Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU
About Us  

In the end, we all are villains in someone else's story.

***

Sepanjang rapat dengan pengurus Pasuspala, pikiran Rimba bercabang-cabang. Ia menjadi pendiam dan hanya mengangguk-angguk saja atas setiap laporan juga masukan terkait ekspedisi yang akan dijalankan saat liburan sekolah nanti. Kejadian Cleopatra itu membuat selera bicara Rimba lenyap, konsentrasinya terganggu. Lelucon yang sesekali terlempar dari yang lain hanya didiamkan oleh cowok itu. Pengurus Pasuspala lain menyadari keanehan Rimba tetapi tidak mau mengganggu. Karena bagaimanapun kondisi ketua mereka saat itu dalam level senggol bacok.

Rimba masih ingat bagaimana tatapan Ruby kepadanya saat ia menarik Cleopatra. Mata coklat kesukaannya itu sendu, membuat Rimba ingin sekali datang dan merengkuhnya.

Tapi bagaimana bisa? Ruby saja tidak pernah memberi kesempatan lagi. Memang semua salahnya. Dari awal memang semua adalah salahnya. Seandainya ia tidak tersinggung atas pengaduan Ruby ke Bu Heny, seandainya ia tidak berniat menjaili Ruby, seandainya ia tidak menarik mikroskop yang dipegang Ruby, seandainya ia tidak dipukuli preman. Mungkin ia tidak akan kenal dan membuat Ruby masuk ke dalam hidupnya. Mungkin ia tidak akan melihat bagaimana berkilaunya Ruby. Mungkin ia tidak akan jatuh hati kepada sosok pendiam itu dan akhirnya malah melukai Ruby.

Memang benar kata orang, jatuh hati membuat perasaan berperan lebih jauh daripada logika. Otaknya tidak bekerja. Ia hanya menginginkan bahagia, tertawa tanpa duka. Ia lupa bahwa apa yang menurutnya baik belum tentu baik bagi orang lain, termasuk bagi Ruby. 

"Lepasin! Lepasin, Rimba." Cleopatra meminta Rimba melepaskan cekalan. Tangannya masih mencengkeram cewek itu dengan erat. "Ih, lepasin. Sakit tau, yang lembut dong," ujar Cleopatra sambil berusaha menyentak pegangannya tapi gagal.

Rimba memandang dengan tatapan tajam. "Lo ngapain, tadi? Lo tuh ngebahayain Ruby."

"Gue?!" balas Cleopatra mengibas rambut. "Dia yang keterlaluan! Seenaknya aja dia bikin lo ngemis-ngemis buat bicara sama dia, emangnya dia siapa?! Udah berasa hebat, huh! Jadi besar kepala banget dia gara-gara kelakuan lo!" Cewek itu berusaha membuka pegangan Rimba yang menusuk.

"Itu urusan gue, Cleo! Bukan urusan lo!" bentaknya sambil melepaskan tangan dengan sedikit kasar ketika mereka sudah menjauh dari toilet.

Mata berang Cleopatra meredup. Tatapannya berubah sendu, menandakan hatinya nyeri. "Gue sayang lo, Rimba. Gue nggak mau lo disakitin sama cewek itu. Gue nggak terima lo disia-siain sama gembel kayak dia. Dia nggak pantes, Rimba," ujar Cleopatra lirih dan mulai menangis. "Kok lo kasar, sih?"

Kalau saja Rimba tidak paham riwayat Cleopatra mungkin dia akan mendengkus keras saat itu juga. "Sori kalo gue kasar. Lo itu kecapean, nggak usah pikirin urusan gue. Sekarang udah bel, bagus kita balik ke kelas. Cuci muka dulu lo sana." Ia lalu antarkan Cleopatra kembali ke toilet, mengabaikan riak gembira di muka cewek itu. Sungguh, dipikirannya hanya ada Ruby.

Rimba memijit pelipisnya karena kejadian tadi teringat lagi. Sebenarnya, ia sudah mengetahui kalau primadona kelasnya memiliki masalah kejiwaan. Dari pertama kali ia bertemu cewek itu dengan mamanya di rumah sakit, ia tahu kalau Cleopatra pasien Nabila. Namun, Rimba tidak menyangka kalau Cleopatra sampai berani menyerang Ruby. Hal itu juga karena dia, Cleopatra menyukainya dan dia pernah menggunakan Ruby sebagai alasan menghindari Cleopatra. Dialah yang membuat Cleopatra menyerang Ruby.

Rimba, berapa banyak lagi masalah yang sudah dialami Ruby karena lo?!

Untuk sementara, agar Ruby mereda dan Cleopatra juga tidak menyerang Ruby lagi, Rimba harus mengambil jarak dengan Ruby. 

"Mbek, jadi gimana?" Suara Untung berteriak di telinganya, Rimba refleks menepuk kepala itu. "Ngelamun mulu dari tadi. Udah dibiarin juga malah jadi."

"Terserah kalian, gue ayo aja."

"Tumben," cibir Zikra. Dia tahu biasanya Rimba selalu meminta mereka mempertimbangkan banyak hal jika ekspedisi, salah satunya adalah transportasi. Karena tidak semua peserta bisa mengeluarkan biaya banyak untuk sebuah pendakian. "Kami sepakat Triple S. Lo setuju?"

Rimba hanya mengangguk atas ide pendakian tiga gunung yang dimaksud Zikra. Triple S adalah gabungan pendakian gunung Slamet, Sindara dan Sumbing.

"Biar junior juga langsung dapat tiga puncak sekalian. Jadi nggak payah ngejar syarat slayernya," jelas Nanda. 

Lagi, Rimba hanya mengangguk. Setiap junior Pasuspala harus menyelesaikan ekspedisi lima gunung sebagai syarat pelantikan slayer, untuk naik menjadi senior.

"Tapi biayanya kan mahal, Mbek. Per orang kurang lebih satu jutaan. Belum tentu junior ada uangnya," kilah Untung.

Rimba berdecak. "Kan ada uang kas, ambillah uang kas dikit. Pengurus bantu subsidi juga, dong. Perhitungan amat lo jadi sodara. Biar hemat, banyakin bawa bahan makanan aja. Ntar gue minta Bibik bikinin rendang sama sambal teri kering."

Untung menoleh ke Zikra dan Nanda sambil menyembunyikan kedipan, mulut itu tersenyum kecil karena berhasil mengajak bicara Rimba. Ternyata, saudaranya belum benar-benar bodoh karena terdiam sedari tadi. "Jadi sayang sama Alas Roban," ujarnya bergelayut manja di lengan Rimba, menuai tawa dari yang lain.

"Tokai," balas Rimba cepat.

"Mikirin apa sih, Sayang?" Untung masih sok mesra. "Olive, ya?"

Mata Rimba menantang Untung. "Apa, sih?" 

Mereka bertiga tertawa. Mungkin Rimba tidak cerita, tidak mau membagi apa yang ada di kepala, tetapi sebagai saudara tentu saja mereka tahu bahwa Rimba dalam kondisi tidak biasa. Dalam diam, mereka memperhatikan bagaimana reaksi Rimba jika sudah melihat Ruby.

"Galak ih sekarang. Udah nggak sayang lagi Abang Rimba sama kita-kita," sungut Untung.

"Cintamu terbagi dua. Sayangmu terbagi dua." Zikra mulai menepuk-nepuk di meja. Disusul Untung dan Nanda berjoged-joged seperti biasa. "Ahai... Cintamu terbagi dua, sayangmu terbagi dua."

"Gue bunuh nanti lo, Tung." Rimba melirik Untung dan yang lain dengan muka datar dan keras. Ia lagi tidak minat bercanda.

"Tenang, Bang. Selow, selow. Zik, mainkan!" seru Nanda.

Gendangan Zikra berganti lagi. 

"Sudah biasa diriku ditinggalkan. Diacuhkan dan dicampakan. Oleh orang yang kucinta. Menyakitkan tapi tak kurasakan ..." Mereka mulai menyanyikan lagu yang diaransemen dangdut koplo oleh Via Vallen, tetapi bagi Rimba lagu itu seperti sindiran.

"Karena ku selow sungguh selow. Sangat selow tetap selow. Santai... Santai... Jodoh nggak akan kemana." Mereka bernyanyi heboh seperti biasa. Keriangan yang selalu ada itu memang bagian dari hidup Rimba dahulu. Yah, dahulu sebelum semuanya menjadi serumit ini.

Tidak mendapati Rimba terpengaruh dengan usahanya, lantas Zikra menghentikan gendangan. Untung dan Nanda juga berhenti. Mereka bersama pengurus yang lain mengemasi tas, hendak pulang. Tak lama, mereka pamit meninggalkan sekretariat. Meninggalkan Rimba sendiri dalam pikirannya yang berkelana tanpa henti.

"Mbek..." Untung nongol di balik pintu sekre. Kepalanya masuk ke dalam. "Cuma mau bilang ... tetap selow jodoh nggak akan ke mana!"

Cowok itu langsung kabur sebelum Rimba sempat melemparkan barang yang ada di dekatnya. Dari lorong sekre terdengar gelak tawa, dapat Rimba tebak kalau Untung didaulat yang lain untuk memberikan pesan tadi kepadanya.

Cuaca hujan ketika Rimba memutuskan pulang dan mengunci sekre. Dengan perlahan, ia membelah jalanan yang diguyur hujan lebat. Sesungguhnya Rimba tidak suka menunda-nunda, apalagi yang membuatnya tidak tenang seperti ini. Ia ingin sekali bisa bertemu dengan Ruby. Cewek itu terlalu keras kepala atas pendiriannya. Padahal Rimba hanya meminta sekali saja, sehabis itu jika tidak mau lagi tidak apa-apa. Sayang, nggak semua orang bisa dapat kesempatan yang sama. 

Rimba melempar tasnya ke kursi di samping tangga. Membuka selubung grand piano dan jemarinya bergerak cepat, kanan ke kiri bergantian dengan irama cepat. Rimba ingin membuang rasa kesal yang bercokol erat. Tak peduli ruangan sunyi menjadi riuh karena suara tuts-tutsnya. Diinjaknya pedal dengan sekuat tenaga, begitu juga jari-jarinya menekan apa saja yang ia suka.

Tanpa aba-aba, ia meraih ponsel dan menekan tombol panggil untuk Ruby. Namun, kali ini ia tidak bodoh. Ia melakukan panggilan dengan nomor dirahasiakan. Tiga kali panggilannya tidak dijawab, Rimba merutuk. Tentu saja tidak diangkat, Ruby bukan gadis biasa yang mau saja dihubungi oleh orang tidak dikenal.

"Halo...."

Di panggilan keempat, Ruby menyahut, membuat Rimba terdiam tidak menyangka. Ia lalu menaruh ponsel dan mulai memainkan pianonya. Rimba ingin membagi gundahnya kepada Ruby. 

Suara Ruby tidak terdengar lagi, Rimba melirik. Panggilan di ponselnya masih berjalan, rupanya Ruby mendengarkan permainannya. 

Lagu karya Ludovico Einaudi, komposer Italia dimainkannya sepenuh hati. Seolah mencurahkan apa yang dirasa. Ada harmoni yang mengalir di situ. Damai, emosi, kesal, rindu, geram, luka. Rimba benci diabaikan. Rimba tidak suka didiamkan. Ia keluarkan semuanya di atas piano hitam tersebut. Entah berapa lama ia berkutat dengan emosinya di piano itu. Ketika Rimba mengakhiri permainannya, ponselnya sudah redup tanda dimatikan oleh penerima telepon. Ia mendesah resah. 

"Sudah lama Mama nggak lihat Rimba main piano. Makin bagus aja anak mama mainnya." Ketukan sepatu mendekat di belakangnya. Rimba hanya melirik sedikit dan menutup piano.

"Mau ke mana? Baru juga Mama puji. Udahan aja." Wanita itu menahan langkahnya yang hendak meraih tas. Sebuah senyum paham terpahat di muka Nabila. "Cerita. Mama tahu Rimba punya masalah."

Rimba kembali duduk di kursi piano. "Rimba bukan perawat yang bisa ngejagain Cleo. Suruh dia sewa perawat."

Ada keterkejutan di muka Nabila. Wanita itu menatap hangat, menunggu penjelasan Rimba selanjutnya.

"Cleo tadi mau nyerang Ruby pakai cutter. Hari ini, Rimba mungkin diam saja tapi kalau dia sampai bikin kedua kali, Rimba bisa marah sama dia."

"Ruby?" sela Nabila, "kata Bibik, dia kemarin kamu ajak main ke sini, ya? Kok nggak kasih tahu Mama? Mama kan juga mau kenal." Nabila paham atas kekerasan hati anak tunggalnya itu. Apa yang pernah terjadi dan dilalui Rimba saat kecil membentuk pribadinya saat ini.

"Buat apa?" sahut Rimba pelan. "Dia udah nggak mau kenal sama Rimba lagi."

Belum Nabila menjawab, Rimba sudah berlalu meninggalkannya. Nabila menarik napas pelan kemudian tersenyum kecil, sepertinya lelaki kecilnya itu sedang terlibat urusan asmara.

***

Hari pertama masuk sekolah setelah UAS, Rimba malah dipanggil BK. Dia melangkah lebar menuju ruangan itu saat lapangan sedang seru-serunya diisi pertandingan antar kelas. Cukup aneh sebenarnya karena belakangan Rimba tidak berbuat pelanggaran lagi.

Ia duduk berhadapan dengan Bu Heny yang sedang memandang tayangan ulang CCTV. Wanita itu belum membuka mulutnya. Tak lama, masuk juga Bu Hartini dan Pak Iksun. Setelah dua guru itu masuk, Bu Heny mulai menjelaskan perihal dirinya dipanggil ke ruangan yang terakhir kali didatanginya bersama Ruby.

"Rimba, maaf Ibu ganggu waktunya. Sebenarnya Ibu panggil Rimba ke sini untuk minta bantuan. Begini, Bu Hartini merasa Ruby telah menyontek saat UAS. Yang Ibu tahu kamu sama Ruby kan dekat. Jadi Ibu minta kejujuran kamu. Apa kamu tahu kalau Ruby menyontek?" 

Pertanyaan itu membuat Rimba membulatkan mata dan langsung menggeleng sebagai jawaban. Dekat dengan Ruby membuat Rimba tahu bagaimana cewek itu dan idealismenya. Ruby termasuk orang yang tidak keberatan mendapatkan nilai jelek asalkan tidak berbuat curang. Terbukti saat di kelas sepuluh dahulu, cewek itu satu-satunya penghuni kelas yang remedial karena tidak ikut menyontek seperti yang lain saat pengawas keluar kelas.

"Ruby nggak mungkin menyontek, Bu. Dia anaknya jujur. Dulu saja waktu Ibu nyuruh dia jujur, saya jadi masuk ke sini," jawabnya sambil menarik paksa bibir.

Bu Heny mengangguk lalu menoleh ke Bu Hartini dan Pak Iksun. 

"Ibu menangkap keganjilan, Rimba. Nilai Ruby berubah drastis dari biasanya." Bu Hartini menunjukan dua lembar jawaban yang sama milik Ruby. Lembar jawaban bernilai 100 tanpa kesalahan satu pun.

Melihat nilai itu, senyum Rimba mengembang. Ia tidak menyangka kalau gadis itu tetap belajar meski kesedihan menyelimutinya. Pasti Ruby sudah menemukan cara belajar yang pas. Sesaat, rasa bangga atas nilai yang bukan miliknya menyisip di hati Rimba.

"Rimba..." Bu Hartini menyadarkan lamunannya. "Nggak mungkin kan Ruby dapat nilai begini? Manalah mungkin," ujar ibu itu dengan gaya khasnya.

"Mungkin, Bu." Rimba menatap Bu Hartini. "Selama ini, Ruby kesulitan mengerti penjelasan Ibu. Dia tipe orang yang mudah mengingat dengan suara. Yang saya tahu, dia sudah memperbaiki cara belajarnya. Salah satunya dengan merekam penjelasan guru."

Sebut saja Rimba sudah jauh dari tempat duduk Ruby, tapi matanya masih memperhatikan apa yang dikerjakan gadis itu. Termasuk meletakkan alat perekam kecil di atas meja saat guru menjelaskan pelajaran. 

Pak Iksun yang sedari tadi diam lalu ikut bersuara. "Selama ini Ruby tidak pernah ada masalah dengan fisika. Nilainya juga baik. Dia malah saya ikutkan dalam calon peserta olimpiade."

Penjelasan Pak Iksun itu membuat wali kelas Rimba menoleh. "Walaupun dia akan ikut olimpiade belum berarti nilainya lantas sempurna, Pak."

"Jika memang hasilnya baik, kenapa kita harus menampik? Saya bisa tunjukan berapa nilai tugasnya, nilai UTS-nya dan nilai UAS-nya. Setiap murid memiliki kecenderungan berbeda-beda di mata pelajaran. Jika Ruby payah di biologi, bukan berarti dia payah di fisika," jelas Pak Iksun. "Sayang, dia mengundurkan diri seminggu sebelum UAS."

"Papanya di ICU saat itu, Pak." Rimba berusaha untuk menjelaskan hal tentang Ruby yang belum tentu dimengerti oleh orang lain. Sekolah mungkin mendengar gosip tentang anak teroris tetapi mereka tidak mengetahui cerita lengkapnya.

Bu Heny yang mendengar sahutan Rimba lantas menanyakan kelanjutan cerita. "Lalu, gimana kabar papanya sekarang?"

"Sudah meninggal sebelum UAS." 

"Lho, kok nggak ada kabari sekolah? Mamanya kerja atau gimana?"

"Mamanya sudah meninggal waktu kami kelas sepuluh," jawab Rimba datar.

Keterkejutan menguasai para pengajar itu. Berita tersebut tidak pernah sampai ke pihak sekolah. Biasanya jika ada wali murid yang meninggal dunia, siswa akan melapor ke dewan guru sekaligus memberi informasi siapa yang akan menjadi pengganti wali.

Bu Hartini terduduk lemas, tampak terpukul. "Bisa panggilkan Ruby untuk menghadap saya, Rimba?"

Rimba menggeleng. "Sepertinya dia nggak datang hari ini, Bu."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
ONE SIDED LOVE
1512      667     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...
FLOW : The life story
91      81     0     
Inspirational
Dalam riuh pikuknya dunia hiduplah seorang gadis bernama Sara. Seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana, pekerja keras dan mandiri, gadis yang memiliki ambisi untuk mencari tujuannya dalam berkehidupan. Namun, dalam perjalanan hidupnya Sara selalu mendapatkan tantangan, masalah dan tekanan yang membuatnya mempertanyakan "Apa itu kebahagiaan ?, di mana itu ketenangan ? dan seperti apa h...
Kamu, Histeria, & Logika
62119      7176     58     
Romance
Isabel adalah gadis paling sinis, unik, misterius sekaligus memesona yang pernah ditemui Abriel, remaja idealis yang bercita-cita jadi seorang komikus. Kadang, Isabel bisa berpenampilan layaknya seorang balerina, model nan modis hingga pelayat yang paling berduka. Adakalanya, ia tampak begitu sensitif, tapi di lain waktu ia bisa begitu kejam. Berkat perkenalannya dengan gadis itu, hidup Abriel...
Kertas Remuk
110      91     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
That's Why He My Man
818      561     9     
Romance
Jika ada penghargaan untuk perempuan paling sukar didekati, mungkin Arabella bisa saja masuk jajan orang yang patut dinominasikan. Perempuan berumur 27 tahun itu tidak pernah terlihat sedang menjalin asmara dengan laki-laki manapun. Rutinitasnya hanya bangun-bekerja-pulang-tidur. Tidak ada hal istimewa yang bisa ia lakukan di akhir pekan, kecuali rebahan seharian dan terbebas dari beban kerja. ...
Trasfigurasi Mayapada
201      155     1     
Romance
Sekata yang tersurat, bahagia pun pasti tersirat. Aku pada bilik rindu yang tersekat. Tetap sama, tetap pekat. Sekat itu membagi rinduku pada berbagai diagram drama empiris yang pernah mengisi ruang dalam memori otakku dulu. Siapa sangka, sepasang bahu yang awalnya tak pernah ada, kini datang untuk membuka tirai rinduku. Kedua telinganya mampu mendengar suara batinku yang penuh definisi pasrah pi...
Mengejar Cinta Amanda
2089      1163     0     
Romance
Amanda, gadis yang masih bersekolah di SMA Garuda yang merupakan anak dari seorang ayah yang berprofesi sebagai karyawan pabrik dan mempunyai ibu yang merupakan seorang penjual asinan buah. Semasa bersekolah memang kerap dibully oleh teman-teman yang tidak menyukai dirinya. Namun, Amanda mempunyai sahabat yang selalu membela dirinya yang bernama Lina. Selang beberapa lama, lalu kedatangan seora...
Pasha
1281      575     3     
Romance
Akankah ada asa yang tersisa? Apakah semuanya akan membaik?
Premium
Akai Ito (Complete)
6740      1343     2     
Romance
Apakah kalian percaya takdir? tanya Raka. Dua gadis kecil di sampingnya hanya terbengong mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Raka. Seorang gadis kecil dengan rambut sebahu dan pita kecil yang menghiasi sisi kanan rambutnya itupun menjawab. Aku percaya Raka. Aku percaya bahwa takdir itu ada sama dengan bagaimana aku percaya bahwa Allah itu ada. Suatu saat nanti jika kita bertiga nant...
It's Our Story
1067      499     1     
Romance
Aiza bukan tipe cewek yang suka nonton drama kayak temen-temennya. Dia lebih suka makan di kantin, atau numpang tidur di UKS. Padahal dia sendiri ketua OSIS. Jadi, sebenernya dia sibuk. Tapi nggak sibuk juga. Lah? Gimana jadinya kalo justru dia yang keseret masuk ke drama itu sendiri? Bahkan jadi tokoh utama di dalamnya? Ketemu banyak konflik yang selama ini dia hindari?