Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU
About Us  

We just became strangers who knew each other too well.

***

"Cari siapa, Abang Sayang?"

Untung duduk di sampingnya ketika Rimba berulang kali melirik ke kantin sebelah. Hari kedua class meeting, tetapi Rimba tetap tidak menemukan Ruby lagi. "Apa aja yang nggak ada lo-nya," balas Rimba sembari menandaskan makanan yang ada. 

Zikra dan Nanda yang sedari tadi juga memperhatikan Rimba lantas tersenyum penuh makna. "Galaknya makin aja, ya. Ngerasa nggak sih lo, Zik?"

"Banget! Dulu nggak pernah galak sama kita-kita. Aku tuh syedih." Zikra mulai membuat-buat intonasi.

Mendengar sindiran itu, Untung cengengesan. "Kalo kata Generasi 2000-an. Cinta itu memang tak ada logika, sih. Ya nggak, Mbek?"

Zikra langsung menggendang lagu Agnezmo dan Untung mulai bersiap-siap untuk bergoyang ala diva itu. 

"Nggak tau!" sahut Rimba telak. Ia meraih gitar dan memetik asal, memilih lebih dulu bernyanyi daripada diserang kode keras dari komplotan tengil. "Time, its needs time. To win back your love again. I will be there. I will be there."

"Yasalam! Gue sekarang ada di abad berapa, sih? Kenapa kayaknya balik ke zaman Engkong gue, woy?" Untung menutup telinganya, setelah gagal dance ala Agnez barusan.

Bukan ikut menyahut, Zikra yang sering dapat jatah sebagai drummer malah menepuk meja iringi petikan Rimba. Mereka memang pertama kali kenal bukan di sekolah, melainkan di les musik. 

"Love, only love. Can bring back your love someday. I will be there, I will be there."

Sebagai penerus tukang nyanyi-nyanyi nggak jelas di kantin, tentu komplotan Rimba mengenal banyak jenis lagu termasuk lagu aneh bin nyeleneh sekali pun. Jadi untuk lagu-lagu lawas seperti milik Scorpion yang dinyanyikan Rimba, bukan hal asing di telinga mereka.

Setelah lagu pertama, Rimba meneruskan lagu-lagu lama yang belakangan sering didengarnya. Di lagu ketiga, gitar direbut Nanda. "Lo pasti capek. Biar gue yang main."

Cowok itu mengedip ke Untung dan Zikra, lalu bergenjreng. Dari gitarnya direbut, Rimba dapat mengendus bahwa ketiga anak itu akan mengoloknya. Dan benar saja, lagu yang dinyanyikan Nanda benar-benar ditujukan untuknya.

"She's gone. Out of my life. I was wrong. I'm to blame. I was so untrue. I can't live without her love." Nyanyian Nanda disusul Zikra dan Untung. Mereka bertiga lalu seolah-olah adalah band kondang. Rimba berakting meludah begitu mendengar lirik yang dinyanyikan ketiga orang itu. Apalagi saat di bagian reff, seperti sengaja diteriakkan kuat-kuat ke arahnya. Gayanya Untung sudah meniru vokalis Steelheart dengan lengkingan khas. "Lady, won't you save me? My heart belongs to you. Lady, can you forgive me? For all I've done to you." 

"Lady, oh, lady...." Untung bergerak maju, menujuk ke arahnya, dan langsung Rimba balas dengan lemparan sendok. Cowok itu mengelus kepala yang terkena lemparan sendok sambil menyengir.

"Rimba." Cleopatra memanggil dari pintu, membuat keempat orang itu menoleh.

"Ngapain lo ke sini?" Bukan Rimba yang menyahut melainkan Mira, yang sedari tadi berbicara dengan Naraya. Mata Mira terlihat sinis.

"Gue cari Rimba, kok," balas Cleopatra menaikkan dagu.

"Rimba sibuk. Noh, Untung tuh available. Tung, urus dulu ternak lo ini." Mira berdiri sambil melipat tangan di depan pintu. Seolah tidak mengizinkan Cleopatra memasuki wilayah mereka.

"Ternak?!" pekik Cleopatra, tensinya mendadak tinggi disamakan dengan hewan.

"Kenapa? Lo nggak suka?! Orang nggak beradab kayak lo nggak pantes sih disebut manusia." Mira maju ke depan pintu, menantang tatapan Cleopatra. Tanpa aba-aba, ketiga orang yang bernyanyi tadi langsung merangkul Mira dan memberi celah antara cewek itu dan Cleopatra. 

"Cleo, bagus lo pergi." Zikra mengulas senyum singkat dan mengusir halus Cleopatra.

Bukannya pergi, cewek itu malah maju dan menarik rambut Mira. Bukan Mira namanya jika diam saja, ia balas menarik rambut Cleopatra. Tidak hanya itu, Mira yang terlepas dari rangkulan Zikra langsung mendorong Cleopatra kuat-kuat sampai jatuh ke tanah. Cewek tomboi itu mencengkeram leher Cleopatra dan menaruh kepalan tangannya di depan jidat Cleopatra sebagai peringatan.

"Gue bukan Ruby yang bisa sabar kalo diganggu! Jadi, jangan macam-macam sama gue dan sodara-sodara gue!" Mira menoleh ke belakang, di belakangnya sudah berkumpul anak-anak Pasuspala. "Kalo lo ganggu Rimba, musuh lo bukan cuma Rimba," bisiknya, "tapi juga gue termasuk mereka."

Rimba datang menghampiri, menarik lepas cengkeraman Mira dan merangkulnya pergi. Cowok itu tidak membantu Cleopatra sama sekali, seperti membalikkan berita yang beredar kalau mereka berdua sedang menjalin percintaan.

Cleopatra menjerit histeris. Gengnya mulai datang dan membawa cewek itu pergi. Namun, teriakannya masih menggema di sekitar kantin, meraung-raung tanpa kendali. Cleopatra menendang vas-vas bunga di sekitarnya. Membuat Rimba terpaksa hubungi Nabila dan meminta perawat segera menjemput Cleopatra. 

"Lo kenapa sih gitu, tadi? Kalo dilihat guru, bisa masuk BK, Mir. Ingat! Kita ini pengurus, kita harus jaga reputasi organisasi. Pasuspala bukan tukang berantem." Rimba menatap serius raut Mira. Kejadian tadi membuat mereka berlima langsung ke sekre Pasuspala.

"Karena semua gara-gara dia," balas Mira masih emosi. "Diam-diam gini bukan gue nggak tahu kalo dia yang kirim berita tentang Ruby ke BOS. Gara-gara dia, lo jadi kayak gini."

"Kayak gimana?" tanya Rimba. Mira melirik Untung, seolah meminta pemuda itu yang jelaskan maksudnya. Untung mengangkat bahu, melempar tatapan ke Nanda. Yang dilempar tatapan malah balas menaikkan alis ke Zikra. Rimba memperhatikan keempatnya. "Kenapa pada diam semua?"

Zikra menggaruk kepala, terasa susah untuk mengungkap pemikirannya. "Mbek, kita ini apa? Saudara, 'kan?"

Rimba mengangguk. 

"Susah senang, hancur lebur dihajar pelantikan, kita tetap sama-sama, 'kan?"

Rimba mengangguk lagi.

"Lo inget nggak? Kata Kak Nay, kita ini saudara selamanya. Pernah mikir nggak, kalo kami tahu apa yang lagi ada di kepala lo?"

Rimba terdiam.

"Kami tahu, Mbek. Walaupun lo nggak cerita, lo sok nggak peduli, sok santai. Isi kepala lo kecium, Belantara Rimba!" Zikra menjelaskan. "Kami sebenernya nggak mau ikut campur tapi lo makin lama makin aneh. Makin sering diem, makin sering nggak nyambung, makin sering marah."

"Gue begini karena gue peduli lo. Mungkin lo cowok makanya nggak bisa balas Cleo tapi gue cewek, gue bisa balas dia," tambah Mira. 

"Iya, Mbek. Kami begini karena kami peduli. Gue minta maaf kalo kami kadang ngeselin lo tapi semua ini biar lo tuh cerita sama kami." Untung mulai berbicara. Ia mengamati bagaimana perubahan luar biasa yang ada di sebelahnya setiap hari.

"Gue sih khawatir. Lo berubahnya drastis dari dulu biasa aja terus jadi sering ketawa eh tiba-tiba jadi hobi marah. Mood lo jemping-jemping." Nanda menambahi. "Udah jujur aja sama kami. Karena Olive, ya?"

Keempat orang itu serempak memajukan badan dan memicing ke arah Rimba. Mereka juga bersedekap sambil menunggu jawaban.

"Jujur! Nggak jujur gue sumpahin impoten seumur hidup!" seru Untung.

"Iya! Gue sumpahin jones seumur hidup," tambah Nanda.

"Gue sumpahin patah hati selamanya," ujar Mira.

"Gue tikung supaya Olive hilang dari dunia lo." Kalimat terakhir dari Zikra membuat Rimba memukul kepalanya. Sambil mengusap kepala, Zikra terkekeh-kekeh. "Kan, beneran karena Olive. Sini, cerita dulu. Kami sengaja gelar lapak, spesial buat Abang Rimba seorang."

"Banyak bacot!"

"Banyak bacot juga lo sayang sama kita-kita."

"Tokailah."

"Cepet cerita nggak usah banyak ngeles, wahai anak kuda!" Untung mulai memiting Rimba. Senyum yang belakangan lekang, mulai hadir lagi di wajah Rimba. Ia mulai bersuara tetapi janji mereka berempat untuk tidak berkomentar hanyalah bunga bibir karena pada akhirnya sejumlah cercaan diterima Rimba atas ceritanya.

***

Otak adalah otot

Membesar karena sering dipakai

Tetapi jika isinya kamu, hanya kamu

Mungkin sebentar lagi ia berderai

Ia kacau balau didera ingatan tak berhulu

Ia lelah melerai pahatan senyummu

Ia resah akan satu nama yang tenggelam, meletup-letup teriakkan rindu

***

Ruby diam di tempat duduk, memperhatikan suasana kelas yang belum ramai pagi ini. Ia memang tidak masuk tiga hari untuk mengurus surat-surat Gamal. Toh, cuma class meeting saja dan tidak ada pelajaran. Absensi tidak berjalan, tidak ada juga yang mencarinya. 

Ia mulai membuka buku, ingin mengalihkan pikiran dari hal yang bergema-gema di kepalanya, tetapi sulit, kejadian malam itu masih saja membayang jelas. Tamu yang datang setelah ia membaca agenda Mentari, membuat Ruby semakin bertanya-tanya.

"Selamat malam, Ruby," sapa sang tamu dengan suara rendah. Sapaan selamat malam dalam bahasa Rusia itu membuat Ruby menegang. Tidak ada yang tahu ia menguasai bahasa sang mama. "Ingat saya? Saya Andreiy, teman Sasha," ujar tamunya dengan sopan.

"Om ... Andreiy?" Ruby berusaha mengingat sosok di depannya.

Pria berpakaian formal yang kira-kira seumuran Gamal tersebut mengangguk. "Iya, Ruby. Maaf, saya baru mendatangimu. Saya turut berduka cita atas hal yang menimpa Gamal." 

Ruby mengangguk. Ia kemudian ingat kalau pernah melihat Om Andreiy, tapi lupa di mana. Setelah mempersilakan duduk, Ruby meneliti tamunya. Dari pakaian yang dikenakan dan gerak tubuh terlihat kalau dia bukan orang biasa. Om Andreiy mulai membuka pembicaraan. Awalnya pria itu bertanya apa yang akan jadi rencana Ruby ke depan setelah tidak ada Gamal, cita-cita Ruby dan lainnya. 

Lantas di akhir pembicaraan, pria itu mengajak Ruby pindah dan berjanji akan menjadi walinya. Tentu saja hal itu ditolak Ruby. Ia belum mengenal dengan jelas Om Andreiy. Kecurigaannya makin dalam setelah pria itu mendekatkan duduk dan berbisik lirih dalam bahasa Rusia. "Percaya kepada saya, kamu harus pergi. Saya yakin kamu tidak akan menyesal, Ruby. Pertimbangkanlah."

Kepulangan Om Andreiy membuat Ruby berpikir kembali. Rasa penasaran makin membesar dan ia curiga ada apa di balik semua ini. Sembari mengurus dokumen tentang papa, Ruby sempatkan mencari artikel tentang mamanya dari Yandex, mesin pencari sejenis Google keluaran dari Rusia.

Ia tidak menyangka hasil pencarian beberapa hari ini tentang Mentari. Ruby menemukan nama sang mama dalam beberapa laporan. Tertulis kalau Sashenka Zenya Sakharov adalah salah satu periset. Yang menjadi pertanyaannya, mengapa Mentari tidak meneruskan ilmunya saat pindah ke Indonesia?

Ia juga mencari informasi tentang Om Andreiy. Hanya memerlukan waktu sebentar untuk mengetahui bahwa tamunya memang bukan orang biasa melainkan Atase Pertahanan yang ditugaskan di Indonesia.

Mau tak mau Ruby menjadi berpikir, apakah ini semua ada sangkut paut dengan kejadian yang menimpa keluarganya?

"Eh, Olive? Ya ampun, kangen deh. Lama nggak bersua." Untung yang baru masuk ke kelas lantas bersandar di meja Ruby, membubarkan semua dialog di kepalanya. Tak lama, berturut-turut datang Nanda, Zikra dan Rimba. Sosok yang terakhir membuat Ruby menundukkan pandangan.

Nanda dan Zikra mendekat ke Untung setelah sempat melirik ke Ruby. "Ngapain lo, Tung?"

"Temu kangen sama Dedek Olive," jawabnya. "Liv, ke mana aja kok nggak sekolah? Tau nggak sih kalo Abang khawatir?" 

Sebuah tas besar menyasar ke kepala belakang Untung. "Minyak rem lo habis? Blong gitu aja tuh bibirnya," ujar Nanda dengan ujung mata mengawasi bagaimana Rimba tetap berjalan santai menuju belakang.

Untung tetap tersenyum meski kepalanya benjol. Ia kembali menatap Ruby yang hanya menarik segaris senyum datar. 

"Lo dicariin Rimba tau," bisik Zikra kepada Ruby.

"Iya, gelisah dia. Geli-geli basah," bisik Untung lagi dan kembali kepalanya mendapat sebuah pukulan, kali ini dari Zikra. Untung lalu meraih ponsel dan membaca dengan keras. "Janganlah kalian saling memutuskan hubungan, jangan saling membelakangi, jangan saling bermusuhan, jangan saling hasud. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak bertegur sapa dengan saudaranya di atas tiga hari. Tuh, Liv. Kita nggak boleh bermusuh-musuhan apalagi mendiamkan sesama."

"Emang Rimba itu sodara Olive?" sahut Nanda. Cowok itu lantas mengaduh saat ditepuk kepalanya oleh Untung.

"Jangan dengerin setan-setan. Dengerin aja Ustaz Untung." Untung lalu menepuk-nepuk dada. 

Bel berbunyi, murid-murid mulai keluar dari kelas guna menyaksikan babak final pertandingan yang ada di lapangan. Begitu pun Rimba, ia ingin keluar dari kelas saja. Melihat Ruby hari ini hanya akan membuatnya ingin bertindak bodoh tanpa berpikir, seperti menarik cewek itu dan memeluknya tanpa permisi.

"Eits, mau ke mana?" Zikra menahan langkah Rimba di depan pintu. Dibantu Nanda dan Untung, Rimba didudukkan di meja berdekatan dengan Ruby. 

"Apa, sih? Mau nonton tandinglah. Pake nanya lagi," gumam Rimba berusaha cuek.

"Nggak penting. Lo nonton sama nggak nonton juga nggak ngaruh ke hasil," sindir Untung, "bagusan mumpung lo berdua ada di sini, selesaiin dulu masalah yang ada."

Setelah berkata itu, mereka bertiga meninggalkan Ruby yang hanya menunduk di meja. Ruby gamang, tidak tahu harus bagaimana menegur Rimba lebih dahulu. Cowok itu nyatanya hanya diam saja tanpa suara. Detik-detik terasa sangat lambat dan Rimba tidak kunjung berkata. Ruby sendiri kebingungan memulai bicara. Sampai setengah jam berlalu dan mereka masih saja bisu tanpa ada yang memulai terlebih dahulu. Selanjutnya, Rimba akhirnya keluar, meninggalkan Ruby yang memilih menelungkupkan muka.

"Udah?" bisik Untung yang mengintip sedari tadi.

"Belom," jawab Rimba tegas dan berjalan menuju kantin. 

"Emang lo ngomong apa?"

"Nggak ngomong apa-apa." Rimba mengaruk kepala dan mengacak rambutnya kesal. Ia mengacaukan kesempatan yang jelas ada untuknya.

"Jangan bilang lo mendadak bego?" tebak Nanda yang diiyakan Rimba.

"Nggak tahu mau mulai ngomong dari mana," sahut Rimba pasrah.

Untung memekik. "Zik! Tolong ajarin Rimba caranya Googling! Gue mohon! Masa tanya sama Mbah Google juga dia nggak bisa?! Peringkat Satu Paralel bisa bloon juga."

***

"Om Andreiy?"

Jelas Ruby kaget, kenapa pria itu bisa ada di sekolahnya. Hari ini memang pembagian rapor yang diambil oleh wali murid. Namun, karena dia tidak memiliki wali maka ia mengambil rapornya sendiri. Sosok yang dipanggil Ruby lantas menoleh dan mendekati.

"Kenapa Om di sini?" tanya Ruby heran, membuat pria itu tersenyum santai. 

Om Andreiy tidak sendiri, bersamanya ada dua orang lelaki memakai stelan jas yang sama, bedanya yang dua lagi berkacamata hitam dan telinga mereka terhubung oleh earphone tanpa kabel. Dua orang tersebut tidak banyak bicara, geraknya kaku. Satu berada di depan dan satu lagi di belakang ketika Om Andreiy berjalan, membuat Ruby paham bahwa itu adalah salah satu prosedur pengamanan orang penting.

"Tentu saja Om mau mengambil rapormu. Ayo, tunjukkan di mana letak ruang kelas Ruby." Jawaban pria itu membuat Ruby terdiam. Ia berusaha menyembunyikan keterkejutan yang menyergap. Untuk apa Om Andreiy bersusah payah hanya untuk mengambil rapornya? Tugas pejabat tentulah sangat banyak. "Ayo, Ruby."

Tepukkan pelan di pundak menyadarkan Ruby. Ia berjalan pelan di samping Om Andreiy dengan tetap dikawal oleh dua lelaki yang bermuka datar. Kedatangan Om Andreiy bersamanya tentu menyita perhatian. Jarang sekali wali murid yang memakai stelan jas lengkap untuk mengambil rapor. Apalagi selain memakai jas rapi, tampang Om Andreiy yang berambut coklat pirang dan bermata abu-abu menandakan jelas bukan kalau dia bukan WNI. Ruby dapat menangkap bisik-bisikan terarah kepadanya.

Sesampai di kelas, Ruby menunjuk ke pintu. Hanya wali murid yang masuk ke kelas dan ia hanya berdiri bersandar di pembatas luar kelas, memandangi lapangan badminton yang berada di bawahnya. Biasanya Gamal selalu menyempatkan untuk mengambil rapor dia. Ayahnya itu selalu mengajukan izin atau cuti khusus untuk pengambilan rapor. Ruby menatap kosong udara. Ia tidak bisa memprediksi nilainya saat ini. Semester kali ini, hidupnya terasa terlalu banyak masalah membuat Ruby pasrah akan apa yang akan tertulis di buku laporan tersebut. Ia sudah berusaha tetapi bukan berarti akan berhasil dengan baik.

Murid-murid lalu dipanggil untuk berkumpul di lapangan. Seperti biasa, akan ada pengumuman siapa yang mendapat peringkat paralel semester ini. Ruby hanya tersenyum kecil, pasti Rimba akan dipanggil lagi. Sejak awal dia masuk ke sekolah ini, cowok itu terus eksis dengan peringkat satu paralel yang tidak tersingkirkan oleh angkatannya. 

"Tidak turun?"

Om Andreiy ternyata sudah berada di sisinya. Pria itu menemani Ruby yang memandang lapangan dari lantai dua. Ruby menggeleng. Buat apa? Ia bisa menyaksikan pembagian gelar tersohor di sekolahnya hanya dari atas saja.

Seperti mengerti, Om Andreiy hanya diam. Pria itu menunggu Ruby berbicara. Mereka berdua memandang murid yang sudah berkumpul di lapangan dan dewan guru yang naik ke mimbar. Satu per satu pengumuman peringkat paralel dibacakan. 

"Saya sudah memberi tahu wali kelasmu bahwa kamu akan pindah. Kami akan mengurus secepatnya," ungkap Om Andreiy tanpa ditanya dan dari nada bicara sepertinya itu adalah keputusan bulat.

"Om, apakah ini ada hubungannya dengan Mama?" Ruby menoleh dan menunggu kejujuran dari mata abu-abu Om Andreiy.

"Tentu saja." Om Andreiy mengangguk.

"Apa ... Mama komunis?" Ruby tentu memerlukan jawaban itu. Mungkin mama dan papa tidak akan kembali, tetapi ia perlu jawaban atas tuduhan yang selama ini diarahkan kepadanya. "Apa benar Papa teroris?" imbuhnya.

Tawa yang tidak pernah Ruby perkiraan hadir di wajah Om Andreiy. Bukan itu jawaban yang ia mau. Ia tidak perlu ditertawakan. "Tolong jawab saya, Om."

Om Andreiy menoleh ke sekitar. Dua pengawalnya ada satu di depan pintu kelas dan satu di dekat tangga. Ia memberi kode kepada pengawal terdekat agar berjarak. Dan seperti paham, lelaki yang di depan pintu lantas menjauh. Baru saja Om Andreiy akan bersuara, nama Ruby terpanggil dari bawah. 

"Ruby Andalusia kelas 11 IPA-1." 

Pandangan Ruby teralih ke bawah. Ia dapat melihat Untung melambaikan tangan, memintanya ke bawah. Ia juga dapat mendengar dengungan tak terima di sana. Tatapan mata menghakimi seolah menuduhnya berbuat keji. Ruby benar-benar tidak mengerti kenapa namanya disebut sampai Mira datang dan permisi sebentar kepada Om Andreiy. Cewek itu membawanya turun dan memintanya naik ke podium. 

Ruby bengong. Dia masuk peringkat paralel? 

Wow.

Keterkejutan menyerbu Ruby, tetapi tak lama ia membeku ketika melihat Rimba berdiri di atas angka bertuliskan dua dan dirinya diminta naik ke tangga kecil berangka satu.

Tidak mungkin!

Pantas saja tatapan sebagian siswa terlihat memicing. Ia sudah menggeser Rimba dari singgasana abadinya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
P.E.R.M.A.T.A
1873      933     2     
Romance
P.E.R.M.A.T.A ( pertemuan yang hanya semata ) Tulisan ini menceritakan tentang seseorang yang mendapatkan cinta sejatinya namun ketika ia sedang dalam kebahagiaan kekasihnya pergi meninggalkan dia untuk selamanya dan meninggalkan semua kenangan yang dia dan wanita itu pernah ukir bersama salah satunya buku ini .
One Step Closer
2351      984     4     
Romance
Allenia Mesriana, seorang playgirl yang baru saja ditimpa musibah saat masuk kelas XI. Bagaimana tidak? Allen harus sekelas dengan ketiga mantannya, dan yang lebih parahnya lagi, ketiga mantan itu selalu menghalangi setiap langkah Allen untuk lebih dekat dengan Nirgi---target barunya, sekelas juga. Apakah Allen bisa mendapatkan Nirgi? Apakah Allen bisa melewati keusilan para mantannya?
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
411      281     0     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
Intertwined Hearts
1003      560     1     
Romance
Selama ini, Nara pikir dirinya sudah baik-baik saja. Nara pikir dirinya sudah berhasil melupakan Zevan setelah setahun ini mereka tak bertemu dan tak berkomunikasi. Lagipula, sampai saat ini, ia masih merasa belum menjadi siapa-siapa dan belum cukup pantas untuk bersama Zevan. Namun, setelah melihat sosok Zevan lagi secara nyata di hadapannya, ia menyadari bahwa ia salah besar. Setelah melalu...
My First love Is Dad Dead
52      49     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Finding Home
1990      940     1     
Fantasy
Bercerita tentang seorang petualang bernama Lost yang tidak memiliki rumah maupun ingatan tentang rumahnya. Ia menjelajahi seluruh dunia untuk mencari rumahnya. Bersama dengan rekan petualangannya, Helix si kucing cerdik dan Reina seorang putri yang menghilang, mereka berkelana ke berbagai tempat menakjubkan untuk menemukan rumah bagi Lost
Melihat Tanpamu
141      115     1     
Fantasy
Ashley Gizella lahir tanpa penglihatan dan tumbuh dalam dunia yang tak pernah memberinya cahaya, bahkan dalam bentuk cinta. Setelah ibunya meninggal saat ia masih kecil, hidupnya perlahan runtuh. Ayahnya dulu sosok yang hangat tapi kini berubah menjadi pria keras yang memperlakukannya seperti beban, bahkan budak. Di sekolah, ia duduk sendiri. Anak-anak lain takut padanya. Katanya, kebutaannya...
Gebetan Krisan
505      358     3     
Short Story
Jelas Krisan jadi termangu-mangu. Bagaimana bisa dia harus bersaing dengan sahabatnya sendiri? Bagaimana mungkin keduanya bisa menyukai cowok yang sama? Kebetulan macam apa ini? Argh—tanpa sadar, Krisan menusuk-nusuk bola baksonya dengan kalut.
Loveless
5848      2995     604     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Suara yang Tak Pernah Didengar
331      203     9     
Inspirational
Semua berawal dari satu malam yang sunyi—sampai jeritan itu memecahnya. Aku berlari turun, dan menemukan hidupku tak akan pernah sama lagi. Ibu tergeletak bersimbah darah. Ayah mematung, menggenggam palu. Orang-orang menyebutnya tragedi. Tapi bagiku, itu hanya puncak dari luka-luka yang tak pernah kami bicarakan. Tentang kehilangan yang perlahan membunuh jiwa. Tentang rumah yang semakin sunyi. ...