Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU
About Us  

Setiap perubahan gaya berbanding lurus dengan perubahan momentum tiap satuan waktu.

***

"Kok Olive nggak lo undang?" tanya seorang teman kepada gadis yang tadi membagikan undangan di kelas. Mereka jalan di koridor menuju kantin.

Sang gadis yang juga primadona sekolah hanya tertawa kecil. "Gue undang lisan aja nanti. Gue nggak yakin orang kayak dia mau datang. Kayak nggak tau gimana dia?"

Si teman ikut tertawa. "Iya, sih. Kata Bokap gue, kalau diundang itu wajib datang. Nah, dia, saban diundang nggak pernah datang. Apa dia nggak punya baju kali, ya? Atau nggak mampu beli kado?"

"Maybe," ujar Cleopatra. Gadis yang akan berulang tahun itu berjalan sambil memandangi kukunya yang baru selesai didandani kemarin. "Aduh!" pekiknya. Cleopatra terhuyung, sesosok tubuh kurus menabraknya.

"Lo nggak lihat kalau jalan? Hah!" bentaknya kesal karena cat kukunya tergores.

Ruby menoleh. Tadinya ia ingin diam saja, tetapi bentakan Cleopatra menyentil lubuk hatinya.

"Ck! Kuku gue jadi rusak nih gara-gara ditabrak lo!" Cleopatra berang. Teman di sebelahnya juga ikut memperhatikan kuku Cleopatra.

"Gue di sini dari tadi. Nggak ada yang nabrak lo," balas Ruby datar. Ia memang sedari tadi sudah berdiri di sana menatap Mading, meneliti tulisan yang ada dengan tidak bergerak.

Cleopatra memberengut sebab kuku indah yang disiapkan untuk pesta ulang tahun ke tujuh belasnya menjadi rusak. "Susah emang ngomong sama alien kayak lo. Udah SUS, cepu pula."

Ruby hanya diam menatap kepergian Cleopatra dan temannya. Perkataan seperti itu tidak asing untuknya sebab semenjak kejadian yang lalu, cap pengkhianat dari Rimba memengaruhi beberapa murid lain dalam kelas. Ruby yakin tidak semua berpikir sama. Namun, yang lain juga tidak berani berkomentar. Kuasa Rimba mengalahkan segalanya.

Kalau biasanya orang mengira gelar Peringkat Satu Paralel nan tersohor itu diraih oleh anak yang pintar, rajin, kutu buku, kaku dan segudang cerita tentang anak nerd. Belantara Rimba jelas tidak seperti itu. Untuk pintar, okelah Rimba pintar. Kalau tidak pintar, tidak mungkin menggondol predikat teratas, 'kan? Masa iya hasil jampi-jampi atau pakai dukun? Manalah mungkin? Ruby menirukan gaya Bu Hartini mengucapkan 'manalah mungkin'.

Rimba tidak terlihat rajin, tidak juga kutu buku, jauh dari kata kaku apalagi nerd. Sesuai nama, cowok itu adalah pencinta kebebasan yang kerjanya naik turun gunung, masuk keluar hutan, tak jarang bolos sekolah untuk ekspedisi.

Ruby dapat mendeteksi itu, karena hilangnya Rimba bersamaan dengan lenyapnya beberapa anak yang setipe seperti Untung atau Nanda.

Tapi tahu apa yang jenius? Rimba punya stok surat sakit bertanda tangan Dokter yang bisa dikeluarkannya kapan saja dia butuh, sehingga absennya selalu aman. Kabarnya rumah sakit terbesar di kota ini milik keluarga Rimba.

Yang Ruby tahu cowok itu baru saja dilantik menjadi ketua Pasuspala, organisasi pencinta alam di sekolah. Rimba mematahkan mitos bahwa anak-anak pencinta alam adalah anak yang selalu bernilai rapor jelek. Meski Rimba kadang tidak masuk, jarang terlihat lama membaca buku dan duduk paling belakang, hasil ulangan cowok itu bagus terus, peringkat satu pula.

Kadang Ruby berpikir, apa Rimba menyontek? Nggak mungkin, rasanya. Rimba pernah dites guru untuk mengerjakan soal susah di papan tulis dan berhasil dijawabnya.

Ataukah waktu masih kecil dahulu Rimba dicekokkan susu dengan kandungan omega tiga lebih banyak melebihi anak seusianya? Entahlah.

Bagaimana Rimba bisa pintar, itu masih rahasia. Hanya Rimba dan Tuhan yang tahu jawabannya. Tidak mungkin Ruby ikut Payung Teduh untuk tertawa dan menangis pada gunung dan laut agar mendapat jawaban, 'kan? Atau bersama Ebiet G. Ade lalu bertanya kepada rumput yang bergoyang?

Jangan, dia sudah cukup dianggap alien. Nanti ia bisa benar-benar dideportasi ke luar angkasa, menyusul Pluto yang dianggap bukan planet dan dicoret dari tata surya.

Ruby menarik pelan rambutnya. Mulutnya memang diam, tetapi bisa-bisanya benaknya sangat riuh. Tidak banyak yang tahu bahwa orang yang terlihat pendiam, sangat ramai di dalam.

Pikirannya kembali ke Rimba. Memang sih Rimba tidak pernah pelit. Kalau ulangan, cowok itu sering bocorkan rumus tanpa memberitahu jawaban. Rimba juga tidak keberatan memberitahu jawaban PR yang susah di grup chat kelas. Itu membuat beberapa orang ingin berusaha mendekat bahkan menjilat. Ketika orang-orang itu melihat Rimba mulai tidak menyukai Ruby, mereka memilih ikut mencibir atau diam. Seolah diam adalah pilihan terbaik.

Padahal menurut gerakan mahasiswa dahulu, diam malah dianggap pengkhianatan. Bukankah pilihannya adalah tunduk ditindas atau bangkit melawan, sebab diam adalah pengkhianatan?

Ruby meringis tipis sekali hampir tidak kentara. Kalau sudah begini, siapa yang harusnya dibilang pengkhianat? Dia atau orang-orang hipokrit di kelas, yang memilih diam supaya aman? batinnya teriak.

Tiba-tiba, seperti peluru ketapel yang ditarik mundur kemudian dilontarkan dengan kecepatan penuh, kesadaran Ruby terlepas. Lantas dirinya selama ini, seperti apa? Ataukah jangan-jangan keterdiaman dia selama ini menuntunnya menjadi penuh hipokrisi, berisi kepalsuan yang direkayasa?

Kalau kata Soe Hok Gie di Catatan Seorang Demonstran, mendiamkan kesalahan adalah kejahatan. Hanya ada dua pilihan dalam hidup: menjadi apatis atau mengikuti arus. Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. 

Refleks, Ruby menggaruk pelipisnya. Harusnya dia tidak diam ketika mereka sudah kelewatan, harusnya dia tidak diam. Karena dengan diam, dia melenggangkan kesalahan. Diam untuk penyelamatan diri adalah bentuk dari hipokrisi. Padahal, seharusnya, manusia berani mengatakan benar sebagai kebenaran dan salah sebagai kesalahan. Bukankah sejak dahulu, generasi muda selalu menjadi harapan agar memperbaiki generasi tua yang mengacau?

Lantas, generasi muda macam apa dia ini?

***

Sebuah kertas terkepal jatuh tepat berselisih dua senti dari muka Ruby, saat ia akan masuk kelas. Ruby melirik kertas itu, kertas folio berlogo khusus untuk lembar jawaban ulangan. Meski bentuk kertas itu sudah membulat seperti bola, tetap saja angka 100 dari bolpoin merah milik guru, terbaca olehnya.

Matanya menoleh ke yang lain, beberapa sibuk mengeluh bahkan tidak terima dengan nilai ulangan yang dibagikan. Ruby beranjak ke mejanya dan meraih kertas ulangan. Nilai ulangan matematikanya hanya 80.

"Belagu amat, njay. Nilai cepek kok dibuang. Kalo matematika gue dapet nilai seratus kayak lo bakal gue bingkai di kamar," ujar Untung.

Seharusnya, itu hanya pembicaraan biasa dua orang di belakang. Seharusnya, kelas yang ricuh membuat percakapan itu tidak terdengarnya. Entah mengapa, telinganya kali ini sangat awas bahkan seperti memanjang ke belakang. Ruby ingin mencari jawab atas pernyataannya tentang Rimba. Ia ingin tahu bagaimana cara cowok itu meraih posisi pertama. Percakapan mereka didengarnya dengan saksama sambil berpura-pura membaca hasil ulangan padahal menajamkan indra pendengaran.

"Nggak penting nilainya, yang penting lo ngerti apa enggak," jawab Rimba malas. Kursi terdengar berderit dan meja bergerak karena Rimba memangku sebelah kakinya.

"Etdah. Penting, geblek. Dari nilai-nilai itu hasil rapor tertulis. Tsaaaah, bahasa gue."

"Nggak salah lo bilang gue geblek?" Rimba tersenyum sarkastik.

Sombongnya kau, anak muda! bisik hati Ruby mengomentari percakapan itu.

"Sombongnya kau, anak kuda!" Untung menyeletuk seperti ikut menyuarakan bisikan Ruby. Tidak berapa lama, terdengar suara keplakan, menyusul ringisan dari mulut Untung. Dapat Ruby tebak bahwa Rimba barusan menepuk kepala di sebelahnya.

"Eh, undangan dari Cleo tadi gue taruh laci lo." Untung masih mengelus kepalanya. "Gue pikir, gue nggak diundang. Ternyata diundang, njay. Aduduh, Dek Cleo. Jadi bergetar hati Abwang!"

"Barusan ngomong gitu, mulut lo bergetar juga nggak?"

"Dikate gue ngomong pake hidung?!" Untung mencibir.

Tangan Rimba merogoh isi laci, menarik undangan tebal berwarna merah muda. Dia membuka ikatan pita dan mulai membaca isi undangan. Setelah selesai, ia membalik undangan yang cukup tebal sambil bergumam, "Sayang banget, buat begini aja sampe ngehabisin stok pohon di hutan."

Untung tergelak. "Asiaaaap! Barusan ada yang buang kertas deh kayaknya, gaya lo udah kayak aktivis lingkungan. Gimana kalo besok lo nulis di batu atau daun lontar aja?"

Rimba menepuk kepala Untung lagi, kali ini dengan undangan tebal. "Lutung gunung!"

"Alas roban!" sahut Untung tidak terima namanya diplesetkan Rimba. Ia juga mulai menamai Rimba dengan nama sebuah hutan yang terkenal angker di Jawa Tengah. "Eh, Las. Lo dateng, 'kan?"

"Nggak usah ganti nama gue, monyet!" protes Rimba.

"Lo duluan ganti nama gue, utan!"

Rimba terbahak menyadari kesalahannya. "Set, Untung sensi. Kayak cewek PMS."

Tidak memedulikan bahasan barusan, Untung kembali ke pertanyaan awal. "Lo dateng nggak acara Cleo?"

Belum sempat Rimba menjawab, sang pembuat acara sudah lebih dahulu jalan di lorong ke arah mereka. "Rim, undangan buat lo udah dikasih Untung, 'kan?"

Rimba mengangguk sebagai jawaban.

"Dateng ya, Rim." Mata bulat Cleopatra seolah memohon agar cowok itu datang ke acaranya. "Eh, lo dateng juga ya, Tung. Pokoknya kalian mesti dateng, ya? Oke? Oke?"

Rimba menarik segaris senyum formalitas. Meski sudah mengenal Cleopatra sejak sama-sama menjadi dokter kecil di SD, dia tidak begitu akrab dengan cewek itu. Lawan jenis yang akrab dengan Rimba hanyalah yang satu organisasi dengannya, itu pun dianggapnya sebagai saudara. Senyum Rimba diartikan Cleopatra sebagai jawaban positif.

Ruby yang sedari tadi menguping menjadi tertegun. Dengan badan tegak, tangannya menyapu isi laci. Syukurlah, tidak didapatkan undangan Cleopatra di sana. Sejujurnya, Ruby tidak suka berada di tengah keramaian pesta. Namun, rasa syukur Ruby hanya singgah sebentar, mempermainkan hati. Orang yang tadi mencak-mencak karena cat kuku tergores, sudah ada di samping mejanya. "Hei, Liv. Gue juga undang lo, lho. Tapi sori, undangan gue habis. Acaranya tanggal 30, minggu depan. Nanti gue share location di WA grup kok. Lo juga dateng, ya!"

Ruby tidak tahu harus menjawab apa karena tenggorokan mendadak tersendat. Beruntungnya, Cleopatra langsung pergi setelah bicara barusan, tidak menunggu jawaban dari dia.

"Liv, lo dateng?"

Pertanyaan Untung membuat Ruby menoleh ke samping kiri belakang. "Kenapa tanya gue?" balas Ruby sambil menyembunyikan keheranan. Kok tiba-tiba Untung bertanya kepadanya?

"Ya, mau tau aja lo dateng apa enggak." Untung menyengir setelah mengetahui kalau dia mengajukan pertanyaan yang salah untuk pembuka pembicaraan.

Ruby mengedikkan bahu dan menarik bibir dalam satu garis lurus. "Kemungkinan nggak," jawabnya singkat lalu membalik badan lagi.

Sebenarnya Ruby malas menjawab, tetapi dia hanya berusaha hargai Untung. Walaupun ia juga menghindari berinteraksi dengan tetangga Untung yaitu sang Alas Roban. Sudah cukup belakangan ini, ia menjadi bulan-bulanan seorang Rimba.

Memang tidak pernah ada kekerasan fisik, tetapi gangguan kerap kali datang. Selain kejadian minyak, Ruby pernah dikirimi kecoak-kecoakan di dalam laci, pernah mendapati tasnya digantung di tiang bendera, mejanya digambar-gambar dan sudah puas mendengar olok-olok penghuni belakang yang tertuju kepadanya.

Kalau Rimba bisa tega, Ruby bisa batu. Kalau Rimba bisa jahat, Ruby bisa dingin. Itu rapalan kuat-kuat dalam hati Ruby, yang memenangkannya lewati kejadian tidak menyenangkan dari Rimba.

Apalagi menjelang UAS seperti ini, Ruby sudah tidak peduli. Selama Rimba tidak main kasar, ia biarkan saja. Ia harap Rimba puas dengan semua pelampiasannya.

"Cleo, ini si Olive katanya nggak mau dateng ke acara lo," seru Rimba ke tengah kelas, membuat kumpulan geng Cleopatra menoleh ke arah mereka.

Mata Cleopatra membulat, tidak terima. Cewek cantik itu berkacak pinggang. "Dateng dong, Liv. Kalo lo mau bawa temen atau pacar juga nggak papa."

"Lo ngejek apa gimana?" Rimba masih berbicara dengan kekuatan suara dua oktaf. Beberapa tertawa menanggapi jawaban Rimba. Semua juga tahu, tidak ada yang mau berteman dekat apalagi pacaran dengan Ruby.

Cleopatra menaikkan dagunya, "Liv, lo dateng ya! Kalo nggak bawa kado juga nggak masalah."

Suara meremehkan khas Cleopatra, hanya menuai sebuah reaksi datar. "Lihat nanti. Thanks undangannya," jawab Ruby sambil memasang earphone di telinga. Menandakan ia tidak mau diganggu siapa pun dan tidak peduli kalimat yang akan datang setelah kalimatnya tadi.

"Sok oke banget!" dengkus Cleopatra, melipat tangan di dada.

Melihat itu, Rimba menarik segaris senyum sinis. Ia gagal lagi mengerjai Ruby. Anak aneh itu seperti memiliki tameng yang tidak diketahuinya. Entah apa. Tanpa bisa dicegah, di luar kesadarannya, Rimba menduduki bangku kosong sebelah Ruby. Setelah menutup buku yang sedang dibaca sang Manekin Hidup, tangannya menarik penutup di telinga Ruby. "Jangan sombong banget jadi orang. Lo itu udah kayak alien tau nggak? Aneh sendiri. Ditanya orang balesnya jutek, diundang orang malah nggak dateng. Mau sampe kapan lo ansos kayak gitu?"

Kedatangan Rimba yang tiba-tiba dan pertanyaan yang dilontarkan cowok itu membuat alis Ruby menaik. Suasana kelas masih ramai. Semua sibuk sendiri-sendiri. Biasanya pun ia dibiarkan sendiri. Kenapa kali ini Rimba sampai agresi ke wilayahnya? Ia meraih kembali juntaian earphone sebelah kiri yang dibuka Rimba, tetapi cowok itu menahan tangannya. "Woy, gue lagi ngomong sama lo. Buset! Manusia apa bukan, sih, lo ini?"

"Apa lo bilang?" Ruby mengemam, dalam hatinya berisik. Tunduk ditindas atau bangkit melawan. Sebab diam adalah pengkhianatan.

"Budek? Dasar Manekin Hidup!"

Sebab diam adalah pengkhianatan.
Sebab diam adalah pengkhianatan.
Sebab diam adalah pengkhianatan.

Seolah mantra, kalimat itu diulangnya tiga kali sebelum kepalanya benar-benar menoleh ke Rimba.

"Nggak nyangka gue, Peringkat Satu Paralel kayak lo ternyata nggak tahu kalo mengejek atau menghina fisik seseorang bisa terancam hukuman pidana empat tahun dan denda 750 juta," ujar Ruby sambil meluruskan pandangan, menentang mata Rimba. Jangan dipikir, dia diam selama ini karena tidak berani melawan.

"Nah, bisa ngomong panjang juga lo."

"Jelas bisa. Gue punya mulut, tapi gue selalu saring dulu apa yang mau gue omongin." Kali ini tatapan mereka sama-sama tajam. Tidak ada lagi Ruby yang biasanya menghindar. "Yang harusnya nggak bisa ngomong panjang itu justru lo, karena bukti body shaming lo udah gue rekam."

Ruby mengangkat ponsel hitamnya. Tidak untuk hari ini dan hari berikutnya, ia akan melawan segala bentuk kesewenangan Rimba.

Tentu saja, seberkuasa apa pun dia. Jika merajalela, hanya ada satu kata: LAWAN!

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Aku yang Setenang ini Riuhnya dikepala
71      62     1     
True Story
Main Character
1441      863     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...
Nadine
5849      1568     4     
Romance
Saat suara tak mampu lagi didengar. Saat kata yang terucap tak lagi bermakna. Dan saat semuanya sudah tak lagi sama. Akankah kisah kita tetap berjalan seperti yang selalu diharapkan? Tentang Fauzan yang pernah kehilangan. Tentang Nadin yang pernah terluka. Tentang Abi yang berusaha menggapai. dan Tentang Kara yang berada di antara mereka. Masih adakah namaku di dalam hatimu? atau Mas...
Denganmu Berbeda
11254      2868     1     
Romance
Harapan Varen saat ini dan selamanya adalah mendapatkan Lana—gadis dingin berperingai unik nan amat spesial baginya. Hanya saja, mendapatkan Lana tak semudah mengatakan cinta; terlebih gadis itu memiliki ‘pendamping setia’ yang tak lain tak bukan merupakan Candra. Namun meski harus menciptakan tiga ratus ribu candi, ataupun membuat perahu dan sepuluh telaga dengan jaminan akan mendapat hati...
Mednorts
429      282     5     
Humor
Definisi anak Mednorts "Ada ya, manusia macam mereka ditengah-tengah sekolah internasional ini?"- Angkasa Putra Azharon "Harap sabar, kelas gue emang isinya anak monyet semua. Termasuk gue ...."- Dityan Casver Arzhelo "Kalian heran lihat tingkah absurd mereka? Lebih mengherankan kalau mereka anteng-anteng aja, nggak ada ulah."- Elang Adiputra
Seharusnya Aku Yang Menyerah
136      115     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
PROMISES [RE-WRITE]
6139      1800     13     
Fantasy
Aku kehilangan segalanya, bertepatan dengan padamnya lilin ulang tahunku, kehidupan baruku dimulai saat aku membuat perjanjian dengan dirinya,
When You Reach Me
7696      2013     3     
Romance
"is it possible to be in love with someone you've never met?" alternatively; in which a boy and a girl connect through a series of letters. [] Dengan sifatnya yang kelewat pemarah dan emosional, Giana tidak pernah memiliki banyak teman seumur hidupnya--dengan segelintir anak laki-laki di sekolahnya sebagai pengecualian, Giana selalu dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman seba...
ORIGAMI MIMPI
33535      3993     55     
Romance
Barangkali, mimpi adalah dasar adanya nyata. Barangkali, dewa mimpi memang benar-benar ada yang kemudian menyulap mimpi itu benar-benar nyata. Begitulah yang diyakini Arga, remaja berusia tujuh belas tahun yang menjalani kehidupannya dengan banyak mimpi. HIngga mimpi itu pula mengantarkannya pada yang namanya jatuh cinta dan patah hati. Mimpi itu pula yang kemudian menjadikan luka serta obatnya d...
GEANDRA
444      357     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...