Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding My Way
MENU
About Us  

Tidak membutuhkan waktu lama hingga Medina akhirnya terlelap. Sayangnya, cewek itu tidak bisa beristirahat dengan tenang seperti yang dia kehendaki. Tidurnya gelisah. Mimpi yang sangat aneh menyambangi, tapi terasa begitu nyata. 

 

Di ruangan besar bercat putih bersih Medina berdiri berhadapan dengan seorang perempuan. Perempuan dalam balutan busana dan hijab serba putih dan panjang itu tampak menguarkan cahaya. Wajah perempuan itu familier dalam keseharian Medina. Tanpa kata, mereka beradu tatap untuk waktu yang sangat lama. Dari sorot matanya, Medina bisa merasakan kesedihan yang tengah perempuan itu rasakan. Perempuan itu tidak lain adalah mamanya.

 

“Bangun, Sayang! Buka mata kamu sekarang dan segera pergi. Nggak seharusnya kamu berada di sana. Ayo, pergi sekarang juga!” titah Latifa tiba-tiba. Jaraknya dengan Medina sangat dekat, tetapi suaranya terdengar menggema seperti berasal dari tempat jauh yang tidak terjangkau oleh mata.

 

Medina bergeming, berpikir keras dalam diamnya. Medina yakin kalau suara perempuan itu tidak pernah dia dengar sebelumnya. Suara itu sangat lirih, tetapi terdengar begitu lembut saat menyapa indra pendengaran Medina. Bicaranya tidak terbata. Pelafalan setiap katanya juga sangat fasih dan jelas.

 

Ah, dia jelas bukan Mama! 

 

“Lekas pergi, Nak.”

 

Medina mengernyit. Perempuan itu memanggilnya ‘Nak’.

 

Bukannya Mama nggak bisa bicara? Mama berkomunikasi dengan kedua tangannya. Tapi kenapa wajah perempuan itu mirip sekali dengan Mama?

 

“Medina!” Perempuan berwajah Latifa itu berteriak. “Jangan terus-terusan berdiam diri, Nak! Buka mata kamu dan lihat ke sekeliling. Kamu tau dengan pasti di sana bukan rumah kita, Sayang.” Bahkan perempuan itu pun mengatupkan kedua tangan di depan dada tanpak sangat memohon dengan raut wajah mengiba. Dua kali juga perempuan itu memanggilnya ‘Nak’. Perempuan itu juga berkata rumah kita.

 

Setengah percaya Medina menggumam, “Mama?”

 

Perempuan itu mengangguk seraya tersenyum.

 

“Pulang sekarang, Nak.”

 

Medina ingin bangun, tapi tubuhnya terasa berat. Meski tidak sepenuhnya memercayai ucapan perempuan itu, tetapi ada dorongan kuat di dalam diri Medina untuk menurut. Sayang sekali, sekeras apa pun mencoba Medina selalu gagal.

 

“Medina ….” Ini kali terakhir perempuan itu menyerukan nama Medina sebelum kabut pekat menelan sosoknya. Medina menggapai-gapai, tetapi perempuan itu benar-benar menghilang. Medina terenyak. Air matanya berjatuhan. Penyesalan bergulung-gulung dan menghantam relung hatinya.

 

Belum lagi bisa bangkit, sesuatu yang berat dan besar menutupi hidung Medina, membuatnya kesulitan bernapas. Medina berusaha sekuat tenaga menepis benda itu dan menjauhkan dari wajahnya. Namun, dia selalu kalah kuat. Medina merasa dadanya semakin sesak karena kekurangan oksigen. Sesuatu yang keras juga memukul-mukul kakinya. Dengan kasar tubuhnya digoyang-goyangkan. Seperti ranting kecil yang diterpa angin kencang.

 

Detik berikutnya Medina merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Seakan-akan sesuatu ditarik paksa keluar melalui ubun-ubunnya. Rasanya sakit sekali. Entah berapa lama waktu berlalu, kini Medina tidak merasakan apa-apa lagi. Mungkinkah Medina sudah mati dengan otak terburai? 

 

“Heh, bangun!” suruh seseorang. Suara yang didengar Medina kali ini jelas bukan suara perempuan berwajah Latifa. Kali ini suara lelaki yang tidak sama sekali dia lihat wajahnya. Medina tahu itu bukan Luthfi. Papanya tidak bicara sekasar dan sekeras itu. Yang Medina tahu suara ini juga asing di telinganya. “Ayo, bangun!” Sekali lagi lelaki itu memerintah. Suaranya menggelegar seperti petir yang menyambar.

 

“Bangun!” seru lelaki itu seraya menyiramkan segelas air ke wajah Medina. 

 

Medina gelagapan, seperti akan tenggelam padahal dia tidak sedang berenang. Tangannya berulang kali menjangkau udara. Medina pun duduk dan mengelap wajahnya dengan telapak tangan.

 

“Bangun juga, kan, akhirnya!” kata lelaki itu sinis. Lelaki asing berkulit sawo matang itu menyeringai puas melihat Medina mengerjap-ngerjapkan mata. 

 

Medina mengerut ketakutan mendapati lelaki berbadan besar mengenakan jaket kulit berwarna hitam dan celana jeans berdiri berkacak pinggang di depannya. Sontak dia mundur hingga punggungnya menyapa dinginnya dinding.

 

“Ba-bapak siapa?” tanya Medina gagap dan mencicit seperti tikus terjepit. Lelaki yang tampak seperti preman itu mungkin seusia atau sedikit lebih muda dari papanya. 

 

Apa mungkin dia Bang Irzal? Mungkin dia tidak suka aku tidur di sini. Tapi, kata Kak Zean ….

 

“Heh, malah bengong! Ayo bangun dan ikut kami sekarang!” Lelaki itu menarik kasar lengan Medina, memaksanya keluar kamar untuk menuju lantai bawah. 

 

Kami, katanya? Ada berapa banyak orang asing seperti bapak itu di sini? Aku mau di bawa ke mana? 

 

Pertanyaan-pertanyaan itu seperti bongkahan batu besar yang mengganjal di tenggorokan Medina. Namun, cewek itu tidak punya keberanian menyuarakan isi kepalanya. Dengan dada bergemuruh hebat, dia cuma bisa pasrah mengikuti perintah si lelaki asing.

 

Medina terperangah. Di lantai bawah ramainya mengalahkan pasar. Orang-orang yang dia lihat kini semakin banyak dibanding saat kedatangannya tadi malam. Medina heran, kali ini orang-orang terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berjongkok dengan kedua tangan di belakang kepala dan berkumpul di tengah ruangan. Sementara kelompok satunya berdiri berkaca pinggang dan berwajah garang. Penampilan mereka rata-rata seperti preman. 

 

Di anak tangga terakhir, Medina kebingungan mencari keberadaan Zean. Gadis itu bergeming seraya mengedarkan pandangan walaupun mendapat dorongan kuat dari belakang. Saat mendapati Zean berada di kelompok pertama, gadis itu mengembuskan napas lega.

 

“Tiga orang termasuk di antaranya adalah pemilik rumah melarikan diri dan sedang dalam pengejaran, Komandan!” lapor seseorang yang baru saja datang.

 

“Barang bukti sudah diamankan. Semua siap diangkut sekarang!” Lelaki bertubuh tinggi, bertopi hitam dengan rompi yang juga hitam turun dari lantai dua sambil menjinjing tas Medina. 

 

Tanpa sempat melakukan apa-apa, Medina digelandang keluar rumah lalu disuruh masuk ke sebuah mobil. Dari tulisan yang tertera di sisi kiri body mobil Medina akhirnya tahu siapa orang-orang di kelompok kedua itu. Cewek itu merasa pijakannya melemah. Keseimbangannya goyah. Cewek itu nyaris terjatuh andai lelaki asing yang tadi membangunkannya tidak memegang lengannya. 

 

“Jalan yang benar!” seru lelaki itu.

 

Medina tidak bisa menahan deraian air matanya. Bibirnya bergetar, seluruh tubuhnya gemetar. Dia ketakutan luar biasa. Dia sepenuhnya sadar masalah apa yang telah menghadang di depan mata. 

 

“Mama … Papa, Medina takut. Medina mau pulang.” Medina merintih, dalam hati sangat menyesali perbuatannya. “Mama, Papa, tolongin Medina,” gumamnya di tengah isak tangis.  

 

Perjalanan terasa begitu panjang dan melelahkan. Di sepanjang jalan itulah Medina melakukan sesuatu yang telah lama dia lupakan, yaitu berdoa. Yang pertama Medina lakukan adalah beristighfar memohon ampun atas segala kekhilafannya. Yang kedua adalah meminta pertolongan kepada Allah untuk segera dikeluarkan dari masalah ini. Terakhir, Medina meminta penjagaan kepada Allah dengan sebaik-baik penjagaan dan memohon agar dirinya dijauhkan dari segala keburukan imbas dari kesalahan-kesalahan yang sudah dia perbuat. Medina mengaku salah, pun menyadari betapa congkak dirinya. Padahal dia bukan siapa-siapa. Dia cuma makhluk yang tidak punya daya apa-apa.

 

Langit hitam perlahan berubah warna. Merah dan oranye berbaur, berpendar mengusir pekatnya malam. Sayup-sayup lantunan ayat suci terdengar melalui pelantang suara di kejauhan. Suaranya sangat merdu dan menggetarkan. Entah siapa yang mengisi waktu paginya dengan mengaji. Sungguh dia sangat beruntung. Sekali lagi Median tertampar. Dia ingat kata-kata yang diucapkannya dengan tajam dan penuh keangkuhan semalam. 

 

Medina memejam rapat, membebaskan rasa yang selama ini mendominasi. Rasa yang menggiring berbagai rasa lainnya memenuhi hati. Rindu. Rasa itu menyeruak dan mengitarinya. Memeluknya dalam sunyi dan hampa. Medina rindu mamanya yang selalu tersenyum ceria. Medina rindu kehadiran papanya. Medina ingin kembali ke masa lalu. Masa di mana Medina kecil rajin dan selalu bersemangat menyemarakkan masjid dengan mengaji. Masa di mana keluarganya masih utuh dan saling mengisi. Masa di mana dia tidak ditekan dengan berbagai tuntutan. Masa di mana kedua orang tuanya selalu memberinya dukungan dan pelukan.

 

Sekali lagi ayat itu terdengar. Lalu sekali, dan sekali lagi. Entah sudah berapa kali ayat itu dibacakan, dan setiap kali itu pula hati Medina teriris pedih. 

 

Medina tidak tahu mengapa, semakin jelas lantunan ayat suci itu terdengar, semakin deras pula air mata yang jatuh membasahi pipinya.

 

Dengan gemetar Medina beristighfar. 

 

Aku memohon ampunan-Mu,Ya Allah. Dzat Yang Maha Agung, tiada Tuhan selain Engkau. Yang Maha Hidup. Maha Kuasa. Kepada-Mu aku bertobat.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mimpi yang berawal dari sebuah BUKU
914      571     4     
Short Story
\"Buku ini adalah buku ajaib yang ia berikan kepadaku, berkatnya aku bisa menikmati hariku tanpa rasa penyesalan. Terima Kasih Rachel.\" ucap Sri sambil memeluk buku ajaib tersebut.
Bifurkasi Rasa
139      119     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
Before The Last Goodbye
224      203     3     
Fantasy
Jika di dunia ini ada orang yang berhasil membuat sebuah mesin waktu, mungkin Theresia Mava akan menjadi orang pertama yang sukarela mencoba mesin tersebut. Sudah duabelas tahun lamanya ia mencari keberadaan dari Arion Sebastian, sahabatnya yang tiba-tiba menghilang. Ia sudah bertanya pada semua yang mengenal laki-laki itu, tetapi tidak ada satu orang yang mengetahui keberadaannya. Lalu sua...
Langkah yang Tak Diizinkan
169      139     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Sendiri diantara kita
934      570     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Chapter Dua – Puluh
3671      1510     3     
Romance
Ini bukan aku! Seorang "aku" tidak pernah tunduk pada emosi. Lagipula, apa - apaan sensasi berdebar dan perut bergejolak ini. Semuanya sangat mengganggu dan sangat tidak masuk akal. Sungguh, semua ini hanya karena mata yang selalu bertemu? Lagipula, ada apa dengan otakku? Hei, aku! Tidak ada satupun kata terlontar. Hanya saling bertukar tatap dan bagaimana bisa kalian berdua mengerti harus ap...
DREAM
818      516     1     
Romance
Bagaimana jadinya jika seorang pembenci matematika bertemu dengan seorang penggila matematika? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah ia akan menerima tantangan dari orang itu? Inilah kisahnya. Tentang mereka yang bermimpi dan tentang semuanya.
Return my time
307      261     2     
Fantasy
Riana seorang gadis SMA, di karuniai sebuah kekuatan untuk menolong takdir dari seseorang. Dengan batuan benda magis. Ia dapat menjelajah waktu sesuka hati nya.
Fragmen Tanpa Titik
42      38     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Tanpo Arang
38      32     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...