Untuk setiap aksi, selalu ada reaksi yang sama besar tetapi berlawanan arah.
***
Sebenarnya Ruby tidak terpikir untuk mengancam Rimba. Ia hanya berpikir bagaimana cara membungkam mulut ramah orang yang duduk tepat di belakangnya. Bayangkan saja, ini masih semester satu, masih panjang jalan menuju kenaikan ke kelas 12. Kalau dirongrong terus, bakalan nggak nyaman juga.
Kebetulan sebelum keluar ancaman itu, Ruby dari baca-baca Twitter. Sebagai penyuka bacaan, ia lebih nyaman berselancar di burung biru tersebut. Meski banyak medsos lain yang booming, yang memiliki fitur lebih keren, Ruby tetap nyaman di antara deretan kata. Namanya juga kenyamanan, mana bisa dipaksakan?
Di Twitter, memang beredar pembahasan tentang ancaman body shaming. Mengerti sajalah ya, dengan bertambah canggihnya teknologi, bertambah keren aplikasi, bertambah banyak orang menampilkan diri. Namun, bertambah banyak juga jempol nyinyir dimana tangan lebih dahulu jalan daripada isi kepala. Jadi, dengan luwesnya seseorang bisa menghujat siapa pun. Kenal atau nggak kenal.
Tidak ada yang tahu kalau Ruby bukanlah orang yang selalu kaku. Dia menyukai hal yang lucu dan mudah sekali geli membaca kerecehan di Twitter. Di rumah, kalau Gamal pulang, mereka sering bercerita layaknya teman dekat, sesekali mengejek hingga terbahak, tapi memang bukan mengatai fisik. Dari kecil, orang tuanya mengajari dia untuk menghargai banyak hal, mulai dari alam, agama, keadaan ekonomi seseorang juga fisik orang lain.
Tidak banyak yang menyadari perundungan atau sindiran atas fisik seseorang bisa melukai hati. Yah, salah satunya seperti Rimba yang melabelinya 'manekin hidup'. Itu sudah body shaming. Perkataan hitam, jelek, gendut, kurus, alis kayak ulat bulu, mata kayak jengkol, lubang hidung kayak sumur atau apalah yang ditujukan untuk menyudutkan fisik seseorang juga body shaming. Belum lagi istilah yang dihaluskan kayak manekin hidup, tengkorak jalan, papan gilasan, truk tronton, tong sampah, kulkas dua pintu dan sebagainya, jelas sekali termasuk ke dalam klasifikasi body shaming.
Bukan Ruby tidak ngerti, bahwa ada atau tidak ada kampanye itu, seseorang harus tetap bisa menghargai diri sendiri tinggi-tinggi dahulu, harus bisa kebal dahulu. Kuat mental dan mandiri, jadi tahan di-bully. Akan tetapi, pelaku body shaming kayak Rimba perlu diingatkan. Syukurnya yang dirundung Ruby, membal saja sama ucapan itu. Namun di luar sana, banyak orang terpuruk hanya karena sebuah kata atau kalimat yang mematahkan perjuangannya.
Memangnya siapa sih yang tidak mau sempurna? Hampir semua cewek mengidamkan body goals seperti Barbie. Yang kecantikannya seperti penjabaran buku Primbon milik Mentari: alis berbaris seperti semut beriring, gigi rapi seperti biji mentimun, dagu bak lebah menggantung. Belum lagi betis seindah bunting padi, dan wajah semulus porselen serta badan seperti gitar Spanyol. Akan tetapi, memangnya setiap orang beruntung memiliki kecantikan sesempurna itu? Kan enggak.
Ruby yakin banyak kaumnya yang berusaha keras untuk menjadi putih, cantik, bagus, bersinar. Teman sekelasnya banyak yang merutuk jika sudah pelajaran olahraga atau upacara bendera karena takut hitam. Dia pernah mendengar ada juga yang menghindari makan gorengan agar tidak jerawatan, sebisa mungkin mengurangi makan malam agar kurus. Ada yang berupaya memasang behel supaya giginya rapi.
Ketika perjuangan susah payahnya berujung ejekan. Rasanya tentu sakit meski tidak berdarah. Down pasti! Bahkan kabarnya, di sekolah lain ada yang kebanyakan diejek sampai depresi dan bunuh diri. Ibarat pencegahan, yang dia lakukan adalah pencegahan dari dalam dan dari luar. Menguatkan diri sendiri sekaligus membungkam mulut yang pedasnya setara tingkatan cabe bubuk instan level teratas.
Kadang Ruby tidak habis pikir, kalaupun fisik dia seperti ini, lalu kenapa? Apa itu merugikan orang lain? Apa hak mereka untuk mengolok-olok dirinya dengan keadaan fisik yang dia punya?
Ruby melirik gerak Rimba dari ekor matanya. Cowok itu terlihat heboh sekali bersama kelompoknya, melempar-lempar akar yang dibawa untuk diteliti. Setiap kelompok memang diminta membawa preparat awetan pada akar dan batang yang mewakili golongan monokotil dan dikotil.
Bukan, bukan maksud Ruby mencuri pandang. Hanya saja, kebetulan, kelompok Rimba ada di depannya. Ya kelihatan dong. Apalagi mereka pakai aksi-aksi norak melempar akar. Bagaimana kalau menyasar ke ...
Belum selesai perkiraannya, sebuah akar mampir ke muka membuat Ruby menegakkan kepala. Dia memandang dingin kelompok di depannya. Keriuhan gerombolan cowok yang biasa menjadi penghuni belakang kelas mereda.
Tanpa bereaksi lebih, Ruby mengambil akar yang bertamu di muka, dimasukan ke dalam plastik klip dan tidak dikembalikan. Biar saja kelompok itu kehilangan satu jenis golongan akar yang mau diteliti. Siapa suruh kelakuan seperti bocah TK?
"Olive... Minta akarnya, Liv," bujuk Untung seraya memamerkan gigi. Raut Ruby yang tidak bersahabat menggetarkannya. Membuat Untung merasa mengecil, lemah dan miskin layaknya buruh kasar di hadapan Tuan Tanah. Muka memelas Untung seolah membuat cuitan: Guys, tolong bantu Untung. Tolong Retweet kalimat Untung. Twitter, please do magical!
Ruby merespon Untung dengan muka tanpa ekspresi, kaku sekaku tiang jembatan. Sedikit pun ia tidak bereaksi. Percuma saja berbaik hati kepada orang seperti mereka. Kalau kata warganet, sungguh itu pekerjaan yang nirfaedah sekali. Melihat reaksi dinginnya, Untung menyerah, kembali ke kumpulan, dan berbisik ke Rimba. Cowok yang menerima laporan Untung itu hanya melirik Ruby sedikit dengan mata tajamnya lalu ikutan cuek.
Biar saja! Selama ini Ruby diam bukan karena takut. Bukan. Miris sekali melihat orang yang didiamkan, eh malah menjadi-jadi. Seolah-olah yang diam ini tidak bisa apa-apa. Padahal, kadang, orang diam bukan karena nggak bisa apa-apa tetapi memang nggak mau melakukan apa-apa. Sayangnya, tidak semua paham termasuk si Belantara Rimba itu.
Jika kemarin Ruby membuka suara, itu karena ia muak. Ia lantas menyadari bahwa diamnya selama ini ternyata salah. Kalau dia berdiam diri terus, apa bedanya dia dengan golongan munafikin yang lain? Iya, sebab diam adalah pengkhianatan. Ruby sudah putuskan, ia tidak akan tinggal diam.
Ruby memandang punggung Rimba, mengingat kemarin. Ketika diancamnya, cowok itu terdiam dan langsung beranjak. Ternyata, ucapan dia menohok juga. Kerja yang bagus, Ruby!
Bu Hartini tergopoh masuk ke laboratorium biologi. Hari ini mereka akan meneliti struktur jaringan tumbuhan. Wali kelas mereka itu berdiri di depan, menghadap ke kelompok murid yang sudah dibagi dan menitahkan setiap perwakilan kelompok bergilir mengambil mikroskop. Beliau mengajarkan cara menyiapkan perkakas optik tersebut. Setiap kelompok dipandu untuk mengamati ciri dan struktur serta letak masing-masing jaringan yang menyusun akar dan batang dari preparat awetan yang dibawa.
Bergantian, Ruby dan teman-teman sekelompoknya mengamati gambar yang terlihat dari mikroskop. Mereka menggunakan perbesaran objektif empat kali untuk melihat preparat secara keseluruhan lalu mengganti dengan pembesaran sepuluh kali untuk mengamati lebih jelas. Setelah itu mereka akan menggambar kedua jaringan tersebut secara keseluruhan dan menyebutkan bagian-bagiannya. Murid memang diminta membandingkan hasil pengamatan dengan referensi.
Kelompok Rimba mulai bising. Semua bahan sudah diteliti kecuali akar yang disita Ruby. Mereka menyikut Rimba agar cowok itu turun tangan, membantu mereka mengambil kembali akar yang hilang. Pada dasarnya memang Rimba adalah pengayom. Meski menolak, akhirnya ia ambil bagian. Bagaimanapun ini berpengaruh terhadap nilai sekelompok.
"Akar," pinta Rimba tanpa basa-basi di depan Ruby. Cewek yang sedang menulis hasil pengamatan itu mengabaikannya. "Gue tahu lo nggak budek. Buruan balikin akarnya," gumam Rimba menahan kesal. Selama ini penghuni sekolah mana ada yang mengabaikannya, kecuali si Ruby Andalusia ini. Sayang beribu sayang, Ruby Andalusia diam saja seperti dikutuk menjadi batu.
"Eh, lo nggak usah sok budek." Rimba berkemam menandakan emosinya mulai merambat naik, tetapi Ruby tidak peduli dan meneruskan tulisannya, bergantian dengan yang lain meneliti struktur jaringan melalui lensa okuler. Rimba dianggapnya tidak nyata.
Pelajaran akan segera berakhir. Murid mulai mengumpulkan hasil pengamatan selama dua jam tadi. Demikian juga dengan kelompok Ruby, satu per satu kertas dikumpulkan oleh ketua kelompok. Kelompok Rimba mulai gelisah, pasalnya Bu Hartini sudah meminta mikroskop dikembalikan kembali ke lemari penyimpanan.
"Eh, balikin woy. Nggak lucu main-main lo." Rimba mulai spaning. Ibaratkan bola lampu, tegangan tinggi yang ada sudah membuat Rimba terbakar emosinya sendiri. Namun, cewek manekin hidup itu malah semakin lambat dan semakin santai seperti disengaja. Kalau saja lelaki boleh memukul perempuan, tentu tangan Rimba sudah menepuk kepalanya dari tadi.
Masih tidak menganggap Rimba ada, Manekin Hidup itu membawa mikroskop untuk dikembalikan ke tempat asal. Rimba yang berdiri sedari tadi di depan meja dibiarkan begitu saja. Laboratorium mulai sunyi, anggota kelompok Rimba pun sudah menyerah dan mengumpulkan saja kertas mereka.
Atas nama rasa tidak terima diasingkan dan terabaikan, seperti boneka tali, tangan Rimba bergerak sendiri meraih Ruby yang sedang membawa mikroskop dengan kedua tangan. Tangkupan tangan Rimba di lengannya membuat gerak cewek itu goyah, mikroskop terlepas. Perangkat optik itu jatuh di lantai. Suasana mendadak hening dan mencekam. Beberapa orang yang tersisa di lab itu benar-benar diam tak bergerak.
Selanjutnya, seperti adegan sinetron azab di televisi, Bu Hartini memandang Ruby dan benda yang teronggok di lantai dengan mendelik tajam. Pupil matanya terlihat seperti mengecil dan membesar seperti ketika adegan memasuki babak klimaks. "Ruby!" bentak Bu Hartini. "Apa yang kamu lakukan?!"
Ruby tertegun, tidak menyangka peralatan berharga itu bisa jatuh. Ia memegangnya sesuai petunjuk, dua tangan, dengan sebelah tangan di bagian dasar dan sebelah lagi di bagian pegangan.
Tidak, ia tidak salah!
Ruby menoleh ke Rimba. Anak itu pasti sengaja mengerjainya. Mengingat Bu Hartini pasti akan membela dia sebagai Peringkat Satu Paralel yang tidak pernah ada cela. "Rimba menarik tangan saya, Bu," sanggahnya. Demi Pluto yang sudah hilang, Ruby tidak akan menyerah!
"Rimba!" Tatapan Bu Hartini menuju ke murid kesayangannya.
"Kok saya? Kan Ruby yang pegang mikroskop, Bu." Rimba bersikeras.
Bu Hartini berdiri gemas. Sebagai guru juga penanggung jawab laboratorium biologi, dia tentu akan terkena getahnya. "Kalian ini bagaimana? Kenapa bisa jatuh? Ruby, kamu pasti pegangnya nggak benar."
Seandainya ini hanyalah perang meme di Twitter. Tentu Ruby akan menaruh poster lelaki memegang dagu bertuliskan 'Hmm... Sudah kuduga' besar-besar. Karena seperti perkiraan, Bu Hartini hanya akan menuduh dirinya. Ruby melirik pelaku, ada senyum kecil nan licik di wajah cowok itu.
Tidak semudah itu, Kisanak! Ruby balik menyeringai di dalam hati.
"Bu, lab ini ada CCTV, kan? Bagaimana kalau kita putar videonya?" Ruby memandang Bu Hartini, meminta keadilan. Tangannya menunjuk barang berukuran setengah lingkaran, berwarna hitam dan menempel di langit-langit. Selanjutnya Ruby jongkok, meraih mikroskop yang berada di dekat kakinya kemudian berdiri kembali. "Saya bersedia bertanggung jawab, asal diperiksa dahulu kebenarannya. Jangan orang yang tidak bersalah menjadi korban."
Ruby dapat mendengar decak Rimba mengomentari tantangannya. Kali ini, ia juga tidak keberatan diarahkan ke ruang BK bersama cowok itu. Meski banyak mata memandang ke arahnya, ia kukuhkan tatapan ke depan.
Republik Indonesia sudah merdeka puluhan tahun, kok masih ada penjajahan di Nusantara? Arwah para pahlawan pasti gelisah di liang kubur. Darah yang sudah mereka tumpahkan demi merebut kemerdekaan seakan sia-sia.
Maka, Ruby tidak akan tinggal diam lagi. Ruby sudah tidak peduli lagi apakah Gamal akan dipanggil sekolah atau tidak. Bukankah kesewenangan Rimba harus dilawan? Papanya pasti akan mengerti itu.
Dengan semangat Chairil Anwar, dia berjalan layaknya pasukan tidak bergenderang, berpalu. Tidak peduli jika hanya sekali berarti, sudah itu mati. Pokoknya: Maju! Serbu! Serang! Terjang!
***
Hei, Kisanak
Kisanak, tahukah kau?
Aku batu
Tak mudah remuk
Tak gampang binasa
Tidak berkarat
Tidak jua rusak mesti kaupijak
— Mirah Delima —