“Papa mau kamu kasih hape kamu ke Papa sekarang, Medina.” Tangan kanan Luthfi terulur dengan telapak menghadap ke langit-langit. Tatapannya tetap teduh, tetapi penuh ketegasan dalam sorot matanya.
“Nggak!” bantah Medina dengan dagu terangkat tinggi, menantang tatapan papanya. “Kenapa segala hape lagi yang mau disita, sih, Pa? Yang tadi belum cukup? Padahal aku sudah kembalikan uang Papa. Aku juga bakal kembalikan uang yang tempo hari aku pinjam dari Mama. Cash. Langsung lunas.” Tersisip nada jemawa dari nada bicaranya.
“Ini bukan semata soal uang, Medina. Ini soal tanggung jawab dan kedisiplinan.” Luthfi mengatur napas, menjaga intonasi serta tutur katanya agar ketegangan ini tidak semakin meluas dan merembet ke mana-mana.
“Lah, itu bentuk tanggung jawab Medina, Pa.” Medina mengotot.
“Juga kedisiplinan, Medina!” Luthfi memberi penekanan pada kata kedua ucapannya. Berat menahan amarah yang telanjur membuncah. Namun, lelaki itu sadar dia punya andil besar atas perubahan sikap sang anak.
Medina menggeleng keras, kukuh menolak titah papanya. “Medina nggak akan kasih hape Medina ke Papa apa pun yang terjadi,” kilahnya. Hatinya keras karena tumpukan rasa kecewa. Meskipun selama ini terus menimpakan kemarahan pada ibunya, tapi Medina sadar betul Luthfi juga sama bersalahnya dengan Latifa. Kedua orangtuanya bersalah karena tidak berusaha bertahan, menjadikan dirinya dan Santi korban atas keegoisan mereka.
“Papa minta serahkan hape kamu sekarang.”
“Kalau aku bilang nggak, Papa mau apa?”
Perdebatan sengit antara ayah dan anak pun pecah. Sama sekali tidak bisa dihindari. Luthfi dengan sikap tegas ikut menjatuhkan hukuman pada Medina yang sudah melanggar batasan-batasan dan aturan yang sudah ditetapkan oleh mantan istrinya. Sudah sejauh ini jaraknya dengan Medina. Sudah sebegitu asing Medina di matanya.
Tidak hanya lima lembar pecahan seratus ribuan yang barusan dikembalikan Medina, fakta bahwa anak gadis kesayangannya telah mencuri dari sang ibu pun baru Luthfi ketahui. Hal itu menjadi tamparan keras baginya.
Luthfi benar-benar terpojok. Lelaki itu merasakan kepalanya berdenyut hebat seolah ada bom waktu di balik tempurung kepalanya dan sebentar lagi bom itu akan meledak. Berbagai spekulasi pun bermunculan. Tamparan selanjutnya yang berhasil melumpuhkan kepongahannya. Dari mana uang itu berasal dan apa yang anak bungsunya lakukan di luar sana?
Perceraiannya dengan Latifa menyebabkan anak-anaknya tidak mendapat perhatian yang utuh. Perpisahan itu membuat mereka tidak hanya berjarak secara fisik, tapi juga psikis. Tamparan ketiga membuat Luthfi lunglai.
Medina mengentakkan sebelah kakinya. Dengan wajah yang mendongak makin tinggi, dia berseru, “Aku benci Papa!” Sepasang matanya menatap nyalang.
“Istighfar, Medina. Istighfar, Nak,” bisik Luthfi sedih.
Tidak puas melihat Luthfi yang tertunduk menunjukkan sisi lemahnya, dengan lantang Medina kembali berteriak, “Papa berubah, sudah nggak asyik kayak dulu. Kenapa sekarang Papa sama menyebalkannya kayak Mama? Padahal aku cuma mau dimengerti, Pa! Aku capek hidup kayak boneka yang nggak punya hak bicara dan diatur segala-galanya. Aku juga kesepian. Aku butuh kehadiran Papa, tapi Papa nggak pernah ada. Kalian memang nggak sayang aku. Papa sama Mama sama-sama mementingkan diri sendiri.”
“Kamu salah paham, Nak. Papa sama Mama nggak pernah punya maksud seperti itu. Yang harus kamu tekankan dalam diri kamu, apa yang Papa sama Mama lakukan, aturan-aturan yang sudah kami buat semata demi kebaikan kamu. Kami ingin menjaga dan melindungi kamu dari kejam dan bahayanya dunia luar.” Luthfi mencoba memberi pengertian selembut mungkin, walau perasaannya sendiri sudah kacau balau tidak karuan bentuknya. “Papa minta maaf untuk banyak hal. Papa nggak pernah menyangka kalau kamu akan sebegini terluka. Papa nggak pernah berpikir kamu akan sebegini kehilangan. Memang nggak semestinya kamu dan Santi menjadi korban. Papa mohon maaf. Ini semua salah Papa.”
“Percuma, Pa. Sudah nggak penting lagi semua alasan itu. Sudah nggak guna kalau Papa baru ngerasa bersalah. Aku bahagia dengan kehidupan aku yang sekarang. Aku sudah membuktikan sendiri kalau selama ini kalian cuma bicara omong kosong. Kalian terlalu banyak mencekoki aku dengan banyak kebohongan dan menakut-nakuti supaya aku terus terpenjara di rumah ini.”
Medina menghela napas panjang. Dia butuh tenaga banyak karena omongannya masih belum selesai. “Kalau nggak salat, kamu bakal masuk neraka, Nak. Kalau nggak ngaji, hatimu bakal suram. Kamu harus pakai jilbab ke mana pun pergi dan membatasi diri dari pergaulan dengan lawan jenis supaya kamu terjaga dan selamat dari fitnah. Bullshit! Papa sama Mama kelewat kocak tau nggak, sih?”
Luthfi melongo melihat bagaimana Medina dengan berapi-api terus mencecarnya dengan serentetan kalimat pedas dan tajam. Medina juga dengan sangat fasih mengikuti setiap nasihat yang selalu papa dan mamanya ucapkan.
“Papa harus tau, walaupun nggak salat aku tetap bisa hidup normal seperti manusia lainnya. Nggak ada satu hal apa pun yang hilang dari hidup aku. Tanpa jilbab, aku tetap aman di luar sana. Nggak sembarang cowok bisa dekat karena aku punya prinsip. Aku bukan cewek murahan kayak yang kalian pikir! Nilai-nilai di sekolah juga tetap bagus meski aku sudah lama nggak pernah nyentuh Al-Qur’an. Janganlah terlalu kolot menilai dan mengukur segala sesuatu juga mengaitkannya dengan agama.”
Berulang kali Luthfi menggumamkan istighfar sambil mengurut dada. Lelaki itu tidak menyangka kalau Medina sudah demikian jauh dari nilai-nilai agama yang selama ini dia dan mantan istrinya tanamkan. Dia menyesal. Dia sangat menyesal.
“Eling, Nak. Eling,” pinta Luthfi lirih sebelum jatuh terempas di sofa. Kepalanya mau pecah sekarang. Pandangannya kabur oleh genangan air mata. Dadanya juga kian sesak, sepertinya jantungnya sebentar lagi akan berhenti berdetak. Perdebatan ini sangat menguras emosi. “Hati-hati sama omonganmu, Nak. Allah sedang menguji kamu dengan menyodorkan dunia yang nggak akan pernah ada habisnya memberi kesenangan semu. Tanpa kamu sadari, kamu semakin jauh dari Allah. Kita hidup di dunia ini sementara, Nak. Cuma buat mencari bekal hidup di akhirat nanti.”
Medina berdecih. “Nggak usah bawa-bawa akhirat, deh, Pa! Kejauhan banget soalnya. Yang lagi kita omongkan itu masa sekarang,” katanya dengan telunjuk mengacung ke bawah.
“Papa menyesal nggak memasukkan kamu ke pesantren seperti saran Mama dulu. Kamu—”
“Kenapa segitunya peduli sama pendapat Mama sih, Pa? Padahal ngomong aja Mama nggak bisa, tapi reseknya ampun-ampunan. Harusnya, kalian banyak-banyak introspeksi diri. Kalian yang bikin aku jadi pemberontak kayak gini.
Baiknya Papa juga bilang ke Mama, Mama harusnya banyak-banyak mikir. Kenapa Mama diciptakan cacat? Mama kayak gitu pasti karena Tuhan tau akan secerewet apa dia ngurusin hidup orang. Kecerewetan Mama juga kan yang bikin Papa pergi dari rumah ini?” sela Medina dengan nada bicara semakin tinggi.
Meski papanya sudah berulang kali memohon agar dia berhenti bicara, tapi Medina tidak peduli. Dia terus mengeluarkan unek-unek yang selama ini tertahan. Ini benar-benar menyakitkan. Tapi juga sangat melegakan.