“Aku skip lagi, ya, teman-teman. Masih puasa,” ucap Fitri dengan senyum tipis nyaris tak terlihat seraya merapikan buku-buku dan peralatan tulis di atas mejanya.
Empat hari sudah Fitri absen menyambangi kantin saat jam istirahat. Setiap kali itu pula dia mengajukan alasan yang sama. Awalnya tidak terasa aneh, tetapi hari ini terlihat sekali kalau Fitri tengah mengasingkan diri.
Belakangan Fitri memang tidak banyak terdengar bunyinya. Fitri yang senantiasa ceria dan suka menyanyikan lagu-lagu lawas favoritnya kian hari sangat berhati-hati dalam bertindak juga dalam bertutur kata. Seolah Fitri sedang membangun benteng tinggi untuk melindungi dirinya dari lingkungan sekitar. Tidak hanya dari Medina, tapi dengan semua temannya. Fitri menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah dengan menyendiri.
Lain lagi dengan Medina. Dia murung karena penyakit yang dia cari sendiri. Malam di mana dia ketahuan berbohong seminggu lalu, Latifa langsung mengintrogasinya bak polisi. Rentetan pertanyaan yang dilayangkan lebih pantas disebut tuduhan. Berulang kali mengelak, bahkan mengalihkan kesalahan pada Santi juga temannya, tekanan yang Medina terima tidak sedikit pun berkurang.
Karena sudah tidak lagi bisa berkelit, akhirnya Medina mengaku bahwa dialah yang sudah mencuri uang Latifa yang disimpan di dalam lemari pakaian. Alhasil, dengan tegas Mama menjatuhkan hukuman. Pergerakannya semakin dibatasi. Kartu ATM pemberian papanya pun disita buntut dari kelancangannya menggeledah kamar dan melanggar privasi Mama.
“Hijab kamu kenapa nggak dipakai? Terus rambutmu kenapa warnanya begitu? Ya ampun, Medina! Sudah berapa lama kamu begini? Kamu tau nggak, sih, kalau hijab itu bukan sekadar pakaian, tapi identitas diri kita sebagai muslimah? Hijab bagi kita wajib hukumnya. Hijab itu bukan cuma untuk menutupi rambut, tapi juga menjaga diri kita. Dengan berhijab semoga kita dijauhkan dari berbuat buruk maupun perbuatan tidak pantas dari orang di sekitar kita!” cecar Latifa dengan kedua tangan sibuk mengudara menggantikan mulutnya.
Tidak ada sahutan dari Medina. Sekian menit berlalu dan Medina terus setia dengan aksi tutup mulutnya. Kepalanya tertunduk, tampak berat untuk terangkat. Latifa mulai memijat pelipis. Kepalanya berdenyut-denyut seperti bom yang tengah menunggu waktu meledak.
“Selagi nggak mengaku untuk apa uang itu kamu gunakan, selama itu pula rekeningmu dibekukan. Nggak ada lagi keluar malam! Nggak ada juga acara jalan-jalan sama teman-teman di akhir pekan.” Mama mengultimatum. Tidak ada tekanan dalam nada bicaranya, tetapi dari caranya menatap Medina tampak jelas sebesar apa kemarahan Mama.
Masih untung kamu nggak sampai dicoret dari kartu keluarga, Medina. Lagian, bisa-bisanya teledor. Makanya ke mana pun pergi, otaknya jangan ditinggal. Bagitu kurang lebih suara hatinya menanggapi kemarahan mamanya.
“Mulai besok Bu Sarti nggak cuma bertugas mengantar, tapi juga menjemput kamu.” Seolah belum puas, Latifa kembali menambahkan. “Semendesak apa pun, kalau mau keluar, kamu harus izin sama Mama. Nggak ada izin, berarti nggak boleh pergi!”
“Tapi, Ma ….” Protes yang tadinya hendak Medina lemparkan mendadak karam. Medina menunduk lagi. Percuma mendebat, dia sudah kalah telak.
“Mama nggak menyangka kamu bisa berbuat sejauh ini, Medina. Mama benar-benar kecewa,” ungkap Latifa sedih dengan wajah basah dibanjiri air mata. Urat lehernya sampai sakit karena terus memaksakan diri bicara.
Tidak lagi kuat berhadapan dengan Medina, Latifa pun memutar badan. Dalam setiap langkah kakinya, Latifa membawa serta sisa-sisa asa yang nyaris tidak berbentuk. Di dalam kepalanya berisik oleh suara-suara yang menyalahkan juga mentertawakan kegagalannya sebagai orang tua. Bahu perempuan berhijab abu-abu itu merosot lesu ditimpa beban berat tak kasatmata. Dengan hati hancur berkeping dan dada yang sesak oleh luapan emosi Latifa memasuki kamarnya. Malam telah larut. Sudah waktunya beristirahat. Seharusnya begitu. Yang terjadi di balik pintu, siapa yang tahu?
Sementara itu, Medina terus bungkam, menundukkan kepala dalam-dalam untuk menyembunyikan wajah yang tertekuk muram. Santi yang sempat dijadikan kambing hitam dan sejak awal hanya menonton tanpa niatan membelanya pun berlalu dalam diam.
“Heh, Dorami! Soto ayamnya bingung lihat kamu cuma bengong macam sapi ompong. Yang lain sudah pada selesai makan, kamu malah sibuk ngelamun,” tegur Zaid. Lelaki itu sejak hari pertamanya bersekolah hingga memasuki pekan ke tiga ini memilih bergabung dengan kelompok Medina.
Ketika ditanya kenapa tidak bergabung saja dengan kelompok yang didominasi laki-laki, Zaid menjawab, “Aku lebih aman dan terjaga bareng kalian.”
Ternyata aman dan terjaga yang dimaksud karena Zaid mendapat perlakuan sedikit tidak menyenangkan. Sejak kedatangannya di SMA Nusa Pertiwi, tidak sedikit siswa berlaku sinis padanya. Zaid yang berhasil mencuri perhatian dari sebagian besar siswi membuat banyak siswa merasa tersaingi.
Selain itu, dia merasa terjaga dari tingkah para siswi yang meresahkan. Kebanyakan dari mereka terlalu berani mengekspresikan diri sehingga membuat Zaid merasa risi. Kumpul bareng Cessa dan Arwa yang disegani membuat cewek-cewek lain ikut sungkan mendekati Zean.
“Resek banget, ih!” sembur Medina. Dengan bibir mengerucut, Medina menyambar sendok dan mulai memasukkan sepotong lontong bersama kuah, irisan telur dan suwiran ayam ke mulutnya. Soto ini salah satu makanan favorit Medina, tetapi hari ini dia tidak bersemangat menyantapnya.
“Sekarang giliran aku yang bengong lihat kamu makan kayak—”
“Heh, orang-orangan sawah! Bisa nggak, sih, duduk dengan tenang dan berhenti gangguin si Mbul?” omel Qiqi yang mulai enek dengan keceriwisan sepupunya.
“Barusan aku cuma mengingatkan Dorami, kok!” sangkal Zaid.
“Sudah, nggak usah ribut.” Cessa menengahi, menyurutkan niat Qiqi untuk membalas sanggahan Zaid.
“Aku lihat tadi kalau Zaid beneran ngingetin Mbul, aja. Zaid pasti nggak berniat mengganggu,” bela Arwa.
“Nah, tuh! Memang lain aura penghuni surga. Adem bener kalau ngomong. Pikirannya juga selalu positif. Beda banget sama yang ono!” Zaid mengedikkan dagu ke arah Qiqi yang langsung dibalas pelototan yang membuat bola mata gadis itu seperti hendak melompat keluar dari rongganya.
“Dedek Arwa Sabrina nggak cuma cantik jelita, tapi juga pengertian. Pas lagi ngomong, tutur katanya lembut dan tertata. Nggak suka ngotot apalagi nyolot. Perempuan idaman banget, deh, pokoknya! Ntar kalau lulus, kita ta'aruf ya, Wa!”
“Preeet!” Qiqi mencibir. Telinganya berdenging mendengar Zaid memuji-muji Arwa dengan maksud menyudutkannya. Sementara itu Cessa tidak bisa berhenti cekikikan. Medina hanya melirik teman-temannya tanpa minat. “Kamu pikir mudah dapetin Arwa? Kursus bahasa arab dulu sono yang bener biar ngobrolnya nyambung. Jangan taunya cuma ahlan wa sahlan, minal aidin walfaidzin sama syukron katsiron doang!”
“Beneran, Wa? Padahal Aa Zaid merasa sangat tampan dan cukup mapan. Yah, walaupun belum bisa dikatakan Sultan, tapi bisalah beliin Dedek cincin berlian. Masih belum cukup, ya?”
Senyum Arwa tercipta disertai anggukan malu-malu. “Lagian aku nggak kepikiran buat cepat-cepat nikah. Aku masih mau menikmati masa muda. Pengin mengejar cita-cita. Pengin membahagiakan dan membanggakan Ayah Bunda.” Setelahnya gadis itu memasang tampang serius. "Nikah itu bukan perkara yang mudah karena merupakan ibadah terpanjang dalam hidup. Menurut aku, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum mutusin nerima lamaran. Jangan sampai akhirnya menyesal di saat ternyata salah memilih pasangan. Nggak ada kayaknya orang yang berniat nikah untuk cerai di kemudian hari. Sayangnya, makin hari perceraian justru marak terjadi. Dan, perempuan justru jadi pihak yang paling banyak merasakan rugi,” pungkasnya bijak.
Zaid menepuk dadanya dengan dramatis sebelum membungkuk dan menelungkup di atas meja. “Oh, inikah yang dinamakan terluka tapi tak bernanah?”
“Tak berdarah, Ogeb!” sela Qiqi sewot. Sejak Zaid menempeli dirinya dan kawan-kawan, Qiqi terus-terusan darah tinggi.
“Hush! Nggak boleh mengumpat apalagi mengata-ngatai orang dengan sebutan yang nggak baik,” nasihat Arwa. “Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela. Ya ampun, dengar kata ‘celakalah’ aja sudah merinding sekujur badan. Ya, nggak, sih?”
Zaid, Cessa, Qiqi maupun Medina terdiam, meresapi nasihat Arwa. Masing-masing dari mereka secara diam-diam mulai introspeksi diri.
“Lagian kalau ngomong yang baik-baik, kan, enak juga sama yang dengarnya,” imbuh Arwa lembut tanpa berniat menggurui. Dia cuma menyampaikan apa yang sering dia dengar dari abangnya yang lulusan pondok pesantren.
“Hayoloooh! Siapa yang suka mengumpat, ngomong kotor dan kasar, istighfar banyak-banyak mulai sekarang. Tobat, deh, tobat!” Zaid merasa di atas angin. Saat tatapannya bertemu dengan tatapan Qiqi, senyum kemenangan tersungging di wajahnya.
Qiqi mendengus lantas buang muka. Namun, saat menunduk, mulutnya komat-kamit mengucap, “Astaghfirullah.” Tanpa suara.
“Aku pernah dengar, katanya omongan itu adalah doa. Kalau terbiasa ngomong yang jelek-jelek, otomatis doa yang keluar juga yang buruk-buruk dong ya? Nggak kebayang aja gitu kalau habis ngucap buruk terus jadi kenyataan. Biar nangis darah, waktu nggak bakal bisa diulang. Yang tertinggal cuma penyesalan,” kata Zaid dengan pandangan menerawang.
Mendadak dia teringat teman-temannya semasa SMP dulu suka melakukan perundungan. Tanpa disadari, hal itu menyebabkan luka mendalam. Tidak hanya menyakiti fisik tapi juga menghantam psikis korbannya. Sejak itu dia paham arti pepatah lidah lebih tajam daripada pedang.
“Bener banget, ya, ungkapan mulutmu harimaumu. Kita harus hati-hati banget sama omongan kita. Ngomong kasar dan kotor aja nggak boleh, apalagi bohong sama memfitnah orang? Sama-sama berasal dari mulut, terus bahayanya nggak main-main. Bahkan ancamannya neraka. Benar kata Arwa tadi, ngebayanginnya aja sudah merinding. Nauzubillah,” timpal Cessa.
“By the way, kalian ada yang ngeh nggak, sih, sama sikap Fitri belakangan? Kayaknya bukan karena puasa aja, tapi dia kerasa banget lagi jaga jarak sama kita,” cetus Qiqi tiba-tiba.
Zaid yang merupakan pendatang baru dalam kelompok itu pun tersentil. “Apa karena ada aku, ya? Biasanya dia gimana, sih? Padahal niatku gabung sama kalian supaya nggak digangguin sama cewek-cewek di sini. Aku yang polos, kan, takut ternodai. Selain itu, menghindari konfrontasi juga sama cowok-cowok lain yang merasa tersaingi. Dari tatapannya aja sudah bikin ngeri, kayak ngajak gelut di atas jembatan layang. Meleng dikit, nyawa auto melayang.”
Cessa menjawab, “Nggak gitu kayaknya, Zaid. Jangan mikir kejauhan. Mungkin Fitri lagi ada masalah. Lagi pusing, tapi nggak pengin atau belum siap bagi bebannya sama kita. Nanti coba aku sama Arwa dekatin pelan-pelan dan ajak bicara dulu. Barangkali dia mau lebih terbuka.”
Zaid tersenyum dan mengembuskan napas lega. “Dorami juga, tuh, murung terus. Makan ngelamun. Belajar juga ngelamun. Di mana-mana terus aja ngelamun. Mikirin apa coba? Berat banget kayaknya. Sibuk mikirin dosa, kah?”
“Kamu kenapa murung terus, Mbul?” tanya Arwa bersimpati.
Bibir Medina mengerucut masam. “Nothing. I am okay. Cuma nggak mood aja.”
“Kamu ada masalah, Mbul? Aku juga merhatiin, loh! Kerasa banget kalau kamu lemas banget. Kayak yang hidup segan mati tak mau.” Cessa ikut berpendapat.
“Masalah sama cowok yang waktu itu?” tembak Qiqi dengan sorot mata menghakimi. “Makanya nggak usah pacaran. Bikin pusing aja soalnya.”
“Dorami sudah punya pacar?” Zaid tampak terkejut. Tanpa sadar dia memindai Medina. Bukan maksudnya meremehkan, tapi dia benar-benar terkejut. Sejak awal, dia pikir Medina itu polos dan kaku. “Pacaran itu cuma bikin rugi, khususnya buat ciwik-ciwik. Suer, nggak bohong! Sudahlah dosa, buang-buang waktu, menguras emosi—”
“Berisik!” Medina mendelik tak suka. “Yang dosa aku, yang buang-buang waktu aku, yang rugi juga aku. Semuanya nggak ada kaitannya sama kamu. Sekalipun aku beneran pacaran, aku nggak pernah transfer dosa aku ke kamu. Aku nggak pernah secara sengaja minta waktu kamu buat merhatiin aku. Aku juga nggak pernah bagi-bagi kerugian sama kamu. Jadi, kenapa kamu yang ribet, sih, Zaid? Heran banget, deh!” sahutnya galak.
“Ya Allah … istighfar, Mbul. Nggak boleh gitu. Aku yakin maksud Zaid baik. Dia cuma ngasih pendapat doang,” nasihat Arwa dengan nada lembut.
Qiqi geleng-geleng tidak habis pikir dengan Medina. Medina kini, sangat jauh berbeda dengan yang dia kenal di awal memasuki kelas dua beberapa bulan lalu. Dengan nada sedikit tinggi dia berucap, “Nggak perlu ngegas kali, Mbul! Nyolot gitu menunjukkan kalau kamu itu bebal. Padahal bagus kita masih peduli. Harusnya kamu sadar diri, kalau bukan kami yang ngingetin kamu, siapa lagi? Memangnya di sini ada yang mau temenan sama kamu? Belagu banget!” Yang Qiqi tidak sadari, nada bicaranya tidak jauh berbeda dengan Medina.
“Mbul ada masalah apa? Kami siap dengarin. Insyaallah selagi mampu, kami usahakan untuk memberi solusi,” ucap Cessa sepenuh hati. Tangan yang terlipat di depan meja tanda ingin menyimak dengan saksama.
“Orang bebal itu nggak butuh pendapat siapa pun. Wong, dia hidup di dunianya sendiri!” Sekali lagi Qiqi mencecar Medina.
Medina menggebrak meja hingga membuat mangkuk sotonya terloncat dan hampir menggelinding ke bawah meja kalau saja Cessa tidak sigap menahannya. Nafsu makan Medina yang sudah susah payah dikumpulkan raib tak bersisa. Cercaan Qiqi barusan membuat dadanya sesak oleh gumpalan amarah. Hidung mancungnya kembang kempis menahan desakan beragam emosi. Omongan-omongan sengit Qiqi membuat telinganya berdenging kepanasan. “Aku, tuh, pengin banget curhat, tapi belum mulai aja aku sudah ngeri duluan. Takut dihakimi. Soalnya belum apa-apa aja sudah diomongin beginilah, dibilang begitulah.
“Padahal aku pengin ngeluarin uneg-uneg, tapi kalian malah menanggapi dengan kalimat-kalimat yang menyudutkan. Sadar nggak sih, kalian? Sudah kayak kalian yang paling benar aja. Sudah kayak yang paling lurus. Sok alim! Sok suci!” Tatapan Medina menjelajah ke seluruh meja, terus menghampiri satu per satu temannya. Ada bara yang menyala-nyala di matanya. “Nggak punya teman kayaknya lebih baik daripada punya teman tapi resek semua!”
Arwa mengurut dada, terus beristighfar dalam hati. Sementara Qiqi menganga mendengar luapan emosi Medina. Zaid bengong seperti orang bodoh, tidak tahu harus berkata dan berbuat apa. Cessa membuka mulut, hendak membujuk, tetapi sayangnya Medina yang kadung terbakar amarah sudah bangkit dan gegas berlalu dengan langkah lebar.