Di masa kini rasanya nyaris tidak ada yang tidak memanfaatkan kemajuan teknologi. Teknologi pun terus dikembangkan. Para pakar yang diberkahi otak encer dan kemampuan yang mumpuni berlomba-lomba mempersembahkan inovasi terbaru mereka. Seiring berjalannya waktu, teknologi pun menjadi candu yang tidak bisa dielakkan dari kehidupan sehari-hari. Salah satu yang paling maju dan membudaya adalah teknologi komunikasi.
Sayangnya, di balik segala kemudahannya, teknologi komunikasi ini memiliki sederet panjang konsekuensi. Derasnya arus informasi menghantam dari segala sisi secara bertubi-tubi. Tidak hanya dituntut cerdas dalam memilah setiap informasi yang didapat, kita juga dituntut selektif memilih circle pertemanan. Loh, kenapa begitu? Memangnya apa hubungannya teknologi komunikasi, arus informasi dengan circle pertemanan? Itu semua tidak hanya terkoneksi, bahkan saling terkait satu sama lain.
Kecanggihan teknologi memudahkan setiap orang
mengakses informasi juga dalam berkomunikasi. Ada banyak cara yang terbilang efektif dan singkat bagi orang-orang masa kini untuk menjelajahi dunia secara luas, salah satunya melalui media sosial. Dengan memanfaatkan fasilitas itulah kita bisa saling mengenal dan berinteraksi dengan banyak sekali orang dari berbagai belahan dunia. Sungguh, perkembangan yang tidak hanya mendatangkan kebaikan, tapi juga keburukan di satu waktu yang sama. Ini jugalah yang terjadi pada Medina.
Berkenalan dengan Zean bermula dari keisengan Medina berselancar di dunia maya. Dari setiap gerakan jarinya, menciptakan berbagai godaan yang tidak henti-hentinya mendera. Dari jari menyapa mata lalu turun menyentuh hati. Mengesampingkan rasa malu, mengajak Zean berkenalan pun Medina lakoni. Hal tabu yang selama ini tidak pernah dia bayangkan akan terjadi sekalipun dalam mimpi.
Sapaan singkat “hai! salam kenal, Kakak” yang Medina kirimkan melalui fitur direct message sebuah aplikasi mendapat tanggapan sesuai harapan. Bak gayung bersambut, ajakan berkenalan yang Medina kirimkan terus berkembang menjadi obrolan panjang. Janji temu pun mereka lakukan. Medina yang kepalang melayang, menolak menjejak bumi saat satu per satu temannya memberi peringatan. Seperti yang Qiqi bilang, Medina terlalu bebal dan baperan.
Demi mendapat perhatian Zean, Medina mengubah haluan fashion-nya. Hijab yang semenjak kecil dibiasakan melekat dalam keseharian sengaja ditanggalkan agar rambutnya yang berkilau bak bintang iklan sampo dadakan tampak dan memikat. Baju terusan longgarnya diganti dengan kaus dan celana panjang ketat. Dia bahkan rela menjalani diet secara serampangan demi memenuhi kriteria perempuan idaman Zean.
Dengan kesadaran penuh Medina juga membangkang perkataan Mama, menjauhi teman-teman yang dia anggap sok alim, bahkan mencuri untuk membantu Zean. Lalu kini Medina kabur dari sekolah, melupakan tugas utamanya sebagai pelajar. Entah apa lagi yang akan Medina lakukan setelah segala kekacauan ini.
“Sudah aku bilang, semua aman terkendali. Percaya, kan, sekarang?” tanya Zean dengan nada jemawa. Zean sengaja mengeraskan volume bicaranya agar terdengar Medina yang kini telah membonceng di bagian belakang sepeda motornya. Sudah cukup jauh Zean membawa Medina meninggalkan sekolah yang menurutnya tidak lebih baik dari penjara.
“Aku baru tau kalau jadi anak nakal seseru ini!” Medina ikutan berteriak. Pengakuan mengenai menjadi anak nakal yang keluar dari lisannya barusan dilakukan dengan kesadaran penuh dan tidak sedikit pun menyesal. Boro-boro merasa bersalah, Medina justru bangga. Ini salah satu pencapaian terbaik di sepanjang hidupnya selama enam belas tahun.
“Ini bukan nakal namanya, Beb! Nakal lebih pantas ditujukan untuk anak kecil. Lebih baik menyebut ini dengan cara pintar menikmati masa muda yang cuma terjadi sekali seumur hidup.”
Medina tersenyum lebar, lantas membenarkan perkataan Zean dengan anggukan. “Please, ajari aku gimana caranya menikmati masa muda penuh kesenangan ala Kak Zean!”
“Ayo, kita bersenang-senang!” seru Zean yang disambut gelak tawa Medina. “Sama aku, kamu bebas ngelakuin apa aja. Kamu bebas jadi diri sendiri. Sudah siap?”
“Siap, siap, siap!” seru Medina
mengikuti gaya bicara tokoh kartun berkepala plontos kesukaan Santi. Sudah usia kepala dua, tontonan kakaknya mentok di kartun dan serial animasi. “Kalau gitu harusnya aku panggil Kak Zean mahaguru, dong, sekarang!”
“Sebutan itu cuma cocok buat mereka yang haus pengakuan!”
“Rendah hati sekali Anda, Tuan Guru Yang Terhormat!” Medina ikutan melantur, menyeimbangi Zean. Omongan Medina tidak lebih berakal dari mereka yang mabuk akibat menenggak minuman keras.
“Sebutan Yang Terhormat macam tadi bikin kotoran di telingaku koprol bolak-balik, Beb! Bahaya kalau sampai kotorannya melompat keluar!”
“Kalau gitu, aku mau panggil Kak Zean Yang Tersayang aja. Boleh, dong? Nggak ada yang bakalan marah, kan?”
“Buat kamu apa, sih, yang nggak, Beb? Jangankan dipanggil Yang Tersayang, Yang Tercinta, Yang Terkasih, Yang Tercakep juga boleh!” seloroh Zean. Dengan mudahnya cowok itu menendang Medina ke negeri khayalan.
Medina tergelak kegirangan. “Itu, sih, kayaknya memang maunya Kakak, kan? Supaya dibilang cakep.”
Zean tidak menjawab. Cowok itu mempersiapkan diri menghadapi tantangan besar yang akan segera datang. Cengkeramannya pada stang motornya mengencang. Jarum speedometer pun terus bergerak naik. Dengan gesit cowok itu menyalip truk besar sarat muatan yang melaju di depannya. Sementara di lajur sebelah pick up pengangkut ayam potong melaju dari arah berlawanan. Salah perhitungan sedikit saja, nyawanya dan Medina melayang sia-sia. Namun, bagi Zean ini hal biasa. Semakin sempit celah yang dilewati, semakin besar pula kepuasan yang timbul setelah dirinya berhasil menaklukkan tantangan.
Suara klakson yang memekakkan telinga mengudara. Sumpah serapah pun berlompatan dari mulut kedua sopir. Sayangnya, bagi Zean itu dianggap sebagai apresiasi atas kenekatan dan keberaniannya menantang maut. Bukankah cuma orang berani mati yang nekat uji nyali seperti yang dia lakukan tadi?
Medina sendiri tampaknya tidak mempermasalahkan aksi konyol Zean barusan. Padahal ini tidak hanya tentang keselamatan mereka berdua. Yang sering kali luput dari pikiran pengguna jalan ugal-ugalan seperti Zean adalah kenyamanan dan keamanan pengendara lain.
“Seru, kan, Beb?”
Pekik girang Medina menjadi jawaban pertanyaan Zean. Euforia ini membuat cewek itu lupa segalanya. Tawanya terus terdengar persis kikik geli Mbak Kunti yang tengah mengerjai mangsanya. Ini gila! Sangat gila! Sayangnya, Medina dengan sepenuh jiwa menikmati kegilaan ini. Perkara dimarahi Mama, disidang Papa, dihujat teman-temannya atau segala jenis hukuman yang menanti semua urusan belakangan. Yang penting saat ini hanyalah menuntaskan keinginan untuk bersenang-senang.
Seperti yang Zean bilang, dirinya bebas! Mereka bebas. Bebas melakukan apa saja yang selama ini cuma bisa masuk dalam daftar ‘hal paling asyik yang aku pengin lakukan minimal sekali seumur hidup. Jangan sampai Mama Papa tau!’.
“Darl, aku mau ajak kamu ke suatu tempat spesial! Aku yakin kamu pasti suka!”
“Di mana, tuh, Kak? Kedengarannya asyik. Belum apa-apa aku sudah deg-degan parah ini.” Rasa penasaran Medina melonjak. Persis seperti saat berdiri di depan sebuah wahana permainan yang menguji adrenalin. Belum mencoba saja sudah membuat darah Medina berdesir hebat. Darah mudanya bergejolak ingin menaklukkan tantangan dan mencoba berbagai hal baru.
Dengan percaya diri Zean berseloroh, “Tempat ini, tuh, pantas banget kalau disebut surga dunia yang tersembunyi.”
“Serius, aku nggak sabar banget, Kak!”
Laju kecepatan sepeda motor Zean sudah jauh menurun. Kali ini Medina dan Zean bicara lebih santai tanpa berebut dengan tamparan angin kencang. “Kenapa kesannya Kak Zean ahli banget dalam hal yang bersifat rahasia, sih?”
“Oh, jelas! Aku aja lahir dari mereka yang selama hidupnya suka banget main rahasia-rahasiaan.”
Kali ini tidak ada tawa dan nada jemawa. Mendadak suasana mencekam hampa. Kegetiran menyusup dalam ucapan Zean. Seperti mengandung banyak bawang. Pedas, tajam dan pahit. Zean ingin menunjukkan sisi lain dirinya pada Medina. Dirinya yang penuh luka. Dirinya yang merana. Dirinya yang babak belur, tetapi mencoba terlihat baik-baik saja di mata dunia.
Sepeda motor terus bergerak dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat. Lika-liku jalan yang Medina lalui semakin asing. Medina tidak tahu di mana dia berada. Yang Medina tahu, dia merasa sangat bahagia. Sedikit ketakutan tertanam dalam hatinya. Namun, rasa itu patah oleh keyakinan bahwa cowok di depannya adalah orang paling baik di dunia. Zean satu-satunya orang yang mengerti dirinya dan seluruh keinginannya. Zean tidak akan pernah menyakitinya. Zean adalah definisi sempurna yang tidak pernah Medina temui sebelumnya.
“Sebentar lagi kita sampai.” Zean memberitahu. Suaranya lirih menyatu dengan desau angin yang dingin. Dengan tenang dan pasti Zean mengemudikan sepeda motornya melewati jalan besar beraspal mulus yang sepi. Saking sepinya, tidak satu pun kendaraan terlihat berpapasan dengan mereka.
Lima menit kemudian sepeda motor yang Zean tunggangi dibelokkan ke sebuah jalan berbatu. Semakin jauh, semakin sempit dan berliku. Ilalang setinggi betis tumbuh di sepanjang sisi kanan dan kiri jalan. Pohon-pohon tinggi menjulang persis kaki-kaki jenjang raksasa, menaungi jalan dari panas terik. Rimbunnya pepohonan secara sempurna mengahalau cahaya matahari menyentuh bumi. Atmosfer udara berubah drastis. Semakin lama dan dalam jalan itu dilalui, terasa semakin asing dan … gelap.
Tanpa sadar Medina mencengkeram kedua sisi jaket Zean. Oke, Medina mengakui kalau dia mulai merasa ketakutan yang semula hanya sebesar biji kacang hijau membesar drastis. Jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Bahkan tiga kali lebih cepat dari aksi menantang maut tadi.
“Kita di mana, Kak?” Nada bicara Medina mulai bergetar.
Tidak ada sahutan. Zean sengaja bungkam. Cowok jangkung itu memilih fokus ke depan, menyusuri jalan panjang bertabur kerikil tajam. Lampu sepeda motornya menyorot seperti pedang bersinar yang membelah kegelapan.
“Kak, jangan bikin aku takut, dong!” rengek Medina. Debar jantungnya menggila. Dari dalam jiwanya timbul perasaan asing yang sukar dijelaskan dengan kata-kata. Perasaan itu terus menekan dan menusuk dadanya. Rasa takutnya berubah menjadi kengerian yang meraksasa.
Diam-diam Zean mengulum senyum. Dia sudah cukup lama menantikan saat ini. Berduaan dengan Medina di tempat terpencil yang sudah pasti sepi. Hanya akan ada mereka berdua di sana. Benar saja dugaan Zean, anak kucing—yang bermimpi menjadi singa—ini sangat manja dan benar-benar menggemaskan!