Pukul sembilan malam Medina baru sampai di rumah. Raut kesal bercampur khawatir Latifa sudah bukan pemandangan baru baginya. Sambutan monoton dan luar biasa membosankan. Latifa yang terus menggumam sambil mengikutinya hingga ke ruang tengah tidak digubris sama sekali. Tanpa kata Medina melewati mamanya yang heboh menuntut penjelasan. Langkahnya terus terayun ringan.
Saat berpapasan dengan Santi yang menatapnya dengan binar redup pun dia memasang wajah tak acuh. Medina terus menyelonong menuju kamarnya usai mengambil segelas air putih dan sestoples nastar di dapur. Dia sudah muak! Medina bertekad akan bersikap semaunya mulai sekarang.
Sesampai di kamarnya, Medina langsung melemparkan diri ke ranjang. Perjalanan pergi-pulang ke surga rahasia itu membuatnya kelelahan. Herannya, dia justru ketagihan. Pekan depan Zean berjanji akan kembali membawanya ke sana. Tawaran yang oleh Medina langsung diiakan dengan suka hati tanpa pikir panjang lagi.
-***-
Seminggu berlalu dalam hening panjang. Tidak masalah buat Medina dia didiamkan. Dia justru menikmati hari-hari tenang tanpa kecerewetan Latifa. Apalagi uang sakunya terus berjalan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
“Bu Sarti!” seru Medina sembari menepuk pelan pundak perempuan di depannya. Bicaranya sedikit lebih nyaring karena beradu dengan angin. “Antarnya cukup sampai fotokopian aja.”
Bu Sarti menelengkan sedikit kepalanya ke arah belakang. “Yang mana ya, Mbak?” tanyanya dengan nada lembut dan bicara yang santun seperti biasa.
Medina mengangkat tangan kirinya melewati lengan Bu Sarti lantas mengarahkan telunjuknya pada neon box fotokopi yang terpampang tidak jauh lagi. Hanya berjarak tidak sampai seratus meter. “Yang itu, Bu! Fotokopi Sumber Rejeki.”
“Kenapa setop di situ, toh, Mbak?” Dengan sungkan Bu Sarti bertanya. Tidak bermaksud lancang mau tahu urusan orang, tetapi perempuan berhijab hijau besar yang membungkus setengah badannya itu memang perlu tahu alasan Medina. Dia tidak mau terlibat masalah jika Medina sampai kabur lagi seperti tempo hari.
“Mau ambil tugas makalah,” terang Medina singkat. Cewek itu sudah menduga kalau Bu Sarti tidak akan begitu saja membiarkannya lolos.
“Saya tunggu, ya, Mbak.” Bu Sarti tetap waspada. Track record Medina yang buruk sudah dia kantongi. Sebagaimana nasib rumah tangganya yang mengalami kegagalan dan menjadi buah bibir, seperti itu pula tentang kenakalan Medina sampai ke telinganya dari banyak mulut. “Dari tempat fotokopi ke sekolah lumayan jauh soalnya. Saya khawatir Mbak Medina terlambat.”
Medina mendengus. “Nggak usah ditunggu, Bu. Teman-teman aku di sekolah sudah ngurus izin telatnya,” dustanya.
Bu Sarti menggigit bibir. Dia meragu. Seharusnya kalau cuma mau mengambil makalah tidak akan memakan banyak waktu. “Yakin, Mbak?”
“Yakin seratus persen.” Medina mulai jengkel.
Bu Sarti menghentikan sepeda motornya di depan fotokopian yang tampaknya baru saja buka. Dari tempatnya saat ini dia bisa melihat jam yang tergantung di dinding tepat di atas mesin fotokopi. Dengan gamang dia menatap perempuan yang baru saja melompat turun. “Saya tunggu aja, Mbak. Kasihan Mbak Medina jalan kaki lumayan jauh. Nanti—”
“Kenapa bawel banget, sih, Bu?” sembur Medina dengan mata memelotot. “Kayak Mama aja, deh!”
“Saya fakut—”
“Mama nggak akan tau kalau Bu Sarti nggak ngelapor. Makanya jangan ember ke Mama!” ucap Medina penuh penekanan. “Lagian marahnya Mama kayak gimana, sih? Paling juga kayak balita kumur-kumur.” Dia mengibas-ngibaskan tangan membersihkan roknya yang terkena cipratan lumpur.
Melihat keangkuhan dan sikap sinis Medina, Bu Sarti beristighfar dalam hati sambil mengelus dada. Bukan ibu kandung Medina saja dia merasa sakit hati. Bagaimana dengan Latifa? Pasti remuk redam dan banjir air mata menghadapi anak kurang ajar seperti cewek di depannya.
Belum sempat Bu Sarti beranjak, Medina sudah berlari menjauh. Lewat spion Bu Sarti melihat Medina membonceng sepeda motor lain. Bu Sarti memang tidak bisa melihat siapa yang memberi Medina tumpangan lantaran helm full face menutupi sebagian besar wajah orang itu. Namun, dari pakaian, postur tubuh juga gesturnya saat bicara dengan Medina, Bu Sarti tahu kalau si pengemudi adalah seorang laki-laki.
“Ya ampun, Nak. Disekolahin biar pintar dan jadi orang sukses, kenapa malah sukses minterin orang tua?” celetuk Bu Sarti prihatin. Bos ciliknya itu pun melaju lebih dulu dan berbelok menjauh dari sekolah yang harusnya menjadi tujuan.
-***-
Sesudah sarapan di warung pecel langganan, Zean mengajak Medina belanja penganan yang akan mereka bawa ke surga rahasia mereka. Demi ke tempat itu Medina rela membolos, bahkan mengindahkan tugas kelompok yang akan dipresentasikan hari ini.
Di minimarket, Medina dan Zean berpisah. Medina menuju rak-rak berisi makanan ringan sementara Zean menuju counter minuman.
“Aduh!” pekik Medina saat seorang anak laki-laki menabraknya.
“Maaf, Kak,” gumam bocah berseragam putih kotak-kotak hijau dengan kepala tertunduk takut.
Seragam yang anak itu kenakan persis punya Medina saat kecil dulu. Entah mengapa Medina merasa melihat dirinya dalam versi bocah laki-laki. Keinginan marahnya pun surut. Hardikan yang menggantung di ujung lidahnya karam. Seraya menyentuh pipi tembam anak itu, dia berkata, “Nggak apa-apa. Lain kali hati-hati.”
Dari arah belakang si bocah muncul seorang perempuan berbaju kaus longgar dan celana jeans ketat selutut. “Arkhan!” Si perempuan berambut panjang berseru, tergopoh-gopoh menghampiri. “Sudah dibilangin jangan jauh-jauh dari Mami, malah keluyuran sendiri,” omel si perempuan yang ternyata ibu dari bocah itu. Di gendongan si ibu muda, bayi perempuan yang Medina perkirakan usianya belum genap satu tahun tertawa-tawa sembari menggapai-gapai seolah minta digendong.
“Maaf, Mami. Abang pengin ambil keripik kentang. Mami lama banget milih susunya.”
“Susu yang biasa diminum adek lagi kosong. Terpaksa Mami cari susu lain yang nggak ada kandungan alergennya kayak yang biasa itu,” terang si ibu muda. Medina ragu si anak mengerti, tetapi dia salut saat tidak mendengar sanggahan apalagi bantahan sama sekali.
Merasakan kerepotan si ibu bertubuh mungil di depannya, Medina berinisiatif membantu.
“Kamu mau yang mana? Biar Kakak yang ambilin.”
“Yang itu, yang itu! Aku mau dua yang bungkusnya warna biru.”
Medina berhasil mendapatkan keripik yang anak itu mau meski harus berjinjit untuk menjangkaunya. “Ini!”
Arkhan berjingkrak-jingkrak kesenangan. Terima kasih, Kakak ….”
“Nama aku Melodya Medina. Panggil aja Kak Medina.” Tanpa diminta Medina memperkenalkan diri.
Si ibu yang sedari tadi terus menatap Medina tampak terkejut. Dia mundur selangkah sebelum menarik anaknya menjauh. Tanpa mengucap sepatah kata perempuan itu pergi begitu saja. Tingkahnya sangat aneh. Seakan baru menyadari telah melihat hantu di siang bolong. Si bocah bernama Arkhan dibiarkan merengek sambil menunjuk-nunjuk ke lantai.
Salah satu dari dua bungkus keripik kentang terjatuh dari tangan Arkhan. Medina memungutnya lantas mengembalikannya ke rak dengan segudang kebingungan. Bertepatan itu Zean muncul dan mengajaknya segera pergi.
“Kok diam aja, Din?” tegur Zean. “Sebelum mampir ke sini kamu sibuk mencerocos, tapi kenapa sekarang kayak ban gembos?”
Medina hanya menggeleng dan tersenyum simpul. Tanpa menjawab dia memasang helm lalu menaiki motor.
Arkhan. Nama dan wajah anak itu bermain-main di benaknya. Medina ingin mengenyahkan hal-hal tidak penting. Sayangnya, tidak semudah yang dia pikirkan. Sial! Sikap aneh Mami Arkhan terus mengusiknya. Medina merasa tidak mengenal mereka. Namun, wajah Arkhan terasa sangat familier.
Siapa, sih, mereka?