Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding My Way
MENU
About Us  

Puas karena isi hatinya sudah tiris tak bersisa, Medina berbalik memasuki kamar tidurnya meninggalkan Luthfi yang tergugu di ruang tengah. Tanpa mengganti pakaian, Medina melompat ke tengah-tengah ranjang. Cukup lama cewek itu diam memandang langit-langit kamar. Dadanya yang naik turun akibat ledakan emosi mulai bergerak teratur.

 

(Kak Zee_AN:)

Beb.

Is there okay, Girl?

 

Dengan cekatan ibu jari Medina menari mengetikkan jawaban.

 

(Me:)

I’m okay.

Cuma debat kecil aja sama Papa tadi.

Kakak sudah sampai rumah?

 

Pesan yang Medina kirimkan langsung centang dua biru tanda sudah dibaca. Tidak lama kemudian balasan dari Zean pun masuk. 

 

(Kak Zee_AN:)

Aku ada urusan sebentar, jadi belum balik.

Kenapa?

 

Bibir Medina berkedut-kedut kala lampu dari bank idenya menyala terang benderang.

 

(Me:)

Mau putar balik nggak, Kak?

Aku badmood banget ini.

 

Typing tertulis di bawah nama kontak Zean. Lagi-lagi balasan pesan dari Zean masuk dengan cepat di ruang obrolan.

 

(Kak Zee_AN:)

Kamu pengin dijemput?

Mulai ketagihan kabur, ya?

 

Begitulah! Medina pikir, pasti akan sangat menyenangkan kalau dia pergi lagi. Toh, dia tidak bisa tidur tenang juga di kamar ini. Otaknya terlalu berisik dengan suara papanya yang terus menggema. Bayangan papanya terus mengusik, berkelebatan saat dia memejamkan mata.

 

(Kak Zee_AN:)

Otw, Beb.

Sebentar lagi sampai.

Waktu tunggu maksimal setengah jam.

Lewat dari itu, waktu tunggu nggak lagi gratis.

 

Medina melompat dan bergegas menuju lemari. Dengan cekatan dia menyambar selembar kaus gombrang lengan panjang dan training panjang lalu menukarnya dengan seragam berbau kecut yang sudah seharian ini melekat di tubuhnya. Usai berganti pakaian, Medina mengosongkan tas sekolahnya. Buku-buku yang seringkali membuat bahunya pegal diganti dengan beberapa lembar pakaian yang cukup digunakan hingga beberapa hari ke depan. 

 

Medina mau menenangkan diri. Setelah lebih tenang, dia akan kembali bicara dengan papanya. Mungkin Medina juga akan minta maaf, sekalipun cewek itu merasa ini bukan kesalahannya. Medina hanyalah manusia biasa yang berpikir modern dan dinamis. Dia bukan benda mati yang tidak punya hati dan keinginan. Soal Latifa, Medina tidak peduli. Buat apa memikirkan mamanya? Selama ini saja mamanya tidak pernah memikirkan perasaannya!

 

Medina tidak menyangka usahanya melarikan diri akan semulus tol Jagorawi. Papanya sudah tidak terlihat lagi. Medina pikir papanya syok setengah mati hingga memutuskan pergi. Biar saja! 

 

Setengah berlari Medina menghampiri Zean yang sudah menantinya di bawah pohon akasia dekat rumah Pak Samaji, duda dua anak yang sejak tiga tahun lalu berupaya mendekati Santi.

 

Let's go, Jek!” seru Medina menepuk pundak Zean seraya menaiki sepeda motor cowok itu. 

 

Zean tidak keberatan dengan panggilan Medina barusan. “Mau ke mana, nih?” tanyanya seraya menekan tombol starter. Dia butuh tujuan jelas agar mereka tidak berputar-putar tak tentu arah di malam selarut ini. 

 

“Terserah Kak Zean aja. Intinya, aku mau menjauh dulu dari Mama Papa,” sahut Medina tenang, menyerahkan diri sepenuhnya untuk Zean urusi. 

 

“Ke tongkrongan aku aja mau, nggak? Di sana nggak pernah sepi. Makin malam justru makin rame. Mesti ada aja yang datang buat ngumpul,” usul Zean.

 

“Yah, nggak bisa tidur, dong!” keluh Medina yang sudah lelah setengah mati.

 

“Bisa, kok! Kan, di sana ada banyak kamar. Kamu bebas menempati salah satunya,” terang Zean. 

 

Antusiasme Medina melonjak tinggi. “Eh, serius, Kak? Yang punya rumah nggak bakalan marah, nih?”

 

“Nggaklah! Dia mah baik banget orangnya. Jangankan semalam, seminggu bahkan sebulan pun dia bakal kasih izin buat kamu tinggal di sana.”

 

Medina melayang makin tinggi. Senyumnya lebar mengembang. Ini sangat sesuai dengan kebutuhannya. Medina akan menepi dan menyepi di sana selama beberapa hari ke depan. 

 

Pantas aja Kak Zean anteng meski nggak dibiayai lagi sama orang tuanya. Rupanya dia punya pertemanan solid yang nggak semua orang punya. Beruntung banget dia.

 

-***-

 

Tidak sampai setengah jam mereka pun sampai. Medina dibuat terperangah. Dengan gaya norak dan kampungan cewek itu memandang rumah tiga lantai di depannya. Rumah itu sangat besar. Mungkin sebesar lapangan bola. Halaman luasnya dihiasi banyak pohon rindang dan tanaman semak. Beberapa lampu taman berwarna kuning dengan pencahayaan redup membuat tempat itu terkesan misterius.

 

“Ayo, masuk!” ajak Zean sambil menunjuk ke arah pintu.

 

“Di dalam sana ada ceweknya juga nggak, Kak?” 

 

Zean terkekeh, “Ya ampun, Din! Telat banget baru nanya sekarang,” katanya tidak habis pikir, kekonyolan Medina ternyata tidak ada habisnya.

 

Tubuh Medina menegang. Kaku bagaikan angka satu. Bagaimana bisa dia masuk ke sarang penyamun begini? Apa dia bisa keluar hidup-hidup dan kembali ke rumahnya nanti?

 

“Di dalam ada banyak, kok, ceweknya. Kamu nggak bakal sendirian. Amanlah pokoknya!” Zean memberi jaminan dengan kedua jempolnya. Cowok tampak begitu meyakinkan.

 

Dengan tas ransel tercangklong di pundak kanan, ragu-ragu Medina mengayun kakinya mengikuti langkah Zean. Dentuman musik metal menyambut kedatangan mereka tepat saat Zean membuka pintu. Medina yang tidak terbiasa sedikit terganggu. Dia yang tidak terbiasa dipaksa cepat menyesuaikan diri. Dia yang berniat menumpang tidak bisa berbuat apa-apa. Ketidaknyamanan yang tengah berdesakan dalam hatinya harus diredam sebisanya. 

 

Sementara itu, Zean terlihat sangat menikmati irama mengentak yang keluar dari pelantang suara. Cowok yang mengenakan baju hitam bergambar Harley Davidson di balik jaket jeans belelnya itu bahkan bergoyang-goyang mengikuti irama yang Medina rasa sedang mendobrak gendang telinganya. Herannya, dari luar suara bising ini sama sekali tidak terdengar. Siapa sangka di dalam sini mengalahkan ingar bingar pasar? 

 

Meski berjalan dengan kepala tertunduk, tetapi Medina tetap jelalatan mengamati keadaan sekitar. Cowok-cowok dan cewek-cewek tumpah ruah berbaur tanpa risi. Ada yang mengobrol sambil berdiri, ada juga yang asyik bermain biliar. Bahkan ada yang tidur dalam posisi duduk di sofa. Tidak sedikit juga yang melakukan aktivitas terlarang seolah mereka makhluk tak kasatmata. Melihat pemandangan menjijikkan itu Medina cepat-cepat membuang muka. Jantungnya berdebar-debar tak karuan. Diam-diam Medina mengernyit merasakan desakan perutnya. Dia ingin muntah.

 

“Yang kayak gitu sudah biasa di sini, Beb! Awalnya mungkin nggak enak lihatnya, tapi lama-lama pemandangan kayak gitu sudah nggak aneh lagi,” tukas Zean seolah tahu apa yang Medina pikirkan.

 

Medina hanya menyeringai. Sebenarnya dia penasaran, apa yang membuat orang-orang itu berpikir kalau mereka invisible couple. Orang waras pasti punya rasa malu. Mereka pasti akan berpikir ribuan bahkan jutaan kali jika mau melakukan hal yang tabu di depan umum seperti itu. Tapi … 

 

Memasuki ruang tengah, Medina merasa lehernya tercekik. Dia sampai terbatuk-batuk. Kepulan asap tebal yang berasal dari rokok dan vape menyebar di segala penjuru. Asap tebal mengawang-awang saling berlomba mencemari udara. Medina putuskan menutup hidung dan mulutnya dengan telapak tangan agar tidak terlalu banyak menghirup udara tak sehat itu. 

 

Ternyata ruang tengah kondisinya tidak jauh lebih baik dari ruangan yang sebelumnya Medina lewati. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman berserakan di mana-mana. Dalam sekali lihat Medina tahu itu bukan kemasan minuman bersoda, melainkan minuman keras. Medina sering melihatnya di film-film drama yang dia tonton tanpa sepengetahuan mamanya. 

 

Saking takjub melihat kekacauan di sekitarnya, Medina sampai kehilangan fokus. Untuk sesaat dia hanya mematung dengan mulut setengah terbuka bak manekin di etalase pertokoan. Kala tersadar tahu-tahu Zean sudah tidak lagi berada di jarak pandangnya. Cowok jangkung itu menghilang. Medina kebingungan. Dia gelagapan. Dia mulai gemetar ketakutan. Dia berputar di tempat, memicingkan mata, menyelisik mencari sosok Zean di cahaya temaram. Orang-orang di sekitarnya tampak tidak peduli dengan keberadaannya.

 

Beberapa menit berlalu, Medina hampir menangis karena tidak juga menemukan sosok yang dia cari. Saat bahunya ditepuk, gadis itu melompat saking terkejutnya. Ternyata Zean! Cowok itu berdiri tepat di depan mata Medina dengan senyum lebar tanpa rasa bersalah. Meskipun sebal, Medina lega Zean kembali.

 

“Kakak dari mana? Aku takut,” rengek Medina sambil menggoyangkan lengan Zean.

 

Tawa Zean berderai. “Aku tadi nemuin Bang Irzal.” Ibu jarinya mengacung ke belakang yang tidak jelas ke mana arah tujuannya.

 

“Bang Irzal … siapa, Kak?” tanya Medina bingung.

 

“Dia yang punya rumah ini, Beb. Kalau kamu mau ketemu dan ngomong secara langsung, dia ada di dalam.” Zean memajukan tubuhnya lantas berbisik, “Tapi dia lagi sibuk ngelakuin sesuatu … sama pacarnya. Kayak yang tadi kamu lihat di depan itu.” Zean kembali menegakkan tubuhnya dengan cengiran lebar yang mengejek Medina.

 

Jantung Medina mencelus. Pemandangan menjijikan yang dilihatnya beberapa saat lalu kembali melintas di ingatannya. “Nggak, deh, Kak! Lain kali aja,” tolaknya gugup dengan suara bergetar. Tubuhnya juga gemetar.

 

Zean tertawa-tawa tidak jelas. “Ayo, kita ke kamar!” Cowok dengan celana jeans robek di bagian lutut itu menunjuk tangga berbentuk setengah lingkaran yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua.

 

Medina mencengkeram tali tas di pundaknya. Takut-takut dia bertanya, “Kak Zean mau ngapain ngajak aku ke kamar?”

 

“Ya, buat nganterin kamu, lah, Beb! Atau kamu lebih suka pergi cari kamar sendiri?” 

 

Medina menggeleng panik. Zean benar, dia sama sekali tidak mengenal tempat ini.

 

Zean berbalik. “Ayo!” serunya seraya memberi isyarat pada Medina untuk mengikutinya dari belakang. “Terus perhatikan langkahmu, Beb! Jalannya jangan sambil melamun! Nanti aku hilang lagi kayak tadi tapi nggak balik lagi baru nangis beneran.” 

 

Medina sempat menoleh sekali saat memijakkan kakinya di undakan pertama. Hanya beberapa detik, untuk memperhatikan keadaan sekitar. Orang-orang di sana tetap tak acuh akan keberadaannya. Setelah itu, Medina memfokuskan perhatian pada Zean seorang. Ancaman Zean tadi membekas dengan baik dalam ingatan Medina. 

 

Medina mendongak, memperhatikan lantai dua yang tampaknya jauh lebih lengang. Entah mengapa jantung Medina jadi berdebar tak karuan. Separuh hatinya memerintahkan Medina untuk putar badan dan kembali pulang dengan atau tanpa Zean. Namun, ego-nya menang. Medina bersikukuh bertahan demi memberi pelajaran pada kedua orang tuanya.

 

Sesampainya di kamar, Medina menurunkan tasnya di atas ranjang. Kamar ini cukup luas, tapi sayangnya baunya tidak sedap. Persis bau kaus kaki yang sudah lama dipakai dan tidak pernah dicuci. Kamar ini juga tampak kumuh dan terasa pengap. Seprai lusuh yang membungkus ranjang disarungkan secara asal-asalan. Dia kira kamarnya akan sebagus tampilan luar rumah ini. Ternyata dugaannya salah besar. Jauh di luar ekspektasi.

 

“Yakin nggak mau coba ini?” Sekali lagi Zean menyodorkan sesuatu yang bentuknya mirip selembar perangko. Saat di telaga tadi, Zean merayu untuk mencoba barang tersebut, tetapi dengan tegas Medina menolaknya. Kata Zean, setidaknya sekali seumur hidup Medina harus merasakan bagaimana nikmatnya nge-fly. “Mungkin aja yang kamu butuhkan sebenarnya bukan tidur, tapi bersenang-senang,” cetusnya dengan gaya menggoda yang meyakinkan.

 

“Kan, tadi aku sudah bilang, aku cuma pengin menyendiri. Aku butuh istirahat sekarang. Pasti besok atau lusa, perasaanku sudah jauh lebih tenang,” tolak Medina sehalus mungkin. Tidak lupa segaris senyum dia sunggingkan agar Zean tidak tersinggung.

 

“Oke,” ucap Zean mengedikkan bahu tak acuh, sama sekali tidak berniat memaksa. Masih ada lain waktu untuk menjerat Medina. “Kalau kamu berubah pikiran, kamu bisa cari aku di bawah.” Zean melenggang pergi dan menutup pintu. Medina ditinggalkan seorang diri terombang-ambing dalam perasaan yang tak menentu. Detik itu juga Medina merasa ditampar oleh sesuatu yang tidak bisa tertangkap indra penglihatannya. 

 

Mungkinkah keputusanku terus berteman dengan Kak Zean adalah sebuah kesalahan?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tumbuh Layu
454      291     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
SABTU
2920      1190     10     
True Story
Anak perempuan yang tumbuh dewasa tanpa ayah dan telah melalui perjalanan hidup penuh lika - liku, depresi , putus asa. Tercatat sebagai ahli waris cucu orang kaya tetapi tidak merasakan kekayaan tersebut. Harus kerja keras sendiri untuk mewujudkan apa yang di inginkan. Menemukan jodohnya dengan cara yang bisa dibilang unik yang menjadikan dia semangat dan optimis untuk terus melanjutkan hidupn...
Hey, Limy!
1490      683     3     
Humor
Pertama, hidupku luar biasa, punya dua kakak ajaib. kedua, hidupku cukup istimewa, walau kadang dicuekin kembaran sendiri. ketiga, orang bilang, aku hidup bahagia. Iya itu kata orang. Mereka gak pernah tahu kalau hidupku gak semulus pantat bayi. Gak semudah nyir-nyiran gibah sana-sini. "Hey, Limy!" Mereka memanggilku Limy. Kalau lagi butuh doang.
Sebelas Desember
4866      1407     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
Seharusnya Aku Yang Menyerah
136      115     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
Cinta Pertama Bikin Dilema
5248      1434     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
Yang Tertinggal dari Rika
2359      1104     11     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...
Gadis Kopi Hitam
1118      786     7     
Short Story
Kisah ini, bukan sebuah kisah roman yang digemari dikalangan para pemuda. Kisah ini, hanya sebuah kisah sederhana bagaimana pahitnya hidup seseorang gadis yang terus tercebur dari cangkir kopi hitam yang satu ke cangkit kopi hitam lainnya. Kisah ini menyadarkan kita semua, bahwa seberapa tidak bahagianya kalian, ada yang lebih tidak berbahagia. Seberapa kalian harus menjalani hidup, walau pahit, ...
Kota Alkroma: Tempat Ternyaman
493      206     1     
Fantasy
Kina tidak pernah menyukai kota kecil tempat tinggalnya. Impiannya dari kecil adalah untuk meninggalkan kota itu dan bahagia di kota besar dengan pekerjaan yang bagus. Dia pun setuju untuk menjual rumah tempat tinggalnya. Rumah kecil dan jelek itu memang seharusnya sudah lama ditinggalkan tetapi seluruh keluarganya tidak setuju. Mereka menyembunyikan sesuatu. Kemudian semuanya berubah ketika Kina...
CERITA MERAH UNTUK BIDADARIKU NAN HIJAU
97      86     1     
Inspirational
Aina Awa Seorang Gadis Muda yang Cantik dan Ceria, Beberapa saat lagi ia akan Lulus SMA. Kehidupannya sangat sempurna dengan kedua orang tua yang sangat menyayanginya. Sampai Sebuah Buku membuka tabir masa lalu yang membuatnya terseret dalam arus pencarian jati diri. Akankah Aina menemukan berhasil kebenarannya ? Akankah hidup Aina akan sama seperti sebelum cerita merah itu menghancurkannya?