbang lewat langit?"

"Sensi amat. Takut banget Olivenya diganggu," ejek Nanda.

"Sori, Mbek. Gue udah punya Cleo, jadi nggak mungkin ganggu Olive lo. Untung ini orangnya setia. Ya, nggak, Yang?" Untung yang sudah berjalan di samping Cleopatra, mengerling genit ke gadis itu dan dibalas Cleopatra dengan mencibir.

"Ini lagi. Jangan percaya, Cleo! Kalo kata Bokap gue, singkatan setia itu maksudnya setiap tikungan ada," sanggah Nanda.

"Selingkuh tiada akhir," tambah Zikra memanas-manasi. "Coba lo pikir, Untung nggak mau 'kan lo ajak nonton? Aneh nggak? Kalo gue jadi lo, udah gue putusin dari dulu. Udah pasti selingkuh itu."

Cleopatra langsung menoleh tajam ke arah Untung, ucapan Zikra dinilainya masuk akal. "Bener gitu, Yang?" tanya cewek itu mendesak dan menyelidik. Sebelum Untung sempat menjawab, cewek itu sudah berbalik arah, meninggalkan Untung.

"Eh, Yang..." Untung menggaruk kepalanya, lalu menitipkan kotak gitar kepada Mira. "Nanda, Zikra. Awas lo berdua, ya!" seru cowok itu sambil mengejar kepergian Cleopatra.

Nanda, Zikra dan Mira tertawa-tawa. Kejadian tadi malah membuat Ruby meringis, merasa tidak enak hati melihat pertikaian itu.

"Udah, nggak apa-apa," sahut Rimba dari samping. "Orang itu berdua memang kebanyakan drama. Bentar lagi juga baikan."

Mereka memasuki kantin Pespel dan duduk di kursi yang kosong. Anak-anak kelas dua belas sudah tidak terlihat karena sudah lulus-lulusan. Ruby seketika teringat dengan Naraya, senior Rimba yang setiap perkataan spontannya secara tidak langsung membantu Ruby lewati hal-hal buruk dalam hidup. "Kak Naraya apa kabarnya sekarang? Kuliah di mana?"

"Baik. Sekarang, Kak Nay udah bisa jalan walaupun masih pake tongkat. Sehabis lulus, dia pindah ke Abu Dhabi, ikut keluarganya," jawab Rimba sambil menyodorkan sebotol teh yang baru saja diantar penjaga kantin. Mata cowok itu terpaku ke wajah Ruby tanpa berkedip.

"Kenapa?" Ruby merasa risi dilihat seperti itu.

Rimba hanya berkemam. "Gula di Rusia beda ya sama gula di Indonesia?" tanyanya.

"Kalo buat minum teh, di sana pakenya gula kotak gitu, sih. Kenapa memangnya?" jelas Ruby. Dia sebenarnya tidak mengerti mengapa Rimba tiba-tiba bertanya tentang gula.

"Mau jadi importir gula dia, Liv," sela Nanda enteng.

"Diem deh, Nda. Kita tunggu jawaban Mbek apa," protes Zikra.

"Memang kenapa, Mbek?" tanya Mira yang diam-diam menguping jadi ikut penasaran. 

Rimba tersenyum, menampakan bahagianya di depan Ruby. Tidak peduli akan dicerca apa, dia menjawab pertanyaan tadi dengan santai. "Soalnya udah lama nggak ketemu, pacar gue tambah manis banget."

"Yaelah..." Baik Mira, Zikra dan Nanda langsung beranjak menarik teh botolnya dan pindah tempat duduk.

"Nyesal gue duduk di situ! Nyesal!" Nanda menunjuk-nunjuk bangku di sebelah Rimba.

"Perlu ke THT kayaknya gue abis ini," sesal Zikra menggosok-gosok telinganya.

"Mual gue dengernya, ya ampun." Mira ikut bergidik dan menjauh dari pasangan itu.

Tawa Rimba langsung pecah. Dia sengaja seperti itu agar yang lain memberinya kesempatan berdua bersama Ruby. Gelak Rimba berhenti ketika sebuah cubitan bersarang di lengan. "Sengaja tadi, biar mereka pergi," terangnya. Namun, cubitan Ruby masih bertubi-tubi dan tidak berhenti sampai Rimba minta ampun kepada cewek yang bermuka lebih merah dari teh dalam botol. "Ruby, ampun, Ruby. Sakit."

Ruby menghentikan cubitan dan tersenyum, menontoni Rimba mengusap berulang kali bekas cubitan yang memerah. Mata elang cowok itu menatapnya lagi, kemudian berbisik, "Tapi memang bener, kamu tambah cantik sekarang. Mirah Delimaku benar-benar berkilauan, deh."

Mata mereka bertumbukan, Rimba seakan serius dengan pujiannya tak peduli akan reaksi Ruby yang mencibir.

Bagi Ruby, dia bukanlah matahari yang memancarkan sinar sehingga kalaupun dia berkilau itu semata-mata karena cahaya yang lain. Berlian tidak memiliki cahaya sendiri, berlian hanya memiliki indeks bias yang sangat tinggi sehingga jika cahaya masuk akan dibiaskan dengan sangat kuat. Cahaya yang keluar dari berlian akan memantul dan menghasilkan kilau yang terang dan indah. Kalaupun dia berkilau itu semata-mata karena hidup menempanya dan pengalaman yang mengasahnya. Dia berkilau juga berkat cahaya mereka: orang-orang baik yang ada di sekelilingnya, orang-orang jauh yang mendukungnya dan orang-orang yang memberikan manfaat bagi orang banyak tanpa repot dikenali. Ruby berkilau untuk Mentari, untuk Gamal, untuk Ibu di depan ICU yang sampai sekarang tidak diketahui namanya, untuk aikido, untuk mereka semua yang tidak bisa disebutkannya satu per satu. Dia berkilau sebagai wujud terima kasih kepada semuanya.

"Olive you. Makasih ya udah kasih surprise tadi," bisik Rimba lagi sambil membuat tanda hati dengan jempol dan telunjuknya, "Oh, iya. Jadi gimana udah ketemu cita-citanya mau jadi apa?"

"Udah! Aku mau menyelamatkan dunia," jawab Ruby sambil tertawa seolah-olah dia adalah pahlawan super. "Kalo kamu?"

"Jadi Doktor." Rimba memamerkan giginya.

"Serius?" Ruby yang tahu bagaimana pertikaian Rimba dan papanya akhirnya mengembus napas lega. "Akhirnya kamu mau masuk kedokteran juga."

"Doktor bukan dokter," jelas Rimba. "Kayaknya menantang jadi Doktor Nuklir. Gimana?"

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
IMAGINE
382      272     1     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.
Monday vs Sunday
112      97     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...
Liontin Semanggi
1438      869     3     
Inspirational
Binar dan Ersa sama-sama cowok most wanted di sekolah. Mereka terkenal selain karena good looking, juga karena persaingan prestasi merebutkan ranking 1 paralel. Binar itu ramah meski hidupnya tidak mudah. Ersa itu dingin, hatinya dipenuhi dengki pada Binar. Sampai Ersa tidak sengaja melihat kalung dengan liontin Semanggi yang dipakai oleh Binar, sama persis dengan miliknya. Sejak saat...
Resonantia
327      283     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
God, why me?
190      155     5     
True Story
Andine seorang gadis polos yang selalu hidup dalam kerajaan kasih sayang yang berlimpah ruah. Sosoknya yang selalu penuh tawa ceria akan kebahagiaan adalah idaman banyak anak. Dimana semua andai akan mereka sematkan untuk diri mereka. Kebahagiaan yang tak bias semua anak miliki ada di andine. Sosoknya yang tak pernah kenal kesulitan dan penderitaan terlambat untuk menyadari badai itu datang. And...
U&O
21072      2108     5     
Romance
U Untuk Ulin Dan O untuk Ovan, Berteman dari kecil tidak membuat Rullinda dapat memahami Tovano dengan sepenuhnya, dia justru ingin melepaskan diri dari pertemanan aneh itu. Namun siapa yang menyangkah jika usahanya melepaskan diri justru membuatnya menyadari sesuatu yang tersembunyi di hati masing-masing.
Langkah yang Tak Diizinkan
167      139     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
1975      1174     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
Bullying
571      351     4     
Inspirational
Bullying ... kata ini bukan lagi sesuatu yang asing di telinga kita. Setiap orang berusaha menghindari kata-kata ini. Tapi tahukah kalian, hampir seluruh anak pernah mengalami bullying, bahkan lebih miris itu dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Aurel Ferdiansyah, adalah seorang gadis yang cantik dan pintar. Itu yang tampak diluaran. Namun, di dalamnya ia adalah gadis rapuh yang terhempas angi...
Kala Senja
34949      4902     8     
Romance
Tasya menyukai Davi, tapi ia selalu memendam semua rasanya sendirian. Banyak alasan yang membuatnya urung untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia rasakan. Sehingga, senja ingin mengatur setiap pertemuan Tasya dengan Davi meski hanya sesaat. "Kamu itu ajaib, selalu muncul ketika senja tiba. Kok bisa ya?" "Kamu itu cuma sesaat, tapi selalu buat aku merindu selamanya. Kok bisa ya...