Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding My Way
MENU
About Us  

Medina sudah lama berhenti menangis, tetapi awan mendung tetap bergelantungan memburamkan kecantikannya. Jejak air mata membuat pipinya lengket. Matanya juga masih tampak merah dan sembap. Medina bahkan agak kesusahan bernapas normal karena hidungnya tersumbat.

 

“Diminum dulu, Dik,” kata Bu Sri—polwan ber-name tag Sri Wedari—seraya menyodorkan secangkir teh hangat pada Medina. 

 

Medina mengangguk, lantas meraih cangkir dengan sungkan. Cewek itu menatap Bu Sri sebentar lalu menunduk. Beberapa saat dia menghirup uap panas yang mengepul di atas gelas. 

 

“Diminum, Dik. Jangan lihatin saya terus. Tenang, minumannya nggak saya kasih racun, kok!” kelakar Bu Sri untuk mencairkan suasana.

 

Medina menempelkan bibir di tepian cangkir. Hanya itu. Cairan merah keemasan di dalamnya sama sekali tidak dia minum. Bukan ini yang dia mau. Teh hangat beraroma melati buatan Latifa membayang di pelupuk matanya. Selain teh buatan Latifa, dia juga rindu pelukan hangat perempuan itu. Demi apa pun, dia cuma mau mamanya ada di sini.

 

“Jadi, kamu bisa berada ke rumah itu karena diajak Zean?” Bu Sri bertanya sambil menghadap sebuah laptop yang menyala. Setiap jawaban yang diberikan Medina akan direkam dan diketik untuk dimasukkan ke dalam berkas laporan nantinya.

 

Medina mengangguk rikuh. Dengan fasih Medina menceritakan asal mula perkenalannya dengan Zean, kapan mereka mulai dekat, ke mana saja mereka saat bertemu, termasuk telaga rahasia yang kemarin mereka datangi. Pada Bu Sri Medina juga memaparkan alasannya kabur dari rumah, hingga dirinya ditemukan di rumah besar berbau asap rokok dan kaus kaki milik lelaki bernama Irzal. Tidak satu hal pun dia sembunyikan. Bahkan kesedihan dan ketakutannya saat digelandang ke kantor polisi usai penggerebekan pun dia beberkan.

 

“Padahal saya nggak ngelakuin apa-apa. Di sana juga saya nggak kenal siapa pun kecuali Kak Zean. Saya bahkan nggak tau siapa Bang Irzal dan gimana orangnya. Saya nggak sepatah kata pun bicara sama dia. Waktu saya datang tadi malam kami nggak sempat ketemu. Kata Kak Zean, Bang Irzal lagi sibuk.”

 

Bayangan dirinya menghabiskan masa muda di balik jeruji besi terus menghantui Medina. Medina takut terkurung dan mendekam di tempat itu hingga beberapa tahun ke depan. Masa depannya hancur berantakan. Cita-cita berkuliah di fakultas ekonomi universitas negeri impian terancam gagal terwujud. Menjadi auditor yang punya firma sendiri sekaligus pebisnis seperti papanya pun akan berakhir menjadi sekadar angan. Cewek itu ingin sekali mengenyahkan segala ketakutan dan pikiran buruk yang berseliweran, tetapi dia tidak bisa. Dia frustrasi.

 

“Kamu tau Irzal sibuk apa semalam?” Bu Sri bertanya lagi. Ekspresinya sangat serius. Kacamata yang bertengger di hidungnya melorot sampai nyaris jatuh menunggu Medina menjawab.

 

“Sibuk ….” Medina ragu melanjutkan. Matanya berlarian ke sana kemari. “Anu ….” 

 

Bu Sri berdeham. Perempuan itu masih menanti jawaban Medina.

 

“Kata Kak Zean, Bang Irzal ….” Perbuatan amoral berpasang-pasang orang tidak dikenal yang semalam tidak sengaja terekam indra penglihatannya berkelebatan. Medina merasa pipi tembamnya terbakar. Padahal bukan dia yang melakukan, tapi dia yang malu setengah mati.

 

“Zean bilang nggak sama kamu, Irzal lagi ngerjain apa?” Bu Sri mulai meninggikan suaranya, tampaknya mulai kehabisan kesabaran. 

 

Medina celingukan. Merasa tidak ada yang memperhatikan dia lalu berbisik, “Melakukan sesuatu sama pacarnya, Bu.” 

 

Bu Sri menyemburkan tawa menjadikan wajah Medina semerah gincu Bu Markonah, istrinya Pak Lurah. 

 

“Ya ampun, Dik. Polos banget dirimu. Lucu!” Bu Sri terdengar gemas. 

 

Diam-diam Medina menghela napas. Walaupun dalam hatinya telah jujur, cewek itu masih enggan mengakui secara gamblang kalau dia salah memilih teman. Cukup dia saja yang tahu cetusan itu.

 

“Yang bikin Ibu nggak habis pikir, bisa-bisanya toh, mamamu yang tunawicara kamu bilang cerewet. Apa kabar ibu-ibu lainnya yang kalau ngomel ngalah-ngalahin kecepatan kereta express? Ibu jadi penasaran, gimana sih merepetnya ibu tunawicara?” Bu Sri geleng-geleng kepala saat mengakhiri ucapannya.

 

Sebutan ibu tunawicara yang melompat dari mulut Bu Sri membuat Medina menunduk malu. Dia tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Medina juga bingung mengapa dirinya bisa mengatai mamanya rewel, bawel, cerewet dan berbagai sebutan buruk lainnya padahal selama ini mamanya jarang buka suara. 

 

“Ibu sudah menghubungi kakak kamu. Dia bilang mamamu akan datang nanti siang. Ada urusan yang harus beliau selesaikan di rumah sakit. Sementara waktu kamu diam di sini dulu sambil menunggu hasil penyidikan lebih lanjut. Soalnya di kamar yang tadi malam kamu tiduri, polisi menemukan beberapa lembar LSD.”

 

Medina melongo. “LSD?” tanyanya mambeo ucapan Bu Sri. 

 

“Kamu nggak tahu apa itu LSD, Dik?”

 

Medina menggeleng. 

 

Bu Sri mengotak-atik gawai pintarnya sebentar lalu menunjukkan pada Medina hasil pencarian di laman internet. Medina memperhatikan layar ponsel sebentar lalu kembali memusatkan perhatian pada perempuan di balik meja kerja di depannya. “LSD atau asam lisergat dietilamida merupakan salah satu jenis narkotika seperti sabu-sabu, ganja, pil ekstasi,” terangnya tanpa memutus tatapan mereka. “LSD dikenal juga sebagai halusinogen. Tau kan, halusinogen?”

 

Medina menggeleng lagi. Baru kali ini dia merasa bodoh karena tidak bisa menjawab saat ditanya.

 

“Halusinogen adalah jenis psikotropika yang bisa menyebabkan halusinasi. Halusinogen berasal dari jamur yang tumbuh pada tanaman gandum hitam. Halusinogen bisa mengubah perasaan, menimbulkan daya khayal, bahkan mengubah sensasi pendengaran dan penglihatan para penggunanya.” Jeda sebentar karena Bu Sri ngos-ngosan setelah bicara yang cukup panjang. “Seperti yang kamu tau, bentuknya seperti perangko, tapi berukuran lebih kecil dengan gambar-gambar lucu berwarna-warni. Efeknya muncul tiga puluh menit sampai satu jam setelah dikonsumsi dan pengaruhnya akan hilang delapan sampai dua belas jam kemudian.” Bu Sri menutup penjelasannya dengan segaris senyum.

 

“Itu Kak Zean yang kasih untuk saya coba, Bu. Tapi sama sekali nggak saya sentuh. Saya nggak tau kalau dia ninggalin obat terlarang itu di kamar. Saya pikir barang itu dia bawa waktu keluar ninggalin saya sendirian. Demi Allah, saya sudah menolaknya, Bu!” sumpah Medina. Cewek itu gemetar lagi.

 

Seumur-umur, tidak sekali pun Medina pernah bermimpi akan mendekam di bui. Memangnya siapa yang kepengin jadi pesakitan? Namun, nasi telah menjadi bubur. Percuma menyesal, sudah sangat terlambat baginya. Yang harus Medina lakukan saat ini hanya berusaha untuk tetap tenang dan bersikap dewasa. Pasti ada hikmah dari kejadian buruk ini. Sepahit apa pun itu, dia berusaha tegar menghadapinya.

 

Medina ingat, saat bangun kemarin pagi dia masih mengeluhkan betapa lelah dan menjemukannya hari yang akan dia jalani. Sambil mengenakan seragam putih abu-abu dan jilbabnya juga selama mematut diri di cermin meja rias dia terus menggerutu. Usai sarapan nasi goreng buatan mamanya, cewek itu berangkat sekolah diantar oleh Bu Sarti tanpa berpamitan. 

 

Medina juga masih belajar seperti biasa. Dia bahkan mencibir pelajaran Matematika yang membuat pusing tujuh keliling hingga merontokkan rambutnya. Kemarin dia masih sempat jajan di kantin bersama teman-temannya, walau berakhir pergi karena tidak tahan didiamkan. Semua itu tidak bisa terulang hari ini. 

 

Apalagi kalau bukan karena ego dan betapa keras dirinya menyikapi nasihat orang-orang di sekitarnya? Mama, papa, kakak juga teman-temannya dia anggap musuh. Medina mulai berandai-andai, dia ingin punya kekuatan atau setidaknya mesin waktu yang bisa membawanya kembali ke masa lalu. Sesuatu yang jelas tidak akan mungkin terjadi.

 

Dalam kegetiran ini dia patut bersyukur, masih ada yang memperlakukannya dengan baik. Pak polisi yang membangunkannya subuh tadi meninggalkan sedikit trauma. Bukan karena perlakuan yang kasar, tapi suaranya yang menggelegar terus terngiang tidak mau hilang dari ingatan. Namun, Pak Polisi itu tidak sedikit pun menyakiti. Bu Sri juga bersikap sangat manusiawi.

 

Menunggu matahari meninggi terasa sangat lama hari ini. Hampir seabad rasanya. Medina ingin menangis lagi karena Latifa tidak kunjung datang. Namun, saat melihat Pak Polisi sangar itu melintas di depannya, air mata Medina naik lagi. Segan turun. Takut disindir. Walaupun setelah dipikir-pikir lagi, Medina lebih memilih disindir daripada dibentak apalagi dimaki. 

 

“Dik Medina,“ tegur Bu Sri. Mama berdiri di belakang perempuan berseragam cokelat itu.

 

“Ma,” rengek Medina seraya berlari menghampiri Latifa. Kali ini dia berani menangis untuk mengadukan kesedihannya. Medina yakin dia akan aman bersama mamanya. Pak Polisi berwajah sangar itu pasti segan dan berpikir ribuan kali sebelum bicara lagi padanya. Mama pasti akan melindunginya.

 

“Kenapa baru datang, Ma? Aku takut di sini,” Medina berbisik. Berada di ruang tunggu dalam penjagaan seorang polisi, Medina takut ucapannya akan didengar.

 

Latifa cuma diam. Matanya terlihat berkaca-kaca. Dengan lembut perempuan itu membelai puncak kepala sang buah hati. “Maaf.” Tidak ada suara yang terdengar. Hanya mulut yang terbuka dan bergerak bergetar. “Papamu masuk rumah sakit.”

 

Medina baru ingat, Bu Sri juga tadi bilang mamanya sedang di rumah sakit. Namun, saat itu dia tidak bertanya lebih lanjut karena mengira mamanya hanya sedang mengunjungi seseorang.

 

“Semalam Papa pingsan. Kata dokter, Papa terkena serangan jantung ringan,” terang Latifa.

 

Tangis Medina makin kencang. Cewek itu sangat menyesal. Medina yakin, dia berkontribusi besar atas buruknya kondisi kesehatan papanya. Bagaimana tidak? Papanya jatuh pingsan tepat setelah adu mulut dengannya. 

 

Saat Medina keluar dengan mengendap-endap dan mendapati ruang tengah dalam keadaan kosong, dia pikir papanya telah pulang. Dia tidak menyangka papanya malah dibawa ke rumah sakit. Tidak bisa Medina bayangkan bagaimana paniknya Mama semalam. 

 

Membopong Luthfi yang berbadan jauh lebih besar dari Latifa seorang diri pasti sangat susah. Tidak cukup sampai di situ, mamanya masih harus mengendarai mobil sendiri. Padahal Medina tahu benar kalau mamanya paling takut menyetir. Pernah mengalami kecelakaan lalu lintas saat mengandung hingga menyebabkan keguguran, menyisakan trauma mendalam bagi ibunya. Waktu itu Medina kelas enam SD. Karena mengidam pecel lele dan tidak ingin merepotkan Luthfi yang letih baru pulang kerja, Latifa nekat mengendari mobil seorang diri. Jalan licin yang disebabkan hujan lebat membuat mobil yang dikendarainya oleng. Latifa yang masih amatir kehilangan kendali dan berakhir menabrak pembatas jalan.

 

“Maafin aku, Ma.” Medina terisak-isak. “Aku berdosa banget sama Mama, Papa juga Kak Santi. Aku ngaku salah.” Medina berlutut memeluk kaki Latifa. Wajahnya di benamkah di kedua lutut mamanya. 

 

Kepala Medina terus dibelai lembut. Beberapa saat kemudian Medina ditarik untuk bangun. Senyum tulus Latifa menyambut Medina. 

 

“Maafin aku, Ma,” pinta Medina sekali lagi. Seribu bahkan sejuta kali pun dia akan meminta maaf sampai diberi. 

 

Di sisi lain sifat alami seorang ibu yang tidak ingin melihat anaknya terbelit kesusahan tengah bekerja dalam keajaiban hati. Latifa menarik Medina ke dalam pelukan hangat yang baru Medina sadari ternyata sangat dia rindukan. Ini pelukan ternyaman yang dia rasakan sepanjang hidupnya. Orang tua adalah tempat berpulang paling hangat dan aman.

 

"Mama mau, kan, maafin Medina?"

 

 

Mama mengangguk. Saat Medina menjauhkan diri dan menatapnya, tanpa suara Mama berkata, "Mama sayang Medina."

 

 

"Aku juga sayang Mama," balas Medina sambil menitikkan air mata.

 

 

Surganya telah datang, Medina yakin badai ini akan berakhir. Tidak lama lagi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sweet Seventeen
984      709     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
A & A
292      214     2     
Romance
Alvaro Zabran Pahlevi selalu percaya bahwa persahabatan adalah awal terbaik untuk segala sesuatu, termasuk cinta. Namun, ketika perasaannya pada Agatha Luisa Aileen semakin dalam, ia sadar bahwa mengubah status dari teman menjadi pacar bukanlah perkara mudah. Aileen, dengan kepolosannya yang menawan, seolah tak pernah menyadari isyarat-isyarat halus yang Alvaro berikan. Dari kejadian-kejadian ...
Lovebolisme
148      130     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
FINDING THE SUN
472      206     15     
Action
Orang-orang memanggilku Affa. Aku cewek normal biasa. Seperti kebanyakan orang aku juga punya mimpi. Mimpiku pun juga biasa. Ingin menjadi seorang mahasiswi di universitas nomor satu di negeri ini. Biasa kan? Tapi kok banyak banget rintangannya. Tidak cukupkah dengan berhenti dua tahun hanya demi lolos seleksi ketat hingga menghabiskan banyak uang dan waktu? Justru saat akhirnya aku diterima di k...
Monologue
523      353     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
Wabi Sabi
96      74     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
Supardi dan Supangat
1781      814     1     
Humor
Ini adalah kisah Supardi dan Supangat si Double S yang Bermukim di Kampung Mawar. Keduanya bagaikan GALIH DAN RATNA yang selalu bersama mengukir kenangan (ceuilehh.. apasih) Terlahir dari rahim yang berbeda tetapi takdir mempertemukan mereka dengan segala ke-iba-an yang melanda
Ibu Mengajariku Tersenyum
2810      1118     1     
Inspirational
Jaya Amanah Putra adalah seorang psikolog berbakat yang bekerja di RSIA Purnama. Dia direkomendasikan oleh Bayu, dokter spesialis genetika medis sekaligus sahabatnya sejak SMA. Lingkungan kerjanya pun sangat ramah, termasuk Pak Atma sang petugas lab yang begitu perhatian. Sesungguhnya, Jaya mempelajari psikologi untuk mendapatkan kembali suara ibunya, Puspa, yang senantiasa diam sejak hamil Jay...
Sebelas Desember
4701      1355     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
Semesta Berbicara
1060      649     10     
Romance
Suci adalah wanita sederhana yang bekerja sebagai office girl di PT RumahWaktu, perusahaan di bidang restorasi gedung tua. Karena suatu kejadian, ia menjauh dari Tougo, calon tunangannya sejak kecil. Pada suatu malam Suci memergoki Tougo berselingkuh dengan Anya di suatu klub malam. Secara kebetulan Fabian, arsitek asal Belanda yang juga bekerja di RumahWaktu, ada di tempat yang sama. Ia bersedia...