Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding My Way
MENU
About Us  

Medina mendengus keras. Fokusnya pecah. Sudah tiga puluh menit berkutat dengan soal-soal latihan matematika yang terbilang sederhana, tetapi dia masih belum bisa menyelesaikan perhitungannya. Entah mengapa kali ini dia harus berusaha lebih keras memutar otak dari biasanya. 

 

Dari dua puluh lima soal, masih ada delapan belas yang belum terpecahkan. “Dasar payah!” gerutunya sembari melempar bolpoin ke atas kertas penuh dengan coretan angka. 

 

Medina mundur sedikit lantas menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. Satu demi satu kakinya dinaikkan lalu ditekuk di depan perut. Kedua tangannya terus dilingkarkan memeluk erat kaki. Dengan lesu kepalanya jatuh dan menempel di lutut. Selain detak jantungnya, tidak ada lagi yang terdengar. Sepi sekali. Untuk beberapa saat Medina diam menikmati keheningan sambil berupaya menenangkan diri yang mulai down.

 

Sepuluh menit berlalu, perasaan Medina sedikit membaik. Dia kembali menegakkan tubuh, siap mencoba lagi. “Calm down, Medina,” bisiknya mengafirmasi diri. “Tarik napas ….” Medina meraup sebanyak-banyaknya oksigen, menahannya sejenak di dada lantas melepaskan karbondioksida bersamaan ucapan. “Embuskan.” Beberapa kali Medina mengulangi hal serupa. Setelah merasa cukup, bolpoin yang tadi dicampakkan kembali digenggam. “Stay focus, Medina. Lupain dulu yang lain.” Termasuk Zean, batinnya menambahkan.

 

Secara perlahan Medina membaca soal yang tadi sempat dilewatinya. “Di laboratorium miliknya, Prof. Gundhule melakukan penelitian terhadap objek X yang sebelumnya diketahui mengandung bakteri rosoroso. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa bakteri berkembang dua kali lipat setiap sepuluh menit. Dua puluh menit pertama bakteri berjumlah empat ratus. Berapakah jumlah bakteri di menit ke enam puluh?”

 

Dengan sabar Medina kembali membuat coretan di bukunya. “Dua puluh menit sama dengan empat ratus. Kalau enam puluh menit berarti ….”

 

Dering ponsel dengan lancang membuyarkan konsentrasi Medina. Sambil menghela napas, gadis itu kembali meletakkan bolpoinnya ke atas buku. Medina menoleh, menatap gamang ponsel yang teronggok manis di atas ranjang. Hati kecilnya dipenuhi kebimbangan. 

 

Keinginan untuk menyelesaikan deretan soal yang belum terpecahkan sama besar dengan keinginan menengok layar ponsel. Medina menggigit bibir bawahnya, menghela napas sekali lagi sebelum beranjak meninggalkan meja belajar. Pada akhirnya, kecenderungan bersenang-senang dengan gadget pintar memenangkan perdebatan di otaknya.

 

Barisan pesan yang Zean kirimkan langsung menyapa netra Medina persis setelah layar ponsel diaktifkan. Sebelumnya Medina pikir dengan menjauhkan ponsel dari daya pandang, dia bisa dengan mudah berkonsentrasi. Sayangnya, dia tidak cukup bijak dengan mematikan nada deringnya sekalian. Seperti inilah jadinya.

 

(Kak Zee_AN:)

Baby, aku butuh bantuanmu lagi.

 

Begitu caption yang mengiringi foto kiriman Zean. Mata dan hidung Zean tampak kemerahan, kontras dengan wajahnya yang pucat. Bawah mata lelaki itu kehitaman seperti mata panda. Tampaknya Zean beraktivitas terlalu keras hingga mengabaikan keperluan tubuhnya untuk beristirahat.

 

Medina merasa sedikit tremor saat ibu jarinya bergerak di layar ponsel mengetikkan balasan. Saat ini tidak banyak yang bisa dia berikan untuk membantu Zean. Utang tempo hari saja belum lelaki itu lunasi. Mau menagih, Medina tidak sampai hati. Zean sudah menceritakan betapa buruk kondisinya. Malam ini Zean datang lagi dengan permasalahan serupa. Selain dirinya, Medina tidak tahu apakah ada tempat lain buat Zean meminta bantuan?

 

Balasan Zean masuk dengan cepat. Seketika Medina merasa beban yang sangat berat menimpa puncak kepalanya. Dadanya mendadak sesak. “Du-dua se-tengah juta?” gumamnya terbata, syok luar biasa. Ke mana dia harus mencari uang tunai sebanyak itu? 

 

Dana di rekeningnya memang lebih dari nominal yang Zean pinta, tetapi akan ada pertanggungjawaban yang susah untuk dia berikan. Cukup saat Santi mengadukan kelakuan buruknya waktu itu Luthfi menguliahinya. Panjang lebar, merembet ke mana-mana. Tentang pergaulan dan gaya hidup teman-temannya tidak lepas dari sorotan ayahnya. 

 

Meminta pada Latifa? Mustahil dikabulkan! Terlalu berisiko mengungkit perihal uang, apalagi dengan nominal sebesar itu ke mamanya. Hubungannya dengan Latifa sudah setenang air dalam bejana. Medina tidak mau lagi mencari perkara. Kali ini dia benar-benar menghindari cari perkara.

 

"Bisa kan, Beb? Aku butuh banget buat beli obat. Badanku sudah kayak dicabik-cabik harimau. Sebentar lagi kayaknya kepalaku juga bakalan meledak. Jantungku … sebentar lagi mungkin bakal berhenti berdetak. Aku butuh banget bantuan kamu, Din.” Kali ini voice note dengan suara Zean yang serak dan bergetar yang masuk ke ruang obrolan. Lelaki itu terdengar beberapa kali berhenti untuk mengatur napas.

 

Zean anak perantauan. Dia tinggal di kos-kosan sendirian. Di awal perkenalan Zean pernah cerita ke Medina kalau keputusannya kuliah di kota ini demi menjauhi kedua orangtuanya yang problematik. Mengingat itu Medina makin gundah. Otaknya semakin bising dengan dua kata yang penuh kontroversi; tolong dan abaikan. Keduanya sangat berisiko. Medina menghadapi situasi yang pelik.

 

“Kalau kamu nggak nolongin, bisa-bisa aku mati sekarang.”

 

Satu kalimat ini membuat jiwa Medina terguncang. Sisi kemanusiaannya menang. Bukankah menolong orang yang sedang kesusahan itu sebuah kewajiban?

 

“Tapi ….” Medina bingung menatap layar ponselnya, dari mana dia akan mendapat uang untuk menolong Zean?

 

-***-

 

Latifa memang belum pulang dari kios buahnya, tetapi untuk keluar menemui Zean juga tidak mudah bagi Medina. Di ruang tamu ada Santi dengan beberapa orang temannya. Dilihat dari keseriusannya, sepertinya tengah mengerjakan tugas kelompok. Di ruang tengah Medina mondar-mandir dengan gelisah. Sesekali dia berhenti, mengintip dari balik tirai untuk memantau keadaan. Waktu semakin malam, Medina khawatir Zean terlalu lama menunggu.

 

“Kamu lagi ngapain, Dek?” tegur Santi yang membuat Medina nyaris melompat karena kaget. Santi menenteng tea pot yang telah kosong. Medina berasumsi Santi hendak ke dapur untuk mengisi ulang teko kaca di tangannya.

 

“Mbak Santi ngangetin aja, ih!” pekik Medina kesal.

 

Santi malah terkikik melihat wajah cemberut Medina. “Maaf, ya, Dek,” katanya seraya mendekat. “Kamu lagi apa memangnya?”

 

“Aku mau keluar sebentar boleh nggak, Mbak?” tanya Medina, menekan kuat-kuat rasa takutnya agar tidak mengundang kecurigaan. Jantungnya yang berdetak kencang riuh seperti derap kaki kuda yang berlari di kesunyian.

 

Santi melihat jam dinding telah menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit. “Mau ke mana memangnya, Dek? Sudah larut malam gini. Sebentar lagi Mama pulang, loh! Mungkin sudah di perjalanan. Gimana kalau nanti dicariin Mama?"

 

Medina menggigit bibir. “Aku kehabisan pembalut, Mbak.”

 

“Laaah!” Santi langsung faham mengapa Medina tampak tidak nyaman. “Kenapa nggak bilang dari tadi? Tunggu sebentar, biar Mbak belikan!”

 

Dengan gelagapan Medina mengibaskan tangan. “Ja-jangan, Mbak!” tolaknya ketakutan. Jelas bukan seperti ini yang dia pikirkan. “Aku bisa beli sendiri, kok!”

 

Kening Santi berkerut. Dipandanginya Medina dengan saksama. Gelagat Medina membuatnya curiga. “Are you okay, Dek?”

 

Ragu-ragu Medina mengangguk, tetapi setelahnya malah menggeleng. “Mbak Santi kan lagi belajar, aku nggak mau ngerepotin. Lagian ada teman-teman Mbak gitu. Nanti dibilangnya aku manja banget atau kurang ajar karena suka nyuruh-nyuruh kakak sendiri.”

 

Santi berdecak. “Ya, nggak apa-apa, Dek. Kan, belajarnya bisa disambung lagi nanti.”

 

Medina mati kutu. Kembali dia memutar otak mencari cara agar terbebas dari pengawasan kakaknya. “Eum, temannya Mbak Santi masa ditinggal? Nggak enaklah, Mbak.”

 

“Mereka pasti pahamlah, Dek! Lagian ini, kan, sifatnya darurat.” Mbak Santi meyakinkan.

 

Dalam hati Medina merutuk kekeraskepalaan Santi. Antara kelewat baik dan suka mempersulit orang lain kadang batasnya setipis helaian rambut yang dibelah tujuh, begitu pikir Medina.

 

Paham kalau Medina berkeras menolak tawarannya, Santi bertanya, “Kamu yakin mau pergi sendiri?”

 

Dengan semangat Medina mengangguk. “Aku takut Mbak salah beli pembalut. Soalnya aku rada rewel soal yang satu ini. Selain itu, ada yang pengin aku beli juga. Aku pengin yang enak buat dimakan malam ini, tapi dengan risiko kecil nambah berat badan.”

 

Tawa Santi berderai renyah, serenyah rempeyek yang baru diangkat dari penggorengan. “Ada-ada aja kamu, Dek!” tukasnya di sela tawa. “Yakin nggak mau Mbak beliin? Kamu sebutin aja mereknya, nanti Mbak carikan. Takutnya kamu tembus kalau jalan-jalan—”

 

“Nggak usah, Mbak. Ini belum deras, kok! Baru flek doang. Makanya aku berani pergi sendiri. Kalau udah telanjur bocor, tanpa ditawarin juga pasti aku minta Mbak Santi yang beliin.”

 

“Nggak mau Mbak antarin juga? Pas tadi lewat beli martabak telur, kalau Mbak nggak salah lihat warung Bu Dian sudah tutup.”

 

“Aku bisa ke minimarket depan. Nggak begitu jauh juga, kok!”

 

Santi diam sejenak. Sekali lagi gadis berhijab marun itu menyelisik Medina. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, matanya memindai. Tidak lupa Santi memperkirakan waktu yang dibutuhkan oleh Medina untuk mencapai minimarket yang dimaksud, waktu yang dihabiskan untuk berbelanja hingga kembali ke rumah. 

 

Kondisi jalan saat ini pun tidak luput dari perkiraannya. Meski cukup larut, di luar sana terbilang sangat ramai. Hilir mudik kendaraan sepertinya cukup aman bagi Medina yang akan pergi berjalan kaki sendirian. 

 

Sekali-kali membiarkan Medina berusaha memenuhi sendiri kebutuhannya terdengar bukan hal buruk. Medina kini mungkin ingin belajar mandiri agar tidak terus-terusan merepotkan seperti yang sudah-sudah. Sambil tersenyum, Santi pun berpesan, “Jangan lama-lama perginya.”

 

Jari-jari sebelah tangan Medina membentuk huruf V, sementara satunya lagi saling silang di belakang badan. Anggukan Santi membuat Medina memelesat secepat anak panah yang terlepas dari busurnya.

 

“Sebelum keluar rumah, jangan lupa berdoa, Dek. Mohon perlindungan supaya dijauhkan dari hal-hal buruk dengan sebaik-baik penjagaan dari-Nya.”

 

Sayang sekali, pesan Santi bagai angin lalu yang hanya sekelebat terus hilang dari pendengaran Medina.

 

-***-

 

Seperti ada yang tercabut dari rongga dadanya saat Medina melihat dengan mata kepala sendiri kondisi Zean. Dia lega, walaupun terlihat tidak baik-baik saja, kondisi Zean jelas tidak seburuk yang dia pikir sebelumnya. Kekhawatiran yang bercokol pun menguap seketika.

 

“Kakak pasti sembuh,” bisik Medina sebagai upaya menyemangati Zean. Yang luput dari ingatan Medina adalah menanyakan penyakit apakah sebenarnya yang sedang Zean derita. Hanya karena melihat senyum Zean saja membuat Medina kadung bahagia hingga melupakan dunia. Begitulah kalau sedang dilanda asmara. Sampai-sampai ada yang memberi perumpamaan; kotoran kucing pun terasa seperti cokelat. Saking tidak normalnya.

 

Awalnya Zean terlihat kecewa karena pinjaman yang Medina berikan tidak sesuai harapannya. Setidaknya itu cukup meringankan kesusahannya. Yang penting ada. Sementara itu, Medina juga lega karena uang sebesar satu juta rupiah yang dia berikan untuk Zean tidak lelaki itu tanyakan dari mana asal usulnya. Medina sendiri pun pasti akan mati-matian menyembunyikan fakta di baliknya. Cukup melihat Zean sehat dan bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala sudah cukup bagi Medina.

 

Sepanjang perjalanan pulang, senyum Medina merekah. Langkahnya terasa ringan seperti dibantu angin untuk terbang. Bibir mungilnya menyanyikan lagu-lagu riang. Hingga sesampainya di rumah senyum masam dan sorot tajam Latifa menyambut kepulangannya, Medina meneguk ludah karena sadar pembalut dan jajanan pengganjal perut yang dijadikan alasan tidak ada dalam genggaman. Bagaimana mau dibawa pulang, kalau membelinya saja tidak?

 

“Mampus kamu Medina!” desisnya mengutuk diri sendiri.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Renata Keyla
6702      1551     3     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...
Glitch Mind
45      42     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
Night Stalkers (Segera Terbit)
624      509     4     
Horror
Ketika kematian misterius mulai menghantui sekolah di desa terpencil, Askara dan teman-temannya terjebak dalam serangkaian kejadian yang semakin tak masuk akal. Dimulai dari Anita, sahabat mereka yang tiba-tiba meninggal setelah mengalami kejang aneh, hingga Ifal yang jatuh pingsan dengan kondisi serupa. Mitos tentang kutukan mulai beredar, membuat ketakutan merajalela. Namun, Askara tidak per...
Metafora Dunia Djemima
88      72     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Premium
Adopted
2326      1082     1     
Romance
Yogi Ananda dan Damar Raditya dua pemuda yang terlihat sempurna dan mempunyai keluarga yang utuh dan bahagia. Mereka bertemu pertama kali di SMA dengan status sebagai kakak dan adik kelas. Terlahir dengan wajah tampan, dikaruniai otak cerdas, memiliki perangai baik sehingga banyak orang menyukai mereka. Walau berasal dari orang tua kalangan kelas menengah tidak menghentikan langkah mereka untuk m...
Arloji Antik
399      259     2     
Short Story
"Kalau langit bisa dikalahkan pasti aku akan ditugaskan untuk mengalahkannya" Tubuh ini hanya raga yang haus akan pengertian tentang perasaan kehidupan. Apa itu bahagia, sedih, lucu. yang aku ingat hanya dentingan jam dan malam yang gelap.
Matahari untuk Kita
697      404     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
JUST RIGHT
104      89     0     
Romance
"Eh, itu mamah bapak ada di rumah, ada gue di sini, Rano juga nggak kemana-mana. Coba lo... jelasin ke gue satu alasan aja, kenapa lo nggak pernah mau cerita ke seenggaknya salah satu dari kita? Nggak, nggak, bukan tentang mbak di KRL yang nyanggul rambutnya pakai sumpit, atau anak kecil yang lututnya diplester gambar Labubu... tapi cerita tentang lo." Raden bilang gue itu kayak kupu-kupu, p...
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
277      238     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...
Metanoia
46      39     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiri—dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...